Selasa, 26 April 2011

STRATEGI MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM PENDIDIKAN MENGHADAPI KOMPETISI GLOBAL

STRATEGI MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM PENDIDIKAN MENGHADAPI KOMPETISI GLOBAL
Oleh Ali Imron A.M.

1. Pendahuluan
Pada akhir abad XX dunia memasuki era global atau dikenal pula dengan era cyberspace. Kemajuan teknologi informasi telah membuat dunia ini sebagai global village sehingga berbagai peristiwa dan perkembangan sains dan teknologi di negara mana pun dengan cepat dapat kita akses. Seiring dengan itu kehidupan manusia mengalami akselerasi perubahan yang dahsyat. Perkembangan sains, inovasi di bidang teknologi, sistem komunikasi dan informasi, sistem ekonomi, sosial-budaya dan politik, serta mobilitas penduduk yang dulu pada medio abad XX terasa lamban, kini perubahannya begitu cepat sehingga seolah-olah tidak dapat dikendalikan lagi.
Efek yang segera terasa dari perubahan yang dahsyat itu adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai kehidupan di tengah masyarakat. Tidak mengherankan jika kemudian sering terjadi benturan antara nilai antara nilai lama (tradisi) yang ingin dipertahankan dengan nilai baru (modern) yang datang tak terhindarkan. Dalam kondisi demikian, pengetahuan yang dipelajari pada dua puluh tahun lalu kini sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan dinamika zaman. Tidak terkecuali ketrampilan yang membuatnya produktif ketika dia remaja kini dua puluh tahun kemudian ketrampilan itu tidak lagi dapat diberdayakan secara maksimal.
Perkembangan yang sangat mencolok pada era global adalah kemajuan sains dan teknologi yang melahirkan teknologi komunikasi canggih yang menghasilkan produk-produk media massa baik elektronik --seperti televisi kabel, film, VCD/ DVD, komputer, dan internet--, maupun cetak –terutama surat kabar dan majalah--. Media massa itulah yang mempercepat terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilai sosial-budaya di tengah masyarakat sehingga kini nilai-nilai sosial-budaya dan moral mengalami pergeseran (lihat Al-Ma’ruf, 1994). Karena itu, wajar jika para pakar pendidikan mulai mempertanyakan, apakah tujuan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk siap menapak masa depan masih relevan. Padahal masa depan itu sendiri sulit diprediksi (unpredictable) akibat adanya perubahan yang sangat cepat.
Dunia sedang berubah menuju proses penyatuan tanpa mengenal sekat-sekat negara dan bangsa, demikian Kenichi Ohmae (dalam Sopater dkk. (Ed.), 1998), kecuali sekadar batas teritorial. Indikasi hal itu dapat dilihat antara lain adanya pasar bebas, membanjirnya informasi jalan tol (superhighway information), turisme universal, finance scape yang mengalirkan dana ke berbagai negara , dan adanya idea scape serta sacri scape yang mendistribusikan ide politik, demokrasi, hak asasi manusia, nilai sosial-budaya dan nilai moral keagamaan ke seluruh permukaan bumi. Jadi, dunia menjadi sebuah perkampungan global (global village) yang tentu saja memerlukan pengkajian ulang dan antisipasi terhadap berbagai fenomena baru yang tergelar di hadapan kita.
Kondisi Indonesia sendiri mengalami perubahan yang cukup signifikan sejak reformasi politik 1998 yang membawa dampak perubahan di berbagai aspek baik politik, ekonomi maupun sosial terutama mencuatnya demokratisasi dan transparansi di berbagai bidang. Dampak yang lebih jauh terasa juga dalam dunia pendidikan. Dulu pada zaman orde baru segala kebijakan bersifat sentralistik dan otoriter berasal dari atas (top down) tanpa memperhatikan arus bawah. Setelah reformasi, segala kebijakan merupakan hasil sebuah kerja sama sinergis dan demokratis dengan memperhatikan aspirasi dari bawah (bottom up). Perubahan bidang politik ini juga pada gilirannya membawa dampak positif pada dunia pendidikan yang juga mencuatkan demokratisasi. Sehingga, jika dulu hampir semua kebijakan dan program lebih merupakan inisiatif pimpinan maka kini hal itu tidak sesuai lagi dengan alam demokrasi. Kini semua komponen pendidikan selayaknya dilibatkan dalam memanaj pendidikan untuk mencapai hasil optimal.
Sementara itu, diakui banyak pihak bahwa pendidikan merupakan satu usaha untuk membentuk manusia secara mental, intelektual, dan fisik agar dapat mengembangkan kemampuannya untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat atau bangsanya dan membawa kemajuan baginya (Suryohadiprojo, 1987). Jika pendidikan dapat membawa kemajuan seperti itu, itulah yang disebut pendidikan sejati yakni upaya yang sistematis untuk pembebasan yang permanen dari bermacam-macam keterbelengguan (terbelenggu oleh kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, kesengsaraan, penindasan, dan lain-lain) sehingga peserta didik dapat menjadi pribadi yang memiliki kesadaran diri, mengetahui akan martabat dan posisinya, mampu bertanggung jawab, dan mandiri. Ringkasnya peserta didik dapat menjadi manusia utuh (Kartono, 1991). Sayangnya, harapan hasil pendidikan demikian di Indonesia masih banyak menemui hambatan.
Bagi Indonesia, yang merupakan salah satu negara berkembang, pendidikan menurut Arnove (1982) menjadi landasan utama dalam usaha menghapus kemiskinan, memacu pertumbuhan ekonomi, dan juga pengembangan individu. Karena itu, para pelaku dan peletak kebijakan di bidang pendidikan bergulat untuk melenyapkan sisa-sisa sistem pendidikan kolonial dan membangun sistem pendidikan nasional bagi pengembangan identitas dan kemandirian budaya dengan pertumbuhan ekonomi dan politik sebagai bangsa merdeka yang terbebas dari segala ketergantungan.
Pada era global yang penuh dengan persaingan ini jelas diperlukan strategi manajemen pendidikan yang benar-benar tepat agar lulusan lembaga pendidikan kita memiliki daya saing yang tinggi. Tanpa adanya manajemen yang tepat niscaya akan sulit bagi lembaga pendidikan kita untuk dapat eksis terlebih survive dengan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Permasalahannya adalah apa saja tantangan dunia pendidikan kita dalam menghadapi era global, lalu strategi manajemen yang bagaimanakah yang tepat untuk mengantisipasi perkembangan global agar lulusan pendidikan Indonesia dapat memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.

2. Seputar Pendidikan Kita
Hasil penelitian dan berbagai literatur pendidikan dan di Indonesia selama ini mendasarkan asumsinya bahwa sekolah dipandang terutama sebagai lembaga yang eksklusif pendidikan formal daripada lembaga sosial, murid dipandang sebagai individu yang dikucilkan, dan pendidik ditekankan pada pendidikan formal ayang dibebankan pada guru. Asumsi ini mengakibatkan bagaimana sekolah meliputi murid sebanyak-banyaknya dengan cara yang baik dan selesai dalam waktu yang cepat. Akibatnya, menurut Weis (1982), pendidikan diwujudkan dalam bentuk sekolah model pabrik yang hanya memperhatikan input dan output-nya saja dari semua kegiatan formal tanpa mengkaji secara teliti bagaimana proses pengalaman belajar terjadi yang merupakan inti dari proses sosialisasi. Tegasnya, apa yang sebenarnya terjadi di sekolah tidak sempat tersentuh dan terungkap. Akibatnya, sekolah merupakan black box dalam hal ini berbagai peristiwa di dalamnya tetap tersembunyi.
Para pakar pendidikan mengakui, bahwa kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas kemampuan guru, terutama dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar (Darmodihardjo, 1980; Joni, 1984). Namun justru di sini pula masalahnya. Sebab, “lagu lama” yang selama ini terdengar bahwa sasaran tudingan dalam kelemahan pelaksanaan pendidikan kita terutama adalah guru, yang dinyatakan Surachmad (1981), antara lain guru kurang memiliki kesadaran profesional, kurang berpartisipasi dalam pengembangan, dan kurang terbuka terhadap inovasi. Selain itu, kurikulum pendidikan kita selama ini, demikian Tilaar (1998) sangat menekankan kepada pengembangan otak kanan dan kurang mengembangkan otak kiri yang berfungsi untuk inisiatif, kreativitas, imajinasi, apresiasi seni dan kemampuan-kemampuan normatif. Teori pembelajaran yang mengembangkan fungsi otak kanan dan kiri secara seimbang seperti Contextual Teaching and Learning (CTL), sudah lama dikemukakan para ahli pendidikan namun belum banyak diaplikasikan dalam lingkungan pendidikan di Indonesia.
Di sisi lain hal pertama pada orang muda yang dimatikan oleh rata-rata pendidik adalah imajinasi. Menurut Russel (1993: 133), imajinasi bersifat tidak mematuhi hukum, tidak disiplin, individual, dan adanya kebebasan. Semua itu jelas menyusahkan guru, terutama jika persaingan mensyaratkan suatu kemanfaatan yang kaku. Masalah perlakuan yang tepat terhadap pengembangan imajinasi menjadi lebih sulit oleh fakta, bahwa pada kebanyakan anak-anak imajinasi itu menjadi rusak secara spontan ketika minat terhadap dunia nyata meningkat. Orang-orang dewasa yang imajinasinya kuat adalah orang-orang yang sejak masa kanak-kanak telah mempertahankan kebebasan imajinasi dari fakta. Pada orang dewasa, jika imajinasi ingin berharga pembebasannya dari fakta tidak boleh lahir dari ketidaktahuan melainkan karena berkurangnya sifat membudak tertentu. Bahkan diilustrasikan oleh Russel (1993) bahwa Farina Degli Uberti sangat menghina neraka, meskipun dia harus tinggal di sana selamanya. Sikap terhadap fakta seperti inilah yang cenderung paling menggalakkan imajinasi yang bermanfaat bagi orang dewasa.
Kondisi pendidikan yang mematikan imajinasi dan kreativitas seperti di atas agaknya yang membuat pakar pendidikan Surachmad (1988) menyatakan bahwa pendidikan kita sebagai “pembunuhan anak kandung”, sebagai pembunuhan kejam tak berdarah dalam abad modern yang sukar dideteksi dan selalu berada di luar jangkauan polisi. Korbannya yang pasti adalah anak didik. Anak menjadi mati naluri bertanyanya, kemampuan bicaranya, karena hanya terkondisi oleh mendengar dan mendengar, sehingga yang tinggal hanya kemampuan menelan (pasif).
Pernyataan Surachmad (1988) tersebut menggambarkan bahwa dalam proses pendidikan kita selama ini tidak disadari (atau memang diabaikan) dampak negatifnya yang sangat dahsyat. Proses itu tidak terprogram dalam pendidikan formal tetapi membawa dampak yang sebenarnya sangat tidak kita harapkan. Dengan kata lain, jika proses pendidikan seperti itu terus berlanjut, maka terbwentuknya manusia pembangunan yang cerdas, mandiri, memiliki integritas moral dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat, dan berkepribadian Pancasila, rasanya “jauh panggang dari api”. Budaya mendengar, budaya bisu (paling-paling nggrundel= Jw.), main suap, ngolor (Jw.), oportunis, dan lain-lain yang sering kita dengar, akan mampu menindas tumbuhnya budaya demokrasi yang kita dambakan bagi tegaknya kemandirian bangsa Indonesia (Sutopo, 1989: 8).
Jelas bahwa kesalahan tidak dapat hanya dibebankan pada guru yang juga sudah bekerja keras. Walaupun mereka pelaku terdepan, kedudukannya tidak lebih dari sekedar pelaku budaya seperti komponen yang lain. Menurut teori refleksi, pendidikan selalu merupakan cerminan dari apa yang ada dalam masyarakatnya. Apa yang terjadi dalam masyarakat juga terjadi dalam dunia pendidikannya. Dengan kata lain, budaya pendidikan adalah cerminan budaya masyarakatnya.
Fenomena demikian mendorong timbulnya gagasan untuk mengubah tujuan pendidikan dan melakukan perbaikan sistem pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan dinamika zaman kini. Namun, berbagai usaha perbaikan pendidikan sering dikatakan tidak dilaksanakan berdasarkan konsep terpadu antara berbagai komponen pendidikan (Sadli, 1981). Bahkan, semua kritik dan masukan tersebut tidak menyinggung sama sekali tentang pelaksanaan pendidikan sebagai proses terpadu dan total dari program formalnya dengan sosial-budaya lingkungan masyarakatnya yang secara informal mewarnai budaya kita selama ini (Sutopo, 1988: 7).
Berangkat dari realitas dan pemikiran itu maka dipandang perlu dilakukan pembaruan manajemen pendidikan yang melibatkan semua komponen pendidikan agar lebih memberdayakan peserta didik sehingga dapat menghadapi perubahan situasi dan kondisi kehidupan yang terus berubah cepat. Pendidikan yang dilaksanaklan dengan model selama ini yang lebih menekankan aspek kognitif atau akademik, sementara aspek-aspek emosi, tanggung jawab sosial, aspek moral dan religi kurang mendapatkan tekanan, tampaknya tidak dapat dipertahankan. Sebab, cukup banyak fakta menunjukkan bahwa lulusan lembaga pendidikan selama ini kurang adaptif, kurang antisipatif terhadap perkembangan masyarakat, dan kurang demokratis akibat budaya pendidikan yang kurang memberdayakan kreativitas dan imajinasi peserta didik.

3. Daya Saing Indonesia dalam Pergumulan Global Abad XXI
Daya saing sumber daya manusia (SDM) di tengah iklim yang sangat kompetitif pada abad XXI merupakan keharusan jika kita ingin survive. Namun, hasil pengamatan berbagai lembaga menunjukkan bahwa SDM kita masih lemah. Hasil pengamatan Institut for Management Development (IMD) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-39 dari 46 negara dan The World Competitiveness Year Book 1996 memposisikan daya saing Indonesia berada pada peringkat 41 dari 48 negara (Elias, 1997). Pengamatan IMD dan The World Competitiveness Year Book tersebut cukup memprihatinkan kita karena hal itu menunjukkan kondisi daya saing Indonesia di tengah pergumulan masyarakat internasional masih jauh dari harapan. Karena itu, data-data tersebut merupakan informasi dan perinagatan (warning) sekaligus memotivasi kita untuk meningkatkan daya saing nasional.
Untuk meningkatkan daya saing tersebut salah satu faktor utama yang harus mendapat perhatian serius adalah kualitas sumber daya manusia (SDM), dan untuk peningkatan SDM itu pendidikan merupakan ujung tombak dari sekian upaya. Menurut Payaman (dalam Sarwani, 1997), secara umum kondisi SDM kita masih sangat lemah. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh: (1) Perhitungan United Nation Development Program (UNDP) bahwa indeks kualitas SDM Indonesia menduduki peringkat 102 dari 174 negara; (2) Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia masih tinggi, berarti bahwa kemampuan manajerial dalam mengelola dan memanfaatkan barang modal masih lemah; dan (3) Penggunaan tenaga kerja asing meningkat.
Mencermati kondisi daya saing Indonesia menghadapi abad XXI yang sangat kompetitif, maka diperlukan langkah-langkah strategis dan program yang terstruktur dan sistematis guna mengatrol posisi SDM Indonesia di tengah masyarakat internasional. Dan, salah satu upaya utama untuk mengatrol kualitas SDM adalah melalui pendidikan yang idealnya dimulai dari tingkat dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Dengan pendidikan yang berwawasan global maka diharapkan akan tercipta SDM yang berkualitas yang memiliki keahlian dan keunggulan kompetitif dan komparatif. Untuk itu, diperlukan perbaikan di bidang manajemen pendidikan yang prospektif yang tidak hanya melibatkan unsur pimpinan atau guru saja melainkan semua komponen pendidikan.

4. Tantangan Dunia Pendidikan pada Era Global
Sejak akhir abad XX bangsa Indonesia mengalami transformasi sosial budaya yang sangat cepat. Terjadilah perubahan dan pergeseran nilai kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Kini masyarakat Indonesia sedang berada pada masa transisi dalam hal pola pikir, sikap, dan pola tindakan. Transformasi sosial budaya tersebut di samping membawa dampak positif ternyata juga menghadapkan kita pada beberapa masalah dan tantangan bagi kehidupan masyarakat umumnya dan juga pendidikan kita khususnya.
Jika kita ringkas maka tantangan hidup yang dihadapi masyarakat mendatang antara lain: (1) Globalisasi dan pasar bebas, (2) SDM menjadi faktor penentu kemakmuran, (3) Kemajuan pesat sains dan teknologi, (4) Membanjirnya informasi (terutama dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, (5) Kerja sarat teknologi, (6) Munculnya kaum miskin baru: penganggur terdidik, (7) Transformasi sosial-budaya (lihat Al-Ma’ruf, 2001).
Mencermati berbagai tantangan kehidupan masyarakatpada era global tersebut, maka masalah dan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan kita antara lain:
4.1 Dampak Globalisasi
Bagi bangsa Indonesia menapaki abad XXI terasa berat. Perubahan yang sangat cepat mengakibatkan tatanan nilai dan pranata sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan serta pendidikan mengalami pergeseran. Di bidang pendidikan dampak globalisasi mendorong para ahli pendidikan melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan nasional Indonesia dan mempertanyakan: Masih relevankah tujuan dan sistem pendidikan nasional kita dewasa ini?
4.2 Perubahan Struktur Masyarakat
Globalisasi menyebabkan terjadinya transformasi masyarakat Indonesia dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Pergeseran struktur masyarakat ini mengakibatkan terjadinya perubahan atau pergeseran nilai. Tatanan nilai dan norma sosial yang selama ini dianut masyarakat mulai goyah sehingga banyak mencari pegangan baru agar tidak terjebak dalam arus perubahan yang amat cepat. Sebab, di satu sisi nilai lama/ tradisional mulai goyah dan tercerabut meski belum sepenuhnya, di sisi lain nilai baru/ modern mulai diterima meskipun belum mantap. Jadi, masyarakat berada dalam kebingungan dengan memegang nilai ganda sehingga seakan mengalami kepribadian ganda (split personality).
Dalam konteks ini, dunia pendidikan yang merupakan institusi strategis dalam mempersiapkan SDM yang harus mampu survive di tengah persaingan global, dituntut untuk mampu mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang utuh: manusia yang dapat mengembangkan kemampuan mental, intelektual, dan fisiknya secara selaras guna menjamin kelangsungan hidup dirinya dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Manusia demikian dalam bekerja tidak hanya mengandalkan otak dan otot saja melainkan juga hati nuraninya turut menentukan keputusan yang diambil.
4.3 Orientasi Nilai Plus
Seiring dengan berbagai perubahan yang amat cepat, kebutuhan manusia dapat dipuaskan dengan banyak pilihan, maka kita harus memberikan prioritas pada penyiapan tenaga kerja yang memiliki nilai plus. Dalam hal ini, dibutuhkan inovasi dalam memanaj pendidikan. Karena itu, diperlukan gagasan-gagasan kreatif yang mampu membuat lembaga pendidikan eksis dan survive di tengah fenomena yang berkembang sangat cepat dan masalah yang kompleks. Dan, pada gilirannya lembaga pendidikan diharapkan mampu melahirkan SDM yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, yakni manusia utuh yang dapat tampil sebagai manusia individu, manusia masyarakat, sekaligus manusia dunia. Manusia demikianlah yang disebut manusia universal yang memiliki integritas kuat yang mandiri namun memasyarakat sekaligus mendunia. Manusia yang memiliki integritas kuat itu dalam kesendiriannya bersifat diskrit dan unik namun sebagai warga masyarakat dunia ia bersifat holistik yang mengglobal.
4.4 Perubahan Struktur Demografis
Pada abad XXI struktur kependudukan di Indonesia akan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Pertumbuhan penduduk akan terus menurun. Angka pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 1990-1995 yang diperkirakan sekitar 1,7% akan terus menurun sampai sekitar 1,0%pada kurun waktu 2015-2020. Namun, jumlah penduduk Indonesia akan terus meningkat dari 197,2 juta pada 1995 menjadi 269,9 juta pada tahun 2020. Jumlah penduduk demikian akan berpengaruh terhadap struktur penduduk usia sekolah dan tenaga kerja. Dengan struktur penduduk demikian, dunia pendidikan membutuhkan paradigma pembangunan yang berwawasan demografis.
4.5 Visi Masa Depan
Visi masa depan adalah visi masyarakat abad XXI yang berisikan tantangan dan hambatan yang sekaligus merupakan kesempatan untuk dianalisis, dipecahkan oleh lembaga pendidikan agar dapat eksis dalam persaingan global. Berbagai perubahan nilai sosial budaya dan moral perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan pendidikan.
4.6 Profesionalisme Manajemen
Manajemen pendidikan di Indonesia pada umumnya belum efektif, efisien, relevan, dan belum memiliki nilai plus. Bukan rahasia lagi, bahwa di mana-mana terjadi kebocoran dana, waktu, tenaga, ketidaktepatan keputusan manajemen, kurangnya disiplin dan etos kerja, adanya tumpang tindih tugas kerja, dan pemanfaatan peluang yang tidak efektif. Karena itu, diperlukan penanganan manajemen yang profesional yang dapat m,enjadikan input dan aset pendidikan memiliki nilai plus dan memampukan pendidikan secara mandiri untuk mandiri (lihat Brahim, dalam Sopater dkk (Ed.), 1998).

5. Strategi Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Menuju Keunggulan
Kompetitif dan Komparatif
Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan merupakan tanggung jawab kita bersama. Konsep pemberian tanggung jawab pendidikan pada pemerintah, orang tua, dan masyarakat merupakan konsep terpadu berdasarkan prinsip gotong-royong yang diakui sebagai tradisi kehidupan budaya masyarakat kita. Gotong-royong menuntut tiadanya penonjolan otoritas kekuasaan, sekaligus merupakan cerminan dari demokrasi yang sedang dan terus kita kembangkan. Selama ini iklim dalam lembaga pendidikan kita belum mendukung budaya demokratis itu. Kekuasaan masih sangat menonjol dalam dunia pendidikan kita. Keadaan ini harus diperbaiki dengan penerapan manajemen pendidikan yang lebih mengedepankan prinsip demokrasi.
Pendidikan demokratis seharusnya mengembangkan warga masyarakat yang “mudah memimpin tetapi sulit untuk memaksa”. Dalam masyarakat demokratis, pendidikan menyajikan kebenaran dan nilai tetapi dalam bentuk yang terbuka atas pemikiran kritis. Guru yang demokratis menghargai tradisi bangsanya tetapi memiliki pandangan yang kritis dengan menyajikannya sebagai subjek modifikasi dan pengembangan, bukan terkungkung oleh berbagai otoritas dan rasa tidak aman. Di satu sisi, sekolah wajib melatih warganya untuk membentuk masyarakat berdasarkan kebijakan yang terhimpun pada masa lalu, di sisi lain sekolah harus juga mampu memacu pemikiran kreatif secara terus-menerus yang pada dasarnya menggambarkan sikap curiga terhadap pengetahuan sebelumnya (Ehlers dan Lee, dalam Sutopo, 1988: 9). Lembaga pendidikan tidak mungkin menjadi tumpuan harapan untuk merintis bagi tumbuh-berkembangnya sikap demokratis yang memiliki fungsi korektif, sikap kritis dan kreatif tanpa diberikan kepercayaan dan kebebasan.
Memperhatikan berbagai kelemahan pendidikan kita selama ini seperti diuraikan di bagian depan dan mengantisipasi perkembanganm global, maka tugas pokok lembaga pendidikan adalah melakukan pembaruan dalam pendidikan khususnya lagi dalam manajemen pendidikan yang lebih prospektif dan antisipatif. Mengingat, bahwa sebagai sebuah institusi pendidikan, kinerjanya sangat ditentukan oleh model manajemen yang digunakan dalam memroses semua sumber daya yang ada bagi keberhasilandan mutu penampilan organisasi.
Salah satu model manajemen dalam rangka lebih mengembangkan pendidikan itu adalah dengan menerapkan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau dikenal dengan Total Quality Management (TQM) dalam pendidikan. Dalam konsep MMT, lembaga pendidikan dipandang sebagai industri jasa/ pelayanan. Lembaga pendidikan sebagai industri jasa/ pelayanan memiliki pelanggan (customer).
MMT adalah salah satu cara dalam mengatur ortang banyak, atau suatu prosedur dalam hal ini setiap orang berusaha keras secara terus-menerus memperbaiki jalan menuju suatu keberhasilan (Satya dalam Sopater, 1998: 325). Dapat pula MMT diartikan sebagai suatu pendekatan manajemen yang memusatkan perhatian pada peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu semua komponen terkait (Ditjen Dikdasmen Depdikbud, 1998). Di dalamnya terkandung maksud menyelaraskan usaha-usaha orang banyak dalam organisasi sedemikian rupa, sehingga mereka menghadapi tugasnya dengan penuh semangat dan berpartisipasi secara penuh dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan. Adapun tujuannya adalah meningkatkan mutu pekerjaan, memperbaiki produktivitas dan efisiensi. Mengacu tujuan tersebut, MMT menuntut adanya perubahan sifat hubungan antara pengelola (pemimpin) dan pelaksana pekerjaan (bawahan). Hubungan yang terbuka antara pimpinan dan bawahan dapat mengubah perintajh dari pimpinan menjadi inisiatif dari bawahan. Dalam hubungan tersebut tugas pimpinan tidak memberi perintah, melainkan mendorong dan memfasilitasi perbaikan mutu pekerjaan di dalam organisasi/ lembaga pendidikan.
MMT dikembangkan di dalam lembaga pendidikan dalam rangka memberikan kepuasan kepada pelanggan. Menurut Deming (dalam Satya, 1998: 325) ada 14 prinsip yang dapat diterapkan dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Dari 14 prinsip tersebut ada tiga prinsip yang menjadi inti dan dapat menjadi acuan utama dalam menerapkan MMT untuk menampilkan kinerja lembaga pendidikan yang diinginkan. Ketiga prinsip utama itu adalah:
Prinsip pertama: Adanya kebulatan tekad untuk meningkatkan mutu jasa lembaga pendidikan secara terus-menerusdalam mempersiapkan peserta didikmenghadapi berbagai persaingan kehidupan pada masa depan, khususnya dalam dunia kerja.
Prinsip kedua: Perbaiki dan tingkatkan terus-menerus sistem pengajaran dan pelayanan lainnya, sehingga semuanya efektif dan efisien.
Prinsip ketiga: Laksanakan transformasi (perubahan) dalam lembaga pendidikan dan ikut-sertakan setiap orang dalam pelaksanaan itu.
Dari ketiga prinsip tersebut dapat dilihat bahwa (1) Tujuan operasional dalam MMT ialah mengadakan peningkatan mutu secara terus-menerus, dan (2) Ada tiga fokus perhatian dalam peningkatan mutu secara terus-menerus, yakni: pertama, memperhatikan pelanggan dan kebutuhannya (khususnya siswa/ mahasiswa); kedua, memperbaiki sistem dan proses pendidikan; dan ketiga, memadukan partisipasi semua pihak di dalam lembaga pendidikan.
Dengan kata lain, ketiga fokus itulah yang menjadi inti manajemen semua kegiatan dalam mencapai mutu terpadu. Fokus utama adalah pelanggan dan kebutuhannya, dalam arti bahwa perlu diteliti secara objektif dan terinci siapa pelanggan, apa kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan (memuaskan) pelanggan itu. Pelanggan-pelanggan lembaga pendidikan dapat dibagi dua yakni pelanggan internal meliputi: guru, pustakawan, laboran, teknisi, dan tenaga administrasi; dan pelanggan eksternal yang terdiri atas tiga kategori, yakni: pelanggan primer (peserta didik); pelanggan sekunder (orang tua, pemerintah dan masyarakat luas); dan pelanggan tersier (dunia usaha atau dunia kerja). Setelah semuanya diketahui, kemudian ditentukan sistem dan proses untuk memenuhi kebutuhan itu.
Secara rinci komponen-komponen yang terkait dengan mutu pendidikan adalah:
(1) Peserta didik, dalam hal ini kesiapan dan motivasi belajarnya;
(2) Guru/ Dosen, yakni kemampuan profesional, moral kerjanya (kemampuan
personal), dan kerja samanya (kemampuan sosial);
(3) Kurikulum, menyangkut relevansi konten/ isi dan operasio- nalisasi proses
pembelajarannya;
(4) Dana, sarana, dan prasarana, meliputi kecukupan dan kefektifan dalam
mendukung proses pembelajaran; dan
(5) Masyarakat (orang tua, pengguna lulusan, dan lembaga pendidikan di
atasnya), yakni partisipasinya dalam pengembangan program-program
pendidikan di sekolah/ perguruan tinggi. Mutu komponen-komponen
tersebut di atas menjadi fokus perhatian kepala sekolah/ pimpinan lembaga
pendidikan (Ditjen Dikdasmen Depdikbud, 1998).
Tolok ukur keberhasilan lembaga pendidikan dengan model MMT dilihat dari tingkat kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Sekolah/ perguruan tinggi dikatakan berhasil jika mampu memberikan palayanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat dari jenis pelanggannya, maka sekolah/ PT dikatakan berhasil jika:
(1) Peserta didik puas dengan pelayanan sekolah/ PT antara lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan perlakuan guru atau pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah/ PT dan sebagainya. Pendeknya, siswa menikmati situasi studi.
(2) Orang tua peserta didik puas dengan pelayanan terhadap anaknaya ataupun pelayanan keada orang tua, misalnya puas karena menerima laporaan aperiodik tentang perkembangan peserta didik ataupun program-program sekolah/ PT.
(3) Pihak pemakai/ penerima lulusan (PT, industri, masyarakat) puas karena menerima lulusan dengan kualitas yanag sesuai dengan harapan.
(4) Guru/ dosen dan karyawan puas dengan pelayanan sekolah/ PT, misalnya pembagian kerja, hubungan antarguru/ karyawan/ pimpinan, kesejahteraan (gaji/ honorarium), dan sebagainya.
Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam menerapkan MMT di lembaga pendidikan adalah:
(1) Mengubah pola pikir dari sekolah sebagai unit produksi menjadi layanan jasa. Perubahan menuntut pimpinan, guru, dan seluruh staf di sekolah/ PT untuk memperlakukan pesertadidik, orang tua, kalangan PT, industri, dan masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayani. Sekolah melayani mereka dan bukan sebnaliknya mereka yang harus ikut kemauan sekolah.
(2) Fokus perhatian diletakkan pada proses secara sistemik. Misalnya ada kejadian kejadian peserta didik melakuakan pelanggaran, maka harus dianakisis prosesnya sevara sistemik dan bukan sekedar menyalahkan peserta didik. Pemecahan masalah juga harus difokuskan pada perbaikan sistemnya.
(3) Pemikiran jangka panjang. Artinya, suatu program/ kegiatan bukan hanya ditujukan untuk kepentingan sesaat tetapi untuk jangka panjang. Misalnya, pemecahan masalah pelanggaran disiplin oleh peserta didik, bukan diarahklan auntuk membuat peserta didik yang melanggar tersebut menjadi disiplin, tetapi agar peserta didik yang lain juga tidak melakukan pelanggaran.
(4) Komitmen pada mutu. Jadi sekolah/ PT harus selalu mengupayakan peningkatan mutu, yakni kepuasan pelanggan, baik pelanggan intenral maupun eksternal.
(5) Mementingkan pengembangan sumber daya manusia. Artinya, setiap program harus disertai dengan upaya peningkatan kualitas SDM yang melaksanakannya (Ditjen Dikdasmen Depdikbud, 1998).
Untuk melaksanakan sistem tersebut diperlukan partisipasi semua pihak yang terkait terutama semua unsur pengelola. Ketiga inti manajemen tersebut harus dituangkan dalam suatu rencana strategis lembaga pendidikan sebagai penuntun kepada penampilan kinerja lembaga pendidikan secara memuaskan. Jika langkah-langkah dalam menerapkan MMT dalam pendidikan tersebut di atas dapat dilaksanakan dengan baik oleh semua komponen pendidikan terkait, maka harapan untuk menjadikan lembaga pendidikan memiliki keunggulan kompetifi dan komparatif insya’Allah akan menjadi kenyataan.

6. Penutup
Mengakhiri pembicaraan mengenai urgensi strategi manajemen pendidikan dalam rangka menuju keunggulan kompetitif dan komparatif, perlu dikemukakan bahwa menghadapi tantangan dunia pendidikan yang semakin kompleks pada era global, maka model Manajemen Mutu Terpadu (MMT) dapat menjadi alternatif yang baik untuk diterapkan dalam pendidikan di Indonesia. Namun, betapa pun strategi manajemen pendidikan MMT yang secara teoretik sangat prospektif sesuai dengan era global dan iklim reformasi, tentu saja semua terpulang kepada para pelaku pendidikan. Dalam hal ini terutama kemauan baik dan kebijakan pimpinan sekolah/ PT. Sebab, MMT inti keberhasilannya terletak pada etos kerja dan sikap pimpinan sekolah/ PT.
Demikianlah, semoga bermanfaat memperkaya wacana pemikiran kita.

Daftar Pustaka
Al-Ma’ruf, Ali Imron. “Televisi dan Guru Masa Kini” dalam Tabloit Citra, Edisi 3-9
Januari 1994.

_____________. 2001. “Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi untuk
Memenangkan Masa Depan: Sebuah Alternatif”. Makalah Seminar Nasional
tentang Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Tahun 2000
Diselenggarakan oleh FKIP UMS tgl. 27 Januari 2001 di Hotel Quality Solo.

Arnove, R.A. 1982. “Comparative Education and World Syatems Analysis” dalam P.G.
Albach et al (Ed.). Comparative Education. New York: Macmillan Publishing
Co. Inc.

Darmodihardjo, D. 1980. Tuntutan Kualitas Tenaga Kependidikan. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah Depdikbud. 1998. Panduan
Manajemen Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Joni, Raka, T. 1984. Pendekatan Kemampuan dalam Pendidikan Pra-Jabatan Tenaga
Kependidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kartono, Kartini. 1991. Quo Vadis Tujuan Pendidikan? Harus Sinkron dengan Tujuan
Manusia. Bandung: Mandar Maju.

Sarwani, Muhammad. 1997. “Manajer Madya: Rasio Biaya Tinggi” dalam Bisnis
Indonesia, Jakarta, 19 Juni 1997.

Surachmad, Winarno. 1988. “Pembunuhan Anak Kandung” dalam Tempo Edisi 10
Tahun XVIII.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1987. Menghadapi Tantangan Masa Depan. Jakarta:
Gramedia.

Sutopo, H.B. 1988. “Pengembangan Budaya Daerah sebagai Wadah Pengembangan
Pendidikan”. Makalah Seminar Regional Pembangunan Budaya Daerah sebagai
Wawasan Pembangunan, Fakultas Sastra UNS, 18 Juli 1988.

Sopater, Sularso. 1998. Pembelajaran Memasuki Era Kesejagatan. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

________________________
*) Disajikan dalam Seminar Nasional “Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan dalam Menyongsong Era Global: Tantangan dan Prospek” pada tanggal 21 Maret 2009 dalam rangka Dies Natalis ke-41 Univet Bantara Sukoharjo.

oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar