Selasa, 26 April 2011

CITRA PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA:

CITRA PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA:
PERSPEKTIF GENDER *)
Oleh Ali Imron Al-Ma'ruf

1. Prawacana
Membicarakan masalah perempuan memang tidak pernah membosankan. Sejak dulu hingga kini, mereka yang tergolong orang tua, setengah baya, terlebih kawula muda, sangat dan selalu antusias berbincang tentang topik perempuan. Masalah perempuan seolah-olah tidak ada habisnya dibicarakan orang baik di negara maju yang sudah memegang asas persamaan hak laki-laki dan perempuan maupun di negara-negara berkembang yang sedang ramai menggulirkan issu gender di tengah kehidupan masyarakat. Termasuk di negara-negara yang masyarakatnya religius dan memegang teguh nilai-nilai agama, orang tak henti-hentinya membahas perempuan.
Perempuan sering berada pada posisi yang tidak menguntungkan dalam masyarakat yang memiliki budaya patriarki. Seolah sudah menjadi mitos, bahwa kaum perempuan pada umumnya tertinggal di sektor publik, terbelakang, dan ada kecenderungan wawasannya sempit atau terbatas. Ada kesan perempuan merupakan warga kelas dua (second-class, second sex), menjadi kalangan inferior, sulit menjadi superior. Pada gilirannya kondisi demikian sering menimbulkan tindak kekerasan termasuk di dalamnya pelecehan seksual yang sangat merugikan kaum perempuan.
Dalam realitas seperti itu, Peter Drucker dalam The New Realities menyatakan, bahwa zaman telah berubah dan menggulirkan realitas-realitas baru yang mengajukan tuntutan-tuntutan lain dan baru pula. Dalam hal ini, dituntut sikap pragmatis yang luar biasa (dalam Adhitama, 2000: 12). Di bidang media massa misalnya, harus kita sadari bahwa masyarakat pembaca/ penonton perempuan merupakan kekuatan ekonomi potensial yang harus diperhitungkan dalam muatan media massa. Perempuan juga memiliki pengaruh besar dalam penyebaran makna informasi dan edukasi yang disampaikan media massa. Oleh karena itu, berbicara media massa tidak dapat mengabaikan eksistensi dan ‘makna’ perempuan.
Sayangnya, perempuan yang potensial itu jarang masuk hitungan dalam media massa, kecuali untuk maksud-maksud komersial. Atau, dengan kata lain perempuan sering terjebak dan menjadi korban kapitalisme modern. Kita sering melihat banyak muatan media massa baik cetak maupun elektronik yang sifatnya melecehkan perempuan, baik sengaja maupun tidak. Kasus ‘goyang ngebornya Inul’ misalnya, adalah fakta terhangat. Namun, itulah cermin sikap laki-laki pada umumnya. Lacurnya, banyak kaum perempuan yang bersedia dilecehkan –atau ‘melecehkan diri’--, seperti kasus majalah Matra dan Populer yang dituduh memuat gambar-gambar perempuan porno. Kasus-kasus semacam itu tidak akan terjadi seandainya perempuan mempertahankan harga dirinya. Bukankah tidak pernah digegerkan oleh kasus foto laki-laki porno?
Berangkat dari realitas itulah, maka mewacanakan gender dalam media massa merupakan even yang tak pernah membosankan dan tak pernah kering. Permasalahannya adalah mengapa perempuan dalam media massa sering menjadi objek ketimbang subjek? Bagaimana menjadikan perempuan memiliki kekuatan dahsyat sebagai ‘pemeran kunci’ sebagaimana potensinya yang luar biasa dalam media massa, sehingga perempuan tidak lagi menjadi subordinat laki-laki di berbagai bidang.

2. Sedikit tentang Gender
Pada dasarnya perbedaan antara pria dengan wanita dapat diwakili oleh dua konsep, yakni jenis kelamin dan gender. Oleh karena itu, untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik, terutama pada perbedaan fungsi reproduksi. Adapun gender merupakan konstruksi sosiokultural yang hidup di masyarakat. Pada dasarnya gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin.
Bagaimanapun gender memang berkaitan dengan jenis kelamin, tetapi tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak dijumpai dalam masyarakat. Pada umumnya, jenis kelamin pria berhubungan dengan gender maskulin, sedangkan wanita berhubungan dengan gender feminin. Akan tetapi, hubungan itu tidakmerupakan korelasi absolut (Rogers, 1980).
Konsep jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dan bersifat kodrati yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Pendek kata, jenis kelamin berkaitan erat dengan fungsi reproduksi. Adapun konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Fakih, 1996: 7-8), bahkan seolah-olah telah menjadi “mitos”. Misalnya, bahwa wanita itu dikenal lemah lembut, cantik, sering mengedepankan perasaan (irasional, emosional), pemalu, setia, dan keibuan. Sedangkan pria dianggap kuat, gagah, sering mengedepankan akal (rasional), agresif, tidak setia, jantan dan perkasa.
Ciri dari sifat manusia laki-laki dan perempuan itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada pria yang emosional, lemah lembut, pemalu, setia, keibuan, di pihak lain ada juga wanita yang kuat, rasional, agresif, tidak setia, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke tempat lain. Misalnya, perubahan dapat terjadi dari kelas tertentu ke kelas masyarakat yang berbeda. Pada etnis tertentu, wanita kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan dengan kaum pria.
Ditegaskan oleh Gailey (1987), dari kacamata sosiologis, gender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu. Walaupun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal, yakni: (1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin, dan (2) Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat.
Dengan demikian, semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat wanita dan pria, yang dapat berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya, dan berbeda dari suatu kelas ke kelas masyarakat lainnya, itulah konsep gender.
Masalah yang sering timbul dalam masyarakat adalah adanya kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang seks dan gender. Dewasa ini ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, yakni apa yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial dan kultural–justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis dari Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dinamakan sebagai ‘kodrat wanita’ oleh masyarakat adalah konstruksi sosial dan kultural atau gender. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap ‘kodrat wanita’. Padahal realitasnya, bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Karena jenis pekerjaan itu dapat dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai ‘kodrat wanita’ atau ‘takdir Tuhan atas wanita’ dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya adalah gender.
Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa agama Islam mengangkat dan meningkatkan martabat perempuan. Islam memuliakan manusia dan menghargai manusia sebagai makhluk yang utuh, yang tidak dinilai sekedar dari fisik. Seperti halnya laki-laki, perempuan memiliki tugas-tugas kemanusiaan, tanggung jawab pribadi dan sosial. Hanya saja keterlibatan perempuan dalam publik jangan sampai pada titik ekstrem sehingga perempuan tidak mau lagi mengemban tugas reproduksi yang khas keperempuanan.
Adalah pemahaman yang salah bahwa peran domestik perempuan itu rendah dan tidak bernilai. Dalam konteks ini, Anshori dkk. (1997: 6) menyatakan, bahwa sejauh apa pun peran perempuan dalam sektor publik, maka sejauh itu pula peran keibuan dibutuhkan oleh keluarganya. Marwah D. Ibrahim (1994: xvii) menganalogikan laki-laki dan perempuan itu sebagai dua orbit yang berbeda. Kondisi dasar, baik bagi kebahagiaan laki-laki dan perempuan adalah bahwa masing-masing harus berarak pada orbitnya sendiri. Kebebasan dan persamaan akan bermanfaat selama tidak ada dari keduanya meninggalkan orbitnya yang alami. Penentangan terhadap aturan yang alami itulah yang sering menyebabkan kekacauan dalam masyarakat.
Berdasarkan pemahaman gender di atas, kiranya kita akan dapat melihat secara objektif mengenai perempuan dalam media massa.

3. Latar Historis Bias Gender
Bias gender sudah terjadi jauh sebelum agama Nashrani dan Islam datang. Aristoteles (384-322 S.M.), filsuf dan intelektual terbesar pada zaman Yunani Kuna, berpendapat bahwa ‘perempuan adalah laki-laki yang tidak lengkap’. Pendapat ini dapat dihubungkan dengan istilah famulus (Latin) atau family (Inggris), yang mula-mula berarti ‘budak domestik’. Famila berarti sejumlah budak yang dimiliki seorang laki-laki, termasuk di dalamnya anak-anak dan istri. Perempuan dikuasai oleh laki-laki karena jiwanya dianggap tidak sempurna (Darsiti-Soeratman, 1991: 4).
Bahkan para ahli filsafat abad XVIII dan XIX antara lain Emmanuel Kant (17224-1804), muridnya Fichte (1762-1814) dan Schopenhauer (1788-1860) menganggap perempuan lebih lemah daripada laki-laki, karena itu wajar jika mereka di rumah. Barulah Mill (1806-1873), pemikir Inggis yang liberal, menyatakan bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Dalam kebebasaan mengembangkan bakat, perempuan memilih rumah tangga (sektor domestik) dan laki-laki memilih sektor publik atau profesi. Terlebih dalam budaya masyarakat Jawa yang patriarki, terlihat sekali kaum perempuan menjadi warga kelas dua. Munculnya istilah perempuan sebagai kanca wingking, yang aktivitasnya di sektor domestik, yang ruang geraknya terbatas ”dari dapur ke sumur, dari sumur ke kasur, darti kasur ke sumur”, begitu seterusnya; lalu perempuan itu swarga nunut, neraka katut, merupakan bukti akan subordinat perempuan terhadap laki-laki dalam budaya masyarakat Jawa.
Mitos perempuan sebagai kaum inferior baru mulai goyah ketika Montagu (1971) menyatakan bahwa sifat-sifat psikologis dan sosial perempuan membuktikan bahwa perempuan lebih unggul daripada laki-laki. Ada fakta pula yang membuktikan bahwa perempuan adalah organisme yang secara biologis lebih unggul, dalam arti unggul dalam menikmati nilai kelangsungan hidup (survival) yang lebih tinggi daripada laki-laki. Fakta ini sudah selayaknya menggugurkan mitos inferioritas fisik perempuan terhadap laki-laki.
Dewasa ini kaum perempuan sudah jauh berbeda. Mereka dituntut secara aktif dalam pembangunan nasional. Mereka diberi kesempatan untuk mendapat kesempatan untuk mewujudkan potensi-potensinya secara optimal. Namun demikian masih cukup banyak kaum perempuan yang belum menyadari akan perannya yang inferior tadi. Oleh karena itu, perlu ditekankan adanya konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi. Konstruksi merupakan susunan realitas objektif yang telah diterima dan menjadi konvensi umum, meskipun dalam proses konstruksi itu tersirat dinamika sosial. Dekonstruksi terjadi pada saat keabsahan realitas objektif kehidupan perempuan dipertanyakan kembali yang kemudian memperlihatkan praktik-praktik baru. Dekonstruksi ini kemudian manghasilkan proses rekonstruksi, yang merupakan proses rekonseptualisasi dan redefinisi perempuan (Abdullah (Ed.), 1997: 5). Kajian ini menekankan pada proses-proses tersebut baik pada level individu (laki-laki dan peremuan) maupun level sistem (konteks kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik) yang membentuk wacana dalam mempengaruhi ketiga proses tersebut.

4. Citra Perempuan dalam Media Massa
Pada beberapa dekade terakhir sejarah cukup banyak menorehkan tinta emas bagi prestasi kaum perempuan, baik nasional maupun internasional. Baik di bidang sains, ekonomi, sosial, budaya, dan politik, perempuan sudah mampu menyejajarkan dirinya dengan laki-laki. Bahkan, dalam beberapa bidang atau profesi tertentu perempuan memiliki keunggulan spesifik yang terasa pas bagi perempuan, seperti public relation, sekretaris, presenter, penyiar, MC, foto model, peragawati, guru, dan sebagainya. Sungguh hal ini sangat menggembirakan kita.
Sayang, di sisi lain, kini sebagian kaum perempuan justru mengalami pembodohan yang kondisinya tidak lebih baik ketimbang pada masa Kartini. Perempuan terlalu menuntut dan memaksakan diri untuk menduduki posisi-posisi dan memainkan peran-peran yang secara etika justru tidak lebih mengangkat martabat perempuan. Dengan dalih penyetaraan gender, mereka mengibarkan bendera kebebasan.
Memang dalam beberapa hal perempuan memiliki pilihan hidup yang lebih terbatas ketimbang laki-laki, padahal mereka memiliki keinginan untuk berkarya dalam sebuah sistem yang luas. Kompetisi yang semakin ketat dan berbagai kebijakan yang terkesan mendeskreditkan perempuan, --karena masyarakat kita masih patriarki-- membuat sebagian perempuan tidak mampu mencapai idealitas ini, sehingga mendorong perempuan “terpaksa” mencari jalan pintas yang lebih mudah. Dunia publik yang menawarkan popularitas dan uang akhirnya menjadi pilihan hidup yang meninabobokannya. Sementara itu, dunia media massa masih terkesan patriarki terlihat dari mayoritas awaknya adalah laki-laki, --seperti: reporter, fotografer, editor, lay-out man, kolumnis, dan dewan redaksi--, memberikan porsi peran yang kurang seimbang kepada perempuan. Sehingga, dalam berbagai keterlibatannya, perempuan dijumpai dalam peran-peran yang kurang menguntungkan, tersubordinasi, dan cenderung seksual-eksploitatif.
Sangatlah mudah kita jumpai dalam koran, majalah atau televisi, berita atau gambar yang secara gamblang menyampaikan pesan-pesan seksual lewat perempuan cantik nan seksi dengan segala daya tarik erotisnya. Berita perkosaan, penganiayaan, perzinaan, perselingkuhan, aborsi, semuanya memberi citra seksual yang tak kepalang tanggung. Lalu, berita tentang salon kecantikan, sanggar senam kebugaran atau body language, atau rubrik seksologi/ konsektasi, semua merupakan ulasan vulgar tentang seks yang dibungkus dengan kata konsultasi. Bahkan, akhir-akhir ini di sebuah televisi swasta muncul tayangan ‘Bantal’ yang khusus berbicara seputar seks dan permasalahannya dengan menghadirkan pelakunya langsung dan tanpa malu-malu berbicara blak-blakan. Berita tentang perempuan dan seks seolah mendapat porsi yang sangat besar dalam media massa.
Di hadapan publik, kembali perempuan akan tampil membawakan produk kapitalisme dengan segala macam pesan sponsor yang melekat padanya. Dunia kapiltalis dengan tangan terbuka menyambut perempuan-perempuan semacam itu dan memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya keuntungan bisnis melalui hiburan dan iklan.
Inul dengan ‘goyang ngebornya’ yang menghebohkan itu adalah contoh kasus yang paling hangat. Goyang ngebor yang sejak awal mula sudah membuat kalangan alim ulama di Jawa Timur kebakaran jenggot itu sampai mendorong Majlis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur terpaksa mengeluarkan fatwa (meskipun tak digubris Inul) sehingga kini muncul plesetan MUI baru: Majlis Urusan Inul. Toh Inul Daratista tetap tak bergeming, tidak merasa malu, bahkan jalan terus. Mengapa? Sekali lagi, karena para entertainer atau pengusaha hiburan menangkap Inul sebagai ‘tambang emas’ yang perlu digali terus. Sehingga, sangat terkesan media massa pun mem-back up Inul ketika Rhoma Irama (terlepas dari cara Rhoma Iama dalam menegur Inul yang mungkin kurang tepat) mencoba menegur penampilan ‘erotisnya’. Di sinilah media massa telah menjadi tangan panjang kapitalis yang secara sadar atau tidak membawa Inul sebagai ‘objek’ eksploitasi perempuan demi menambang rupiah, tanpa mempedulikan masalah moral atau etika. “Itu bukan urusan kami”, demikian kira-kira pikiran mereka.
Meskipun pro-kontra tentang goyang ngebornya terus bergulir karena dianggap oleh sebagian para pemerhati moral religius dan pendidik (yang direpresentasikan oleh MUI, tokoh masyarakat, pendidik, dan Rhoma Irama) sebagai tontonan erotis yang dapat menimbulkan daya rangsang seksual dan dapat meracuni nurani yang bermuara pada dominasi nafsu hewani (seksual), toh Inul tetap jalan terus. ‘Goyang ngebor is my life strategy’, katanya andaikata Inul dapat berbahasa Inggris. ‘Goyang ngebor adalah bagian dari hidup saya’ kata Inul menanggapi fatwa MUI waktu itu dengan enteng.
Menurut Marwah D. Ibrahim (1994: 151-152), ada beberapa kemungkinan media massa kita memberikan porsi yang besar bagi penayangan berkonotasi seksual yang tidak pernah lepas dari sosok perempuan, di antaranya:
(1) Di negara yang relatif stabil, berita politik cenderung tidak terlalu menarik.
(2) Di negara yang kreativitas wartawannya terpasung oleh perangkat aturan penguasa, biasanya wartawan cenderung mengalihkan berita ke arah sensasi seksual dan sadistis yang dalam banyak hal dinilai lebih aman dan menarik.
(3) Boleh jadi kondisi masyarakat memang demikian adanya, sehingga apa yang ditampilkan adalah sungguh-sungguh menggambarkan situasi yang sebenarnya. Atau, media massa memang sengaja menyulut terjadinya berbagai kegiatan kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat. Dengan mudah kita akan menjumpai di majalah atau tabloid dan televisi kita berbagai macam film, sinetron, berita, dan iklan yang di dalamnya terdapat perempuan-perempuan yang dengan murahnya memamerkan tubuhnya di hadapan publik.
(4) Berita seksuaal dipakai sebagai media untuk membuat laku media massa. Media massa telah menjadi bagian dari kapitalisme dan penyulut konsumerisme. Media telah hanyut dalam meknisme pasar yang tidak lagi memperhatikan norma dan etika. Pembendaan manusia kian nyata, dan seksualitas dipandang sebagai komoditi.
(5) Menutupi kemampuan pers yang masih kurang dalam hal menggali sesuatu yang lebih berarti dan lebih mendalam secara profesional.
Memang media massa sempat menghembuskan kegelisahan kaum perempuan tentang tayangan iklan di televisi. Mayoritas iklan mengeksploitasi tubuh perempuan. Anehnya, perempuan-perempuan tersebut tidak pernah merasa melakukan dosa bagi sesama kaumnya (Anshori, 1997: 9). Selanjutnya, perempuan telah terhegemoni oleh kepentingan bisnis dan seks yang sangat maskulin. Akibat terbiasa untuk dieksploitasi, perempuan termanjakan melalui dunia ‘glamour’ yang sebenarnya tidak lebih memberikan kebebasan yang lebih besar dibandingkan dengan peran-peran domestik.
Eksploitasi bisnis atas perempuan tidak pernah memunculkan pemberontakan yang berarti dari para perempuan pelaku, tidak ada revolusi radikal bahkan keluhan kecil-kecilan pun jarang terdengar dari mereka. Suara-suara lantang justru datang dari luar, menyuarakan proses pembodohan terhadap perempuan. Hal ini terjadi, mungkin karena mereka merasa memperoleh imbalan yang sepadan dengan pengorbanan yang telah mereka berikan (Mahmudah dalam Sumjati As., 2001: 159).
Jika kita pandang lebih jauh, maka dalam praktik-praktik semacam itu perempuan justru semakin direndahkan, bukan diangkat martabatnya. Ia menjadi benda mati yang dengan mudah diketahui besar kecil ukurannya (sepatu, pakaian, bahkan hal yang sifatnya privasi sekali pun). Perempuan-perempuan macam ini tak ubahnya seperti benda antik yang dapat dipandang, dinikmati, disentuh, dan seterusnya. Harkat kemanusiaannya telah terabaikan, telah tercampakkan. Jika kemanusiaan telah bergeser, maka yang ada tinggal kebinatangan, kekerasan, dan penindasan. Perempuan dihargai sebatas apa yang dapat ditampilkannya, apa yang dapat diperlihatkannya (fisik), bukan lagi pada sikap, moral, intelektualitas, dan kemanusiannya sebagai pribadi dan sosial.
Dengan demikian, yang terjadi sebenarnya adalah kekerasan yang dilakukan secara halus, tersamar, di balik jargon-jargon emansipasi, kebebasan kesetaraan, dan kemerdekaan ekonomi. Inilah bentuk kekerasan terselubung dengan memanjakan perempuan, dengan tidak memunculkan kekerasan lewat fisik, karena kekerasan fisik –termasuk seks—telah sering mendapat sorotan dan simpati dari berbagai kalangan. Hal ini berbeda dengan penindasan dan pembodohan dalam media massa yang mengeksploitasi potensi seksual perempuan, yang ‘seolah-olah’ diterima dengan senang hati oleh berbagai pihak.
Kini, cukup banyak komunitas perempuan yang merasa nyaman dalam kondisi ketimpangan ini, dalam struktur kebudayaan yang di dalamnya kental antara relasi laki-laki dan perempuan. Mereka merasa tidak tertindas dalam struktur dan sistem yang sebenarnya menindas dirinya. Mereka merasa biasa saja berposisi sebagai objek, bukan subjek. Karena itu, yang terjadi kemudian adalah hegemoni laki-laki (struktur atau sistem) atas perempuan, bukan dominasi (Anshori, 1999: vi). Sungguh, sebuah kondisi bias gender yang sangat memprihatinkan di tengah genderang perjuangan gender.
.
5. Mengangkat Eksistensi Perempuan dalam Media Massa
Media massa, baik cetak maupun elektronik, memiliki beberapa fungsi, yakni: (1) menyiarkan informasi (to inform); (2) mendidik (to educate); (3) menghibur (to entertaint); (4) mempengaruhi (to influence); (5) membimbing (to guide), dan (6) mengritik (to criticise) (Effendi, 1986: 94-95). Dari enam fungsi tersebut tentu saja fungsi pertama menyiarkan informasi (to inform) merupakan fungsi primer (utama), sedangkan fungsi lima lainnya bersifat sekunder (tambahan). Sementara itu, dampak yang dapat ditimbulkan oleh media massa sebagai media komunikasi sangat luas, yang kadarnya dapat diklasifikasi menjadi tiga yakni kognitif (menjadi tahu dan meningkat intelektualitasnya), afektif (sikap dan perasaan senang, terharu, sedih, marah, dan lain-lain.), dan behavioral (perilaku, tindakan). Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa media massa merupakan salah satu bentuk komunikasi modern yang besar perannya dalam kehidupan masyarakat.
Media massa banyak bergayut dengan masalah kemanusiaan yang sangat mendasar, sehingga media massa berhasil membentuk gaya hidup tertentu. Mungkin media massa sekadar menampilkan realitas kehidupan masyarakat. Namun, penonjolan hal-hal yang sifatnya kurang etis dan cenderung bernuansa seksual itu berpengaruh besar terhadap masyarakat. Padahal, masyarakat lebih mudah menerima pengaruh negatif media massa ketimbang yang positif. Masyarakat mendapat legalisasi bahkan justifikasi dari media massa atas berbagai perilakunya yang mungkin permissif.. Sementara potensi edukatifnya boleh dikatakan gagal diperankannya.
Untuk mengangkat citra perempuan dalam media massa, maka ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan, antara lain:
(1) Perempuan harus dapat mengakses informasi sebanyak mungkin untuk menentukan sikap menerima atau menolak berbagai keterlibatan perempuan dalam media massa.
(2) Perlunya pemberitaan yang lebih selektif dalam penyiaran atau penayangan masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan, agar pemberitaan atau penayangan perempuan bernilai positif bagi kaum perempuan dan masyarakat.
(3) Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi RI c.q KPI bekerja sama dengan LSM perlu memantau dan jika perlu menindak tegas berbagai pelanggran etika moral yang dilakukan oleh media massa.
(4) Kaum perempuan harus dapat menempatkan dirinya pada posisi yang sewajarnya, tidak terjebak atau ‘menjebakkan diri’ pada eksploitasi seksual, dengan menjaga kehormatannya, yang berarti pula menjaga citra kaum perempuan.
(5) Kaum perempuan perlu meningkatkan kemampuan di bidang media massa agar dapat menjadi superior dan menduduki posisi kunci, tidak hanya inferior, sehingga memiliki kewenangan dan kekuatan (power) untuk mengatur porsi berita tentang masalah perempuan.

6. Purna Wacana
Mengakhiri pembahasan tentang perempuan dalam media massa ini, kiranya patut dikemukakan bahwa perempuan memiliki kesempatan besar dalam mengembangkan kreativitasnya untuk berkarya di bidang media massa. Hanya, tentu saja perempuan harus memiliki kemampuan yang sejajar dengan laki-laki sehingga dapat menduduki posisi kunci sebagai polecy maker atau decition maker dalam industri media massa. Dengan posisi kunci tersebut, perempuan dapat mengatur pemberitaan atau penayangan tentang masalah perempuan dan seksual secara proporsional dan memberikan pencerhaan bagi upaya penyetaraan gender.
Jika perempuan terjun ke dunia media massa harus pandai-pandai menyeleksi peran apa yang sebaiknya dimainkan, baik sebagai foto model, model sampul, presenter, maupun artis, dan sebagainya. Yang penting adalah perempuan jangan sampai terjebak dalam eksploitasi tubuh dan sensualitas. Hal ini agar perempuan dalam media massa dapat menjaga citra positif kaum perempuan.


Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan (Ed.). 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adhitama, Toeti. “Perempuan dalam Media Massa” dalam Siregar, Ashadi dkk.
(Ed.). 2000. Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan.
Yogyakarta: LP3Y.


Anshori, Dadang S. (Ed.). 1997. Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah
atas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.

Darsiti-Soeratman. 1991. “Wanita Indonesia: Dulu, Kini, dan Mendatang” Pidato
Ilmiah pada Pembukaan Kuliah Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta tanggal 2 September 1991.

Effendi, Onong. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remadja Karya.

Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Ibrahim, Marwah Daud. 1994. Teknologi, Emansipasi, dan Transendensi: Wacana
Peradaban dengan Visi Islam. Bandung: Mizan.

Sumjati As. 2001. Manusia dan Dinamika Budaya dari Kekerasan sampai
Baratayuda. Yogyakarta: Fakulatas Sastra UGM dan Bigraf Publishing.

____________________
*) Disajikan dalam Pendidikan Khusus Immawati Dasar (DIKSUSWATIDA) IMM Cabang Sukoharjo tanggal 30 Mei 2003 di Kantor DPD PAN Kota Surakarta.



oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar