Selasa, 26 April 2011

KEARIFAN LOKAL PADA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK


KEARIFAN LOKAL PADA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
SEBAGAI KHASANAH BUDAYA BANGSA *)
Ali Imron Al-Ma’ruf

Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari sempat ‘mengguncang’ jagat sastra Indonesia pada dekade 1980-an. Hal itu tidak terlepas dari eksistensi RDP sebagai salah satu novel Indonesia mutakhir yang memenuhi kriteria sastra literer menurut pandangan Hugh (dalam Aminuddin, 1990: 45). Kriteria itu adalah: (1) relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, imajinasi, dan rekaan yang membentuk kesatuan yang utuh, selaras, serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity); (2) daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).
Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, menurut Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. Oleh karena itu, bahasa karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya nonsastra (Wellek dan Warren, 1989: 15), yakni penuh ambiguitas dan memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional, asosiatif, konotatif, dan mengacu pada teks lain atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya.
Bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada satu hal tertentu, dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pengarangnya.Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme kata-kata. Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, alih kode, dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika karya sastra yang berfungsi untuk mencapai nilai estetik.
Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Style ’gaya bahasa’ membawa muatan makna tertentu. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis di samping maknanya yang netral (Sudjiman, 1995: 15-16). Istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir) menurut Chomsky (dalam Fowler, 1977: 6), identik pula dengan isi dan bentuk dalam style. Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan pengarang melalui gaya bahasanya.
Pemilihan struktur lahir merupakan teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk struktur lahir. Jadi, bentuk struktur lahir tergantung pada kreativitas dan kepribadian pengarang yang dipengaruhi oleh ideologi dan lingkungan sosial budayanya. Style Ahmad Tohari yang agraris, akrab dengan alam dan masyarakat pedesaan, tentu berbeda dengan Ayu Utami yang metropolis.
Sesuai dengan konvensi sastra, menurut Pradopo (2004: 8), gaya bahasa merupakan tanda yang menandai sesuatu Wahana karya sastra adalah bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama (first order semiotics). Dalam karya sastra gaya bahasa itu menjadi sistem tanda tingkat kedua (second order semiotics). Gaya, bagi Junus (1989: 187-188), adalah tanda yang mempunyai makna dan gaya bahasa itu menandai ideologi pengarang. Ada ideologi yang disampaikan penulis jika ia memilih atau menggunakan gaya tertentu dalam karya sastranya.
Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Corak sarana retorika tiap karya sastra sesuai dengan aliran, ideologi, konsepsi estetik, dan gaya bersastra pengarangnya. Oleh karena itu, demikian Junus (1989: xvii), stilistika, studi tentang gaya yang meliputi pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra, merupakan bagian penting bagi ilmu sastra sekaligus bagi studi linguistik.
Pengungkapan kearifan lokal dalam RDP ini bertujuan untuk mengungkapkan dimensi kearifan lokal melalui kajian stilistika dengan pendekatan Semiotik. Hasil kajian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah bagi pemerhati linguistik dan pemerhati sastra sekaligus mengenai dimensi kearifan lokal yang terkandung di dalamnya yang hingga kini relatif jarang dilakukan oleh para linguis dan kritikus sastra.

B. KAJIAN TEORETIS
1. Style dan Stilistika (Stylistics)
Style ‘gaya bahasa’ menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu (Leech & Short, 1984: 10). Tegasnya, style ialah performansi bahasa dalam karya sastra yang unik dan khas dengan memberdayakan segenap potensi bahasa dengan cara mengeksploitasi dan memanipulasinya untuk menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik. Bahasa sastra yang terwujud dalam style telah mengalami deotomatisasi dan defamiliarisasi guna menarik perhatian pembaca. Terjadi foregrounding dalam bahasa karya sastra yang dilakukan sastrawan, dengan melakukan eksplorasi, manipulasi, dan penyimpangan bahasa dalam rangka mencapai efek estetik.
Adapun stilistika (stylistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Abrams, 1979: 165-167; Soediro Satoto, 1995: 36). Jadi, Stilistika (stylistics) adalah ilmu yang mengkaji style yakni wujud performansi bahasa dalam karya (sastra) setelah melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif (figurative language) dan citraan. Style dalam karya sastra berkaitan erat dengan latar sosiohistoris dan ideologi pengarang.

2.Teori Semiotik
Semiotik merupakan disiplin ilmu yang meneliti semua bentuk komunikasi antarmakna yang didasar¬kan pada sistem tanda (Segers, 1978: 14). Dalam pandangan Semiotika, karya sastra merupakan sistem komunikasi tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Peirce (dalam Abrams, 1981: 170) membedakan tiga kelompok tanda: (1) ikon adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang dimak¬sudkannya, misalnya kesamaan lukisan kuda dengan kuda yang dilukiskannya, (2) indeks adalah suatu tanda yang mem¬punyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, misalnya asap merupakan tanda adanya api, dan (3) simbol adalah hubungan antara sesuatu (item) penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat, misalnya putih berarti suci.
Mengutip pendapat Saus¬sure, Barthes menyatakan bahwa semiotik mengacu pada dua istilah kunci, signifier (penanda) dan signified (petan¬da). Penanda adalah imaji bunyi yang bersifat psikis, sedang¬kan petanda adalah konsep. Adapun hubungan antara imaji dengan konsep itulah yang disebut tanda. Barthes menyatakan bahwa dalam mitos seba¬gai sistem semiotik tahap kedua terdapat tiga dimensi, yakni penanda, petanda, dan tanda. Yang disebut tanda dalam sistem pertama --yakni asosiasi total antara konsep dan imajinasi--, hanya menduduki posisi sebagai penanda dalam sistem yang kedua. Bagan sistem tanda dalam Semiotik Barthes.

1. Penanda 2. Petanda
3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
III. TANDA

Pada diagram di atas terdapat dua tataran, yakni tataran sistem tanda pertama dan tataran sistem tanda kedua. Pada tataran sistem tanda pertama, stilistika RDP membawa pembaca ke acuan luar novel RDP. Stilistika RDP menggayut pada acuan referensial seperti konsep Plato (sastra sebagai imitasi realitas). Untuk pemaknaan stilistika RDP, RDP harus didudukkan sebagai kreasi (creatio), seperti konsep mimesis model Aristoteles. Artinya, untuk pemaknaannya, RDP harus didudukkan pada tataran kedua diagram Barthes. Terlihat pada diagram, sistem tanda tataran pertama mencakup: (1) penanda, (2) petanda, dan (3) tanda. Dalam proses selanjutnya, tanda pada tataran pertama menjadi penanda pada tataran kedua, untuk menyampaikan pengenalan kepada apa yang ditandai dalam rangka menciptakan tanda (Al-Ma’ruf, 2007: 92-109). Dalam aplikasi pemaknaan RDP, teori tentang tanda kedua pakar tersebut dimanfaatkan secara simultan.

C. Kearifan Lokal (Local Genius) dalam Ronggeng Dukuh Paruk: Intertekstualitas
dengan Ajaran Islam
Makna karya sastra merupakan formulasi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Mengacu teori Semiotik, karya sastra merupakan sistem komunikasi tanda. Oleh karena itu, apa pun yang tercantum dalam karya sastra merupakan tanda yang mengandung makna di balik ekspresi bahasa,
Berdasarkan pandangan tersebut, maka stilistika Ronggeng Dukuh Paruk dapat dipandang sebagai gejala semiotik atau sebagai tanda. Sebagai tanda, karya sastra mengacu kepada sesuatu di luar dirinya (Riffaterre, 1978: 1). Bahasa sastra yang terformulasi dalam stilistika merupakan "penanda" yang menandai sesuatu, dan sesuatu itu disebut "petanda", yang ditandai oleh "penanda". Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya yakni makna yang bertautan dengan dunia nyata (Chamamah-Soeratno, 1991: 18).
Trilogi novel RDP karya Tohari menampilkan dimensi kearifan lokal Jawa (local genius) di tengah dinamika kehidupan global. Dengan penguasaan dan kekayaan wawasan sosial budaya dan falsafah Jawanya, Tohari secara plastis mengungkapkan berbagai kearifan budaya lokal melalui stilistikanya.
Kearifan budaya lokal (local genius) Jawa yang diekspresikan Tohari melalui stilistika RDP merupakan khazanah budaya bangsa yang kini sudah jarang dibicarakan orang. Bahkan, kearifan lokal tersebut kini banyak dilupakan masyarakat Indonesia terutama generasi muda. Tohari melalui karyanya, RDP, agaknya ingin mengajak pembaca untuk merenungkan kembali nilai-nilai adiluhung yang dimiliki oleh budaya Jawa – dan budaya lain yang masih banyak tersimpan-- meskipun kini masyarakat hidup pada zaman global.
Yang menarik, berdasarkan analisis yang intens, kearifan lokal dalam RDP banyak yang memiliki hubungan intertekstualitas dengan ajaran Islam yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits. Hal ini mudah dipahami mengingat Tohari –seperti yang dikatakannya sendiri— adalah orang Jawa Islam. Oleh karena itu karya sastra yang lahir dari tangannya merupakan refleksi dirinya --sebagai orang Jawa yang beragama Islam-- terhadap lingkungannya. Lebih dari itu, berbagai nilai kearifan lokal yang berbasis budaya Jawa menurut para pengamat budaya memang banyak yang bersumber pada ajaran Islam.
Berdasarkan kajian stilistika RDP dengan pendekatan Semiotik akan diungkapkan dimensi kearifan lokal dalam RDP sebagai berikut.
1. Sikap Arif Menghadapi Orang Khilaf
Salah satu kearifan lokal dalam stilistika RDP adalah sebuah pesan moral agar manusia tidak menyia-nyiakan orang yang sedang terjebak dalam perbuatan salah atau terlena berbuat kesalahan. Dalam hal ini adalah pentingnya bersikap arif dan kasih sayang kepada orang yang sudah terlena/ terlanjur berbuat kesalahan. Data berikut mengilustrasikan hal itu.
(1) Nurani sejarah bisa juga menampakkan diri sebagai falsafah orang-orang bersahaja yang suka berkata, ”Aja dumeh maring wong sing lagi kanggonan luput,.....”. (hlm. 286)

Peribahasa ”Aja dumeh maring wong sing lagi kanggonan luput,.....” yang dapat diartikan “Jangan semena-mena terhadap orang yang (sedang terlanjur) berbuat kesalahan“. Peribahasa tersebut merupakan salah satu kekayaan budaya Jawa yang mungkin tidak dimiliki oleh budaya lain. Peribahasa Jawa tersebut mengandung makna bahwa manusia harus bersikap bijaksana terhadap orang yang pernah berbuat salah atau melanggar norma hukum atau susila. Sebab, tidak ada manusia yang sempurna yang terlepas dari kesalahan atau kekhilafan. Oleh karena itu, wajar jika suatu saat orang terjerumus atau terlena dalam perbuatan yang salah. Orang yang berbuat salah justru perlu ditolong bukan malah disia-siakan terlebih dijelek-jelekkan ibarat ”sudah jatuh tertimpa tangga” lagi. Jangan sampai manusia bersikap sinis terlebih menghina-dina orang yang terlanjur berbuat salah. Orang yang berbuat salah itu sudah bersedih sehingga selayaknya jangan ditambah lagi kesedihannya dengan dihina.
Ungkapan ”Aja dumeh maring wong sing lagi kanggonan luput“ jika dicermati memiliki hubungan interteks dengan hadits Rasulullah Saw. yang berbunyi “An-insaanu mahalul khatha’ wannisyaan“ yang artinya, “Manusia itu tempat salah dan lupa.“ Karena manusia memang diciptakan oleh Allah sebagai mahkluk yang tidak terlepas dari kesalahan dan kealpaan maka wajar jika suatu saat dia berbuat kesalahan atau terpeleset dalam perbuatan salah. Oleh karena itu adalah tugas dan kewajiban orang lain untuk memberikan bimbingan dan dukungan moral agar yang bersangkutan dapat segera bangkit kembali untuk memperbaiki diri. Jadi, jika seseorang mengetahui orang berbuat salah tidak selayaknya dia mempermalukan atau menghinanya, karena siapa tahu suatu saat mungkin dialah yang berbuat salah. Inilah esensi ajaran Islam yang dalam budaya Jawa tercermin dalam ungkapan ”Aja dumeh maring wong sing lagi kanggonan luput.“
Sikap arif menghadapi orang khilaf itu pula agaknya yang mendorong Tohari lebih memilih cara pencerahan mental spiritual masyarakat melalui karya seni dalam hal ini novel dengan caranya yang khas sastra. Berbeda dengan para kyai atau pendeta yang berdakwah dengan cara berkhutbah yang sifatnya kadang-kadang doktrinal dan menggurui, maka melalui novel RDP, Tohari menyampaikan dakwah kulturalnya dengan menyentuh hati nurani, mengelus lembut perasaan, dan menggelitik pemikiran pembaca. Dakwah kultural dalam karya sastra itu menjadi menarik karena wawasan keagamaan itu diungkapkan bukan dengan mengobral ayat suci atau hadits dalam RDP melainkan melalui dialog para tokohnya.
Sikap arif menghadapi orang khilaf itu pula yang memotivasi Tohari mengangkat Srintil, sang ronggeng sekaligus sundal, sebagai tokoh utama dalam RDP. Sebagai seorang santri (Muslim taat) yang santra (melakukan kegiatan nyata dalam menjalankan ajaran Islam (real action), Tohari merasa terpanggil untuk ”membaca” fenomena kehidupan di alam raya termasuk ronggeng sebagai suatu upaya untuk membaca tanda-tanda kekuasaan-Nya pada segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi. Ronggeng termasuk ’segala sesuatu’ yang ada di bumi.
Tohari mendasarkan alasannya pada Q.S. al-Baqarah: 255, Lahuu maa fissamaawaati wamaa fil-ardhi; Mandzalladzii yasyfa’u ’indahuu illaa bi-idznih (“...milik-Nya (Allah)-lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi”, tidak ada yang memberikan pertolongan kecuali dengan seizin-Nya”). Menurut Tohari, ronggeng itu termasuk dalam kategori kata maa (bahasa Arab) dalam ayat tersebut yang berarti ”segala sesuatu”. Jadi, segala sesuatu atau fenomena apa pun dalam kehidupan manusia baik yang bernilai kebajikan maupun bernilai kemaksiatan perlu dikaji guna menemukan tanda-tanda keagungan Allah. Hanya saja yang perlu diperhatikan bahwa ketika mengkaji atau mengamati ronggeng misalnya, manusia harus tetap berpijak pada bismi rabbikalladzii khalaq (”membaca dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”). Jika demikian, maka ketika seseorang menyaksikan gerakan ronggeng yang erotis sekali pun atau membaca novel RDP yang mengekspos tokoh ronggeng sebenarnya dia justru sedang mencari wajah Tuhan dan menemukan bukti atau tanda-tanda kekuasaan Allah.
Keberpihakan Tohari kepada Srintil, ronggeng sang primadona sekaligus sundal –manusia yang dalam pandangan masyarakat umum termasuk sangat hina dan rendah status sosialnya—merupakan wujud realisasi kearifan lokal “aja dumeh” sekaligus pengamalan ajaran Islam yang diyakininya. Dalam hal ini Tohari mengamalkan ayat al-Quran Surat al-’Alaq ayat 1-5 yang berbunyi: ”Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq; khalaqal insaana min ’alaq; iqra’ warabbukal ladzi ’allama bil qalam; ’allamal insaana ma lam ya’lam” (artinya: ”Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (segala sesuatu); yang menciptakan manusia dari segumpal darah; bacalah dan Tuhanmu yang mengajarkan kepadamu (manusia) dengan qalam; mengajarkan kepada manusia sesuatu yang tidak diketahuinya.”).
Ayat tersebut jelas memerintahkan kepada manusia untuk membaca dengan nama Tuhan segala sesuatu baik tekstual (ayat qauliyah) berupa kitab suci al-Quran atau kitab lain maupun fenomena alam semesta (ayat kauniyah) yang ada di muka bumi tanpa harus membuat dikotomi sesuatu yang baik dan buruk. Jika kita mencermati maka segala sesuatu yang ada di muka bumi adalah tanda-tanda kebesaran Allah, termasuk ronggeng yang sekaligus sundal. Dengan memperhatikan fenomena kehidupan ronggeng pun niscaya manusia juga akan dapat menemukan tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga membuat manusia makin dekat kepada Tuhan. Manusia dapat mengambil hikmah atau pelajaran dari berbagai fenomena kehidupan manusia tersebut.
Berdasarkan alasan itu, Tohari sebagai sastrawan santri mengekspos kehidupsn ronggeng yang sarat dengan erotisme dan perilaku mesum. Dalam konteks ini yang diekspos dalam RDP sebenarnya bukan pornografi atau erotisme. Erotisme dalam RDP merupakan pernik-pernik dalam dunia ronggeng yang tak terpisahkan. Jadi, erotisme dan seksualitas bukan merupakan inti cerita melainkan sekedar pelengkap cerita, ibarat garam dalam masakan. Tanpa garam masakan terasa hambar.
Sejalan dengan kearifan menghadapi orang khilaf itu adalah kearifan Tohari dalam menyotroti manusia yang bagaimanapun buruk perilakunya, memiliki peluang untuk bertobat kepada Tuhan. Termasuk manusia yang pernah berbuat dosa besar sekali pun akan diampuni dosanya jika manusia itu mau bertobat dan memperbaiki diri dengan mematuhi ajaran-Nya. Data berikut menyiratkan hal itu.
(2) Dan kemudian Srintil dengan nilai kemanusiaannya sendiri merasa selera agung, meski tanpa sepatah kata jua, membuka pintunya bagi segala manusia dan kepada tiap-tiap jiwa untuk masuk menyelaraskan diri kepadanya. (hlm. 355)

Ungkapan “... selera agung, meski tanpa sepatah kata jua, membuka pintunya bagi segala manusia dan kepada tiap-tiap jiwa untuk masuk menyelaraskan diri kepadanya“ pada data (2) memiliki hubungan intertekstualitas dengan ayat al-Quran (S. al-Fajr: 27-30) sebagai hipogramnya. Ayat al-Quran itu berbunyi: Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fi ’ibaadii wadkhulii jannatii, artinya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang (radhiyah) dan tenang (diridhai-Nya), masuklah ke dalam golongan hamba-Ku (yang Ku-ridhai), dan masuklah ke dalam surga-Ku.“ Jadi, ungkapan pada data (2) di atas agaknya mengandung pesan moral kepada pembaca, siapa pun yang pernah berbuat kesalahan besar sekali pun --termasuk ronggeng yang juga sundal-- untuk kembali ke jalan yang benar yang diridhai Allah agar kelak memperoleh tempat di surga. Allah maha pengampun lagi penyayang kepada hamba-Nya.
Proses kreatif Tohari dipengaruhi oleh kultur Jawa dan santrinya sehingga persoalan sastra dan santri mestinya tidak perlu diperhadapkan. Bahkan, persoalan itu perlu disinergikan. Kesantrian seharusnya justru membuat seorang sastrawan fasih dalam membaca manusia dan kehidupan mereka. Hal itu dapat dimengerti mengingat seortang santri memahami bahwa ada ayat yang mewajibkan manusia untuk membaca ciptaan Tuhan sekaligus milik-Nya yang terhampar di langit dan di bumi. Termasuk di dalamnya kehidupan seorang ronggeng dengan segala perniknya.
Melalui bahasa sebagai medium sastra agaknya Tohari ingin menyampaikan gagasan bahwa dalam bekerja, berkarya seni, berkeluarga, bermasyarakat, atau apa pun yang dilakukan manusia termasuk menolong orang lain, hanya untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Itulah wujud dari pengamalan Tohari terhadap ayat al-Quran bahwa ”Wamaa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduu”. Artinya, ”Dan Aku (Tuhan) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdikan diri kepada-Ku.” Tohari melontarkan gagasan-gagasan sangat mendasar tentang religiositas sebagai wujud pengamalannya atas ajaran Islam secara kaffah, menyeluruh. Inilah esensi dari hakikat takwa yakni beriman kepada Allah dengan segala sifat-Nya dan beramal shalih, berbuat kebajikan bagi umat manusia dan seluruh alam.
Dalam kesempatan Tohari menonton kesenian ronggeng, sang ronggeng menari dengan sensual, dengan tubuh indah dan goyang pinggulnya yang membuat para penonton naik birahi. Ketika itu dua pejabat dan seorang ustadz di sebelahnya menundukkan muka, tidak mau melihat ronggeng tersebut karena menurut mereka, aib menonton hal itu. Namun, Tohari asyik-asyik saja melihat semua itu. Ketika Tohari ditanya, mengapa asyik saja menonton? Tohari menjelaskan bahwa “Mata harus dijaga dari maksiat” itu dalilnya jelas dan tak mengada-ada. Akan tetapi masalahnya ada dalil lain dari al-Quran untuk orang-orang khusus dan yang lain juga. Dalil lain yang juga sama-sama dalam al-Quran berbunyi, “Apa pun yang Kaulihat di situlah wajah Tuhan.” Jadi, menurut Tohari, pada pantat ronggeng pun ada wajah Tuhan (http: annarnellis. blogs.friendster.com/arne/2007/2/ wajah_tuhan_di_html, diakses tanggal 10 Juni 2007). Data berikut ilustrasinya.
(3) Ibuku telah sekian lama terlena dalam krida batin yang naif, kenaifan mana telah melahirkan antara lain ronggeng-ronggeng Dukuh Paruk. Ronggeng sendiri mestinya tiada mengapa bila dia memungkinkan ditata dalam keselarasan agung. Namun ronggeng yang mengembangkan wawasan berahi yang primitif ternyata tidak mendatangkan rahmat kehidupan. (hlm. 394)

Bagi Tohari sebagai sebuah kebudayaan subkultur, kesenian ronggeng sebenarnya sah-sah saja untuk hidup dan dikembangkan asalkan tetap sejalan dengan ajaran Tuhan Yang Mahakuasa. Jika tidak selaras dengan kehendak Tuhan misalnya mengembangkan wawasan berahi yang primitif maka harus diluruskan. Hal ini dimaksudkan agar kesenian bukan menimbulkan madharat melainkan justru mendatangkan manfaat bagi manusia yakni sebagai sarana untuk mendekat kepada-Nya.
Kearifan dalam menghadapi orang khilaf juga ditunjukkan oleh Tohari dalam menutup cerita RDP dengan mengamalkan perintah Allah kepada manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah Allah di muka bumi yakni ”amar ma’ruf nahi munkar” (artinya; ”menyeru kebaikan dan mencegah kejahatan”) dengan cara yang khas sastra. Tohari mengajak pembaca melalui karya seni budaya, novel RDP, untuk tetap bersikap arif, ramah, dan membantu orang-orang yang pernah berbuat kesalahan. Oleh karena itu, Tohari menutup cerita RDP dengan sebuah kalimat transendental yang mendalam maknanya, yakni untuk menyelaraskan diri dengan kehendak Tuhan Sang Khalik.
(4) Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas. (hlm. 395)

Ungkapan ”Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas” pada data (4) agaknya mempunyai hubungan interteks dengan ayat al-Quran yang berbunyi: ”Wamaa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduu” (artinya: ”Dan tidak Aku (Tuhan) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”). Ungkapan Tohari melalui tokoh Rasus dalam menutup RDP itu memiliki makna mendalam. Inilah esensi RDP yang paling mendasar. Di sinilah RDP akhirnya berlabuh dan menemukan muara maknanya yang paling asasi, mendalam, dan menyen¬tuh.

2. Hidup dalam Keserbawajaran
Kearifan lokal yang juga ditampilkan oleh Tohari dalam RDP adalah pandangan ”hidup sebaiknya dalam keserbawajaran, jalan tengah”, dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah sak madya.
(5) Inilah yang dulu kukatakan, dalam hidup segala hal mestilah dilakukan pada batas kewajaran. Karena keselamatan berada di tengah antara dua hal yang saling berlawanan. Jadi keselamatan adalah jalan tengah, atau kewajaran atau keberimbangan. Yang kita saksikan akhir-akhir ini adalah kehidupan yang serba tidak wajar, melampaui batas. Dan kehidupan takkan kembali berimbang sebelum dia mengalami akibat ketidakwajaran itu. (hlm. 238)

Dalam masyarakat Jawa segala sesuatu dalam kehidupan disarankan agar dilakukan dalam batas-batas kewajaran, tidak berlebih-lebihan atau tidak melampaui batas. Dalam melakukan sesuatu baik bekerja, mencari rezeki, bergaul, berpakaian, maupun bermain sebaiknya dilakukan sewajarnya, secukupnya. Dengan berbuat secukupnya, ’sak madya’ (Jawa) itu, niscaya kita akan lebih aman, dan selamat. Sebaliknya apabila manusia melampaui batas atau berbuat ketidakwajaran maka konsekuensinya adalah akan timbulnya akibat yang tidak terduga. Inilah salah satu kearifan lokal Jawa yang sering dilupakan oleh warga masyarakat termasuk masyarakat Jawa masa kini.
Pandangan keserbawajaran atau ’sak madya’ dalam budaya Jawa tersebut agaknya memiliki hubungan intertekstual dengan ajaran Islam ummatan wasathan. Makna ummatan wasathan dalam agama Islam adalah sebuah ajaran yang menganjurkan agar dalam segala aspek kehidupan manusia senantiasa hidup dalam kewajaran, tidak berlebih-lebihan. Hal itu juga memiliki hubungan interteks dengan hadits Rasulullah Saw. sebagai hipogramnya yang berbunyi ”Kuluu wasyrabuu walaa tushrifuu”, artinya ”Makanlah dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan”. Ajaran Rasul itu tidak hanya berlaku dalam hal makan dan minum melainkan memiliki implikasi yang luas dalam bidang kehidupan lain seperti dalam bekerja, berolah raga, berpakaian, dan sebagainya.
Sikap hidup dalam keserbawajaran juga dipertegas lagi oleh Tohari seperti dalam gaya kalimat Antitesis dalam RDP.
(6) ”Jangan tertawa terlalu terbahak-bahak, sebab nanti akan segera menyusul tangis sedih,” demikian sering dikatakan Sakarya kepada anak-cucunya di Dukuh Paruk. (hlm. 184)

Gaya kalimat Antitesis pada data (6) di atas sengaja dimanfaatkan Tohari untuk menunjukkan dua hal yang saling bertentangan tetapi nyata dalam kehidupan manusia. Kata ’tertawa’ dan ’tangis sedih” merupakan dua hal yang bertentangan seperti halnya benar-salah, senang-gembira, gelap-terang, dan sebagainya merupakan pasangan yang selalu ada dalam kehidupan. Manusia dianjurkan dapat bersikap dan bertindak wajar, tidak berlebihan (Jawa: sak madya) agar tidak menghadapi akibat yang tidak diinginkan.
3. Manusia Hidup Menjadi (Tokoh) Wayang dalam Cerita yang Sudah Pakem
Kearifan lokal yang juga menarik dalam RDP adalah bahwa ”manusia hidup menjadi (tokoh) wayang dalam cerita yang sudah pakem”. Artinya, manusia hidup di dunia yang maya ini adalah aktor dan aktris yang sedang memerankan tokoh tertentu seperti tokoh wayang dalam sebuah cerita yang sudah baku (pakem). Kearifan lokal mengenai ”manusia hidup menjadi (tokoh) wayang dalam cerita yang sudah pakem” telah lama hidup dalam budaya masyarakat Jawa. Hal ini dapat dicermati dalam kutipan berikut.
(7) Hidup adalah berperan menjadi wayang atas sebuah cerita yang sudah dipastikan dalam pakem. Dukuh Paruk sepanjang zaman mengajarkan, kehidupan adalah pakem; manusia tinggal menjadi pelaku-pelaku yang bermain atas kehendak dalang. (hlm. 156)
(8) Membela diri dari nasib buruk ketika zaman sudah mengulurkan tangannya adalah sia-sia. Bukan hanya karena Sakarya telah kehilangan keberanian. Tetapi karena dia percaya bahwa keperkasaan zaman mustahil tertandingi oleh kekuatan seorang manusia. (hlm. 242)

Dalam kehidupannya manusia terkadang mengalami nasib baik dan nasib sial seperti roda yang berputar, terkadang di atas terkadang di bawah. Oleh karena itu, jika manusia sedang beruntung, sedang mendapat anugrah atau berkedudukan tinggi jangan sampai lupa diri seolah-olah keberuntungan, ketenaran, dan kedudukannya itu akan abadi. Sebab, manusia pada dasarnya sekadar menjalankan peran tokoh tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, dan tidak pernah tahu apa yang akan diperankannya kemudian. Hal itu dapat dipahami karena kesemuanya itu adalah kehendak (iradah) Tuhan Yang Mahakuasa.
Tegasnya, manusia hidup di dunia dapat dikatakan seperti sedang bermain peran atau menjadi aktor/ aktris di atas panggung sandiwara. Jika dicermati, gagasan itu juga memiliki hubungan intertekstual dengan lirik lagu ”Panggung Sandiwara” yang pernah dipopulerkan oleh Ahmad Albar dengan kelompok bandnya, God Bless pada era 1970-an yang berjudul //Dunia ini panggung sandiwara//. Kadang-kadang manusia memerankan tokoh yang sedang bergembira dan tertawa terbahak-bahak atau sebaliknya memerankan tokoh yang sedang dilanda duka dan menangis sedih.
Jika direnungkan secara kontemplatif, ungkapan ”Hidup adalah berperan menjadi wayang atas sebuah cerita yang sudah dipastikan dalam pakem” lalu dirangkai dengan ”... keperkasaan zaman mustahil tertandingi oleh kekuatan seorang manusia” pada data (7) dan (8) memiliki hubungan intekstualitas dengan ayat al-Quran yang berbunyi: ”Laa haula walaa quwwata illa billaahil ’aliyyil ’azhiim.” (Artinya: ”Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah yang Mahaagung”). Dapat juga berhubungan interteks dengan ayat al-Quran yang berbunyi, ”Innallaaha ’alaa kulli syaiin qadiir” (Artinya: ”Sesungguhnya Allah berkehendak atas segala sesuatu”). Artinya, manusia memang diberi kesempatan untuk berusaha secara optimal dengan segala daya dan kekuatan tetapi Allahlah yang menentukan hasil akhirnya. Singkatnya, manusia berusaha, Tuhanlah yang menentukan hasilnya. Manusia sebagai mahkluk tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya. Segala sesuatu yang terjadi pada manusia tidak terlepas dari kehendak (iradah)-Nya.
Kearifan lokal tentang manusia hidup adalah aktor dan aktris dalam panggung kehidupan itu jika dicermati juga mempunyai hubungan intekstual dengan syair lagu ”Panggung Kehidupan” yang dilantunkan dan dipopulerkan oleh Ahmad Albar, vokalis Group Band God Bless pada era 1970-an. Esensi syair lagu tersebut pada dasarnya sama dengan kearifan lokal pada RDP. Perbedaannya adalah RDP karya Ahmad Tohari menggunakan media ekspresi ”lakon dalam dunia wayang yang sudah pakem” seperti tersurat dalam ungkapan ”Hidup adalah berperan menjadi wayang atas sebuah cerita yang sudah dipastikan dalam pakem”. Adapun syair lagu ”Panggung Kehidupan” karya God Bless menggunakan media ekspresi ”dunia ini panggung sandiwara”. Dalam mengarungi kehidupan, manusia terkadang memerankan tokoh yang berbahagia, bergembira ria, tertawa terbahak-bahak tetapi terkadang memerankan tokoh sedih, menangis.
Kearifan lokal mengenai manusia hidup menjadi tokoh wayang dalam cerita yang sudah pakem juga dipertegas oleh Tohari dalam RDP dalam kutipan berikut.
(9) ”Yang paling perkasa itu yang murbeng dumadi, Mas. Yang telah menentukan kami hidup di Dukuh Paruk ini, yang telah memastikan hidup kami seperti ini. (hlm. 185).

Ungkapan ’murbeng dumadi’ (‘Yang Mahakuasa’) pada data (7) dimanfaatkan oleh Tohari selain memang untuk menciptakan setting budaya Jawa juga membawa muatan makna relegius. Bahwa manusia sebenarnya tidak akan terlepas dari kehendak Tuhan. Manusia tidak akan mungkin melawan kemahakuasaan Tuhan. Artinya, jika manusia telah berusaha kera sekuat tenaga untuk mencapai sesuatu maka hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Ituah makna hakiki ungkapan ”Yang paling perkasa itu yang murbeng dumadi, ...”


4. Eksistensi Manusia Tidak Ditentukan oleh Asal-usulnya
Salah satu kearifan lokal yang menarik dalam RDP adalah eksistensi manusia itu tidak ditentukan oleh asal-usulnya sepertti keturunan siapa, dari mana asalnya, bagaimana latar belakangnya, melainkan lebih pada reputasi, prestasi, dan pembawaannya. Hal itu tersirat dalam bagian cerita RDP berikut ini.
(1) Sorot neon pertama di Dawuan menjadi saksi bahwa yang terjadi pada Srintil adalah sesuatu yang khas Srintil. Latar sejarahnya yang melarat dan udik ibarat beribil. Tahi kambing itu meski busuk dan menjijikkan, namun menyuburkan daun-daun tembakau di tanah gersang. Srintil tidak tercabik-cabik oleh sejarahnya. Sebaliknya, Srintil bangkit membentuk dirinya sendiri dengan sejarah keterbelakangannnya. Hasilnya mulai terpapar di bawah sorot lampu neon itu. Srintil menjadi pusat suasana, menjadi daya tarik suasana dan Srintil duduk menguasai suasana. (hlm. 185)

Tokoh utama RDP, Srintil, meskipun dari namanya terdengar tidak istimewa bahkan terkesan rendah, sebenarnya memiliki makna yang dalam, simbolis dan filosofis. Nama Srintil selain memiliki fungsi sebagai identitas seorang perempuan desa juga memiliki fungsi simbolik. Merujuk teori Saussure (1988: 147; Sudjiman dan Zoest, 1996: 9), Srintil merupakan tanda yang penting artinya dalam komunikasi. Kata ’Srintil’ dalam bahasa Jawa berarti kotoran kambing yang wujudnya kebulat-bulatan berwarna hijau tua kehitam-hitaman dan berbau tidak sedap. Meskipun baunya busuk dan wujudnya menjijikkan, ’srintil’ dapat menjadi pupuk yang mampu menyuburkan tumbuh-tumbuhan di sekitranya di tanah yang gersang sekali pun. Artinya, meskipun kotoran kambing itu wujudnya menjijikkan dan baunya busuk toh srintil tetap dibutuhkan dan dicari oleh manusia. Jadi, nama ’Srintil’ dalam RDP mengandung makna filosofis yang tinggi. Agaknya alasan inilah yang mendorong Tohari menggunakan nama ’Srintil’ bagi tokoh utamanya.
Begitu kuat pesona ronggeng Srintil bagi masyarakat Dukuh Paruk. Sampai-sampai perempuan atau para istri pun bukannya cemburu atau marah melihat suaminya bertayub dan ’menjamahnya’ melainkan justru bangga jika suaminya dapat bertayub, menari dengan Srintil dalam sebuah pentas ronggeng. Mereka bahkan berani menjual apa saja yang menjadi miliknya asal suaminya dapat bertayub dengan Srintil, mencium, dan menjamahnya. Data berikut ilustrasinya.
(2) ”Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan. ”Jangan besar cakap,” kata yang lain. ”Pilihan pertama seoranag ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.” ”Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.” ”Aku yang paling tahu tenaga suamiku, tahu?” ”Tetapi jangan sombong dulu. Aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.” (hlm. 38)

Jelas bahwa nama Srintil sebagai tokoh utama RDP sengaja digunakan Tohari sebagai nama yang memiliki makna simbolik sesuai dengan sifatnya yang khas. Dengan berprofesi sebagai ronggeng, Srintil menjadi duta keperempuanan yang merepresentasikan suara perempuan kelas bawah yang tersia-sia oleh sejarah. Namun demikian, Srintil dibutuhkan banyak orang baik laki-laki maupun perempuan.

5. Musik Tradisional Siter yang Sentimental
Kearifan lokal yang tidak kalah nilainya adalah musik tradisional Siter yang merupakan seni musik khas Jawa yang kini mulai jarang dimainkan orang. Tohari memanfaatkan citraan intelektual untuk mengingatkan pembaca akan genre musik tradisional yang mulai langka dan jarang terdengar namun sebenarnya memiliki daya artistik yang tinggi. Genre musik itu merupakan bagian dari khasanah budaya nasional yang sebenarnya layak dilestarikan karena daya artistiknya yang mampu membawa pendengarnya hanyut dalam pikiran dan perasaannya. Musik itu bahkan mampu membuat pendengarnya terbuai dalam fantasi yang sentimenatl, melakukan introspeksi, melihat ke dalam dirinya sendiri, mengkhayal ke masa-masa lalu pada masa yang paling indah dalam hidupnya.
(1) Jadi, Wirsiter bersama istrinya pergi ke sana kemari menjajakan musik yang memanjakan rasa, yang sendu, dan yang melankolik. Musiknya tidak membuat orang bangkit berjoget, melainkan membuat pendengarnya mengangguk-angguk menatap ke dalam diri atau terbang mengapung bersama khayalan sentimental. (hlm. 130)

Tidak seperti musik-musik modern misalnya musik rock n roll yang menghentak, musik pop yang sering cengeng, jazz dan blues atau musik ndhang dhut yang membuat pendengarnya ingin menari atau berjoget, musik siteran justru memanjakan rasa, membawa pendengarnya terbang melayang dalam alam khayal atau hanyut dalam pikiran dan perasaannya yang sentimental. Sebuah kontradiksi dua genre musik –tradisi dan modern-- yang menggelitik intelektual pembaca.
Dari paparan di atas dapat dikemukakan bahwa RDP mengungkapkan kasus yang unik dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan latar budaya lokal Jawa yang memperkaya pengetahuan masyarakat tentang khasanah budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, RDP memperoleh tempat khas dalam jagat sastra Indonesia. Jika ada anggapan sebagian orang bahwa RDP memikat perhatian karena aspek erotisme dunia ronggeng, sebenarnya hal itu tidak pada tempatnya. Aspek erotisme dalam RDP merupakan realitas yang tidak terpisahkan dari dunia ronggeng, bukan pornografi. Oleh karena itu, unsur erotisme dalam RDP dapat diibaratkan sebagai garam dalam masakan. Tanpa garam masakan rasanya hambar.
Melalui berbagai kearifan lokal dalam RDP, agaknya Tohari ingin menyampaikan gagasan bahwa meskipun kita hidup pada era global yang serba modern dengan teknologi canggih, kita perlu memperkaya wawasan budaya kita tentang kearifan lokal yang ternyata banyak tersimpan dalam budaya bangsa Indonesia yang perlu digali dan dihayati. Dengan cara itu kita akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia modern yang mampu berpikir global namun tetap bertindak dengan karakteristik dan potensi lokal (think globally but act locally). Artinya, meskipun menjalani kehidupan global yang super modern dengan dinamika nilai-nilai kehidupan yang sedang bergeser akibat adanya transformasi sosial budaya, sebaiknya masyarakat jangan melupakan budaya bangsa. Karena, sebenarnya banyak nilai budaya bangsa Indonesia yang tidak kalah pentingnya daripada budaya Barat yang modern terlebih jika dikaitkan dengan karakteristik bangsa Indonesia yang religius.

D. SIMPULAN
Berdasarkan kajian di atas dapat dikemukakan bahwa trilogi novel Ronggeng Dukuh Patuk karya Ahmad Tohari mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local genius) budaya Jawa yang turut memberikan kontribusi dalam memperkaya khasanah budaya bangsa. Di antara nilai kearifan lokal itu adalah sikap arif menghadapi orang khilaf, hidup dalam keserbawajaran, manusia hidup menjadi tokoh wayang dalam cerita yang sudah pakem, eksistensi manusia tidak ditentukan oleh asal-usulnya, dan musik tradisional Siter yang sentimental.
Lebih dari itu, nilai-nilai kearifan lokal dalam RDP memiliki hubungan intertekstual dengan ajaran Islam. Hal itu tidak terlepas dari latar belakang Ahmad Tohari yang hidup dan dibesarkan di pedesaan Jawa Tengah dan di lingkungan pondok pesantren. Tohari berhasil memadukan wawasan budaya Jawa dengan ajaran Islam secara sinergis dalam RDP.
Nilai kearifan lokal tersebut merupakan subkultur budaya Jawa yang merupakan bagian integral dari kebudayaan nasional. Oleh karena itu, jika nilai-nilai kearifan lokal tersebut dikembangkan secara sistemik niscaya akan dapat memperkaya dan memperkokoh jati diri kebudayaan nasional. Bukan tidak mungkin kearifan lokal tersebut potensial dan berperan penting dalam pembangunan karakter bangsa yang kini sedang digalakkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.

_______. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press.

Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Karya sastra. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.

Altenbernd, Lynd and Lislie L. Lewis. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. London:
Collier-Macmillan Ltd.

Barthes, Roland. 1973. Mythologies (Trans. Annette Lavers). London: Paladin.

Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. “Hakikat Penelitian Sastra” dalam Jurnal Gatra Nomor
10/11/12. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.

Chomsky, Noam. 1971. “Deep Structure, Surface Structure, and Semantic Interpretation”
dalam Semantics: An Interdisciplinary Reader in Philosophy Linguistics and Psychology.Danny D. Steinberg & Leon A. Jakobovits (Ed.). New York: Cambridge University Press.
Culler, Jonatan. 1975. Structuralist Poetics, Structuralism, Linguistics and Study of Literature.
London: Routledge & Kegan Paul.
_______. 1981. The Pursuit of Signs. London: Routledge & Kegan Paul.
Fowler, Roger. 1977. Linguistic and the Novel. London: Methuen & Co Ltd.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.
Hough, Graham. 1972. Style and Stilistics. London: Routledge & Kegan Paul.

http://id.wikipedia.org/wiki/AhmadTohari (Diakses tanggal 8 September 2007)
Junus, Umar. 1984. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

_______. 1989. Stilistik: Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Leech, Geoffrey N. & Michael H. Short. 1984. Style in Fiction: a Linguistics Introduction to English Fictional Prose. London: Longmann.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. "Stilistika" dalam Jurnal Humaniora Nomor 1, Tahun 1994.

_______. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.

Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tohari, Ahmad 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. (Edisi Baru). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Turner, W. 1977. Stylistics. Harmondsworth Middlesex: Penguin Books.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan (Terjemahan Melani Budianto). Jakarta: Gramedia.

______________
*) Disajikan dalam Seminar Nasional dalam rangka Bulan Bahasa Universitas Negeri Jakarta tanggal 30 Oktober 2010.
**) Dimuat dalam buku Ideosinkrasi Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan Sastra (Novi Anoegrajekti dkk. (Ed.), Pusat Pengembangan Bahasa dan Budaya Universitas Negeri Jakarta dan Keppel Press Yogyakarta, 2010).

ooOoo

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan kearifan lokal (local genius) budaya Jawa dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari (1982; 2003) melalui kajian stilistika dengan pendekatan Semiotik dan Interteks. Kajian stilistika RDP ini termasuk kajian stilistika genetik yakni mengkaji stilistika RDP karya Ahmad Tohari.
Melalui kajian stilistika dengan memperhatikan diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif dan citraan yang khas Tohari dalam rangka menciptakan efek makna dan efek estetik serta dengan memanfaatkan teori Semiotik dan Interteks ditemukan bahwa dalam RDP terkandung nilai-nilai kearifan lokal (local genius) budaya Jawa yang berguna untuk memperkaya khasanah budaya bangsa. Nilai kearifan lokal itu antara lain: (1) sikap arif menghadapi orang khilaf, (2) hidup dalam keserbawajaran, (3) manusia hidup menjadi tokoh wayang dalam cerita yang sudah pakem, (4) eksistensi manusia tidak ditentukan oleh asal-usulnya, dan (5) musik tradisional Siter yang sentimental.
Nilai-nilai kearifan lokal dalam RDP memiliki hubungan intertekstual dengan ajaran Islam. Hal itu tidak terlepas dari latar belakang Ahmad Tohari yang hidup di pedesaan Banyumas Jawa Tengah dan dibesarkan di lingkungan santri. Tohari berhasil memadukan secara sinergis wawasan budaya Jawa dengan ajaran Islam melalui jalinan cerita yang memikat dan dengan style ’gaya bahasa’ yang indah dan orisinal. Nilai kearifan lokal tersebut merupakan subkultur budaya Jawa yang merupakan bagian integral dari kebudayaan nasional. Oleh karena itu, jika nilai-nilai kearifan lokal tersebut dikembangkan secara sistemik niscaya akan dapat memperkaya khasanah budaya bangsa dan memperkokoh jati diri kebudayaan nasional. Bahkan, bukan tidak mungkin kearifan lokal tersebut cukup potensial dan berperan penting dalam pembangunan karakter bangsa.

1 komentar:

  1. thanks atas semua yang kita tulis,sehinggah ada pencerahan buat saya.... saya minta izin untuk menjadiakan tulisan anda sebagai referensi buat saya.....

    BalasHapus