Rabu, 27 April 2011

PEMILIHAN BAHAN AJAR SASTRA UNTUK SMTA

PEMILIHAN BAHAN AJAR SASTRA UNTUK SMTA
Perspektif Kurikulum Berbasis Kompetensi *)
Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

1. Pendahuluan
Adalah realitas yang menyedihkan bahwa pengajaran sastra di sekolah kita pada beberapa dekade terakhir ini, sekitar enam dekade (Ismail, 2002) kurang membawa pencerahan bagi siswa. Perkembangan kehidupan bangsa terus bergulir sejak kemerdekaan, pascakemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga era reformasi. Kurikulum sekolah terus berganti, seperti Kurikulum 1975, 1984, 1994 hingga kini Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi/ KBK) Bahasa dan Sastra Indonesia (2003). Namun, kondisi pengajaran sastra yang “terlunta-lunta” tampaknya belum juga mengalami perubahan dan kemajuan yang signifikan. Tetap saja pengajaran sastra di sekolah mengalami peminggiran, bahkan seolah-olah teralienasi dari habitatnya.
Hingga terbitnya Kurikulum 2004 (KBK), sudah lama keprihatinan akan kondisi pengajaran sastra itu mengemuka di berbagai seminar. Namun, belum juga ditemukan formula manjur sebagai solusi untuk mengatasi kondisi. Kalaupun ditemukan solusi alternatif, akhirnya terbatas dalam dataran wacana belaka, jarang sampai pada realisasi, karena alasan-alasan klasik. Misalnya: kurikulum tidak memadai, terbatasnya waktu yang tersedia, pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia lebih terfokus pada bahasa (tepatnya tata bahasa), target kurikulum harus selesai, orientasi pengajaran pada Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Tes Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan buku sastra (teori dan karya kreatif) yang terbatas. Yang paling menyedihkan adalah banyak guru bahasa Indonesia yang tidak paham sastra. Oleh karena itu, yang terjadi di sekolah-sekolah adalah pengajaran sastra instan, atau semacam fast food.
Mencermati kondisi pengajaran sastra di sekolah di atas, wajar dan lazimlah kiranya jika kualitas pengajaran sastra menjadi semakin merosot. Bahkan, sastra dan pengajarannya mengalami dekadensi image, kemerosotan citra, termasuk guru sastra (sampai-sampai guru sastra merasa malu jika ditanya, “Anda Mengajar apa?”). Lebih parah lagi, keadaan itu berakibat pada merosotnya minat baca di kalangan siswa. Mereka antibacaan dan nyaris tanpa tradisi membaca buku (Teeuw, 1983: 34). Bahkan, meminjam istilah Ismail (1997), para siswa sekolah kita kebanyakan “Rabun Membaca, dan Lumpuh Menulis”. Dan, tak pelak lagi citra profesi pengarang dan sastrawan di Indonesia juga ikut merosot, dalam arti pengarang (dan sastrawan) bukanlah profesi yang diidealkan di mata generasi muda (Mahayana, 2000 dalam Artika, 2002).
Sampai dekade 1980-an, sastra memang hanya menjadi bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pada Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (PILNAS HISKI) I di Jakarta (1987), --dibuka oleh Mendiknas saat itu, Fuad Hasan-- diusulkan agar mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dipecah menjadi dua yakni (1) Bahasa Indonesia dan (2) Sastra, paling tidak (3) Bahasa dan Sastra Indonesia. Entah angin apa yang bertiup, usulan ini mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Sehingga, pada Kurikulum Nasional 1994 muncullah pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Sedikit ada kemajuan, meskipun ibarat “Tak ada rotan, akar pun jadilah.” Dan, kini dengan terbitnya Kurikulum 2004 (KBK), sastra sedikit memperoleh “darah segar” –paling tidak secara konseptual--, sebab perbandingan bobot pembelajaran bahasa dan sastra disajikan secara seimbang (Depdiknas, 2003).
Salah satu kendala yang dihadapi guru sastra dalam pengajaran sastra adalah masalah penulisan bahan ajar sastra. Meskipun kini sebenarnya cukup banyak terbit buku sastra –baik teori, kritik, sejarah, dan karya kreatif—pada umumnya guru sastra mengajarkan sastra dengan bahan sekenanya, bahkan terkesan “rutinitas”, itu-itu saja. Hal ini mengakibatkan terjadinya kejenuhan siswa dalam mengikuti pengajaran sastra. Akibat lebih jauh, siswa semakin jauh dari sastra.
Padahal, sastra sangat penting bagi siswa dalam upaya pengembangan rasa, cipta, dan karsa. Sebab, fungsi utama sastra adalah sebagai penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif (2003). Pendek kata, sastra akan dapat memperkaya pengalaman batin pembacanya. Sebagai karya imajinatif, sastra merupakan konstruksi unsur-unsur pengalaman hidup, di dalamnya terdapat model-model hubungan-hubungan dengan alam dan sesama manusia, sehingga sastra dapat mempengaruhi tanggapan manusia terhadapnya (Meeker, 1972: 8). Tindak kekerasan dan anarkisme lainnya yang akhir-akhir ini menyeruak di masyarakat, bukan tidak mungkin karena mereka tidak pernah atau sangat minim "bercinta dengan sastra” (sudah lebih dari 45 tahun masyarakat Indonesia jauh dari sastra).
Berangkat dari realitas dan pemikiran itulah maka makalah ini disusun untuk mengurai benang kusut pengajaran sastra di sekolah melalui salah satu simpulnya, yakni pemilihan bahan ajar sastra dengan pendekatan KBK. Mengingat keterbatasan, maka tulisan ini masih bersifat umum, sekadar memberikan alternatif dalam pemilihan bahan ajar sastra. Permasalahannya adalah bagaimana kriteria untuk memilih bahan ajar sastra di sekolah, dan bagaimana sebaiknya guru sastra menyediakan bahan ajar sastra itu.

2. Sekilas tentang Kurikulum 2004 Bahasa dan Sastra Indonesia
Agar kita memiliki kesepemahaman mengenai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), ada baiknya lebih dulu kita menguak sedikit beberapa pokok pikiran atau hal-hal yang prinsipial dalam KBK yang berkaitan dengan pengajaran sastra.
2.1 Pengertian, Fungsi dan Tujuan
Yang dimaksud dengan Kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Kompetensi adalah program untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kurikulum nasional ini disiapkan dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, serta sastra Indonesia sebagai hasil cipta intelektual dan produk budaya yang berkonsekuensi pada fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai: (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, serta pemahaman berbagai budaya Indonesia melalui khasanah sastra Indonesia, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dalam pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (4) sarana penyebarluasan pemakaian bahasa dan sastra Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah, (5) sarana pengembangan penalaran, dan (6) sarana menimbulkan kecintaan dan penghargaan terhadap bangsa dan nilai-nilai kemanusiaan.
Adapun tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah: (1) Siswa menghargai dan membanggakan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara, (2) Siswa memahami Bahasa dan Sastra Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta dapat menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) Siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial, (4) Siswa memiliki disiplin dan ketertiban dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) Siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) Mampu menyalurkan potensi intelektual, gagasan, dan imajinasi secara kreatif dan konstruktif.
2.2 Standar Kompetensi Pelajaran B.S. Indonesia
Standar Kompetensi Sastra Indonesia SMU adalah: (1) Menulis karangan fiksi dan non fiksi dengan menggunakan kosakata yang bervariasi dan efektif untuk menimbulkan efek dan hasil tertentudan (2) Mengapresiasi sastra melalui kegiatan mendengarkan, menonton, membaca dan melisankan hasil sastra berupa puisi, cerita pendek, novel, dan drama; memahami dan menggunakan pengertian teknis kesusastraan dan sejarah sastra untuk menjelaskan, meresensi, menilai, dan menganalisis hasil sastra, dan berekspresi sastra melalui kegiatan melisankan hasil sastra, memerankan drama, menulis karya cipta sastra berupa puisi, cerita pendek, novel, dan drama.
2.3 Materi Pokok
Materi pokok Bahasa dan Sastra Indonesia SMA khusus yang berkaitan dengan bidang sastra meliputi: (1) Mendengarkan pembacaan puisi, prosa, dan drama; (2) Berbicara tentang tokoh drama, isi puisi, isi prosa, nilai-nilai dalam karya sastra; (3) Membaca teks puisi, prosa, dan drama; (4) Menulis resensi puisi, cerita pendek, novel, dan drama; dan (5) Sastra: hasil sastra berupa puisi, cerita pendek, novel, dan drama, pengertian-pengertian teknis kesastraan dan sejarah sastra.
2.4 Pendekatan
Fungsi utama sastra adalah sebagai sarana penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Untuk itu, pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan agar siswa trampil berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis, serta peka terhadap persoalan sosial budaya. Pengajaran sastra ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahmi karya sastra serta mengambil hikmat atas nilai-nilai luhur yang terselubung di dalamnya. Pengetahuan sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran sastramenekankan pada apresiasi sastra.
Beberapa pokok pikiran mengenai KBK mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMU di atas (untuk SD dan SLTP dapat menyesuaikan, karena pada prinsipnya tidak jauh berbeda) menunjukkan betapa pengajaran sastra kini memperoleh “darah segar” dengan adanya keseimbangan dengan bahasa. Meskipun mata pelajarannya tetap Bahasa dan Sastra Indonesia, namun setidaknya secara konseptual sudah ada kemajuan yang cukup berarti. Artinya, para peletak kebijakan pendidikan (tentu bersama para pakar sastra, sastrawan, dan praktisi pendidikan lainnya) sudah memiliki good will yang direalisasikan dalam political will (dalam KBK). Tinggal masalahnya kini bagaimana kita mampu merealisasikan dan mengoperasionalkan secara optimal dalam pengajartan sastra. Inilah tantangan yang harus kita hadapi sekaligus kita cari langkah-langkah taktisnya.

3. Pengajaran Sastra di Sekolah: Anak Tiri yang Tersia-sia
Potret pembelajaran sastra di berbagai sekolah kita selama ini pada umumnya terlihat buram, sedih, bagaikan ‘anak perawan yang kehilangan gairah dan tak berdaya’ menghadapi dominasi orang tua kolot. Ibarat laki-laki dan perempuan, sastra mengalami bias gender dibanding bahasa yang terlanjur memiliki mitos sebagai makhluk yang kuat. Seperti perempuan, sastra tersia-sia menjadi sekedar konco wingking, yang ‘aktivitasnya terbatas pada sektor domestik seputar dapur, sumur, kasur’.
Adalah realitas, bahwa selama ini pembelajaran sastra hanya sebagai semacam sisipan, atau “sambilan”, sedang materi utamanya adalah bahasa Indonesia (yang paling dominan adalah tata bahasa (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Mengarang (komposisi) yang sangat penting untuk menunjang kemahiran siswa dalam mengekspresikan pendapat, pikiran, dan perasaannya sangat kurang diajarkan. Padahal mengarang juga berperan dalam menunjang pengembangan daya fantasi dan penalaran atau intelektual siswa. Mengarang juga sangat menunjang pengajaran sastra. Bukankah membaca dan/ atau menulis karya sastra membutuhkan daya imajinasi sekaligus daya penalaran manusia?
Kalaupun sastra diajarkan oleh guru bahasa Indonesia, itu pun secara sepintas lalu, maka umumnya mereka hanya mengajarkan sastra secara teoretis, tidak apresiatif. Materi atau bahan yang diberikan adalah seputar sejarah, teori, dan sedikit kritik sastra. Kritik sastra pun sangat terbatas hanya dengan pendekatan struktural, bahkan struktur pun dengan pemahaman yang sangat terbatas dan kuna. Padahal teori dan pendekatan dalam kritik sastra telah berkembang pesat.
Sebagai ilustrasi, siswa diminta untuk membuat kritik mengenai karya sastra fiksi dari segi struktur, seperti: tema, latar, alur, penokohan, dan gaya bahasa. Siswa biasanya juga diminta membuat sinopsis cerpen atau novel yang dikritik lebih dulu. Jika siswa sudah membuat kritik atas karya sastra yang ditugaskannya, meski hanya sangat minim, tanpa siswa mengemukakan argumentasi atau dasar kritiknya, maka cukuplah. Itu pun masih bagus. Terkadang, siswa hanya ditugaskan membuat kritik sastra di rumah. Siswa yang “kreatif” (baca “nakal: banyak akal”) lalu mencari buku ringkasan novel/ roman yang berisi sinopsis dan unsur-unsur karya fiksi sebagai “buku suci”. Jadilah tugas itu dengan cepat (instan) tanpa siswa bersusah payah berpikir untuk mengapresiasi karya sastra, cukup mengutip pada buku tersebut. Makin runyamlah kondisi pembelajaran sastra.
Lebih runyam lagi, ketika ada siswa yang cerdas yang suka “bercinta dengan sastra” mencoba mengemukakan interpretasinya atas karya sastra yang dibacanya, dan kebetulan tidak sama dengan interpretasi yang dikehendaki sang guru, maka guru terkadang tak segan-segan bertindak sebagai “algojo” yang menghabisi siswanya, atau sebagai ‘hakim yang mengadili seorang tertuduh’. Dalam arti, guru menjadikan dirinya pusat kebenaran interpretasi sastra. Ini jelas tidak sesuai dengan eksistensi sastra yang multiinterpretable. Akibatnya, lain waktu siswa tak mau lagi melakukan kreasi, lebih enak mengambil jalan pintas mengutip buku ringkasan roman seperti ilustrasi di atas. Dan, guru sastra Indonesia kebanyakan juga mengambil jalan pintas menggunakan ringkasan novel itu sebagai “buku suci”. Jadi, asal pekerjaan siswa sesuai dengan “buku suci” itu, maka dianggap bagus, dan jika tidak dinilai jelek. Di sinilah terlihat potensi dan kompetensi siswa dalam interpretasi sastra dikerdilkan, jika bukan dibunuh pelan-pelan.
Di sisi lain, karena guru sastra ditargetkan untuk menyelesaikan kurikulum yang ada, maka tak ayal pembelajaran sastra pun sekedar teoretis belaka, yang memang menghemat waktu. Adapun apresiasi sastra dengan menggunakan bahan ajar sastra yang relevan berupa karya sastra, yang memerlukan waktu relatif lama, tidak mungkin dilakukan. Di samping alasan waktu, juga kemampuan apresiasi sastra para guru bahasa dan sastra Indonesia relatif terbatas. Sebab, seperti sudah menjadi persepsi umum bahwa guru bahasa dan sastra Indonesia rata-rata jarang yang memiliki apresiasi sastra yang memadai karena memang jarang “bercinta dengan sastra”. Kebanyakan mereka lebih “mencintai bahasa” (anak kandung) ketimbang “mencintai sastra” (anak tiri). Akibatnya, mereka lebih memfokuskan pengajarannya pada bahasa, bukan sastra.
Sejalan dengan itu, maka aktivitas-aktivitas bersastra di sekolah yang mestinya dilakukan oleh siswa pada hakikatnya tidak ada lagi. Aktivitas bersastra seperti membaca menikmati, dan menghayati sastra, menonton pentas teater/ drama dan baca puisi, menginterpretasi makna sastra dan menuliskan hasil interpretasinya dengan sendirinya dianggap tidak penting lagi oleh sang guru. Diambillah jalan pintas yakni pengajaran sastra instan dengan cara mengajak siswa untuk menjawab soal-soal Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sudah mewabah (sering dituduhkan sebagai ‘ajang bisnis guru’) di berbagai sekolah. Terlebih soal-soal sastra dalam Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan UAN serta UMPTN juga tidak apresiatif, hanya teoretis. Jadi kloplah. Yang penting target kurikulum tercapai, siswa lulus UAN dengan nilai baik dan lulus UMPTN. Beres. Jadi, “biar siswa tak tahu sastra tetapi tahu bagaimana menjawab soal sastra”.
Itulah yang terjadi dan itulah data yang ditemukan oleh Taufik Ismail dan kawan-kawan sastrawan dari majalah sastra Horison dan Kaki Langit, sehingga mendorongnya untuk melakukan berbagai aktivitas sastra di berbagai sekolah dan perguruan tinggi (Ismail, 2002), seperti Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab (SBSM), dan lain-lain.
Jika dicermati, maka problema pembelajaran sastra kita ibarat benang kusut, susah untuk mengetahui ujung pangkalnya, lebih-lebih mengurainya. Yang pasti, permasalahan yang bergayut dengan pembelajaran sastra itu kompleks, melibatkan berbagai pihak. Oleh karena itu, cara mengurainya pun harus dengan kerja sama berbagai pihak terkait secara sinergis. Dalam hal ini antara lain peletak kebijakan pendidikan, para pakar ilmu sastra, sastrawan, dan praktisi pendidikan (guru sastra) itu sendiri.
Dari sekian banyak permasalahan tadi, maka pemilihan bahan ajar sastra yang relevan memegang peran sangat penting. Sebab, bagaimana mungkin pembelajaran sastra akan berjalan apresiatif dan menarik minat siswa jika pemilihan bahan ajarnya salah. Sebaliknya, jika bahan ajar sastra tepat, maka terbukalah kemungkinan terdorongnya minat dan daya apresiasi siswa untuk “bercinta dengan sastra”.

4. Pemilihan Bahan Ajar Sastra yang Relevan
Pembelajaran sastra jika dilaksanakan secara benar akan dapat meningkatkan kualitas kebudayaan manusia. Bahkan menurut Reeves (1972: 10), daya edukatif puisi (dan karya sastra lainnya) tidak terbatas jika pemilihan (bahan ajar)-nya dilakukan secara tepat. Dalam konteks itu, guru sastra bertugas untuk mengembangkan daya kreatif siswa agar mereka terbiasa memberi makna terhadap karya sastra yang dibacanya (Teeuw, 1982: 36). Jadi, guru harus berperan sebagai mediator (bukan “algojo”, sumber kebenaran tunggal) untuk membantu siswa dalam menginterpretasi karya sastra yang dibacanya.
Betapa besar peran guru sastra dalam pengajaran sastra, termasuk di dalamnya adalah pemilihan bahan ajar sastra. Masalahnya adalah bagaimana kriterianya. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis dalam mengajarkan sastra selama ini, paling tidak ada lima kriteria yang layak dipertimbangkan dalam memilih atau menyediakan bahan ajar sastra di sekolah. Kelima kriteria itu antara lain: (1) Latar Belakang Budaya Siswa, (2) Aspek Psikologis, (3) Aspek Kebahasaan, (4) Nilai Karya Sastra, dan (5) Keragaman Karya Sastra (bdk. Sumardi dkk., 1985; Rahmanto, 1988; Hasyim dkk., 2001).

4.1 Latar Belakang Sosial Budaya
Dalam memilih bahan ajar sastra, harus diperhatikan latar belakang budaya siswa yang mengacu pada ciri khas masyarakat tertentu dengan segala variasinya yang meliputi: pranata sosial, stratifikasi sosial, norma, tradisi, etos kerja, lembaga, hukum, seni, kepercayaan, agama, sistem kekrabatan, cara berpikir, mitologi, etika, moral, dan sebagainya. Demikian pula latar belakang karya sastra perlu diperhatikan seperti: sejarah, politik, sosiologis, kultur, kepercayaan, agama, geografis, dan sebagainya.
Mudah dipahami bahwa pada umumnya para siswa akan lebih mudah tertarik pada karya sastra dengan latar belakang yang akrab dengan kehidupannya. Lebih-lebih jika karya sastra itu mengangkat tokoh yang berasal dari lingkungan sosialnya dan memiliki kesamaan budaya dengan mereka. Bahan ajar sastra akan mudah diterima oleh siswa jika dipilih karya sastra yang memiliki latar cerita yang dekat dengan dunianya.
Dalam konteks itu guru sastra harus mampu membaca apa yang diinginkan atau diminati siswa. Artinya, guru harus menggunakan perspektif siswa, bukan perspektifnya sendiri yang sering berbeda dengan siswa. Dengan demikian, guru sastra akan dapat menyajikan karya sastra yang memenuhi kemampuan imajinatif para siswa, yang dekat dengan dunianya. Oleh karena itu, perlu dipilih karya sastra dengan latar belakang budaya sendiri. Sebagai ilustrasi, jelas latar belakang budaya Jawa berbeda dengan luar Jawa seperti Minang, Padang, Banjarmasin, Betawi, dan sebagainya.
Pemilihan karya sastra yang dekat dengan latar belakang siswa itu memiliki beberapa keuntungan: (1) hal itu menunjukkan perlunya karya sastra yang membumi, yang dekat dengan dunia pembacanya; (2) menyadarkan kepada siswa akan kekayaan budaya masyarakat kita yang kompleks dan unik; dan (3) menanamkan kesadaran akan pentingnya budaya sendiri (lokal, nasional) dulu sebelum mengenal budaya global.
Dengan demikian, pemilihan bahan ajar sastra yang relevan untuk siswa sekolah di pedesaan pun relatif berbeda dengan perkotaan. Namun, dengan meluasnya era globalisasi, kehadiran media massa baik elektronik seperti radio, televisi, film, video compact disc (VCD), home theatre, internet, di berbagai wilayah Nusantara yang membentuk global village, tentu lambat laun membuat kesenjangan budaya pedesaan dan perkotaan akan segera mencair. Pada gilirannya, pemilihan bahan ajar sastra di sekolah pedesaan dan perkotaan pun dari aspek latar belakang budaya tidak lagi perlu dibedakan.
Sekedar ilustrasi, bahan ajar prosa dengan latar Jawa misalnya, dapat dipilih novel Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Para Priyayi (1992) karya Umar Kayam; Burung-burung Manyar (1981) karya Y.B. Mangunwijaya; kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989) dan Nyanyian Malam (2000) karya Ahmad Tohari. Prosa yang berlatar budaya Betawi misalnya Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis; novel dengan latar budaya Minang misalnya Kemarau (1970) dan Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.

4.2 Aspek Psikologis
Secara psikologis, setiap orang mengalami perkembangan, sehingga seorang anak akan berbeda dengan orang dewasa. Dalam menanggapi bacaan sastra pun taraf perkembangan kejiwaan seseorang sangat berperan. Yang pasti, perkembangan psikologis seseorang pasti mengalami tahap-tahap tertentu dan tiap tahap memiliki kecenderungan tertentu pula. Oleh karena itu, tahap-tahap perkembangan psikologis anak ini harus dipertimbangkan dalam pemilihan bahan ajar sastra. Jika bahan ajar sastranya tepat sesuai dengan tahap perkembangan psikologisnya, maka terbukalah kemungkinan bahwa pengajaran sastra akan diminati. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan tingkat perkembangan kejiwaannya, sulit diharapkan siswa tertarik mengikuti pengajaran sastra.
Satu hal yang harus dicatat, bahwa perkembangan psikologis siswa juga akan berpengaruh besar terhadap: etos belajar, daya penalaran, daya ingat, minat mengerjakan tugas, kerja sama dengan teman lain, pemahaman terhadap situasi, dan pemecahan masalah yang timbul. Makin sesuai dengan tingkat perkembangan psikologisnya, siswa makin berminat mengikuti pengajaran sastra, dan demikian pula sebaliknya.. Ditinjau dari usianya, ada empat tahap perkembangan siswa, yakni: (1) Usia 8-9 tahun adalah tahap pengkhayal (the auatitic stage); (2) Usia 10-12 tahun adalah tahap romantik (the romantic stage); (3) Usia 13-16 tahun adalah tahap realistik (the realistic stage), dan (4) Usia 16 tahun ke atas adalah tahap generalisasi (the generalizing stage) (Moody, 1975: 17). Dengan demikian, siswa SMU termasuk dalam kategori keempat, yakni the generalizing stage. Pada tahap ini, seorang anak sudah memiliki kemampuan untuk mengeneralisasikan permasalahan, berpikir abstrak, menentukan sebab suatu gejala, dan memberikan keputusan yang bersangkutan dengan moral. Karena itu, jenis dan ragam karya yang disajikan dapat berupa apa saja (Sayuti, 1994: 21).
Secara psikologis, siswa SMU merupakan anak remaja yang pada umumnya telah memasuki fase yang dikenal dengan masa pubertas. Pada masa itu, siswa cenderung ingin menunjukkan sikap mandiri, idealis, dan moralis. Sesuai dengan fenomena psikologis itu, maka karya sastra yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar sastra adalah yang bertema perjuangan, kepahlawanan, kritik sosial, percintaan, kepercayaan, dan keagamaan.
Berikut ini adalah contoh puisi yang dapat dijadikan bahan ajar sastra di SMU.
PUISI JALANAN
Karya Emha Ainun Nadjib

Hendaklah puisiku lahir dari jalanan
Dari desah nafas para pengemis gelandangan
Jangan dari gedung-gedung besar
Dan lampu gemerlapan
Para pengemis yang lapar
Langsung menjadi milik Tuhan
Sebab rintihan mereka
Tak lagi bisa mengharukan

Para pengemis menyeret langkahnya
Para pengemis batuk-batuk
Darah dan hatinya menggumpal
Luka jiwanya amat dalam mengental

Hendaklah puisiku anyir
Seperti bau mulut mereka
Yang terdampat di trotoar
Yang terusir dan terkapar

Para pengemis tak ikut memiliki kehidupan
Mereka mengintai nasib orang yang dijumpainya
Tetapi jaman telah kebal
Terhadap derita mereka yang kekal

Hendaklah puisi-puisiku
Bisa menjadi persembahan yang menolongku
Agar mereka menerimaku sebagai sahabat
Dan memaafkan segala kelalaianku

Yang banyak dilupakan orang ialah Tuhan
Para gelandangan dan korban-korban kehidupan
Aku ingin jadi karib mereka
Agar bisa belajar tentang segala yang fana.

Yogya, 1977.

Penyair dalam puisi itu menggunakan unsur kemanusiaan dan kritik sosial yakni ‘pengemis gelandangan yang lapar’, ‘yang terusir dan terkapar’, ‘yang terdampat di trotoar’, dan sebagainya yang menjadi media citraan. Sekaligus pengemis gelandangan menjadi fokus gagasan yang disampaikan penyair.
Bahan ajar sastra prosa yang dapat dijadikan alternatif misalnya kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1981) karya A.A. Navis; novel Ronggeng Dukuh Paruk (1981) karya Ahmad Tohari; novel Harimau Harimau (1992) karya Mochtar Lubis.

4.3 Aspek Kebahasaan
Aspek kebahasaan dalam karya sastra termasuk di dalamnya adalah stilistika. Dalam hal ini meliputi kosakata yang dipakai sastrawan, struktur kata dan kalimat, idiom, metafora, majas, citraan, dan lain-lain sebagai ‘bungkus’ (surface structure) atas gagasan sastrawan, dan sebagainya. Guru harus memperhatikan pula konteks dan isi wacana (deep structure), termasuk referensi yang tersedia.
Selain itu, guru sastra harus mempertimbangkan pula teknik penulisan yang dipakai sastrawan, ciri-ciri kebahasaan yang khas pengarang yang bersangkutan, kohesi atau hubungan antarkalimat, ungkapan, dan komunitas pembaca yang menjadi target sasaran sastrawan. Sehingga, dengan demikian siswa diharapkan dapat memahami bahasa dengan segala fenomenanya yang dipakai dalam karya sastra.
Yang perlu ditekankan dalam konteks ini adalah guru sastra diharapkan dapat memahami benar tingkat kemampuan kebahasaan para siswanya sehingga dapat memilih karya sastra yang tepat. Memang dalam praktiknya, bahasa tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur lain dalam karya sastra yang bersangkutan. Sebagai gambaran, bahasa dalam novel inkonvensional dan eksistensialis karya Iwan Simatupang seperti Merahnya Merah, Kering, dan Ziarah, tentu jauh berbeda dengan bahasa dalam Sri Sumarah dan Para Priyayi karya Umar Kayam yang sosiologis.
Beberapa karya sastra yang dapat dijadikan bahan ajar sastra antara lain: prosa misalnya: novel Royan Revolusi (1971), Keluarga Permana (1987) karya Ramadhan K.H., Khutbah di Atas Bukit (1976) karya Kuntowijoyo. Untuk genre puisi antara lain: Benteng (1966), Tirani (1966), Sajak Ladang Jagung (1973) karya Taufik Ismail.

3.4 Nilai Karya Sastra
Guru sastra harus pula mempertimbangkan karya sastra yang memiliki bobot literer, atau memiliki nilai sastra yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini, guru sastra dapat memilih puisi dan cerpen-cerpen yang yang sudah diterbitkan misalnya oleh majalah sastra Horison, atau sudah diterbitkan oleh penerbit tertentu dalam bentuk kumpulan cerpen. Puisi dan Cerpen-cerpen yang sudah diterbitkan tersebut tentunya sudah melaui seleksi oleh para pakar sehingga tak diragukan lagi nilai literernya. Novel dan drama juga cukup banyak yang sudah diterbitkan. Misal: Ronggeng Dukuh Paruk (1981) karya Ahmad Tohari, Saman (1988) karya Ayu Utami, Merahnya Merah (1968) karya Iwan Simatupang, Adam Ma’rifat (kumpulan cerpen, 1982) karya Danarto.
Bagaimana dengan karya sastra populer, misalnya puisi, cerpen, atau novel populer? Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis sebagai pengajar sastra selama ini, sastra populer setelah diseleksi tak ada salahnya dipakai sebagai bahan ajar sastra. Meskipun hal ini masih banyak dipedebatkan kalangan pengajar sastra, sastra populer dapat dimanfaatkan sebagai jembatan pembinaan apresiasi sastra dari karya yang populer --yang relatif mudah dipahami-- menuju sastra literer yang serius (lihat Noor, 2002). Katakanlah sastra populer itu sekadar sebagai sarana untuk menanamkan kecintaan kepada sastra dulu, setelah siswa mulai tertarik kepada sastra, baru kemudian disajikan sastra literer. Misalnya: Terminal Cinta Terakhir (1975) karya Ashadi Siregar, Arjuna Mencari Cinta (1977) karya Yudhistira Ardinugraha, Lupus karya Hilman Hariwijaya, dan sebagainya.

4.5 Aspek Keragaman Karya Sastra
Karya sastra baik berupa puisi, cerpen, novel maupun drama, seperti dikemukakan di atas, memiliki fungsi utama untuk memperhalus budi pekerti, meningkatkan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Oleh karena itu keragaman bahan ajar sastra baik keragaman bentuk --yang konvensional dan inkonvensional, yang literer dan populer—maupun keragaman isi atau gagasan yang dikandungnya –kemanusiaan, kepekaan sosial, budaya, kebangsaan, kepahlawanan, perjuangan hak asasi, percintaan, keyakinan dan keagamaan—perlu diperhatikan. Dengan bahan ajar yang variatif, niscaya terbuka peluang bahwa siswa akan “jatuh cinta kepada sastra” dan tidak akan mengalami kejenuhan, sebab siswa akan dapat menikmati sajian sastra yang beraneka ragam genre sastra dengan aneka bentuk dan isinya.
Sebagai contoh bahan ajar sastra yang dapat disajikan antara lain: drama Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Tengul (1973) karya Arifin C. Noer, drama Anu (1974), Aduh (1975), Dar-Der-Dor (1996) karya Putu Wijaya; drama Ken Arok (1985) Ciung Wanara (1992) karya Saini K.M. Genre puisi misalnya: Perkutut Manggung (1986), Rumah Panggung (1989) karya Linus Suryadi A.G.; O, Amuk, Kapak (1981) karya Sutardji Calzoum Bachri; Duka-Mu Abadi (1969), Perahu Kertas (1983) karya Sapardi Joko Damono; Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1998). Genre prosa antara lain: kumpulan cerpen Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982) karya Danarto; Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis; Kuli Kontrak (1982) Bromocorah (1983) karya Mochtar Lubis. Genre novel misalnya: Sang Guru (1973) karya Gerson Poyk, Keluarga Permana (1976) karya Ramadhan K.H.; Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969) karya Iwan Simatupang; Harimau Harimau (1975) karya Mochtar Lubis; La Barka (1975), Hati yang Damai (1976) karya N.H. Dini; Raumanen karya Marianne Katoppo; Badai Pasti Berlalu dan Karmila karya Marga T.; Saman (1988) dan Larung (2001) karya Ayu Utami. Dengan KBK yang “mengamanatkan” porsi sastra dan bahasa seimbang, maka pembelajaran sastra dapat lebih leluasa dalam pelaksanaannya. Demikian pula pemilihan bahan ajarnya menjadi lebih luas dan beragam.

4. Penutup
Mengakhiri perbincangan mengenai pemilihan bahan ajar sastra yang relevan, maka perlu dikemukakan bahwa bagaimanapun bagusnya pemilihan bahan ajar sastra, bahkan komponen pengajaran yang lain seperti siswa, metode, media, dan lingkungan, namun kunci keberhasilan peengajaran sastra tetap kembali terpulang kepada kemampuan guru sastra. Mungkin benar bahwa “Di tangan guru yang baik, bahan ajar bagaimanapun jeleknya akan dapat mencapai keberhasilan dalam mengajar; sebaliknya di tangan guru yang jelek, bahan ajar yang sebaik apa pun tidak akan mencapai hasil yang baik dalam pengajaran.” The man is behind the gun, tampaknya masih berlaku dalam konteks pembelajaran sastra.
Seiring dengan KBK, maka pengajaran sastra dengan bahan ajar sastra yang relevan, memiliki prospek yang lebih baik. Namun, tentu harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah strategis dan taktis lainnya seperti penataran guru sastra terutama tentang inovasi metode mengajar apresiatif, penyediaan bahan ajar sastra yang memadai berupa buku-buku sastra, dan lain-lain. Semoga KBK membawa pencerahan baru terhadap pengajaran sastra pada masa depan, tidak hanya dalam wacana melainkan dalam kenyataan.

Daftar Pustaka:

Artika, I Wayan. 2002. “Diskusi Pasca Membaca Karya: Catatan Pembelajaran Sastra
dari Sebuah SMU Negeri di Kota Singaraja, Bali Utara”. Makalah pada PILNAS
HISKI XIII 8-10 September 2002 di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Hasyim, Nafron dkk. 2001. Pedoman Penyusunan Bahan Penyuluhan Sastra. Jakarrta:
Pusat Bahasa Depdiknas.

Ismail, Taufik. 2002. “Setelah Menguap dan Tertidur 45 Tahun” dalam Jabrohim dkk.
(Ed). 2002. Dinamika Global-Lokal dalam Perkembangan Sastra. Yogyakarta:
Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia XIII.

Noor, Redyanto. 2002. “Kecenderungan Sastra Populer Menyatukan Gaya Hidup”.
Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia tanggal
15-16 Oktober 2002 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pusat Kurikulum-Badan Penelitian dan Pengembangan. 2001. Kurikulum Berbasis
Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pendidikan Menengah Ditjen Dikdasmen. 2003. Kurikulum 2004 SMA Mata
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Meeker, Joseph W. 1972. The Comedy of Survival: Studies in Literary Ecology. New
York: Charles Schribner’s Sons.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Reeves, James. 1972. Teaching Poetry. London: Heinemann.

Sayuti, Suminto A. 1994. “Pengajaran Sastra: Sebuah Tawaran” dalam Jabrohim (Ed.).
1994. Pengajaran Sastra. Yogyakartta: Pustaka Pelajar dan FPBS IKIP
Muhammadiyah Yogyakarta.

Sumardi dkk. 1985. Pedoman Pengajaran Apresiasi Puisi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.



_____________
*) Disajikan dalam Program Pengabdian pada Masyarakat di SMU Muhammadiyah Purwodadi pada tanggal 10 Juni 2004.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar