Jumat, 13 Mei 2011

REMAJA MUSLIM: ANTARA KULIAH, ASMARA, DAN NIKAH:

REMAJA MUSLIM: ANTARA KULIAH, ASMARA, DAN NIKAH:
Etika Pergaulan Laki-laki dan Perempuan *)
Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

1. Pengantar
Akhlak Islam merupakan perangkat tata nilai bersifat samawi dan azali, yang mewarnai cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang muslim terhadap dirinya, terhadap Allah dan Rasul-Nya, terhadap sesamanya, dan terhadap alam lingkungannya. Samawi berarti bahwa akhlak Islami bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedangkan azali berarti bahwa akhlak Islam tersebut bersifat tetap, tidak berubah, walaupun tata nilai atau norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat berubah sesuai dengan dinamika zaman (Salim, 1985: 11).
Dalam ajaran Islam, akhlak menduduki posisi paling sentral. Akhlak yang baik dan mulia akan mengantar seseorang pada kedudukan terhormat dan posisi yang tinggi. Sebaliknya, akhlak yang buruk akan mengantarkan seseorang pada kedudukan dan posisi yang rendah dan tercela. Demikian pentingnya akhlak bagi kehidupan manusia, sehingga perbaikan dan penyempurnaan akhlak manusia merupakan missi utama Muhammad Saw. sebagai utusan Allah Swt. di dunia. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah Swt. di dunia ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (H.R. Baihaqi dari Abu Hurairah)

Akhlak bahkan menjadi barometer kualitas keimanan seseorang. Artinya, kesempurnaan iman seseorang dilihat dari kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Karena itu, pada kesempatan lain Rasulullah Saw. bersabda:

“Sebaik-baik iman orang mukmin adalah yang sangat mulia akhlaknya”
(H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Demikian vitalnya akhlak bagi kehidupan manusia, bahkan kehidupan bangsa. Karena itu, tidak berlebihan jika pujangga besar Syauqy Beik melukiskan tentang urgenitas akhlak bagi kehidupan bangsa dalam sebuah syairnya yang diterjemahkan Hamka menjadi:
“Tegak rumah karena sendi
runtuh sendi rumah binasa
Tegak bangsa karena budi
Rusak budi runtuhlah bangsa

Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan berkembang menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku/ perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, pemaaf, kasih sayang, dermawan, adil, bijaksana atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki sehingga memutuskan silaturrahim, pelit, dan zhalim, .

2. Adab Pergaulan Pria-Wanita dalam Islam
Di samping mengajarkan bagaimana akhlak dalam pergaulan masyarakat, Islam mengajarkan secara khusus mengenai akhlak pergaulan pria-wanita. Dalam hal pergaulan pria dan wanita, khususnya para pemuda/ remaja dalam proses “pencarian dan penemuan calon jodoh”, Islam mengatur dengan tiga tahapan yakni ta’aruf, khitbah, dan nikah. Hal ini untuk mencapai tujuan mulia berkeluarga yakni terciptanya sebuah mahligai rumah tangga nan “tenteram bahagia, penuh cinta, dan kasih sayang” di dalam keluarga. Dalam terminologi Islam digambarkan dengan istilah: sakinah, mawaddah warahmah, seperti tersurat dalam Q.S. ar-Rum: 21:

“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan istri-istri (jodoh) bagimu dari kalangan kamu sendiri, supaya kamu dapat hidup tenteram bersamanya, dan diadakanNya cianta dan kasih sayang antara kamu. Sungguh dalam hal demikian terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mau berpikir.”

Berikut akan dijabarkan tiga tahapan tadi, yakni: ta’aruf, khitbah, dan nikah.
2.1 Ta’aruf (Perkenalan)
Pada zaman modern, pria dan wanita lazimnya bergaul untuk saling mengenal (ta’aruf) dan membina hubungan baik. Mereka yang bergaul dalam rangka menjelang pernikahan atau memasuki bahtera kehidupan bersama, banyak yang merasa perlu terlebih dulu ‘menjalin kedekatan hati’ (“berpacaran”) dengan calon istri/ suaminya. Maksudnya, agar mereka dapat lebih mengenal dan memahami calon pasangan hidupnya guna membangun mahligai rumah tangga yang akan dibina kelak dan tidak berantakan bagai neraka karena timbulnya ketidakcocokan satu dengan lainnya.
Pacaran sama sekali bukanlah tradisi Islam. Pacaran merupakan tradisi masyarakat Barat (sekuler), sehingga wajar jika pacaran sering menjurus pada perilaku yang negatif atau melanggar etika Islam. Bahkan, jika tidak dapat mengendalikan diri tidak sedikit yang terjerumus ke dalam jurang perzinaan (hubungan seks pranikah) yang jelas-tegas dilarang keras oleh Islam sebagai perbuatan yang tercela, keji, dan sejelek-jelek jalan (fakhisah dan wasaa-a sabiila). Dalam hubungan pria-wanita itu Islam memberikan batas-batas tertentu yang perlu diperhatikan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Ada enam hal yang perlu diperhatikan dalam menjalin hubungan antara pria-wanita (Faridl, 1997: 144-147), yang dalam bahasa populer (sekuler)-nya adalah “berpacaran” atau lebih tepatnya “proses mencari jodoh” (‘masa pengembaraan spiritual’?).
(1) Tidak berpandangan mata secara bebas
Jika pria dan wanita bertemu, maka keduanya tidak dibenarkan saling berpandangan secara bebas. Dalam Q.S. an-Nur: 30-31 Allah menegaskan agar baik pria maupun wanita menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya; kemudian wanita hendaklah menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya, dan muhrimnya.



Diterangkan dalam hadits:
Sahabat Buraidah r.a. berkata, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Ali r.a.: “Ya Ali, janganlah kamu ikutkan satu pandangan dengan pandangan yang kedua, karena sesungguhnya bagi kamu pandangan yang pertama, dan tidak bagi kamu pandangan yang kedua” (H.R. Imam Ahmad, Turmudzi, dan Al-Hakim).

(b) Tidak berkata atau berbuat sesuatu yang dapat menjurus kepada zina
Islam mengajarkan kepada kita agar kita menjauhi perbuatan zina; kita dilarang mendekati zina, terlebih melakukannya. Perbuatan-perbuatan yang dimaksud mendekati zina misalnya berduaan di tempat sepi, bercengkerama di kamar, berciuman, dan lain-lain perbuatan yang dapat menimbulkan daya rangsang seks. Sebab, sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan hina, bahkan jalan yang sangat jelek (Q.S. al-Isra’: 32).

(c) Tidak ber-khalwat
Pria dilarang ber-khalwat (berdiam berduaan sekamar atau di tempat sunyi-sepi) dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena pihak ketiganya adalah syetan, kecuali jika ia muhrimnya (H.R. Ahmad). Rasulullah Saw. juga bersabda:
“Jauhilah berkhalwat dengan wanita. Demi (Allah) yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berkhalwat seorang pria dengan seorang wanita kecuali syetan akan masuk di antara keduanya.” (H.R. Thabrani)

(d) Tidak pergi berduaan tanpa disertai muhrimnya
Wanita tidak dibenarkan bepergian jauh berduaan dengan pria tanpa disertai oleh muhrimnya. Seperti sabda Rasulullah Saw. berikut:


“Tidak halal bagi wanita beriman bepergian yang menempuh perjalanan sehari-semalam atau lebih, kecuali jika bersama muhrimnya.” (H.R. Muttafaq ‘Alaih)

(e) Tidak saling melihat aurat
Pria tidak boleh melihat aurat pria lain, wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain, dan pria dilarang melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya. Karena, pada dasarnya aurat orang lain (di luar muhrimnya) itu hukumnya haram dilihat.
(f) Tidak berjabatan tangan
Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa untuk lebih menyempurnakan salam dan menguatkan tali ukhuwah, sebaiknya ucapan salam diikuti dengan berjabat tangan. Namun, anjuran berjabat tangan tidak berlaku bagi pria-wanita kecuali dengan suami/ istrinya atau muhrimnya. Rasulullah Saw. ketika membai’at wanita muslimat, tidak pernah menjabat tangan mereka (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Nasa’i).

2.2 Khitbah
Dalam menjalin hubungan dekat pria-wanita, lazimnya orang memadu cinta kasih dalam kisah kasih mesra, bergaul teramat akrab penuh kesyahduan antar-keduanya. Mereka terkadang pergi bersama, berjalan berdua, melihat bioskup, rekreasi, berwisata, dan lain-lain. Jika tidak hati-hati dan waspada, mereka dapat terjebak dalam jurang perzinaan yang dilarang Allahj Swt. Karena itu, sesungguhnya berhubungan akrab pria-wanita demikian (baca: pacaran) bukan tradisi Islam. Sistem berpacaran tidak dikenal dalam Islam. Satu-satunya proses menjelang perkawinan/ pernikahan yang dikenal dalam Islam adalah Khitbah, yakni meminang atau melamar, yang hukumnya Mubah (boleh).
Orang yang melamar diberi sedikit ‘dispensasi’ untuk melihat wanita yang dilamar, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini disabdakan Rasulullah Saw.:

“Bila salah seorang di antara kamu meminang wanita, jika ia sanggup melihat apa yang menariknya untuk mengawininya, hendaklah ia kerjakan.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud).

Menurut para ulama, yang boleh dilihat dalam rangka khitbah itu hanyalah sekedarnya saja, yakni wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan. Alasannya, karena melihat wanita bukan muhrimnya itu hukum aslinya haram Jadi, hal itu hanya diperbolehkan karena ada suatu hajat darurat.

2.3 Nikah
Jika lamaran itu diterima oleh yang dilamar, tindak lanjutnya adalah melaksanakan pernikahan antar-keduanya, tanpa didahului dengan sistem berpacaran atau bertunangan yang merupakan produk budaya sekuler itu. Inilah budaya Islam.
Dalam memilih calon istri atau suami, Islam mengajarkan hendaknya didasarkan pada kriteria yang tepat dan benar, yakni mengutamakan norma agama atau akhlak, bukan norma-norma yang lain seperti kecantikan, kekayaan, pangkat, kedudukan, keturunan, dan sebagainya. Rasulullah Saw. bersabda:

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya,
dan karena agamanya. Tetapi ambillah wanita yang memiliki agama supaya beruntung
hidupmu” (H.R. Bukhari-Muslim).

Dalam Hadits lain diterangkan, Rasulullah bersabda:
“Janganlah kamu kawini wanita-wanita itu karena kecantikannya, karena mungkin kecantikannya itu akan merendahkan mereka sendiri. Dan jangan pula kamu kawini mereka itu karena kekayaannya, karena mungkin kekayaannya itu akan menyebabkan mereka sombong. Tetapi kawinilah mereka dengan dasar agama. Sesungguhnya budak wanita yang hitam kulitnya yang memiliki agama itu lebih baik (kamu kawini daripada lainnya)”
(H.R. Baihaqi).
Jika dasar agama atau akhlak ini yang menjadi landasan utama dalam memilih jodoh, insya’Allah ini merupakan jaminan bahwa jodoh yang akan menjadi pasangan hidupnya adalah jodoh yang baik dan ideal, kuat imannya dan luhur budi pekertinya. Dan, ini merupakan semacam sistem pengenalan (ta’aruf) terhadap calon istri/ suami, tanpa harus melalui proses pacaran –yang sering menjurus ke arah perzinaan-- yang sangat dikutuk oleh ajaran Islam.
Pada umumnya orang yang berpacaran sulit untuk mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat disebut sebagai mendekat-dekat pada zina yang berdosa itu. Selain itu, pacaran juga tidak dapat menjamin bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan pasti kekal dan bahagia. Sebab, kebahagiaan dan kelestarian sebuah mahligai rumah tangga/ keluarga sangat bergantung kepada bagaimana cara mereka (suami-istri) memanaj rumah tangganya. Bagiaman mereka berdua, dua anak manusia yang berasal dari dua keluarga yang berbeda kultur, tabiat, mungkin juga berbeda status sosial ekonomi, pendidikan, dan keteurunan –meskipun yang terakhir tadi tidak teramat penting--.
Tegasnya, bagaimana suami-istri dapat saling menyayangi, dengan memahami, saling pengertian, saling jujur dan terbuka, saling menghormati, dan yang terpenting saling mau berkorban demi menjaga perasaan masing-masing. ‘Tidak ada cinta tanpa adanya pengorbanan’, kata pepatah cinta. Jadi, keduanya mesti dapat saling menerima pasangannya ‘apa adanya’ dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebab tidak manusia yang sempurna. Dan, yang sangat utama dan vital: keduanya mesti harus dapat ‘mengalahkan ego’ masing-masing. Itu berarti keduanya harus saling mau berkorban tadi dengan mau ‘saling mengalah’, bukan ‘mau menangnya sendiri dan bukan pula ‘mau benarnya sendiri’. Itulah hakikat cinta dan kasih sayang.
Rasulullah pernah memberikan contoh untuk ‘saling mencari kesalahan padadiri sendiri’ ketika Siti Aisyah dengan wajah malu minta maaf kepada Rasulullah Saw., bahwa dialah yantg bersalah sampai-sampai tidak tahu jika Rasulullah tidur di teras rumahnya, karena pulang larut malam. Mereka tidak saling mencari kebenaran masing-masing, melainkan justru saling mencari kesalahan masing-masing/ dirinya sendiri. Rasualullah dan Aisyah tidak saling menyalahkan pasangannya, melainkan justru saling menyalahkan dirinya sendiri. Inilah yang disebut ‘cinta karena Allah’, artinya cinta kepada pasangannya yang didasari oleh rasa cinta kepada Allah. Inilah barangkali yang disebut cinta hakiki.
Realitas membuktikan bahwa betapa banyak perkawinan/ rumah tangga yang sebelumnya telah melalui proses pacaran selama sekian bulan atau bahkan sekian tahun, akhirnya toh harus berakhir dengan perceraian. Sebuah malapetaka yang dapat meluluhlantakkan bahtera rumah tangga sekaligus cita-cita hidup. Berdasarkan pengamatan dalam kehidupan masyarakat dan catatan di KUA, --selain karena salah satu menyeleweng (serong) atau PIL/ WIL, itu pun biasanya juga karena keduanya tidak saling jujur dan terbuka-- pada umumnya perceraian terjadi karena suami dan istri saling mempertahankan ego masing-masing dan yang lebih berbahaya lagi biasanya karena ‘mempertahankan prestis’ masing-masing secara berlebihan. Jika demikian, maka dapat diduga rumah tangga mungkin hanya seumur jagung, seperti yang banyak dialami oleh pasangan artis/ selebritis. Na’udzi billahi min dzalik.

3. Mahasiswa: Kuliah Dulu sambil Menjalin Asmara, atau Kuliah sambil Nikah?
Konon, menurut para bijak, masa yang paling indah bagi manusia adalah masa remaja/ muda, yakni masa-masa ketika mereka menjalin cinta kasih/ asmara (‘ta’aruf’) dengan lain jenis. Dalam hal ini lazimnya ketika mereka belajar di SMA atau kuliah di perguruan tinggi (usia 16-25 tahun). Lalu, bagaimana, apakah hal itu tidak mengganggu studi? Jawabnya: gampang-gampang sulit. Sebenarnya, semua itu bergantung pada bagaimana kita memanaj diri kita sendiri. Artinya, bagaimana kita pandai-pandai memanaj waktu, dengan mampu membuat skala prioritas, mana yang harus lebih didahulukan: studi, atau asmara? Mungkin dalam konteks ini para remaja dapat belajar dari sebuah kata hikmah: “Jangan pacaran ketika Anda sedang belajar, dan jangan belajar ketika Anda sedang pacaran.”
Idealnya, para remaja disarankan untuk belajar secara total (sebagai aktivitas primer), sedangkan menjalin hubungan asmara merupakan aktivitas sampingan/tambahan untuk mencari calon jodoh yang juga tidak kalah oentingnya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, menjalin hubungan asmara atau kegiatan pencarian jodoh dinomorduakan (sebagai aktivitas sekunder), dan setelah selesai studi baru menikah. Jadi, peroleh dulu ijazah baru ijab sah. Artinya, jika memungkinkan studi dan asmara dijalani bersama-sama (ideal). Jika tidak mampu –dalam arti jalinan asmara dikhawatirkan mengganggu studi-- lebih baik konsentrasi studi dulu. Terlebih jika asmara dikhawatirkan akan dapat menyeret kedua makhluk itu ke dalam jurang perzinaan yang dikutuk Allah Swt., maka harus dihindarkan jauh-jauh.
Bagaimana dengan studi sambil nikah? Sekali lagi, idealnya aktivitas utama mahasiswa adalah kuliah/studi. Jika harus mengikuti irama kehidupan kawula muda –yang merupakan tuntutan dari dalam (meminjam istilah Abraham Maslow, kebutuhan dasar yang pertama, fisiologis)—dengan mencari calon jodoh, oke, asalkan tanpa melakukan hal-hal yang diharamkan agama (berzina). Jadi, skala prioritas mahasiswa/pelajar itu adalah: studi, lalu mencari calon jodoh (menjalin hubungan asmara dengan lain jenis, sang pujaan hati), baru menikah. Akan tetapi, jika ternyata ketika kuliah mahasiswa sekaligus mencari calon jodoh dan khawatir akan terjerumus dalam jurang perzinaan, barangkali ‘menikah’ merupakan solusi atau jalan keluar terbaik meskipun cukup berisiko. Risikonya: jika salah satu atau keduanya: si suami tidak kuat menanggung beban tanggung jawab sebagai kepala keluarga (sehingga harus mencari nafkah); atau si istri tidak kuat menanggung beban tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga (misalnya: hamil, melahirkan, lalu menyusui dan merawat anak, padahal juga masih harus mengurus rumah tangga termasuk melayani suami), maka bukan tidak mungkin dan cukup banyak faktanya (bukan menakut-nakuti), putus kuliah/studi (droup out/DO) biasanya merupakan jalan keluar (terjelek) yang sering ditempuh pula, terpaksa alasannya. Jika sudah demikian, hanya penyesalan pada hari kemudian biasanya yang akan diperoleh karena cita-cita untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi dan meraih gelar Sarjana --seperti yang didambakan orang tuanya--, akhirnya hancur berantakan, tinggal jadi kenangan pahit. Tentu hal ini tidak kita inginkan bukan?

4. Penutup
Mengakhiri pembicaraan topik di atas, kiranya kita dapat memahami bahwa Islam telah mengatur kita dalam hal bergaul dengan lain jenis dengan konsep yang ideal: ta’aruf, khitbah, lalu menikah. Semua itu untuk mencapai tujuan berumah tangga yang diidealkan yakni terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, yakni sebuah kehidupan rumah tangga yang tenteram-bahagia yang penuh cinta dan kasih sayang nan indah hingga akhir hayat.
Adapun para kawula muda/pelajar/mahasiswa kiranya dapat memilih mana alternatif yang terbaik bagi Anda. Tentu antara satu dengan lainnya tidak sama pilihannya bergantung kondisi, kualitas keberimanan, dan kemampuan masing-masing dalam memanaj diri sendiri. Harus ekstra hati-hati dalam mengambil pilihan, sebab jika salah pilih dapat membawa resiko berat atau berakibat fatal.
Selamat belajar, semoga sukses meraih ilmu dan memperoleh ijasah, lalu ijab sah. Semoga.

Daftar Pustaka:

Djatnika, Rachmat. 1985. Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia). Surabaya: Pustaka Islam.

Faridl, Miftah. 1997. Etika Islam Nasehat Islam untuk Anda. Bandung: Pustaka.

Ilyas. Yunahar. 1999. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.

Ridha, Muhammad Rasyid. 1993. Jawaban Islam terhadap Berbagai Keraguan Seputar
Keberadaan Wanita. Surabaya: Pustaka Progressif.

Salim, Abdullah. 1985. Akhlaq Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat. Jakarta: Media
Da’wah.

______________________
1) Digelar dalam Dialog Interaktif “Islam dan Kebudayaan” di Radio Mentari FM Surakarta, 22 Desember 2005, kerja sama LPPM UMS dengan Radio Mentari FM Surakarta.
2) Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

Surakarta, 9 September 2004
Renungan dan Kenangan pada
Ultah Pernikahan ke-20 (1984-2004)
Ali Imron A.M. & Farida Nugrahani
ooOoo

Minggu, 08 Mei 2011

MERAJUT TALI UKHUWAH

MERAJUT TALI UKHUWAH
Pengantar Menuju Mu’amalat Duniawiyah *)
Oleh Ali Imron Al-Ma'ruf

1. Pengantar
Sejak awal Islam menjunjung tinggi akhlaqul karimah (budi pekerti luhur) yang berlaku
secara universal tanpa membedakan baik kepada umat Islam maupun kepada non-Islam, tanpa memandang etnis, suku, golongan, dan warna kulit, bahkan perbedaan bangsa. Islam mengajarkan kepada umatnya agar saling mengenal dan menjaga hubungan baik satu dengan yang lain dengan seluruh penghuni jagad raya ini dalam berbagai urusan yang mengandung aspek kebajikan dan keutamaan. Itulah sebabnya, setiap muslim wajib berlaku jujur dan amanah baik antarsesama muslim maupun antara muslim dengan non-muslim. Juga kita diwajibkan untuk memiliki sikap menepati janji, sportif, pemurah, pemaaf, cinta damai, bekerja sama, toleransi, dan sebagainya tanpa memandang perbedaan di antara umat manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Dan tidaklah Aku mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Q.S. al-Anbiya’: 107)
Berbagai hal yang akan akan dapat menyebabkan perpecahan dan konflik selayaknya kita hindari. Termasuk jangan sampai kaum Muslimin terjebak oleh perangkap kaum Yahudi dan Nashrani dalam perdebatan yang dapat mengakibatkan permusuhan sesama umat beragama dan sama sekali tidak ada manfaatnya bagi agama dan kehidupan manusia. Dalam konteks ini Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepadamu: Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (Q.S. al-‘Ankabut: 46).

2. Mempererat Ukhuwah
Secara tegas Islam memerintahkan manusia untuk menyambung tali persaudaraan (silaturrahim) dengan siapa pun dan menjaga persatuan dengan golongan atau kelompok mana pun, baik terhadap sesama umat Islam, sesama bangsa, maupun sesama manusia di seantero dunia. Karena itu, tali persaudaraan (silaturrahim) dan persatuan (ukhuwah) itu dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori yakni: (1) Ukhuwah Islamiyah: persatuan umat Islam; (2) Ukhuwah Wathaniyah; persdatuan bangsa, dan (3) Ukhuwah Basyariyah; persatuan antarmanusia secara universal di jagad raya. Ukhuwah Islamiyah mendorong umat Islam untuk merapatkan barisan dan menjaga persatuan kaum Muslimin dengan saling menghormati satu dengan lainnya baik antarindividu maupun antargolongan/ kelompok. Kita bebas dan sah-sah saja memiliki perbedaan pandangan atau pemahaman terhadap ajaran agama, golongan/ kelompok, partai politik, etnis, dan sebagainya, tetapi kita tetap satu umat (Ummatan wahidah) yang rukun, damai, kompak, dan kuat. Perbedaan pandangan dan golongan tidak membuat umat Islam yang jumlahnya banyak mengalami konflik atau perpecahan umat. Bukankah menurut Rasulullah Saw. perbedaan pendapat di antara umat manusia merupakan rahmat?
Ukhuwah Wathaniyah menghilangkan sekat-sekat yang membedakan berbagai golongan, etnis, suku bangsa, yang memiliki organisasi politik, adat atau budaya dan agama yang ada dalam komunitas bangsa Indonesia yang pluralistik. Kemajemukan bangsa Indonesia mesti dipandang sebagai sebuah potensi besar. Bahkan, kemajemukan itu merupakan kekayaan yang jika dimanaj dan dihimpun dengan baik akan merupakan kekuatan yang dahsyat dalam upaya membangun kehidupan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat terwujud jika masing-masing golongan atau kelompok mampu mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan golongannya sendiri atau kepentingan pribadi. Dan, jika ini terwujud, maka kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera bukanlah sekadar menjadi impian melainkan akan menjadi kenyataan.
Adapun Ukhuwah Basyariyah merupakan persatuan umat manusia di seluruh dunia. Umat manusia yang terdiri atas berbagai bangsa yang masing-masing memiliki etnis, ras, dan agama yang berbeda pula harus mampu menjalin hubungan baik tanpa harus terperangkap dalam perbedaan-perbedaan tadi. Itulah sebabnya setiap negara harus memiliki hubungan diplomatik yang bersifat bilateral, juga persatuan negara-negara di tingkat regional, bahkan internasional dengan saling menghormati perbedaan ideologi, agama, budaya, dan sebagainya. Jika ini dapat terwujud niscaya akan terbentuklah masyarakat dunia yang menjunjung tinggi keadilan, maju, merdeka, aman, dan sejahtera. Tidak ada lagi diskriminasi antara bangsa satu dengan lainnya sehinmgga sesama bangsa di dunia dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Islam merupakan agama yang menganjurkan kedamaian, kasih sayang, dan menyejukkan kehidupan manusia tanpa memandang latar belakang perbedaan manusia. Bahkan, kepada kerabat-kerabatnya yang inkar terhadap ajaran agama yang dipeluknya pun kita dianjurkan untuk tetap menjaga hubungan baik. Asalkan mereka setia dan memiliki komitmen kepada kebenaran dan kebajikan, tentulah mereka juga tidak akan melanggar hak orang lain dan tidak akan mengabaikan keluarganya. Allah berfirman: “Pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Luqman: 15).
Sebagai ilustrasi, ketika Muhammad Saw. menjadi Rasul sekaligus Kepala Negara di Madinah saat itu, sering terjadi persetruan dan konflik antara umat beragama dan kelompok yang satu dengan lainnya. Beliau mengumpulkan semua pemimpin dan tokoh berbagai agama Nashrani, Yahudi, dan Majusi serta kelompok (qabilah-qabilah) yang ada di Arab guna menciptakan kerukunan antara berbagai agama dan kelompok-kelompok yang ada dalam suatu pertemuan silaturrahim, untuk menjaga perdamaian dan persatuan, dengan saling menghargai pemeluk agama yang satu dengan lainnya dan kelompok-kelompok. Muncullah perjanjian Hudaibiyah yang sangat monumental itu. Sejak saat itu, terciptalah sebuah kehidupan masyarakat yang damai, rukun, adil, saling menghormati antara pemeluk agama dan kelompok yang satu dengan lainnya, yang barangkali kini sering diigambarkan sebagai masyarakat Madani. Begitu hebatnya semangat persatuan dan kasih sayang Muhammad Saw.

3. Implementasi dalam Mu’amalat Duniawiyah
Seperti dikatakan di muka bahwa Islam sejak awal menganjurkan umatnya agar senantiasa bergaul den menjalin hubungan baik dengan siapa pun tanpa memandang latar belakang perbedaan etnis, suku, golongan, ataupun agama. Sebab, manusia berasal dari keturunan yang satu, Adam dan Hawa, meminjam istilah Madjid (1997), tidak ada kelebihan etnik atau bangsa yang satu dengan etnik atau bangsa yang lain. Karena itu, Allah menganjurkan kita agar saling mengenal dan berhubungan baik kepada sesama manusia. Dalam firman-Nya ditegaskan, “Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dari keturunan yang sama dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia saling mjengenal dan berhubungan baik satu dengan lainnya.” (Q.S. al-Hujurat: 13). Di pihak lain Allah juga menjadikan manusia sebagai khalifah yang bertugas untuk memakmurkan bumi dan kehidupan seluruh alam (Q.S. al-Baqarah: 30), tidak memfokuskan umat manusia yang Islam saja melainkan kepada seluruh umat manusia. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Islam adalah agama universal, untuk seluruh alam sebagai perwujudan dari rahmatan lil ‘alamin.
Implementasinya adalah bahwa dalam mengarungi kehidupan dunia yang sangat luas dalam hal ini manusia terdiri atas berbagai banagsa dan suku bangsa di seluruh dunia, dan dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di bumu, maka manusia harus dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan manuisia lain dari berbagai kalangan baik secara individual maupun komunitas. Tentu saja, selama hubungan itu dalam hal-hal yang benar dan bertujuan untuk mencapai keutamaan atau kebajikan bersama.
Secara kongkret, mu’amalat duniawiyah, hubungan baik sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan dengan berbagai kalangan itu dapat diwujudkan dalam apa yang sering disebut dalam aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan (Ipoleksosbud Hankam). Dalam bidang ideologi negara misalnya, meskipun bangsa Indonesia sangat heterogen dan pluralistik dari segi ras, etnik, suku, budaya, agama, dan golongan, kita mesti dapat menjunjung ideologi negara yang telah menjadi kesepakatan nasional di atas kepentingan golongan dan pribadi, demi menjaga persatuan dan ketahanan negara. Karena itu, kepentingan-kepentingan yang sifatnya sesaat dan sempit (misalnya untuk pribadi dan golongan) harus disingkirkan.
Demikian pula di bidang politik, kita boleh bersatu dalam partai politik yang sama meskipun kita berbeda agama, etnik, suku, dan golongan. Sebaliknya, meskipun kita satu umat Islam, boleh saja berbeda ideologi politik kita, karena kita memiki visi yang berbeda dalam berpolitik. Itulah sebabnya, Muhammadiyah membebaskan umatnya untuk bergabung dan tersebar di berbagai partai politik. Justru, ini mungkin dapat dipandang sebagai nilai lebih dari visi politik Muhammadiyah (yang memang bukan organisasi politik). Dengan tersebar di berbagai parpol, maka warga Muhammadityah dapat membangun visi ideologi yang sejalan dengan visi dan misi Islam atau Muhammadiyah yang kita dambakan.
Di bidang ekonomi dan bisnis, umat Islam bebas untuk membuat jaringan dengan siapa pun tanpa melihat perbedaan agama dan bangsa. Pada zaman Rasulullah, umat Islam sudah dikenal di jazirah sebagai bisnisman yang memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa lain seperti Persi, Mesir, Aljazair, dan sebagainya tanpa memandang mereka beragama apa pun. Bahkan di bidang sains dan teknologi. Rasulullah bahkan menyuruh umatnya untuk pergi ke negri Cina, karena zaman itu bangsa Cina sudah dikenal memiki peradaban yang tinggi. Padahal jelas bangsa Cina saat itu tidak/ belum beragama Islam. “Carilah ilmu walaupuin sampai ke negeri Cina”.
Terlebih dalam bidang kebudayaan, saat ini tak satu pun budaya sebuah negeri yang masih murni atau steril dari nuansa budaya lain, baik budaya etnis atau daerah lain, maupun budaya asing atau budaya global. Sehingga, yang ada kini adalah kebudayaan lokal atau nasional yang sudah dimodifikasi dengan nuansa lain. Dan, muncullah perpaduan budaya yang secara substansial masih mempertahankan keaslian, tetapi diramu dengan unsur-unsur budaya lain. Terciptalah variasi budaya yang beraneka ragam sehingga mudah diterima oleh kalangan mana pun. Terlebih kini dalam era global, muncullah apa yang disebut dengan kebudayaan mondial yang merupakan kolaborasi berbagai unsur budaya di dunia ini. Ini sebagai konsekuensi logis dari membanjirnya budaya universal melalui media massa baik elektronik amupun cetak. Karena itu, tampaknya sudah menjadi keniscayaan sejarah bahwa kebudayaan nasional atau pun kebudayaan Islam pun kini mesti dapat menyelaraskan dengan irama zaman tanpa kehilangan substansi dan nilai kebangsaan dan keislamannya. Substansi tetap Islami namun dapat dikemas dengan warna modern yang universal sehingga dapat diapresiasi oleh umat dari kalangan mana pun. Demikian pula di bidang-bidang yang lain.

4. Pentingnya Akhlaqul Karimah

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah Swt. di dunia ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (H.R. Baihaqi dari Abu Hurairah)

Akhlak bahkan menjadi barometer kualitas keimanan seseorang. Artinya, kesempurnaan iman seseorang dilihat dari kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Karena itu, pada kesempatan lain Rasulullah Saw. bersabda:

“Sebaik-baik iman orang mukmin adalah yang sangat mulia akhlaknya”
(H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Demikian vitalnya akhlak bagi kehidupan manusia, bahkan kehidupan bangsa. Karena itu, tidak berlebihan jika pujangga besar Syauqy Beik melukiskan tentang urgenitas akhlak bagi kehidupan bangsa dalam sebuah syairnya yang diterjemahkan Hamka menjadi:

“Tegak rumah karena sendi
runtuh sendi rumah binasa
Tegak bangsa karena budi
Rusak budi runtuhlah bangsa

Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan berkembang menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku/ perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, pemaaf, kasih sayang, dermawan, adil, bijaksana atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki sehingga memutuskan silaturrahim, pelit, dan zhalim, .
Allah menganjurkan agar umat Islam membina kehidupannya dengan mencontoh akhlak Rasulullah Saw.

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kamu. Untuk siapa saja yang mengharapkan Allah dan Hari Ahir serta yang banyak ingat kepada Allah” (Q.S. al-Ahzab: 21)

Bagaimana sesugguhnya akhlak Rasulullah itu hingga Allah merasa perlu untuk menyerukan agar umat Islam mengikutinya? Akhlak Rasulullah Saw. adalah akhlak al-Qur’an yang memancarkan sifat-sifat sabar di dalam menghadapi tekanan dan penderitaan, dermawan dalam membantu orang yang lemah, pemaaf dalam menghadapi kemarahan dan kebencian orang, ikhlas di dalam menerima semua keadaan yang terjadi atas dirinya, adil di dalam menetapkan hukum, dan lain-lain.
Cerita Da’tsur, pemuda Quraisy yang ingin membunuh Rasulullah Saw. ketika beliau beristirahat di bawah pohon yang rindang seusai berdakwah banrangkali menjadi ilustrasi yang menarik mengenai akhlak Rasulullah Saw. Pada saat itu, Da’tsur menodong Rasulullah dengan pedang terhunus.
Da’tsur : “Wahai Muhammad, siapa kini yang akan menolongmu dari pedangku ini?”
Rasulullah: “Tidak ada yang dapat menolongku melainkan Allah Swt.”
Seketika gemetarlah tubuh dan tangan Da’tsur sehingga terjatuhlah pedang yang dipegangnya Secepat itu pula Rasulullah Saw. menghunuskan pedang milik Da’tsur tadi kepada pemiliknya.
Rasulullah: “Wahai Da’tsur, siapa kini yang akan menolongmu?”
Da’tsurt tidak kuasa menjawab. Dan, Rasulullah tidak membunuhnya meskipun Da’tsur tadi akan membunuh dirinya. Bahkan, Muhammad Saw. memaafkannya. Seketika itu pula dia terharu akan kebaikan dan akhlak Rasulullah Saw. dan menyatakan masuk Islam.
Jika akhlak dan perbuatan seseorang itu baik, maka dia akan memperoleh hasil yang baik pula. Semua persoalan dan segala urusan yang ditanganinya akan mudah, masyarakat di sekitarnya akan menghormatinya dan membantu apa yang dicita-citakannya. Dia berwibawa, sehingga semua yang diucapkan dan disampaikannya akan diterima dan diikuti oleh jama’ahnya. Dia akan memperoleh bantuan di dalam setiap pekerjaannya, dan dia pun akan terhindar dari segala fitnah dan gunjingan yang buruk. Dan, sebagai puncaknya, orang yang memiliki akhlak mulia itu kelak di akhirat akan memperoleh balasan dari Allah Swt. yakni surga Jannatun Na’im.
Berikut akan dijabarkan adab pergaulan dalam Islam, adab berpakaian dalam Islam, dan bahaya narkoba serta miras dalam kehidupan.

4.1. Akhlak sebagai Kunci Pergaulan dalam Islam
Kehidupan manusia sejak zaman Nabi Adam hingga kini bahkan yang akan datang akan lebih baik, jika akhlaknya baik. Akhlak umat manusia tercipta dengan baikjika mereka menerima al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Karena itu, akhlak Islam memiliki karakter tersendiri. Sebab, akhlak Islam merupakan peraturan yang datangnya dari Allah, sedangkan norma-norma lain di luar Islam merupakan ciptaan manusia.
Dalam Islam diajarkan prinsip-prinsip bagaimana adab pergaulan antarmanusia, adab dalam berhubungan satu dengan lainnya. Rasulullah Saw. bersabda:

“Bukanlah termasuk golongan kami (Islam) orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua.”

Pengertian yang tua terhadap yang muda, secara harfiah berarti orang yang tua umurnya terhadap orang yang muda umurnya. Dalam hal ini adalah kewajiban kakak terhadap adik, kewajiban orang tua (ayah-ibu) kepada anak-anaknya, kewajiban paman-bibi kepada keponakannya. Orang yang lebih tua harus menyayangi orang yang lebih muda, dengan jalan membimbing, memberi pendidikan, memberi pelajaran, menolong memenuhi kebutuhannya, dengan membantu menyelesaikan persoalan hidupnya.
Secara metafor dan/ atau makna yang lebih luas, yang tua terhadap yang muda juga berarti orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya; yang menduduki jabatan yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah jabatannya. Demikian juga dosen kepada mahasiswa, atasan kepada bawahan, komandan kepada anak buah, yang berpengalaman kepada yang tidak berpengalaman, yang pintar kerpada yang bodoh, yang kaya kepada yang miskin (Djatnika, 1985: 251). Karena itu, orang yang memiliki posisi lebih tinggi harus menyayangi orang yang posisinya lebih rendah. Namun sebaliknya, orang yang lebih rendah kedudukannya harus dapat menghormati orang yang lebih tinggi kedudukannya. Misalnya: adik terhadap kakak, anak terhadap orang tuanya, mahasiswa terhadap dosen, siswa terhadap guru, staf terhadap pimpinan, anak buah terhadap komandan, dan sebagainya. Pendek kata, di sini kedua belah pihak saling menghormati dan menyayangi, saling memberi dan menerima, sehingga keduanya terjalin tali salaturrahim yang erat.
Sebagai implikasi dari uraian di atas, berikut akan dijabarkan manusia sebagai mahkluk sosial, pola hubungan antar-individu dalam Islam, dan hubungan pria-wanita dalam Islam.

4.2 Akhlak dalam Bermasyarakat
Adalah sebuah keniscayaan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Mereka hidup berkelompok, saling berhubungan dan saling tergantung satu dengan lainnya, sehingga tidak mungkin manusia dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Bahkan, sejak lahir pun manusia sudah membutuhkan pertolongan orang lain --dalam hal ini terutama orang tuanya, ibu dan ayahnya--. Tanpa pertolongan orang lain tadi, niscaya manusia tidak akan dapat hidup.
Dalam menjalani kehidupan, manusia harus selalu menjalin persaudaraan dan bekerja sama guna memenuhi kebutuhan dan memecahkan persoalan hidup. Tanpa bekerja sama manusia tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi persoalan hidupnya. Inilah hakikat manusia sebagai makhluk sosial
Heterogenitas manusia baik dari segi fisik, kemampuan akal, warna kulit, agama, ernis, maupun suku bangsa, justru merupakan rahmat. Sebab, tanpa heterogenitas tersebut manusia tidak akan mengalami kemajuan dan perkembangan. Untuk itulah, maka manusia harus saling mengenal dan menjalin hubungan satu dengan lainnya agar tercipta persaudaraan yang harmonis. Sesama manusia harus saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing dan tidak saling mencaci sehingga dapat terhindar dari konflik yang hanya akan merugikan hidup bermasyarakat.
Sebagai makhluk sosial, manusia wajib menghormati hak hidup orang lain, bahkan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan alam semesta sekalipun. Sebab, manusia hidup tidak dapat lepas dari lingkungan alam, manusia membutuhkan udara segar, air bersih, dan lingkungan alam yang asri. Karena itu, sudah selayaknya jika kita harus merawat dan menjaganya, mengingat kerusakan lingkungan alam dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan manusia seperti timbulnya bencana alam yang sangat merugikan manusia sendiri.
Islam mewajibkan manusia untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan dan ketaqwaan, sebaliknya dilarang saling menolong dalam permusuhan dan kejahatan, sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw.:
“Tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu sekalian tolong-menolong dalam permusuhan dan kejahatan.”

Manusia hidup harus bermasyarakat, saling mengenal, bekerja sama satu dengan lainnya, saling menolong dan saling tergantung, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang tidak dapat diabaikan. Manusia berhubungan satu dengan lainnya dalam menjalani kehidupan dan mengatasi persoalan hidup sudah merupakan fitrah manusia. Seperti ditegaskan oleh Allah Swt.:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari orang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal satu dengan lainnya. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13).

Dengan demikian menurut al-Qur’an, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan sebuah keniscayaan bagi mereka (Zaidan dalam Ilyas, 1999: 205). Bahklan, dengan manusia dari mana pun asal dan golongannya termasuk di lura Islam, kita harus tetapmewujudkan kasih sayang. Ini merupakan implikasi darti firman Allah bahwa “Tidaklah Kami mengutusmu Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. al-Anbiya’: 107). Karena itu, jika kita menyeru kepada kebajikan pun harus dengan bijaksana, dengan pelajaran yang baik dan berdialog dengan cara yang baik pula ((Q.S. an-Nahl: 125).

5. Penutup
Demikianlah, Islam mengajarkan kepada umatnya agar kita selalu dapat menjalin hubungan baik dengan sesama manusia tanpa membedakan agama dan perbedaan lainnya sebagai wujwud pelaksanaan Mu’amalat duniawiyah. Dalam hal ini yang penting digarisbawahi adalah bahwa akhlak yang mulia tetap harus menjadi pegangan yang utama. Sebab, dalam Islam akhlak merupakan intisari dari taqwa.

Daftar Pustaka:
Jassin, H.B. 1978. Al-Qur’anil Karim, Bacaan Mulia. Jakarta: Jambatan.
Madjid, Noercholis. 1997. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Paramadina.
____________
*) Dipresentasikan dalam Kajian Islam Pimpinan Pemuda Daerah Muhammadiyah Kabupaten karanganyar, 17 November 2003 di PDM karanganyar.

oooOooo

BERSENI: KEBEBASAN BERKREASI, ETIKA, DAN RELIGUISITAS *)

BERSENI: KEBEBASAN BERKREASI, ETIKA, DAN RELIGUISITAS *)
Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

1. Pendahuluan

“Pada mulanya seni (sastra) itu relegius” (Mangunwijaya, 1988).
“Karya seni yang baik tidak hanya dapat diterima dan dinikmati oleh umat beragama tertentu melainkan oleh seluruh umat manusia, sebagai pengejawantahan makna rahmatan lil ‘alamiin.” (Ali Imron Al-Ma’ruf, 2001)

Keindahan alam tergelar di bumi dan langit karya Sang Khaliq, yang mendesain alam dengan garis-garis, lekukan, bidang, dan lingkaran. Gemuruh ombak laut yang ritmis mengikuti irama gelombang, gemercik air menepis pantai, menciptakan keindahan tiada tara. Pasir putih yang membujur sepanjang pantai diterjang ombak, menerbitkan perasaan tenteram. Lembah dan ngarai di pegunungan dan hamparan awan putih di kejauhan, cakrawala dengan langit cerah membiru bak hamparan permadani. Keindahan alam semesta ciptaan Allah swt. membangkitkan perasaan estetis bagi siapa saja yang memandangnya.
Sedemikian agung alam ciptaan Allah, tidak tertandingi oleh lukisan mahakarya seorang Maestro sekali pun sekaliber Pichasso, Van Gogh, Raden Saleh, Basuki Abdullah, bahkan Affandi. Bukankah Allah berfirman: “(Dia) yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan dengan sebaik-baiknya” (Q.S. as-Sajdah: 7), dan “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan (Dia) menyukai keindahan.” (H.R. Muslim). Melalui al-Quran Allah juga memotivasi kita untuk mengamati berbagai peristiwa dan keindahan alam yang spesifik pada alam ini. Berbagai ayat yang “merangsang” perhatian kita untuk menjelajahi alam itu, agaknya Allah membangkitkan perasaan keindahan manusia untuk dapat merasakan keindahan ciptaan-Nya.
Sayang sekali, kebanyakan manusia hanya mengagumi keindahan alam, tetapi tidak mau memperhatikan dan merenungkan rahasia di balik keindahan ciptaan Ilahi tersebut.

2. Kebebasan Berkarya (Seni) dalam Islam
Allah mendorong manusia untuk berkarya seni dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya guna menghasilkan karya yang bernilai tinggi. Karya seni bernilai tinggi tidak saja indah dinikmati oleh indra manusia melainkan juga menndorong manusia untuk menyadari eksistensinya sebagai makhluk sehingga dekat dengan Sang Khalik. Karena itu, kebebasan berkreasi seni mesti memenuhi kriteria tertentu dan yang utama adalah unsur yang menjadikan karya seni itu memberi manfaat, bukan sebaliknya mendatangkan madharat (kerugian). Pendek kata, Islam menghendaki kreasi seni yang membangun, mencerahkan batin (konstruktif) dari aspek moral spiritual, bukan merusak (destruktif) dari sisi mental kehidupan manusia.
Sejarah mencatat aneka ragam karya seni Islam yang mampu mencerahkan peradabannya yang unik dan khas dan mencapai masa kejayaannya pada abad pertengahan yakni abad VII hingga XII. Seni kaligrafi yang menghiasi rumah dan/ atau kitab suci al-Quran, sastra (syair), arsitektur khas Islam yang kini masih dapat terlihat di Arab, Persia dan Eropa (seperti di Arab Saudi, Irak, Iran (Persia), Mesir, Spanyol, dan Turki), ornamen dan ukiran yang banyak menghiasi masjid, keraton, pintu gedung, gagang pedang dari emas, dan lain-lain.
Seni sastra dalam Islam telah lama maju dan termasyhur dalam masyarakat Arab. Setelah itu datanglah al-Quran dengan sentuhan seni sastranya. Sehingga, membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an bagi orang yang mau merenungkan, cukuplah menjadi obat penawar jiwa, yang tidak tertandingi oleh penawar lain. Hal itu bukan hanya karena kandungannya berupa ajaran Allah belaka, namun juga karena gaya bahasanya (stilistika). Bacaan yang tartil dan dilantunkan dengan lagu nan merdu, terdengar syahdu menggetarkan kalbu. Bukankah Umar bin Khathab masuk Islam setelah ia mendengar alunan bacaan ayat al-Qur’an? Begitu hebat gezag (wibawa) al-Qur’an, sehingga mampu meluluhkan kekerasan hati Umar. Al-Qur’an memang mukjizat Nabi Muhammad saw. yang terbesar –sebagai mukjizat keindahan, di samping mukjizat pemikiran--.

3. Kembali ke Definisi Berseni
Seni berkaitan erat dengan keindahan atau Estetika yakni ilmu tentang keindahan, hal-hal yang indah (the science of the beatiful) secara umum. Estetika dari bahasa Yunani aisthetika ‘hal-hal yang dapat dicerap dengan pancaindra’ atau aisthesis ‘perasaan atau sensitivitas’ (Gie, 1983: 15; Anwar, 1985: 9). Sesuatu yang indah adalah kenikmatan yang tak habis-habis, kecantikannya bertambah. Al-Ghazali (dalam Jabbar, 1988: 8-9) menyatakan, bahwa pencerapan keindahan adalah kenikmatan dalam dirinya dan dicintai karena kindahannya serta bukan hal-hal lain di luarnya. Keindahan bentuk luar yang dilihat oleh ‘mata telanjang’ dapat dialami oleh anak-anak, sedangkan keindahan bentuk dalam hanya dapat dinikmati oleh ‘mata hati’ dan cahaya visi-dalam manusia.
Keindahan erat sekali hubungannya dengan selera perasaan dan citarasa (taste). Kita menjumpai keindahan dan kecantikan terdapat di mana-mana, di laut dengan ombak dan pantainya, langit dengan awan membirunya, gunung dengan lembah dan ngarainya. Di samping keindahan yang terdapat di alam raya, manusia juga diberi oleh Allah daya kreasi untuk menciptakan keindahan yang dituangkan di dalam karya-karya seni. Kita merasakan keindahan-keindahan itu dan menikmatinya.
Kesenian adalah penjelmaan dari rasa keindahan dan keterharuan yang ada dalan diri manusia untuk kesejahteraan hidup. Rasa disusun dan dinyatakan pleh pikiran sehingga menjadi bentuk yang dapat disalurkan, diindra, dan dimiliki. Dalam pengertian lain, kesenian adalah segala sesuatu yang membangkitkan rasa keindahan (estetis) dan yang dicptakan untuk membangkitkan perasaan-perasaan keindahan tersebut (Idris, 1983: 91). Dengan kalimat lain, segala gubahan manusia yang indah dan dapat membangkitkan rasa keindahan baik berbentuk tulisan, gerakan, suara, goresan, atau bentuk lainnya, termasuk kesenian. Oleh karena itu, penjelmaan rasa keindahan (estetis) dapat berupa seni suara (nyanyian dan musik), seni sastra (puisi, prosa, dan drama), seni lukis (lukisan), seni ukir (kayu), seni pahat (batu), seni tari (tarian, balet, dance), seni teater ‘acting’ (drama, pantomim, opera, sendratari, wayang orang, kethoprak, ludruk, film, dan lain-lain), ornamen, dan kaligrafi. Semua itu tergolong karya seni.
Jadi, berseni atau tepatnya berkarya seni adalah mengekspresikan perasaan dan pikiran melalui proses kreatif dengan daya imajinasi ke dalam bentuk karya yang indah atau karya seni. Berkarya seni dengan demikian membutuhkan sensitivitas perasaan terhadap alam sekitar atau kehidupan lingkungan dengan melalui proses kontemplasi. Adapun karya seni dapat berupa gerak, suara, tulisan, benda, dan sebagainya.
Di pihak lain, kebutuhan akan keindahan merupakan fithrah manusia, yang merupakan anugrah dari Tuhan. Karena Islam sesuai dengan fithrah manusia, sedangkan seni itu fithrah manusia, maka dengan sendirinya berseni dibenarkan oleh Islam. Seni merupakan cabang kebudayaan, dan kebudayaan adalah kehidupan, sedangkan kehidupan itu pemberian Tuhan. Adapun kesenian merupakan bagian dari kehidupan dan kehidupan merupakan nikmat dari Tuhan, maka tidak mungkin diharamkan Tuhan (Idris,1983: 91; lihat Anshari, 1986: 154). Artinya, seni atau berseni itu dapat dibenatkan, boleh-boleh saja.
Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Musa, “Sesungguhnya kamu telah diberi seruling dari seruling-seruling keluarga Dawud.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi). Juga Rasulullah saw. tidak menampakkan sikap tidak senang ketika beliau melewati sekelompok orang yang sedang menari, bahkan bersabda: “Menarilah dengan sebaik-baiknya wahai Banu Arfidah, agar orang-orang Yahudi dan Nashrani dapat menyaksikan, bahwa agama kita sesungguhnya memberi keleluasaan.”
Adapun mengenai adanya larangan dari sebagian ulama dalam menciptakan patung ataupun lukisan, maka sebenarnya jika kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an mengenai berhala dan penyembahannya kita akan menemukan, bahwa larangan itu ditujukan langsung terhadap perbuatan syirik yakni penyembahan berhala yang mempertuhankannya di samping Allah saat itu (lihat asbabun nuzul-nya). Hal ini tersurat dalam firman Allah: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar: …..’Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?” (Q.S. al-An’am: 74), dan dalam ucapan Ibrahim: “Hai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (Q.S. Maryam: 42).
Dengan kata lain, menciptakan karya seni berupa patung (baik dari kayu, perunggu, emas, maupun batu) ataupun lukisan, sepanjang tidak dimaksudkan untuk disembah, maka hukumnya sama seperti karya seni yang lain dapat dibenarkan. Berkarya seni patung atau lukisan itu secara otomatis berubah menjadi dilarang ketika karya seni itu disalahgunakan untuk disembah atau dipertuhankan; atau karya seni/ dalam berseni cenderung ke arah destruktif baik terhadap penikmat maupun senimannya.

4. Mengekpresikan Seni dalam Islam
Deskripsi di atas menjelaskan bahwa kesenian merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi manusia. Karena, ia berhubungan dengan perasaan dan emosi masyarakat. Ia juga membangun kecenderungan, selera, dan orientasi kejiwaan masyarakat dengan berbagai instrumen/ perangkat yang dapat didengar, dibaca, dilihat, dirasakan, dan direnungkan. Masalahnaya sekarang adalah bagaimana cara mengekspresikan karya seni yang sejalan dengan ajaran Islam?
Seni, tidak ubahnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat dipergunakan untuk maksud kebaikan, pembangunan, dan pencerahan (konstruktif), namun dapat pula dipakai untuk maksud kejahatan dan perusakan (destruktif). Jadi, seni dapat menjadi wahana untuk mengeskpresikan hasil kreativitas yang pada gilirannya dapat semakin mendekatkan sang seniman dan penikmatnya kepada Tuhan. Namun, dapat pula berseni jika tidak hati-hati, tanpa disadari atau disadari dapat menjadi media untuk menuangkan hasil kreativitasnya dalam bentuk karya seni yang dapat membuat sang seniman dan penikmatnya semakin jauh dari Tuhan (Imron A.M., 1998).
Dengan demikian, berseni dapat menimbulkan dampak positif baik bagi seniman maupun penikmatnya, dapat pula berdampak negatif. Di sinilah letak kadar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat akan dapat dinilai. Berseni selayaknya dapat mengekspresikan dimensi transendental –perpaduan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan—ke dalam bentuk karya seni yang indah, yang mampu membangkitkan perasaan keindahan, mengetuk hati nurani, dan memperkaya khasanah batin manusia. Sehingga, berseni berarti berkreasi seni yang dapat memperhalus akal budi, mengasah dan mempertajam kepekaan (sensitivitas) perasaan kita terhadap sesama dan lingkungan kita. Bukan sebaliknya, berseni justru membangkitkan selera rendah, merangsang nafsu hewani dan meracuni hati nurani. Yang terakhir inilah berseni yang harus dihindari.

5. Mencari Landasan Hukum Berseni
Berangkat dari fungsi seni sebagai media untuk mengekspresikan kreativitas sekaligus menyampaikan dan/ atau mencapai maksud tersebut, maka hukum seni itu mubah sepanjang cara pelaksanaannya (kaifiyah-nya) tidak menyalahi (bertentangan) dengan ajaran Islam (Idris, 1983: 93). Jika secara substanstif dan pragmatik (pelaksanaannya) seni dipakai untuk sesuatu yang halal, maka halal pula hukumnya. Sebaliknya, jika seni digunakan dalam hal-hal yang haram, maka haram pula hukumnya. Hal ini berdasarkan pada suatu kaidah, bahwa sesuatu yang diharamkan dalam Islam pada hakikatnya disebabkan oleh salah satu atau beberapa dari lima unsur penyebab, yakni: merusak agama, merusak jiwa (moral, batin), merusak kehormatan, merusak harta benda, dan merusak keturunan.
Dalil-dalil tersebut semakin memperkuat kesimpulan, bahwa berseni –dengan aneka bentuk dan genrenya-- menurut Imam Malik (dalam Idris, 1985: 92) dalam Islam hukumnya adalah mubah, tidak haram, selama substansi seni dan cara mengekspresikannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Dan, jika berseni disertai dengan hal-hal yang haram –termasuk lima unsur penyebab di atas--, maka hukumnya menjadi haram pula. Jadi, berseni menjadi haram hukumnya jika berseninya itu terikat oleh al-Malahi (segala sesuatu yang membuat orang lupa kepada Allah), al-Khamar (minuman keras/ beralkohol), al-Qainat (cabul, erotis, mengumbar aurat), dan asy-Syirik (jiwa kemusyrikan, penghambaan pada makhluk) (bandingkan dengan Abdullah bin Nuh, dalam Idris, 1985: 93). Kaidah Ushul Fiqh menyatakan:

“Mencegah adanya kerusakan atau bahaya lebih didahulukan daripada maksud menarik adanya kebaikan.” (dalam Idris, 1983: 93).

6. Etika Berseni
Istilah etika, moral, dan akhlak sering dipakai secara bersamaan, dan makna etimologisnya sama, yakni adat, kebiasaan, perangai, dan tabiat. Hanya saja ketiganya berasal dari bahasa yang berbeda, masing-masing dari bahasa Yunani ethos (jamaknya ta etha), bahasa Latin mos (jamaknya moses), dan bahasa Arab khuluq (jamaknya akhlaq) (Bertens, 1994: 4-5). Namun, ketiganya memiliki sisi universal yang sama yakni mengarah pada konsep benar (right), salah (wrong), baik (good), dan buruk (bad) (Intyre dalam Tafsir dkk., 2002: 12).
Moral dipahami sebagai ajaran, khutbah, dan patokan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral dapat meliputi: agama, tradisi/ budaya, adat istiadat, dan ideologi tertentu (Suseno, 1987: 14). Maududi (1971: 19) membagi moral menjadi dua yakni moral religius yang mengacu pada agama dan sumber ajarannya, dan moral sekuler yang bersumber pada ideologi-ideologi non-agama.
Akhlak dari bahasa Arab akhlaq dari bentuk jamak khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, dan tabiat. Menurut Imam Al-Ghazali, “akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan” (dalam Ilyas, 1999: 2). Jika mengacu pendapat Maududi di atas, maka akhlak termasuk moral religius.
Etika dalam bahasa Inggris ethic berarti system of moral principles atau a system of moral standard values (Neufeld (Ed.), 1999: 400). Jadi secara singkat etika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral). Etika adalah ilmu yang membahas baik dan buruknya tindakan manusia, bukan sah dan tidak sahnya tindakan manusia. Etika hanya menyoroti tindakan manusia yang disengaja, yakni tindfakan yang dihasilkan oleh oleh kehendaknya, tindakan yang telah dipikirkan sebelumnya (Dardiri, 1986: 21). Dan, seperti halnya akhlak, secara etimologis etika juga memiliki makna yang sama dengan moral. Namun, secara terminologis etika memiliki makna yang lebih luas daripada moral, sebab etika memiliki tiga posisi yakni sebagai sistem nilai, kode etik, dan filsafat moral (Bertens, 1990: 6).
Sebagai sistem nilai, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam posisi inilah sebagian besar makna etika dipahami sehingga muncullah ‘Etika Islam’, ‘Etika Barat’, dan sebagainya. Dalam posisi ini pula makna etika sama dengan moral. Dan, dalam pengertian inilah etika dalam tulisan ini dipahami. Jadi, etika dalam tulisan ini adalah keseluruhan norma dan nilai yang dirujuk oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana seseorang seharusnya menjalani kehidupannya; bagaimana membawa diri, dan sikap-sikap dan tindakan mana yang harus dilakukan seseorang agar hidupnya sukses.
Etika merupakan sifat yang tumbuh dan berkembang menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku/ perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, pemaaf, kasih sayang, dermawan, suka menolong, adil, bijaksana atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki sehingga memutuskan silaturrahim, pelit, dan zhalim.
Berdasarkan pengertian etika di atas, maka etika berseni diartikan sebagai tata cara yang mengatur perilaku dalam berkreasi/ berkarya seni dalam bentuk dan genre seni apapun. Dalam hal ini, sesuai dengan motto “UMS: Wacana Keilmuan dan Keislaman”, maka tentu saja etika berseni di sini adalah etika yang selaras dengan ajaran Islam (moral religius). Etika berseni di sini berlaku baik pada proses penciptaan karya maupun dalam penyajian karyanya. Misalnya: penyanyi yang sedang menyanyikan lagu, penyair ketika sedang menulisdan membaca puisi, atau karyanya itu sendiri misalnya berupa lagu, puisi/ novel, patung, dan sebagainya.
Uraian di atas membuktikan bahwa Islam mendorong umatnya untuk menikmati dan menciptakan karya seni baik nyanyian, musik, sastra, lukisan, arsitektur, ornamen, patung, maupun tarian sebagai refleksi atas objek yang dihadapinya. Seni juga dapat merupakan bentuk ekspresi pikiran dan perasaan bahkan terkadang sebagai ekspresi rasa syukur kita atas nikmat Ilahi pada kita. Masalahnya, bagaimana etika berseni menurut Islam?
Berkarya seni, menurut Islam dapat merupakan formulasi ibadah jika memenuhi kriteria: (1) Ikhlash sebagai titik tolak; (2) Mardhatillah sebagai titik tuju; dan (3) Amal shalih sebagai garis amal. Oleh karena itu, karena seni merupakan bagian dari kehidupan manusia, maka tujuan berseni bagi seorang Muslim tidak lain adalah (untuk mencapai) kebahagiaan spiritual dan material di dunaia dan akhirat (Q.S. al-Baqarah: 210). Sehingga, seorang Muslim yang baik yang berkreasi seni pada hakikatnya adalah: (1) melaksanakan tugas ibadah dan (2) menunaikan fungsi Khilafah (lihat Anshari, 1986: 154). Dengan sendirinya, dalam berseni pun mesti memakai etika sejalan dengan ajaran Allah.
Islam memberikan beberapa kriteria dalam berseni. Seperti dikatakan di muka, kaidah utama berseni yang Islami –sesuai dengan etika Islam-- itu harus memberikan manfaat bukan malah mendatangkan madharat, destruktif terhadap moral/ mental orang yang menikmati, atau bahkan yang menciptakannya.
Berdasarkan pemikiran itu, maka dalam berseni seorang Muslim harus memperhatikan etika Islam. Paling tidak ada lima kriteria atau pedoman etika yang harus diperhatikan sebagai acuan dalam berseni. Lima kriteria itu, menurut Qardhawi (1999: 67-73), dapat dijadikan barometer apakah suatu karya seni atau berseni dapat digolongkan mubah atau haram hukumnya. Lima kriteria etika berseni yang Islami itu antara lain:
6.1 Substansi/ isinya sesuai dengan ajaran Islam.
Karya seni, dari segi substansi/ isinya harus sesuai dengan ajaran dan etika Islami. Ajaran Islam sangat luas namun intinya ada dua yakni dimensi Ilahiyah dan dimensi Insaniah, memadukan aspek ketuhanan dan kemanusiaan. Apa pun jenisnya: lagu, sastra, drama/ teater, tarian, patung, lukisan, dan lain-lain, esensi karya seni Islami tidak bertentangan dengan ajaran atau akhlak Islami. Oleh karena itu, nyanyian yang membakar rasa permusuhan, mensosialisasikan judi, minuman keras, dan membincangkan seksualitas dan bagian sensitif perempuan/ laki-laki, itu jelas tidak Islami. Misalnya, lagu-lagu populer atau ndhang dhut yang kini banyak diperdengarkan di radio dan terlebih acara ndhang dhut akhir-akhir ini yang ditayangkan di televisi melalui sajian goyang ngebor bersama Inul dan Inul-inul lainnya (pengekor Inul), sebagian besar berselera rendah yang membangkitkan nafsu birahi. Jika itu terjadi, maka dapat beralihlah nyanyian itu dari hukum boleh kepada hukum haram, syubhat, atau makruh.
Allah mengingatkan kita: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah menahan pandangannya…” (Q.S. an-Nur: 30). “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah menahan pandangannya…” (Q.S. an-Nur: 31).

6.2 Penyajian dan dan gaya penampilannya harus Islami.
Dalam berseni, penampilan dan gaya menyajikannya harus memenuhi nilai-nilai moral Islam, atau akhlaqul karimah. Nyanyian misalnya, tidak boleh dicampur dengan perilaku yang haram. Ia tidak disertai memamerkan aurat dan/ atau keseksian perempuan dan laki-laki, menonjolkan bagian yang sensitif tubuh perempuan dan/ atau laki-laki, menyertakan erotisme yang mendorong perbuatan amoral, berpelukan bersama lelaki-perempuan yang bukan muhrimnya, dan sebagainya (lihat Baghgdadi, 1995: 66). Dalam menyanyi misalnya, mungkin isi/ syair lagunya biasa saja, tetapi cara menyanyikannya dengan dengusan erotis dan rintihan sensual, penampilan dan gaya sedemikian rupa sehingga membangkitkan nafsu birahi atau menerbitkan rangsangan seksual serta meracuni hati.
Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Janganlah kamu tunduk (dibuat-buat, dilembut-lembutkan) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S.al-Ahzab: 32).
6.3 Dalam menyajikan karya seni tidak disertai benda haram.
Seni dan berseni memang boleh dan sah-sah saja. Namun, dalam menyajikan karya seni tidak boleh disertai dengan sesuatu atau benda yang haram, seperti minum khamr (minuman keras) atau mabuk-mabukan, mengkonsumsi NARKOBA (ekstasi, sabu-sabu, dan jenis lainnya) sehingga mengalami fly ‘melayang-layang’ tak terkontrol, dan sebagainya. Inilah gambaran yang segera terlintas ketika kita menyebut pentas musik dan lagu, khususnya jika penyanyinya perempuan. Hal ini pula yang diingatkan Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Sungguh, akan ada beberapa orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamainya dengan nama lain, di atas mereka ditabuhkanlah instrumen musik dan dipertontonkan biduanita-biduanita. Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan mereka kera dan babi” (H.R. Ibnu Majah).
6.4 Tidak berlebihan dalam penyajian kreasi seni.
Berkreasi seni sebagai ekspresi perasaan dan pikiran sejauh apa pun dalam Islam diperbolehkan, asalkan karya seni atau dalam menyajikan kreasi seni itu tidak berlebih-lebihan. Semua hal, yang hukumnya mubah –termasuk berseni--, jika dibawakan dengan berlebih-lebihan, maka akan dapat berubah menjadi haram. Misalnya, lagu-lagu populer yang berbicara tentang cinta dan kerinduan kepada lawan jenis atau bahkan ungkapan birahi terhadap kekasih yang sering dinyatakan secara berlebih-lebihan. Perlu dipahami, bahwa manusia hidup tidak hanya berurusan dengan cinta belaka, sedangkan cinta itu sendiri tidak hanya untuk perempuan, dan perempuan itu tidak hanya terdiri atas jasad dan nafsu syahwat belaka. Karena itu, nyanyian yang hanya mengeksploitasi seks atau selera rendah semacam itu hendaknya dihindari. Kita harus adil dan seimbang dalam mengatur kehidupan kita antara hiburan, bekerja, dan kegiatan lainnya. Perasaan manusia juga beragam: cinta, rindu, cemburu, tetapi juga perasaan adil, kemanusiaan, perasaan sosial, dan pendidikan akhlak, intelektual, dan lain-lain.
6.5 Dalam berseni (isi dan penyajiannya) dikembalikan kepada hati nurani.
Islam merupakan agama paling modern yang sangat luas ajarannya. Berkreasi seni itu baik isi maupun pembawaan, penampilan, dan penyajiannya, maka mubah atau haramnya dapat dikemba-likan kepada hati nurani masing-masing. Bukankah hati nurani kita tidak pernah berbohong?. Jika karya seni dapat menimbulkan nafsu syahwat, melambungkan khayalan mengenai selera rendah, menerbitkan pikiran yang ngeres-ngeres, dan menjadikan naluri hewani dominan atas sisi ruhaninya, hendaklah kita menjauhi seketika itu juga. Lebih baik kita berhati-hati, kita tutup pintu fitnah rapat-rapat daripada kita kecolongan atau terperangkap di dalam nafsu syathaniyah.

7. Seni Relegius
Seni relegius merupakan karya seni yang substansinya mampu mendekatkan penikmat dan/ atau seniman kepada Tuhan selaku Dzat yang Mahaindah, yang menciptakan alam semesta dengan segala keindahananya. Jadi, seni relegius yang sering disebut juga seni transendental adalah karya seni yang mampu memadukan dimensi Ilahiyah dengan dimensi insaniyah; relegiusitas dengan humanitas; ketuhanan dengan kemanusiaan. Genre seni demikian mampu memperkaya khazanah batin manusia dan menyentuh hati (qalb) dan pikiran (fikr) manusia. Dan, seni relegius menyadarkan eksistensinya sebagai makhluk yang pada pada gilirannya akan mendekatkannya kepada Sang Khalik.
Berangkat dari definisi di atas, materi atau substansi seni relegius tidak harus berupa ajaran Islam yang bersifat formal (rukun iman, rukun Islam, perintah dan larangan), terlebih berbahasa Arab, melainkan apa saja yang dapat menggelitik pikiran atau menyentuh batin manusia untuk menuju pada kedekatan insan (makhluk) dengan Tuhan Allah (Khalik). Kita dapat merasakan, terkadang lagu-lagu Qasidah (misalnya Nasyida Ria, Raehan, Snada, dan lain-lain), musik Rebana atau Hadrah yang sarat ajaran Islam formal, belum tentu lebih Islami ketimbang lagu-lagu Ebiet G. Ade, Bimbo, Rhoma Irama, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dengan Kyai Kanjengnya; puisi Amir Hamzah, Taufik Ismail, dan Rendra; cerpen/ novel A.A. Navis, Danarto, Ramadhan K.H., dan Kuntowijoyo yang religius bahkan sufistik. Demikian pula lukisan Jeihan, M. Sadeli, dan Amry Yahya, sangat religius meskipun tak eksplisit atau vulgar warna Islamnya. Juga film/ sinema karya Chairul Umam, Syu’bah Asa, Eros Djarot, adalah karya seni yang mampu mengajak kita berkontemplasi dengan membaca fenomena kehidupan yang akhirnya bermuara pada eksistensi insani dan keagungan Ilahi.
Sebagai ilustrasi cobalah kita simak sepenggal syair lagu Ebiet G. Ade berjudul "Untuk Kita Renungkan" berikut.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat
Oh… singkirkan debu yang masih melekat
Du… du… du…

Anugrah dan bencana adalah kehendak-Nya
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cambuk kecil agar kita sadar
Adalah Dia di atas segalanya
Oh….. adalah Dia di atas segalanya.

Anak menjerit-jerit asap panas membakar
Lahar dan badai menyapu bersih
Ini bukan hukuman hanya satu isyarat
Agar kita mesti banyak berbenah

Memang bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan masih banyak tangan
Yang tega berbuat nista Oh…..

Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang kita perbuat
Ke manakah lagi kita ‘kan sembunyi
Hanya kepada-Nya kita kembali
Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari kita runduk sujud pada-Nya
Du… du… du… hm… hm… hm…

Perhatikan pula sebuah kalimat dalam novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. berikut ini:
“Di malam gelap-gulita seseorang membutuhkan seekor kunang-kunang.”

Demikian pula sebait puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah:

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu.
……………………..

Rasakan pula sentuhan perasaan Abdulhadi W.M. dalam puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” berikut ini:

Tuhan
Kita begitu dekat
Bagai api dan panasnya

Tuhan
Kita begitu dekat
Bagai kain dan kapasnya

Tuhan
Kita begitu dekat
Bagai laut dan anginnya

Tuhan
Kita begitu dekat.
Kini aku nyala
Pada lampu padammu.

Seni budaya Islam yang selama ini terkesan statis atau tradisional dan identik dengan seni kaum santri atau sarungan yang cenderung menampilkan ajaran Islam secara formal dan normatif (bahkan sering vulgar), seperti qasidah yang selalu mendendangkan syair-syair berbahasa Arab, atau syair-syair berbahasa Indonesia yang berisi ajaran Islam formal (rukun iman, rukun Islam, perintah dan larangan tanpa dikemas dengan stilistika yang baik), sudah saatnya segera didekonstrusi dan selanjutnya direkonstruksi dalam seni modern yang mengglobal. Cak Nun, Taufik Ismail, Bimbo, dan Ebiet G. Ade, adalah beberapa profil seniman yang mencoba mengaktualisasikan kembali nilai Islam dalam seni yang indah dan enak dinikmati, meski ajaran Islamnya tak eksplisit. Karya-kara mereka ini terkadang justru lebih menggelitik, menyayat, dan menyentuh perasaan religiusitas kita ketimbang karya seni/ lagu-lagu dan musik qasidah yang vulgar mengkhutbahkan ajaran Islam formal. Karya-karya seni ciptaan Cak Nun, Taufik Ismail dan kawan-kawan tersebut mampu mengelus, mengusap, dan membelai-belai perasaan Ilahiyah kita, sehingga kita serasa bangkit perasaan religiusitaskita. Karya religius semacam itu mampu membuat kita serasa dekat sekali dengan Ilahi yang Mahatinggi, meski kita tidak harus membaca atau mendengar ayat-ayat al-Quran atau hadits Nabi yang secara harfiah. Justru di nilah letak kekuatannya: menyentuh lembut nurani manusia.

8. Penutup
Mengakhiri pembicaraan mengenai etika berseni dalam Islam, maka perlu digarisbawahi bahwa Islam pada dasarnya mendorong umatnya untuk berkreasi seni. Berseni hukumnya mubah, kita boleh saja berkreasi sejauh dan sekreatif apa pun tidak dilarang. Asalkan, isi/ substansi seni dan cara berseni atau membawakannya sesuai dengan etika Islami.
Prinsip utama berseni dalam Islam adalah seni atau berkreasi seni harus konstruktif (mencerahkan, bermanfaat) bukan destruktif (madharat, merugikan) dari segi moral spiritual bagi penikmat dan/ atau penciptanya. Jika berseni sesuai dengan ajaran Islam, baik substansi maupun cara membawakannya, maka berseni akan dapat menjadi ibadah kepada Allah swt. sekalighus sebagai perwujudan tugas kita sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Seni relegius menawarkan alternatif nilai-nilai yang memperkaya batin manusia dengan dimensi Ilahiyah, tanpa harus mengkhutbahi penikmatnya. Seni Islami mengajak penikmatnya melakukan kontemplasi secara intensif sehingga mampu mendekatkannya kepada Sang Khalik. Seni hakiki berfungsi “mencerahkan” kehidupan manusia sehingga turut menebarkan rahmatan lil ‘alamin, bukan menebar laknat bagi alam semesta.


Daftar Pustaka:

Anshari, Endang Syaifuddin. 1986. Kuliah Al-Islam. Jakarta: Rajawali.

Anwar, Wadjiz. 1985. Filsafat Estetika. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Gie, The Liang. 1983. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Supersukses.

Idris, Taufiq. 1983. Mengenal Kebudayaan Islam. Surabaya: Bina Ilmu.

Imron A.M., Ali. 1998. “Kebudayaan Tauhid Sebuah Pencarian Paradigma Profetik” dalam Jurnal
Akademika Universityah Muhammadiyah Surakarta No. 2 Tahun XV.

Jabbar, M. Abdul (Ed.). 1988. Seni dalam Peradaban Islam (Terj. Yustiono dan Edy Sutriyono).
Bandung: Pustaka.

Jassin, H.B. 1978. Al-Qur’anul Karim: Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.

Qardhawi, Yusuf. 1998. IslamBicara Seni (Terj. Wahid Ahmadi dkk.). Solo: Intermedia.

____________________
*) Digelar dalam Diskusi “Seni dan Budaya” oleh Unit Seni dan Film Univ. Muhammadiyah Surakarta tanggal 20 Desember 2003 di Bumi Perkemahan Indra Prasta Boyolali.

ooOoo

Rabu, 04 Mei 2011

IMAN DAN REVITALISASI BUDAYA MALU

Oleh
Ali Imron Al-Ma'ruf


"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang yang melampaui batas" (Q.S. Ma'arij: 29-31).

Gaya hidup Barat yang sekuler, kini sudah melanda kehidupan masyarakat Indonesia sehingga terjadi perubahan nilai kehidupan. Yang dulu dipandang baik kini dipandang rendah, yang dulu tabu kini malah menjadi kebanggaan. Pakaian ‘cekak’, ketat, dan membuka aurat adalah contoh aktual. Dulu orang merasa malu mengenakan pakaian seperti itu, kini para ABG seolah-olah ‘berlomba-lomba’ adu/ pamer keberanian: makin minim, makin ketat, makin terbuka, mereka makin bangga, tanpa merasa malu.
Nilai-nilai moral dan agama makin diabaikan oleh masyarakat. Implikasinya, kebebasan bergaul menjadi trend bahkan menjadi gaya hidup yang dibanggakan. Pasangan remaja ABG belum dikatakan pacaran jika belum mencapai “puncak gunung kembar” dan ‘memasuki goa’ (berhubungan seks), atau lebih dikenal dengan KNIP: kissing, netting, petting, and interchousing. Ironisnya justru kaum terpelajar yang menjadi pelopornya. "Wabah kebebasan bergaul" kini sudah menjalar dalam masyarakat Indonesia.
Efek Kebebasan Bergaul
Kebebasan bergaul telah melahirkan kebebasan seks kemudian menimbulkan bahaya yang amat mengerikan bagi manusia yakni terjangkitnya penyakit AIDS yang belum ada obatnya, di samping penyakir-penyakit kelamin lainnya seperti: GO dan siphillis. Karena itu, AIDS telah menimbulkan kepanikan masyarakat di seluruh dunia.
Menurut hasil penelitian, munculnya AIDS bermula dari adanya hubungan seks sesama jenis (homoseks) sehingga dinyatakan bahwa orang yang rawan terkena AIDS adalah mereka yang homoseks. Namun, kini ditemukan bahwa heteroseks –berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks-- yang paling banyak terkena.
Menurut al-Quran, perilaku homoseksual sudah ada sejak zaman Nabi Luth a.s. di daerah Sodom dan Gomoral (karenanya homoseksual disebut "sodomi"). Kaum homoseksual pada zaman Nabi Luth disebut Liwath yakni berhubungan badan sesama jenis, seperti tersurat dalam Qur'an:

"Mengapa kamu (laki-laki) mendatangi jenis laki-laki di antara manusia”.
Perilaku seks bebas terlebih homoseksual merupakan perbuatan yang sangat dikecam oleh Islam, karena merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.

“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, karena sesungguhnya zina itu cara yang keji dan seburuk-buruk jalan” (Q.S. al-Isra': 32)

“..... Tapi orang yang mencari selain itu, merekalah yang melampaui batas.”
(Q.S. al-Ma'arij: 29-31).

Menjauhi Penyakit Masyarakat Ma-Lima
Berbagai penyakit masyarakat yang kini semakin meraja-lela adalah kebiasan buruk yang dalam budaya masyarakat Jawa dikenal dengan istilah Ma-Lima: main (judi), maling (mencuri), madon (main perempuan), minum minuman keras, madat (mengkonsumsi Narkoba). Semua itu kini tampaknya bukan semakin surut tetapi justru semakian meluas akibat pengaruh gaya hidup bebas dan semakin ringkihnya nilai-nilai moral agama.
Jika orang sudah terjerat oleh salah satu atau beberapa penyakit masyarakat tersebut biasanya sulit untuk melepaskan diri. Ibarat orang yang sulit melepaskan dari cengkraman Gurita Raksasa.

Revitalisasi Budaya Malu dalam Kehidupan Masyarakat
Semua perilaku maksiat di atas terjadi karena pelakunya tidak memiliki rasa malu. Budaya malu tampaknya kini tersingkir dari kehidupan masyarakat. Padahal budaya malu sangat penting dalam kehidupan manusia terlebih bagi Muslim. Bahkan, malu adalah setengah dari iman. Rasululaah Saw. bersabda:

“Malu adalah sebagian dari iman.”
Mengantisipasi godaan kehidupan yang makin besar seiring dengan perubahan nilai akibat adanya transformasi sosial-budaya yang melahirkan budaya global yang sering jauh dari nilai moral agama itu, maka tinggal iman dan taqwalah yang mampu menjadi benteng terakhir bagi manusia dari godaan duniawi. Dalam hal ini, budaya malu yang menjadi indikasi utama kualitas iman seseorang merupakan sesuatu yang harus diindahkan. Budaya malu akan melahirkan akhlak mulia sebagai indikasi kemuliaan seorang mukmin.

“Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, maka jika lenyap salah
satunya hilang pulalah yang lain.” (H.R. Hakim dan Thabrani)

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi)

Godaan dan tantangan duniawi yang semakin garang menerjang kehidupan masyarakat adalah kebebasan seks pranikah yang merupakan anak kandung kebebasan bergaul. Kesenangan dan kenikmatan sesaat itu sering menjerumuskan manusia dalam sejelek-jelek makhluk. Seperti disitir oleh Allah, bahwa manusia demikian disebut sebagai serendah-rendah makhluk:

‘kemudian dikembalikan menjadi makhluk yang paling rendah dari yang rendah’
(Q.S. at-Tiin: 5).
Untuk itulah, sebagai Khalitullah fil ardhi, wakil Allah di bumi, kita perlu melakukan introspeksi baik secara individual maupun kolektif dan institusional. Adakah pelajaran Agama Islam di sekolah atau kuliah Studi Islam di perguruan tinggi selama ini membuahkan hasil yang optimal bagi internalisasi ajaran Islam kepada mahasiswa. Atau, adakah ada yang salah dalam pelaksanaan pendidikan Agama Islam sehingga baru merupakan Islamologi, dalam dataran epistemologis atau ontologis saja, belum sampai pada dataran aksiologis?

Melahirkan Generasi Muda Muslim yang Militan
Guna mencegah berbagai fenomena kemaksiatan dan tindak kerusakan yang melanda kalangan generasi muda tersebut, ada beberapa cara alternatif yang dapat digunakan, antara lain: Pertama, adalah penanaman pendidikan agama –terutama aqidah iman, pembiasaan ibadah, dan pembudayaan akhlak mulia-- di rumah oleh orang tua kepada anak sejak dini. Sejak kecil anak harus dibiasakan mengamalkan ajaran agama. Pada umumnya orang tua baru “kebakaran jenggot” setelah mendapati kenyataan anaknya jarang melakukan shalat, puasa juga tidak. Bahkan, dia terkejut ketika diketahui anak perempuannya sudah kehilangan kehormatannya bahkan sudah hamil, atau anak laki-lakinya diminta tanggung jawab karena menghamili pacarnya. Dalam kondisi demikian, biasanya, orang tua hanya bisa memarahi anaknya, tanpa mau introspeksi bahwa sebenarnya mereka punya andil dalam membuat anaknya demikian. Bukankah Rasulullah Saw. bersabda:

“Setiap anak manusia lahir dalam keadaan fithrah (suci), orang tuanyalah yang
membuatnya menjadi Yahudi, Majusi, atau Nashrani.”

Dalam kehiduapn yang modern ini hanya iaman dan taqwa yang akan dapat menjadi benteng kokoh pula menghadapi godaan kehidupan betapa pun beratnya.
Kedua, pendidikan seks dan reproduksi dengan pendekatan agama sejak anak masih kecil. Agama Islam memiliki ajaran yang komplit yakni aqidah, ibadah, dan mu’amalah, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia termasuk masalah reproduksi. Jika anak memiliki iman dan pengetahuan tentang seks dan reproduksi secara benar niscaya akan membuat remaja Muslim akan berpikir seribu kali untuk berbuat zina. Selain takut akan siksaan (adzab) Allah Swt., mereka juga takut akan akibat yang akan ditanggungnya. Rasa malu terhadap lingkungan sosialnya, perasaam berdosa, penderitaan psikologis selama hamil dan melahirklan anak tanpa suami.
Ketiga, revitalisasi pendidikan moral, budi pekerti, atau akhlak. Lembaga pendidikan formal terutama TK, SD, SMP dan SMA, berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai akhlak terhadap anak didiknya. Jika anak sejak bersekolah di TK, SD, hingga SMP dan SMA dibiasakan berperilaku dengan landasan akhlak terpuji, maka insya’Allah mereka akan terhindar dari perbuatan maksiat termsuk ma-lima. Sayangnya sejak Kurikulum 1984 diberlakukan, tidak ada lagi pelajaran Budi Pekerti di sekolah. Mungkin, itulah satu sebab mengapa masyarakat Indonesia sekarang mengalami dekadensi moral dan erosi budi pekerti.
Keempat, pembudayaan perilaku beragama seperti beribadah, membaca al-Qur’an, al-Hadits, buku agama, dan beramal shalih, baik di rumah, di perjalanan, maupun di tempat umum. Di mana pun kita berada, kita harus membudayakan perilaku beragama seperti shalat, berpuasa, zakat/ infak. Dengan cara itu, insya’Allah anak kita akan terbiasa dengan amal shalih.
Adalah tanggung jawab kita, terlebih para pendidik, ulama, dan intelektual Muslim untuk semakin meningkatkan komitmen kita terhadap pembinaan moral dan akhlak umat Islam yang semakin luntur jika tidak boleh dikatakan mengalami degradasi yang sangat tajam dibanding dua dekade yang lalu. Karena itu, kita tingkatkan dakwah mengajak kebaikan dan mencegah kemaksiatan. Kita mulai dari diri kita sendiri dan keluarga kita. Bukankah Allah Swt. berfirman Quu anfusakum waahliikum naaraa? ***)

MUSIBAH NASIONAL: CAMBUK KECIL BAGI MANUSIA

Catatan Pinggir Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi
Oleh Ali Imron Al-Ma’ruf

Musibah demi musibah terjadi silih berganti pada dekade awal abad IXX di tanah air yang menimpa bangsa Indonesia. Puluhan bahkan ratusan ribu warga masyarakat Indonesia kehilangan nyawa ataupun hilang tak tentu rimbanya dengan kerugian materi/ harta benda bangunan fisik dan sarana prasarana umum dalam jumlah relatif besar hingga mencapai milyaran bahkan trilyunan rupiah. Bangsa Indonesia berduka.
Tercatat dalam sejarah musibah nasional yang memilukan hati, setidak-tidaknya dimulai dari gelombang dahsyat tsunami yang memporakporandakan wilayah Aceh, Desember 2005. Disusul gempa bumi dahsyat yang meluluhlantakkan Jogja dan sekitarnya (2006). Tidak lama kemudian, kita dikejutkan oleh musibah hebat dengan keluarnya semburan lumpur panas jutaan m3 yang menenggelamkan ribuan rumah dan bangunan di daerah Porong Sidoharjo Jawa Timur yang hingga kini masih berlanjut.
Ketika umat Islam sedang khusyuk menunaikan ibadah puasa Ramadhan, awal September 2009, kembali gempa bumi hebat mengguncang wilayah Jawa Barat. Bahkan, saat umat Islam baru saja merayakan Idul Fithri 1430 H, pada sore 30 September 2009, kita dikejutkan lagi oleh gempa bumi dahsyat yang memporakporandakan Sumatra Barat, terutama daerah Padang Pariaman. Akibatnya, ratusan bangunan gedung, rumah, dan jembatan runtuh serta tanah longsor sehingga ratusan orang terkubur hidup-hidup. Ribuan nyawa melayang. Kini, banjir juga menggenangi Sulawesi Tenggara. Sebaliknya, kekeringan di berbagai wilayah di tanah air menyebabkan tanaman di sawah menjadi puso. Lengkaplah rasanya musibah itu.
Yang masih terngiang dan rasanya baru saja terjadi adalah meletusnya Gunung Merapi (2010) yang memporakporandakan daerah Jogja dan sebagian Jawa Tengah serta menyebabkan banyak korban baik jiwa maupun harta benda termasuk meninggalnya tokoh spiritual Gunung Merapi Mbah Marijan. Bahkan, hingga kini efeknya masih berlangsung dengan sering adanya banjir lahar dingin yang merusak banyak bangunan dan sawah ladang di daerah Sleman Jogja dan Magelang Jawa Tengah.

Permasalahannya adalah bagaimana sebenarnya berbagai musibah itu dalam pandangan Islam? Lalu, bagaimana kita sebagai umat yang beriman kepada Allah menyikapi musibah nasional yang memilukan itu?

Maraknya Perbuatan Dosa
Dalam konteks itu, Allah telah menegaskan kepada orang-orang yang beriman melalui al-Quran Surat ar-Ruum: 41: ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oaleh perbuatan manusia supaya Allah meresahkan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka itu.”
Allah juga memperingatkan kita bahwa musibah yang menimpa masyarakat itu merupakan akibat dari ulah manusia sendiri. Beruntung Allah Maha Pengasih dan Penyayang sehingga masih memaafkan sebagian besar kesalahan umat manusia. Jika tidak, mungkin musibah demi musibah akan terus terjadi silih berganti menimpa masyarakat. Pada surat Syura: 30 Allah memberikan isyarat tentang musibah itu: ”Dan apa saja yang telah menimpa kalian berupa mausibah itu disebabkan oleh tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar di antaranya.”
Ayat al-Quran tersebut agaknya relevan dengan berbagai fenomena yang terjadi di tanah air kita akhir-akhir ini. Pertama, kita menyaksikan banyaknya kasus perusakan lingkungan alam seperti penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan), pembakaran hutan (bukan ”kebakaran”) terutama di Kalimantan dan Sumatra yang mengakibatkan polusi luar biasa, lalu pencemaran laut dan sungai, pencemaran air dan tanah, dan sebagainya. Kedua, maraknya perbuatan korupsi dan kolusi di kalangan eksekutif dan legislatif yang merugikan negara milyaran bahkan trilyunan rupiah, masih maraknya pungutan liar (uang siluman) dan pemerasan terselubung, monopoli perdagangan oleh pihak-pihak tertentu, kecurangan dan mark up dalam pembelian barang dengan uang negara di kalangan pemerintahan, dan sebagainya. Ketiga, maraknya kejahatan dan kekejian di kalangan masyarakat umum seperti merajalelanya perbuatan amoral atau pelanggaran syariat dan akhlak seperti perselingkauhan, aborsi, pemerkosaan, perzinaan di kalangan remaja dan orang dewasa, pembunuhan kejam, penganiayaan, mengkonsumsi narkoba, makan makanan haram, minum minuman keras, ketidakadilan hukum, ketimpanan sosial, dan seterusnya. Keempat, semakin banyaknya manusia yang tanpa malu-malu meninggalkan ibadah seperti shalat, puasa, dan zakat karena kecintaannya yang berlebihan terhadap duniawi dan materi (materialistik dan hedonistik). Kelima, sedikitnya orang yang mau berjuang memerangi perbuatan munkar (kejahatan dan kekejian) dan ketidakadilan hukum yang terjadi di sekitarnya. Padahal dia sebenarnya mampu melakukan pencegahan, hanya karena tidak ingin kehilangan kesenangan duniawinya (pangkat, jabatan, kedudukan), misalnya.
Sebenarnya, jika dikaji dan diamati secara jeli, berbagai musibah yang terjadi pada akhir-akhir ini sangat mungkin disebabkan oleh kesalahan dan dosa manusia sendiri. Dalam konteks ini, empat belas abad yang lalu Rasulullah sudah memberikan peringatan dalam haditsnya: ”Hancurnya bangsa-bangsa sebelum kamu disebabkan oleh mereka yang membiarkan para pejabat (orang-orang terhormat) melakukan pencurian sedangkan jika rakyat kecil (orang-orang lemah) yang mencuri, hukum potong tangan dijatuhkan kepada mereka. Demi diriku yang berada di tangan-Nya andaikan Fatimah (puteri Muhammad) mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.” (H.R. Ahmad, Muslim, dan Nasa’i).
Benar bahwa bencana alam merupakan peristiwa alamiah yang terjadi karena fenomena alam seperti bencana gelombang Tsunami, gempa bumi, angin puting beliung, dan gunung meletus. Akan tetapi, toh semua pertistiwa itu tidak terlepas dari tangan atau kekuasaan Tuhan? Artinya, bencana-bencana alam itu merupakan fenomena alam tetapi bukankah alam itu dalam kekuasaan Tuhan?

Cambuk Kecil bagi Umat Manusia
Peringatan Rasulullah Saw. tersebut tampaknya demikian relevan dengan kondisi dan situasi bangsa kita akhir-akhir ini. Ketidakadilan hukum, ketimpangan sosial, penyakit masyarakat ma-lima (dalam budaya Jawa) yakni maling (mencuri), main (perjudian), madon (perzinaan), minum (minuman keras), madat (narkoba), marak di mana-mana.
Mencermati fenomena tersebut, barangkali benar bahwa musibah demi musibah nasional yang melanda penduduk negeri ini merupakan akibat ulah bangsa kita sendiri. Dan, semua itu ”bukan hukuman” melainkan hanya merupakan ”cambuk kecil” untuk mengingatkan umat manusia, bahwa Allah Mahakuasa di atas segalanya, agar manusia segera sujud kepada-Nya. Rasanya pas benar apa yang diungkapkan oleh penyair sekaligus penyanyi Ebiet G. Ade dalam salah satu syair lagunya yang selalu diperdengarkan di televisi setiap kali terjadi musibah. Simaklah syair lagu ”Untuk Kita Renungkan” berikut. //.................. /Anugerah dan bencana/ adalah kehendak-Nya/ Kita mesti tabah menjalani/ hanya cambuk kecil/ agar kita sadar/ adalah Dia di atas segalanya/ Oh ... adalah Dia di atas segalanya/. / Anak menjerit-jerit/ asap panas membakar/ lahar dan badai menyapu bersih/ Ini bukan hukuman/ hanya satu isyarat/ bahwa kita meskti banyak berbenah/. / Memang bila kita kaji lebih jauh/ dalam kekalutan/ masih banyak tangan/ yang tega berbuat nista/ oh .../ /Tuhan pasti telah memperhitungkan/ amal dan dosa yang kita perbuat/ ke manakah lagi/ kita ’kan sembunyi/ hanya kepada-Nya kita kembali/ tak ada yang bakal/ bisa menjawab/ mari hanya runduk sujud pada-Nya//.

Menyikapi Musibah dengan Arif
Menghadapi musibah yang bertubi-tubi, maka kita perlu menyikapinya dengan arif, antara lain: (1) Memperbanyak istighfar. Kita harus memperbanyak istighfar, mohon ampun kepada Allah atas segala dosa, berhenti berbuat kerusakan dan kekejian, lalu bertobat kepada-Nya. Allah berfirman: ”Dan juga orang-orangyang bila mereka berbuat kekejian (dosa yang ringan) mereka lalu ingat kepada Allah lalu mohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapakah (tak ada) yang mengampuni dosa-dosa itu melainkan Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan mereka itu.” (Q.S. Ali Imran: 135). (2) Sabar dan Tawakkal. Menghadapi musibah yang memilukan tersebut, kita mesti bersikap sabar dan tawakkal, berpasrah diri kepada-Nya, setelah kita berusaha sekuat tenaga mengantipasi dan menanggulangi musibah. (3) Meningkatkan iman dan takwa. Menyadari bahwa musibah itu merupakan kehendak-Nya (iradah), maka kita harus meningkatkan kualitas iman dan takwa kita dalam makna yang hakiki. Kita harus meningkatkan ibadah (hablum minallah) dan memperbanyak amal shalih (hablum minannas). Jika demikian, Allah akan melimpahkan rahmat dan berkah-Nya dari langit dan bumi. Dalam Q.S. al-A’raf: 96 Allah berfirman: ”Dan jika sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa (tidak kufur dan maksiat), pastilah kami (Allah) melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri.” (4) Patuh kepada syariat Allah. Sebagai Muslim, kita harus benar-benar taat menjalankan segala syariat-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Jangan sampai kita meninggalkan hukum Allah atau melanggarnya. (5) Bersyukur. Kita harus selalu bersyukur atas segala anugerah yang diberikan Allah kepada kita dengan cara memanfaatkan anugerah itu dengan sebaik-baiknya. Yang memiliki harta, gunakan untuk meringankan beban orang miskin, yang memiliki kekuasaan, gunakan untuk melayani dan membantu mereka yang membutuhkan, bukan malah memerasnya, dan seterusnya.
Jika kita dapat bersikap arif, insya’Allah kita akan mampu memahami dan menghayati berbagai musibah sebagai sebuah ”cambuk kecil” yang justru akan mendorong kita untuk melakukan introspeksi dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. serta terjauh dari sikap protes terlebih menjadi kufur kepada-Nya. ***)

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH DAN HUMANISTIK

Kenangan Indah untuk Kaum Perempuan dan Kado Kecil untuk Kaum Laki-laki
Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu (merasa) tentram kepadanya dan dijadikannya di antara kamu sekalian rasa cinta dan kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. ar-Ruum: 21).

Pernikahan (perkawinan) dalam agama Islam merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Pernikahan merupakan sebuah perjanjian suci, ritual sakral, yang mesti dijaga sebaik-baiknya oleh suami dan istri. Oleh karena itu, sebelum seseorang melakukan pernikahan dianjurkan untuk memahami hakikat dan tujuannya yang suci. Hal ini penting, agar kita tidak terjebak pada pernikahan profan, hedonis, sekedar mengejar kesenangan lahiriah belaka.
Tidak selayaknya pernikahan dipandang sebagai transaksi jual-beli kendaraan sehingga boleh ‘bongkar-pasang’ sesuka hati. Setelah diperiksa ‘bodi-fisik dan ‘mesin’-nya, diuji-coba, lalu dilakukan transaksi jual-beli. Setelah ‘bosan’ memakainya, atau sedikit ada kekurangan, dengan mudah ditukarkan dengan kendaraan lainnya.
Islam memberikan pedoman pernikahan yang dapat membimbing kita untuk mewujudkan mahligai rumah tangga nan bahagia, tenteram, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah warahmah). Itulah yang dicita-citakan oleh setiap pasangan suami-istri, yang diikrarkan bersama ketika mereka ‘merajut cinta kasih abadi dalam ikatan suci, membangun sebuah mahligai rumah tangga nan asri penuh ridha Ilahi’.

Hakikat dan Tujuan Pernikahan
Secara harfiyah, nikah dari bahasa Arab berarti “menghimpun, berkumpul”, dan secara istilah berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram yang menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Secara juridis, pernikahan menurut UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan, adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Jadi, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir sekaligus pertautan batin suami-istri dalam membina rumah tangga sesuai dengan ajaran Allah. Inilah yang membedakannya dengan perkawinan model Barat yang sekuler.
Adapun tujuan pernikahan menurut Islam adalah menciptakan keluarga yang tentram, bahagia lahir dan batin, penuh cinta dan kasih sayang seperti difirmankan Allah dalam Q.S. ar-Ruum: 21 di atas. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk memperoleh keturunan (yang baik), seperti doa setiap pasangan suami-istri Muslim berikut.

“Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan anak (keturunan) kami yang akan menjadi cahaya mata dan pemuka di antara orang-orang bertaqwa.” (Q.S. al-Furqan: 74)

Hak dan Kewajiban Bersama Suami-Istri
Rumah tangga merupakan mahligai peraduan sepasang suami-istri yang dibangun bersama melalui ikatan suci dan mulia berupa akad nikah yang sakral dengan pilar agama dan cinta kasih. Suka duka, bahagia sengsara mesti dilalui bersama. Karena itu, pada dasarnya hak dan kewajiban suami dan istri secara filosofis adalah seimbang. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang baik (ma’ruf)” (Q.S. al-Baqarah: 228)

Ayat ini menempatkan derajat perempuan setara dan seimbang dengan laki-laki dalam rumah tangga. Suami berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga sedangkan istri menjaga dan mengatur rumah tangga. Dalam perspektif Feminisme atau paradigma jender, ayat itu merupakan salah satu landasan akan kesetaraan jender. Jika dalam masyarakat luas perempuan sering dipandang sebagai manusia kelas dua, kaum inferior, tertindas oleh hegemoni kekuasaan laki-laki yang superior, maka Islam memandang perempuan setara dengan laki-laki (kecuali dalam beberapa hal berkaitan dengan ritual keagamaan perempuan tidak dapat: menjadi khatib/ imam shalat Jumat, imam shalat bagi jamaah laki-laki, dan wali pernikahan).
Kata ma’ruf dalam ayat di atas dipahami bahwa pembagian tugas suami dan istri harus didasarkan pada keadaan (budaya) setempat. Pembagian tugas itu tidak berarti ada garis demarkasi sebuah tanggung jawab sehingga tidak menghalangi suami dan istri untuk saling membantu/ bekerja sama dalam melakukan tugas masing-masing. Pembagian tugas suami sebagai kepala keluarga didasarkan pada kelebihan laki-laki yang pantas bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Allah berfirman:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka?” (Q.S. an-Nisa’: 34).

Poligami dalam Perspektuif Syariah: Sebuah Jalan Alternatif
Ada kalanya seorang suami yang memiliki kemampuan lebih, baik dalam aspek ekonomi, sosial, mental, maupun fisik, atau adanya alasan lain yang mendasar merasa perlu untuk beristri lebih dari satu (berpoligami). Hal itu dilakukan berdasarkan pada pemahaman sebuah firman Allah berikut:

“…. maka nikahilah perempuan-peremuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat. Namun, jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil (terhadap para istri), maka nikahilah satu perempuan saja.” (Q.S. an-Nisa’: 3)

Ayat tersebut memberi pengertian bahwa jika seorang suami memiliki kemampuan lebih di atas rata-rata kaum laki-laki normal pada umumnya, maka untuk menyalurkannya Islam memberikan ‘solusi alternatif’ untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Inilah keunggulan Islam sebagai agama yang kaffah, lengkap. Dan, tentu ada ada rahasia di balik halalnya poligami yang hanya Allah yang Mahatahu. Akal manusia mungkin belum mampu menjangkaunya. Misalnya, adanya kecenderungan populasi perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Namun demikian, jika tidak ada alasan mendasar, lebih baik suami menikahi satu perempuan saja agar terhindar dari ketidakadilan terhadap istri, mengingat ‘adil’ merupakan syarat utama. Jadi, ayat tersebut bukan anjuran kepada suami untuk berpoligami melainkan bahwa poligami merupakan ‘jalan alternatif’, ‘pintu darurat’ yang dapat dimanfaatkan karena adanya alasan mendasar. Artinya, jika berpoligami akan dapat ‘menyelamatkan keutuhan rumah tangga’, bukan sebaliknya. Misalnya: karena istri sakit-sakitan sehingga tidak dapat melayani suami; (oleh dokter dinyatakan) mandul sehingga tidak dapat melahirkan keturunan; dan sebab lain yang dapat diterima oleh kedua belah pihak sehingga tidak ada jalan terbaik lain kecuali berpoligami. Atau, karena suami memiliki kelainan seksual, misal hiperseks, sehingga poligami dapat menyelamatkannya dari jurang perzinaan atau perselingkuhan yang diharamkan Allah. Bahkan, zina merupakan perbuatan keji dan sanksi hukumnya sangat berat yakni di-rajam (dicambuk) sampai mati (bagi pezina mukhshon: sudah beristri/ bersuami). Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu dekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalahj perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan.” (Q.S. al-Israa’: 32)

Jika poligami dilakukan tanpa adanya alasan-alasan mendasar, maka hal itu bukan merupakan tindakan yang tepat. Lebih-lebih jika poligami dilakukan karena dorongan syahwat belaka. Dan, poligami demikian juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) atau paradigma kesetaraan jender laki-laki dan perempuan.
Ada beberapa argumentasi mengapa poligami yang dilakukan tanpa alasan-alasan mendasar dinyatakan tidak tepat, terlebih dalam masyarakat modern, yang memandang adanya kesetaraan jender antara perempuan dan laki-laki. Pertama, jika ditinjau dari tujuan pernikahan yakni: ‘menciptakan ketentraman dan kedamaian, cinta serta kasih sayang dalam rumah tangga’, maka poligami dipandang kontraproduktif. Sebab, lazimnya poligami sering menimbulkan suasana panas, tidak nyaman, dan konflik keluarga. Kedua, dilihat dari hak dan kewajiban bersama suami-istri, maka poligami tanpa keikhlasan (seizin) istri, dipandang mengingkari keseimbangan hak suami-istri. Bukankah “orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya dan yang paling lembut terhadap istrinya” (al-Hadits). Jadi, pendapat istri perlu diperhatikan.
Ketiga, Muhammad Rasulullah Saw. pada hakikatnya lebih cenderung monogami. Dalam tarih tertulis bahwa Muhammad Saw. menikah dengan Siti Khadijah (janda 40 tahun) pada usia 25 tahun dan hingga Khadijah meninggal pada tahun ke-11 Hijriyah beliau tetap monogami. Setelah lebih dari lima tahun menikahi Siti Aisyah dan usia beliau mendekati 60 tahun pasca-perang beliau baru menikahi beberapa janda yang suaminya mati syahid (padahal beliau meninggal pada usia 63 tahun). Jadi, orientasi Muhamnmad Saw. beristri lebih dari satu perempuan bukan nafsu melainkan lebih sebagai penghormatan terhadap para janda mujahid. Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada hakikatnya beliau monogami. Bahkan, beliau juga tidak memperbolehkan ‘Ali suami Fatimah, puterinya, menikahi perempuan lain di samping Fatimah.
Jadi, secara normatif, syar’i, poligami memang diperbolehkan tetapi merupakan ‘jalan alternatif’ jika ada alasan-alasan mendasar. Dalam implementasinya, poligami itu sangat kondisional bergantung pada individu dan komitmen rumah tangga masing-masing. Jika ‘hak prerogratif’ suami untuk berpoligami itu tidak dipakai, maka hal itu lebih arif guna menghindari timbulnya perasaan sakit hati atau minimal ketidaknyamanan dalam keluarga karena istri merasa ‘diduakan’. Adalah manusiawi jika seorang istri/ perempuan tidak mau diduakan dengan perempuan lain di samping suami tercinta.
Selanjutnya, pelarangan terhadap poligami jelas bertentangan dengan nash al-Quran yang berarti menentang hukum Allah. Tentu hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena itu, adalah sikap salah kaprah dan sekuler jika orang melarang poligami (yang diperbolehkan oleh syariat Islam) sementara perzinaan atau perselingkuhan yang diharamkan Allah justru dibiarkan merajalela di masyarakat. Padahal seorang Muslim wajib melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Bukankah kita adalah khairu ummah, ‘umat yang terbaik’ yang mengajak kepada kebaikan dan melarang perbuatan maksiat?

Poligami dalam Perspektif Humanistik
Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat ketika perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Hal tersebut merupakan sebuah sikap yang diikuti tindakan untuk membenarkan, bahkan setuju dengan tindakan poligami meskipun dirinya mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa.
Banyak kasus menggambarkan bagaimana seorang istri yang semula mau dipoligami oleh suaminya tetapi setelah benar-benar terjadi, artinya suaminya benar-benar mengambil istri kedua atau ketiga, sang istri pertama tersebut akhirnya tidfak kuat menahan rasa sakit hatinya. Bahkan, seorang Teh Ninik, istri da’i kondang AA Gymnastiar (AA Gym) dari Yayasan dan Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung yang semula –paling tidak di depanpublik dan ditayangkan media massa televisi—dapat menerima tindakan suaminya berpoligami, toh akhirnya juga tidak kuat menahan rasa sakit dan gejolak hati tersebut ketika AA Gym benar-benar berpoligami. Mereka akhirnya melakukan proses perceraian di pengadilan agama.
Hal itu terjadi mungkin karena tidak lain setiap perempuan pada dasar batinnya yang terdalam sulit untuk dapat menerima poligami atau dimadu oleh suaminya. Siapa sih perempuan yang mau diduakan atau ditigakan oleh suaminya dengan berpoligami? Kalau toh ada perempuan yang mau dipoligami itu pada umumnya karena keadaan yang tidak memungkinkan dirinya menolak poligami. Atau, karena pandangan kultural feodal yang masih memegang prinsip yang dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah istri itu wanita. Artinya, seorang istri itu wani ditata (berani dan mau diatur). Atau, dapat juga pandangan masyarakat Jawa kuna bahwa istri itu bagi laki-laki adalah konco wingking (teman di belakang, di dapur atau di kamar).
Dalam pandangan seperti di atas, tidak sedikit di antara perempuan tersebut menganggap bahwa penderitaan akibat poligami itu merupakan pengorbanan yang sepatutnya dijalani. Atau, bahkan mereka menganggap bahwa hal itu terjadi karena kesalahannya sendiri sebagai perempuan yang kurang sempurna atau tidak berdaya dari berbagai aspek baik aspek ekonomi, pendidikan, status sosial, dan sebagainya.Tidak jarang seorang istri mau dipoligami karena memang tidak berdaya tadi yakni takut menghadapi kehidupan, misalnya daripada hidup sengsara, miskin, dan tidak memiliki status lebih baik menjadi istri seorang laki-laki terkenal yang berkedudukan tinggi, terhormat, dan kaya raya,
Lebih mengherankan lagi, bahwa dalam kerangka demografi, para pelaku poligami sering mengemukakan argumen statistik sebagai langkah justifikasi. Argumen tersebut menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah sebuah usaha untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen itu pantas untuk ditertawakan, sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Adapun dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki jauh lebih tinggi (Sumber: Sensus Nasional tahun 2000).

Penutup
Mengakhiri pembicaraan tentang poligami dalam perspektif syariah dan humanistik, dapatlah dikemukakan simpulan sebagai berikut. Pertama, secara syariah, pada dasarnya poligami dibenarkan oleh agama (Islam) seperti tersurat dalam firman Allah di al-Quran. Jadi, melarang atau mengharamkan poligami sama saja melawan firman Allah. Namun demikian, poligami yang dibenarkan syariah itu dapat dilakukan jika memiliki alasan-alasan yang kuat antara lain: (1) Poligami dibenarkan syariah karena istri pertama tidak memiliki keturunan. (3) Poligami juga dapat dibenarkan jika Istri tidak dapat melakukan tugas dan fungsinya sebagai istri apakah karena sakit atau sebab lain. (3) Poligami dapat dibenarkan sebagai salah satu jalan alternatif bagi sebagian kecil laki-laki yang memang memiliki libido yang luar biasa. Artinya, daripada berzina yang diharamkan Allah, lebih baik berpoligami. (4) Atau, dapat juga karena alasan khusus misalnya berpoligami dengan niat mulia dan suci yakni menyelamatkan perempuan –umumnya sudah berumur-- yang suaminya meninggal padahal anaknya banyak sementara perempuan itu tidak bekerja.
Secara humanistik, pada dasarnya hampir semua perempuan sulit untuk dapat menerima poligami. Pada umumnya perempuan merasa sakit hati jika dimadu atau dipoligami karena merasa diduakan bahkan “dilecehkan”, dipandang sebagai kaum inferior atau bahkan manusia kelas dua yang dapat diperlakukan seenaknya oleh suaminya. Oleh karena itu, menarik sekali pesan moral dalam novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) karya Habiburrahman El-Shirazy yang sudah difilmkan dan digarap oleh Bang Chairul Umam, sutradara kawakan yang juga Ketua Lembaga Seni Budaya Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Dalam novel dan film KCB tersebut dengan sangat menarik tersurat bahwa politgami memang dibenarkan oleh al-Quran tetapi jika perempuan tidak mau dimadu maka suami tidak dibenarkan berpoligami. Di sinilah diperlukan kearifan bukan hanya kekuatan arau arogansi laki-laki.
Pada akhirnya, semuanya berpulang kepada pandangan kita masing-masing karena hidup adalah pilihan. Tinggal kita mau memilih yang mana. Berpoligami atau monogami. Beristri satu secara bauik-baik sehingga dapat hidup dalam sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, hidup berkeluarga dengan penuh cinta kasih, bahagia dan tenteram. Atau, berpoligami, beristri lebih dari satu tetapi –yang sering terjadi—mengalami ketidaktenangan, rumah tangga sering tegang karena istri pertama sering sakit hati dan tidak dapat ikhlas diduakan oleh suaminya, kecuali adanya alas an-alasan khsus di atas. *)

Surakarta, April 2011