Selasa, 26 April 2011

KAJIAN STILISTIKA TRILOGI NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK


KAJIAN STILISTIKA TRILOGI NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI DAN PEMAKNAANNYA
Ali Imron Al-Ma'ruf

A. Pendahuluan
Kehadiran trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari pada dekade 1980 ‘mengguncang’ dunia sastra Indonesia. RDP dipandang oleh para pengamat sastra sebagai salah satu novel Indonesia mutakhir yang memenuhi kriteria sastra literer menurut pandangan Hugh (dalam Aminuddin, 1990: 45). Kriteria itu adalah: (1) relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, imajinasi, dan rekaan yang membentuk kesatuan yang utuh, selaras, serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity); (2) daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).
Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, menurut Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. Oleh karena itu, bahasa karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya
nonsastra (Wellek dan Warren, 1989: 15), yakni penuh ambiguitas dan memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional, asosiatif, konotatif, dan mengacu pada teks lain atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya.
Bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada satu hal tertentu, dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pengarangnya.Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme kata-kata. Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, alih kode, dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika karya sastra yang berfungsi untuk mencapai nilai estetik.
Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Style ’gaya bahasa’ membawa muatan makna tertentu. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis di samping maknanya yang netral (Sudjiman, 1995: 15-16). Istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir) menurut Chomsky (dalam Fowler, 1977: 6), identik pula dengan isi dan bentuk dalam style. Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan pengarang melalui gaya bahasanya.
Pemilihan struktur lahir merupakan teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk struktur lahir. Jadi, bentuk struktur lahir tergantung pada kreativitas dan kepribadian pengarang yang dipengaruhi oleh ideologi dan lingkungan sosial budayanya. Style Ahmad Tohari yang agraris, akrab dengan alam dan masyarakat pedesaan, tentu berbeda dengan Ayu Utami yang metropolis.
Sesuai dengan konvensi sastra, gaya bahasa merupakan tanda yang menandai sesuatu (Pradopo, 2004: 8). Wahana karya sastra adalah bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama (first order semiotics). Dalam karya sastra gaya bahasa itu menjadi sistem tanda tingkat kedua (second order semiotics). Gaya, bagi Junus (1989: 187-188), adalah tanda yang mempunyai makna dan gaya bahasa itu menandai ideologi pengarang. Ada ideologi yang disampaikan penulis jika ia memilih atau menggunakan gaya tertentu dalam karya sastranya.
Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Corak sarana retorika tiap karya sastra sesuai dengan aliran, ideologi, konsepsi estetik, dan gaya bersastra pengarangnya. Oleh karena itu, demikian Junus (1989: xvii), stilistika, studi tentang gaya yang meliputi pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra, merupakan bagian penting bagi ilmu sastra sekaligus bagi studi linguistik.
Kajian stilistika RDP ini mengungkapkan gagasan pengarang, kondisi sosial budaya, peristiwa dan suasana tertentu yang terekam dalam keunikan stilistikanya. Hasil kajian ini memberikan informasi ilmiah baru bagi pemerhati linguistik dan pemerhati sastra sekaligus. Baru karena selama ini kajian stilistika RDP oleh linguis difokuskan pada segi kebahasaan saja. Di pihak lain RDP dikaji dari segi maknanya saja oleh para kritikus atau akademisi sastra.
Adapun tujuan kajian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan stilistika RDP yang difokuskan pada diksi, bahasa figuratif, dan citraan; (2) mengungkapkan makna stilistika RDP dalam kaitannya dengan latar sosiohistoris pengarang, kesemestaan, dan tanggapan pembaca.
B. Kajian Teoretis
1. Style dan Stilistika (Stylistics)
Style ‘gaya bahasa’ menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu (Leech & Short, 1984: 10). Tegasnya, style ialah performansi bahasa dalam karya sastra yang unik dan khas dengan memberdayakan segenap potensi bahasa dengan cara mengeksploitasi dan memanipulasinya untuk menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik. Bahasa sastra yang terwujud dalam style telah mengalami deotomatisasi dan defamiliarisasi guna menarik perhatian pembaca. Terjadi foregrounding dalam bahasa karya sastra yang dilakukan sastrawan, dengan melakukan eksplorasi, manipulasi, dan penyimpangan bahasa dalam rangka mencapai efek estetik.
Adapun stilistika (stylistics) adalah ilmu yang mengkaji penggunaan style ’gaya bahasa’ dalam karya sastra (Abrams, 1979: 165-167; Satoto, 1995: 36). Jadi, Stilistika adalah ilmu yang mengkaji style yakni wujud performansi bahasa dalam karya (sastra) setelah melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi gaya bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif dan citraan. Style dalam karya sastra berkaitan erat dengan latar sosiohistoris dan ideologi pengarang.
Hubungan antara style ’gaya bahasa’ dengan ekspresi dan gagasan pengarang dilukiskan Aminuddin (1990: 77) dalam bagan berikut.



2. Teori Semiotika
Semiotika merupakan disiplin ilmu yang meneliti semua bentuk komunikasi antarmakna yang didasar¬kan pada sistem tanda (Segers, 1978: 14). Dalam pandangan Semiotika, karya sastra merupakan sistem komunikasi tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Peirce (dalam Abrams, 1981: 170) membedakan tiga kelompok tanda: (1) ikon adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang dimak-sudkannya, misalnya kesamaan lukisan dengan apa yang dilukiskannya, (2) indeks adalah suatu tanda yang mem¬punyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, misalnya asap merupakan tanda adanya api, dan (3) simbol adalah hubungan antara sesuatu (item) penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat, misalnya putih berarti suci.
Mengutip pendapat Saus¬sure, Barthes menyatakan bahwa semiotik mengacu pada dua istilah kunci, signifier (penanda) dan signified (petan¬da). Penanda adalah imaji bunyi yang bersifat psikis, sedang¬kan petanda adalah konsep. Adapun hubungan antara imaji dengan konsep itulah yang disebut tanda. Barthes menyatakan bahwa dalam mitos seba¬gai sistem semiotik tahap kedua terdapat tiga dimensi, yakni penanda, petanda, dan tanda. Yang disebut tanda dalam sistem pertama --yakni asosiasi total antara konsep dan imajinasi--, hanya menduduki posisi sebagai penanda dalam sistem yang kedua. Barthes menggambarkan sistem tanda dalam Semiotik dengan bagan berikut.

1. Penanda 2. Petanda
3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
III. TANDA

Pada diagram di atas terdapat dua tataran, yakni tataran sistem tanda pertama dan tataran sistem tanda kedua. Pada tataran sistem tanda pertama, stilistika RDP membawa pembaca ke acuan luar novel RDP. Stilistika RDP menggayut pada acuan referensial seperti konsep Plato (sastra sebagai imitasi realitas). Untuk pemaknaan stilistika RDP, RDP harus didudukkan sebagai kreasi (creatio), seperti konsep mimesis model Aristoteles. Artinya, RDP harus didudukkan pada tataran kedua diagram Barthes. Terlihat pada diagram, sistem tanda tataran pertama mencakup: (1) penanda, (2) petanda, dan (3) tanda. Dalam proses selanjutnya, tanda pada tataran pertama menjadi penanda pada tataran kedua, untuk menyampaikan pengenalan kepada apa yang ditandai dalam rangka menciptakan tanda (Al-Ma’ruf, 2007: 92-109).
3. Teori Resepsi Sastra
Istilah resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang dapat disamakan dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai dengan aesthetic of reception (Junus, 1984: 2) dan disebut estetika resepsi oleh Pradopo (2002: 23). Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Reaksi tersebut bisa pasif (yaitu bagaimana pembaca dapat memahami karya itu) dan bisa aktif (yaitu bagaimana ia merealisasikannya).
Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat tanggapan para pembacanya (Pradopo, 2002: 23). Apresiasi pembaca pertama terhadap karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui resepsi lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya akan terungkap (Jauss, 1974: 14). Menurut Pradopo (2002: 23), dalam metode estetika resepsi akan diteliti resepsi setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan atas karya sastra oleh pembacanya (yang cakap), yaitu para kritikus sastra dan ahli sastra. Vodicka (dalam Pradopo, 2002: 23) mengemukakan bahwa pendapat para ahli sastra dan estetika, serta kritikus, tidak selalu sama mengenai norma tunggal semacam itu. Efek estetik karya sastra sebagai keseluruhan, begitu juga konkretisasinya, tunduk pada perubahan yang terus-menerus.
Dengan demikian resepsi sastra adalah pendekatan yang memperhatikan resepsi pembaca atas karya sastra dalam rangka kesusasteraan, dalam keterlibatannya dengan karya lain, berdasarkan horison harapan pembaca. Kajian resepsi sastra merupakan perwujudan karya sastra dalam rangka sistemik dan sejarah sastra oleh pembaca.
C. Latar Sosiohistoris Ahmad Tohari dan Kondisi Sosial Indonesia pada Dekade
1960-an
Sebelum dilakukan pengkajian stilistika trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), lebih dahulu dikemukakan latar sosiohistoris Ahmad Tohari sebagai pengarang dan kondisi sosial Indonesia pada dekade 1960-an. Hal itu dimaksudkan sebagai referensi sekaligus dasar dalam mengungkapkan latar belakang, fungsi, dan tujuan pemanfaatan stilistika RDP oleh pengarangnya. Selain itu, deskripsi tentang latar sosiohistoris Tohari danm kondisi sosial Indonesia pada dekade 1960-an tersebut berguna sebagai referensi bagi peneliti sebagai pembaca dalam menginterpretasikan makna stilistika RDP.
Berikut akan dikemukakan latar sosiohistoris Ahmad Tohari dan kondisi sosial Indonesia pada dekade 1960-an termaksud satu persatu.

1. Latar Sosiohistoris Ahmad Tohari
Latar sosiohistoris Tohari mewarnai cerita RDP. Tohari lahir dan hidup di pedesaan pedalaman Banyumas Jawa Tengah dalam keluarga santri yang religius. Ketika remaja Tohari menyaksikan kekejaman manusia yang menimpa banyak warga masyarakat yang tidak berdosa akibat tragedi politik pada tahun 1963-1968. Peristiwa geger politik itu terekam rapi dalam dirinya dan menjadi pengalaman traumatik yang tidak terlupakan sepanjang hidupnya.
Lahirnya RDP didorong oleh tiga hal yakni pengalaman traumatik, latar kejawaan, dan kesantrian. Pengalaman traumatik ketika geger politik 1965 membuat Tohari berempati kepada rakyat kecil yang tersia-sia (dipenjara bahkan banyak yang dibunuh padahal tidak tahu-menahu tentantg politik). Tohari yang akrab dengan dunia ronggeng, ingin meluruskan kesenian ronggeng yang menyimpang dari moral dan menyimpang dari ajaran Tuhan. Adapun kesantrian Tohari mendorongnya untuk melakukan dakwah kultural melalui karya sastra (estetika sebagai ekspresi religiositas). Hal itu didasarkan pada Q.S. al-Baqarah: 255, ”Segala sesuatu adalah milik Tuhan”, termasuk ronggeng yang perlu ‘dibaca’ dengan nama Tuhan (Q.S. al-’Alaq: 1-5). Ayat-ayat Tuhan baik qauliyah (teks al-Quran) maupun kauniyah (fenomena alam, termasuk ronggeng) perlu ‘dibaca’ untuk menemukan tanda-tanda kekuasaan-Nya.

2. Kondisi Sosial Indonesia pada Dekade 1960-an
Pada dekade 1960-an yang menjadi latar waktu cerita RDP, terjadi peristiwa sejarah politik bangsa yang kelabu. Suhu politik mulai memanas sekitar tahun 1964 dan kemudian puncaknya meletus geger politik pada tahun 1965-1966. Terjadilah tindak kekejaman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh para aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama para pengikutnya dan juga dilakukan oleh para tentara yang mendapat perintah untuk mengamankan situasi kekacauan politik saat itu. Kkejaman luar biasa tanpa perikemanusiaan terhadap orang-orang yang terlibat atau orang-orang yang ’dianggap’ terlibat PKI merupakan pemandangan yang lazim saat itu. Bahkan, banyak sekali orang tidak berdosa dan tidak tahu-menahu politik menjadi korban tragedi politik tahun 1965 tersebut. Banyak pelaku seni budaya seperti kesenian ronggeng dan jathilan yang tidak tahu-menahu tentang politik ikut dipenjara sebagai tahanan politik. Asvi Warman Adam (dalam Cribb (Ed.), 2004: v), menyatakan bahwa geger G30S/ PKI 1965 secara faktual diikuti dengan pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia.
Sebelum itu, banyak pembunuhan yang dilakukan oleh gerombolan DI/ TII atau mereka yang mengaku/ mengatasnamakan DI/ TII justru ketika kekuatannya mulai melemah karena terdesak oleh kekuatan tentara pemerintah RI. Banyak orang tak berdosa yang dibunuh secara kejam. Seperti diketahui bahwa pemeberontakan DI/ TII sebenarnya berpusat di wilayah Jawa Barat dan terjadi antara tahun 1948-1968. Namun, imbas pemberontakan yang dipelopori oleh seorang nasionalis radikal Kartosuwiryo itu merembes juga ke wilayah Jawa Tengah terutama daerah yang berbatasan dengan wilayah Jawa Barat, termasuk Banyumas.
Pada dekade 1960-an kondisi masyarakat pedesaan yang lugu dan terbelakang, terutama dari segi sosial ekonomi dan pendidikan serta ketidakberdayaannya, merupakan pemandangan yang lazim di tanah air.

D. Stilistika Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Pemaknaannya
Sebagai unsur karya sastra, style ’gaya bahasa’ adalah sarana sastra yang menjadi media bagi sastrawan untuk kengekspresikan gagasannya. Dalam hal ini style ’gaya bahasa’ karya sastra merupakan sistem tanda tingkat pertama dalam konvensi sastra. Sebagai sistem tanda maka style ’gaya bahasa’ novel Ronggeng Dukuh Paruk mempunyai makna.
Makna karya sastra merupakan formulasi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Mengacu teori Semiotik, karya sastra merupakan sistem komunikasi tanda. Oleh karena itu, apa pun yang tercantum dalam karya sastra merupakan tanda yang mengandung makna yang implisit di balik ekspresi bahasa yang eksplisit. Dalam konteks ini ahli Semiotika, Peirce (dalam Abrams, 1981: 170) membedakan tiga kelompok tanda yakni (1) ikon, (2) indeks, dan (3) simbol.
Rolland Barthes (1973: 27) menyatakan bahwa dalam karya sastra terdapat penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah sesuatu yang menandai dalam teks karya sastra sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai yang merupakan referensi di luar teks (bandingkan Saussure dalam Teeuw, 1984: 44). Penanda (signifier) adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, sedangkan petanda (signified) adalah aspek konsep¬tual. Kedua aspek itu, formal dan konseptual, memang dwitung¬gal, tetapi keduanya mandiri terhadap bunyi nyata dan benda atau fenomena dalam kenyataan. Adapun fungsinya sebagai tanda berdasarkan konvensi sosial.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka stilistika novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat dipandang sebagai gejala semiotik atau sebagai tanda. Sebagai tanda, karya sastra mengacu kepada sesuatu di luar dirinya (Riffaterre, 1978: 1). Bahasa sastra yang terformulasi dalam stilistika merupakan "penanda" yang menandai sesuatu, dan sesuatu itu disebut "petanda", yakni yang ditandai oleh "penanda". Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya, yakni makna yang bertautan dengan dunia nyata (Siti Chamamah-Soeratno, 1991: 18).
Dengan memanfaatkan metode pembacaan model Semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik –mendeskripsikan stilistika puisi sebagai tanda kebahasaan-- dan hermeneutik –membaca berulang-ulang dengan interpretasi--, stilistika puisi trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) akan dikaji secara sistematis dan terpadu. Pertama, style ’gaya bahasa’ novel RDP sebagai fenomena kebahasaan yang merupakan sistem tanda. Kedua, makna style ’gaya bahasa’ novel RDP sebagai tanda dalam kovensi sastra.
Adapun hasil pengkajiannya adalah sebagai berikut. Stilistika RDP karya Ahmad Tohari memiliki keunikan dan kekhasan ala Tohari yang tidak ditemukan dalam karya sastra lain. Keistimewaan stilistika RDP terletak pada pemberdayaan segenap potensi bahasa sebagai sarana sastra yang memiliki daya ekspresif, makna asosiatif, dan kaya akan kata konotatif dan berunsur alam. Mayoritas stilistika RDP merupakan hasil kreasi Tohari yang orisinal. Orisinalitas stilistika RDP mencerminkan individuasi Tohari yang tampak pada bentuk ekspresi, keselarasan bentuk dan isi (harmoni), kejernihan dan kedalaman tujuan yang berkaitan dengan intensitas bahasa.
Stilistika RDP yang terwujud dalam performansi bahasa sebagai sarana sastra terkesan ekspresif, asosiatif, dan provokatif. Ekspresif karena stilistika RDP mampu menghidupkan lukisan suasana, kondisi, dan peristiwa dalam imajinasi pembaca seolah-olah lukisan itu hidup. Asosiatif karena berbagai kreasi bahasa dan gaya bahasa yang diciptakan dan dimanfaatkan Tohari mampu menimbulkan asosiasi makna bagi pembaca sehingga memudahkan pemahaman akan gagasan dalam RDP. Adapun provokatif karena gaya bahasa dalam RDP dikolaborasikan sedemikian rupa antara gaya kata (diksi), kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan sehingga mengesankan pembaca. Adanya kolaborasi dengan berbagai sarana retorika tersebut sering menimbulkan unsur permainan bunyi berupa asonansi dan aliterasi sehingga melahirkan orkestrasi bunyi yang indah dalam eufoni dan kokofoni.
Stilistika RDP berhasil menunjukkan jati diri Tohari sebagai sastrawan yang kaya wawasan dan fasih bercerita dengan ekspresi bahasa yang indah dan menarik. Stilistika RDP mampu mengekspresikan gagasan-gagasan pengarang secara plastis, segar, dan efektif sesuai dengan hakikat bahasa sastra yang konotatif dan asosiatif. Stilistika RDP yang kaya nuansa itu tidak terlepas dari latar belakang Tohari yang berprofesi sebagai wartawan dan pengalaman kuliah di tiga fakultas (Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Jenderal Soedirman serta Fakultas Ilmu Kedokteran di Universitas Ibnu Khaldun, Jakarta). Latar belakang Tohari yang dibesarkan di lingkungan masyarakat pedesaan dan akrab dengan budaya Jawa serta hidup dalam keluarga santri turut memperkaya stilistika RDP. Karena itu, stilistika RDP kaya nuansa intelektual, sarat muatan filosofis budaya Jawa, dan wawasan religius.
Kekhasan stilistika RDP terlihat pada pemanfataan empat bentuk kebahasaan yakni gaya kata (diksi), bahasa figuratif –berupa majas dan tuturan idiomatik--, dan citraan.

1. Gaya Kata (Diksi)
Diksi dalam RDP demikian kaya dan variatif. Di antara diksi dalam stilistika RDP, kata konotatiflah yang paling dominan, disusul kosakata bahasa Jawa, kata serapan dari bahasa asing, kata dengan objek alam. Kata sapaan khas dan nama diri, kata seru khas Jawa dan kata vulgar juga mewarnai RDP. Dominasi kata konotatif menunjukkan hakikat karya sastra sebagai karya fiksi yang memiliki sifat polyinterpretable dan kaya makna. Diperlukan ekspresi kata yang asosiatif dan prismatif dalam karya sastra. Sebagai sarana ekspresi, tiap diksi memiliki fungsi masing-masing dalam mendukung gagasan yang dikemukakan. Khususnya kosakata bahasa Jawa yang bertebaran di RDP digunakan Tohari untuk menciptakan latar sosial budaya masyarakat Banyumas sesuai dengan latar cerita.
Sebagai ilustrasi, berikut dipaparkan contoh diksi dalam RDP.
(1) Kelak Srintil bercerita padaku bahwa dia segera terjaga kembali ketika Dower membangunkannya dengan dengus napas lembu jantan. Srintil tidak mengatakan apa yang dialaminya kemudian sebagai suatu perkosaan. (hlm. 76)
(2) Di sana, di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan mandul. Obat itu bernama lingga: kependekan dua kata yang berarti penis tetangga. (hlm. 85-86)

Pada data (1), bentuk ’dengus napas lembu jantan’ dengan gaya metaforis merupakan pelukisan khas tentang keadaan seseorang yang dilanda birahi. Ungkapan itu tidak ditemukan pada karya sastra lain. Dengan ungkapan metaforis, yang membandingkan lelaki yang sedang dibakar nafsu syahwat dengan ’dengus napas lembu jantan’, pembaca akan memperoleh kesan lebih dalam sehingga dapat membayangkan lebih jelas bagaimana gejolak jiwa seorang lelaki yang sedang dilanda nafsu hewani, ’dikuasai renjana berahi’. Dalam hal ini lembu merupakan hewan yang dipandang oleh masyarakat Jawa Banyumas sebagai simbol kekuatan atau kejantanan lelaki. Tentu akan berbeda efeknya jika keadaan lelaki yang sedang dilanda birahi dilukiskan dengan kalimat biasa, misalnya ”... dengan nafsu birahi yang membara”.
Tohari melukiskan kebiasaan perselingkungan warga masyarakat Dukuh Paruk dengan menggunakan kata konotatif ’lingga: kependekan dua kata yang berarti penis tetangga’ pada data (2). Kata ’lingga’ adalah singkatan dua kata dalam bahasa Jawa ’peli’ atau ’peline’ (alat vital laki-laki) dan ’tangga’ (tetangga). Jadi, ’lingga’ adalah singkatan ’peline tangga’ (alat vital laki-laki tetangga). Sungguh plastis penggunaan kata ’lingga’ tersebut untuk melukiskan hubungan seks antara lelaki dengan perempuan bukan suami-istri (perzinaan) yang lazim terjadi di masyarakat peronggengan. Perselingkuhan antartetangga bukan merupakan suatu perbuatan yang dianggap aib atau tabu melainkan sesuatu yang lazim, wajar saja. Jika ada istri yang berselingkuh dengan laki-laki lain maka suaminya cukup mendatangi istri laki-laki tersebut dan menidurinya. Habis perkara, tidak perlu berkelahi. Bagi masyarakat yang akrab dengan budaya Jawa tentu ungkapan ’lingga’ sangat menarik karena mengandung makna asosiatif yang mudah dipahami maksudnya. Bagi masyarakat yang tidak mengenal bahasa Jawa, kata ’lingga’ menjadi menarik karena mendorong hasrat ingin tahu.
Ilustrasi lain tentang keunikan diksi dalam RDP dapat dibaca pada data berikut.

(3) Maka aku terpaksa percaya akan kata-kata orang bahwa peristiwa penyerahan virginitas oleh seorang gadis tidak akan dilupakannya sepanjang usia. (hlm. 88)
(4) Di dalam telinga Srintil hanya terdengar suara kecapi Wirsiter dan Ciplak, penjaja musik yang selalu membawakan Asmara Dahana. (hlm 327)
(5) “Jangkrik, jangan keras-keras. Ya, aku tak melupakan ulahmu yang tolol dan konyol itu.” “He, he. Tetapi aku ingin mengulanginya.” “Kampret, jangan keras-keras. (hlm. 88)
(6) Meski berat sekalipun, bayangan tentang diri Emak harus kuhancurkan dan kugantikan dengan citra yang lain. Maka dalam pikiranku sudah kunyalakan api pada setumpuk kayu bakar. (hlm. 87)
(7) Di sana, di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan mandul. Obat itu bernama lingga: kependekan dua kata yang berarti penis tetangga. (hlm. 85-86)


2. Bahasa Figuratif (Figurative Language)
Bahasa figuratif yang unik dan khas Tohari juga cukup dominan dalam RDP yang meliputi pemajasan, tuturan idiomatik, dan peribahasa. Melalui bahasa figuratif maka stilistika RDP menjadi lebih hidup, ekspresif, dan sensual. Bahasa figuratif dalam RDP sangat dominan dimanfaatkan oleh Tohari. Di antara jenis bahasa figuratif, majaslah yang paling dominan dibanding tuturan idiomatik. Majas dalam RDP didominasi oleh Metafora, disusul kemudian oleh Personifikasi, dan Simile. Adapun majas Metonimia sedikit, demikian pula Sinekdoki (pars pro toto dan totum pro parte). Pemajasan dimanfaatkan Tohari untuk memberi daya hidup, memperindah, dan mengefektifkan pengungkapan gagasan.
Ilustrasi berikut menunjukkan keunikan dan kekhasan majas dalam RDP.
(8) Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang. (hlm. 14)

Metafora pada data (8) melukiskan keindahan dunia anak-anak di pedukuhan kecil yang masih tradisional, dunia anak-anak yang serba gembira, bebas bermain, belum memiliki tanggung jawab keluarga, dan fisik masih prima. Dunia anak-anak merupakan fase kehidupan yang indah dan tidak mungkin terulang lagi pada kehidupan seseorang. Oleh karenanya banyak kenangan yang tidak terlupakan bagi yang mengalaminya, baik yang menggembirakan maupun yang menyedihkan. Tohari mengibaratkan dunia anak itu sebagai ’surga yang hanya sekali datang’. Demikian plastis pelukisan dunia anak-anak dengan metafora tersebut. Yang lebih mengesankan, metafora itu dirangkai dengan gaya bahasa paralelisme di atasnya, ”Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang.” Bila diekspresikan dengan ungkapan bahasa biasa, misalnya, ”...masa kanak-kanak adalah masa yang sangat indah dan hanya sekali terjadi dalam hidup ini”, lukisan itu tentu tidak menarik. Pelukisan keadaan dengan bahasa biasa tidak mampu membuat pembaca terpesona karena tidak unik, tidak ekspresif sehingga tidak memiliki daya pikat. Lebih memikat lagi metafora itu dipadukan dengan permainan bunyi vokal /a/ dan konsonan /k/ dan /m/, asonansi dan aliterasi sehingga menimbulkan irama indah sebagai eufoni dan kokofoni.
Ilustrasi lain tentang kekhasan majas dalam RDP dapat dibaca pada data berikut.

(9) Ketika pembicaraan Sakum sampai kepada masalah Kyai Jaran Guyang, ada kenangan menyentak masuk ke dalam hati Rasus. (hlm. 333)
(10) Pasar Dawuan menjadi tempat kabar menyebar dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut, dan seterusnya. (hlm. 81)

Tuturan idiomatik cukup banyak dimanfaatkan dalam RDP. Tuturan idiomatik dalam RDP dapat dibagi menjadi dua jenis yakni tuturan idiomatik klise dan orisinal kreasi Tohari. Tuturan idiomatik klise mengindikasikan bahwa Tohari menguasai bentuk-bentuk idiom lama yang efektif dari segi ekspresi dan makna. Adapun tuturan idiomatik orisinal menunjukkan bahwa Tohari adalah pengarang yang kreatif dalam pemberdayaan segenap potensi bahasa.
Keunikan dan kekhasan tuturan idiomatik RDP terlihat dalam ilustrasi berikut.
(11) Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru seorang ronggeng. (hlm. 231)
(12) ”Yang sampean maksud dengan kaum penindas?” ”Kaum imperialis, kapitalis, dan para kaki tangannya. Tak salah lagi!” (hlm. 183)

Idiom kreasi Tohari ’cetak biru’ pada data (11) secara harfiah adalah blue print yang dapat diartikan sebagai suratan takdir dari Sang Mahakuasa yang harus dijalani oleh manusia sebagai jalan hidup yang harus dilaluinya. Dalam RDP, Srintil menjalani profesinya sebagai ronggeng dipahami dan diterimanya sebagai tugas hidup yang harus dijalaninya, yakni menjadi pemangku naluri primitif; naluri berahi yang membebaskan diri dari norma dan etika. Menjadi ronggeng, itulah dunianya, kesadarannya. Ronggeng adalah keperempuanan yang menari, menyanyi, serta kerelaan melayani kelelakian. Itulah ’cetak biru’ yang dipahami Srintil sebagai ronggeng. Adapun ’kaki tangan’ pada data (12) merupakan idiom klise yang berarti bawahan, anak buah dalam makna negatif.
Tuturan idiomatik pada data (11) dan (12) agaknya dilatarbelakangi oleh alasan bahwa penuturan dengan bahasa biasa tidak akan efektif, terlalu panjang, dan tentu saja membosankan. Dengan tuturan idiomatik maka lukisan terkesan lebih intens.

3. Citraan (Imagery)
Citraan dalam RDP meliputi tujuh jenis citraan. Dari ketujuh jenis citraan dalam RDP, citraan intelektual yang paling dominan, disusul citraan visual, citraan gerak, citraan pendengaran, dan citraan perabaan. Adapun citraan penciuman dan pencecapan kurang banyak digunakan. Dominasi citraan intelektual dalam RDP menunjukkan bahwa Tohari sebagai pengarang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi di samping keunggulan bercerita tentang masalah sosial, budaya, moral, jender, humanitas, dan religiositas yang dirangkai dalam jalinan kisah cinta anak manusia yang asyik dan menarik.
Citraan dalam RDP dimanfaatkan oleh Tohari untuk menghidupkan lukisan keadaan, peristiwa, latar cerita, penokohan, dan suasana batin tokoh. Citraan dalam RDP diberdayakan untuk menimbulkan imajinasi yang indah dan mengesankan pembaca. Dengan citraan, berbagai gagasan menjadi memiliki daya ekspresif, indah, dan sensual. Citraan dalam RDP semakin indah karena dikolaborasikan dengan sarana retorika tertentu seperti Metafora, Simile, Personifikasi, dan Hiperbola. Perpaduan citraan dengan sarana retorika itu menimbulkan eofoni dan kokofoni sehingga melahirkan orkestrasi bunyi dengan irama yang indah.
Ilustrasi berikut merupakan citraan intelektual dalam RDP yang khas Tohari.
(13) Selera agung yang transendental terhadap segala citakarsa manusia dan karena keagungannya manusia diminta untuk runduk oleh suara bening di dalam jiwa. Runduk dalam cita dan perilaku, runduk dalam karsa dan karya. Dan kemudian Srintil dengan nilai kemanusiaannya sendiri merasa selera agung, meski tanpa sepatah kata jua, membuka pintunya bagi segala manusia dan kepada tiap-tiap jiwa untuk masuk dan menyelaraskan diri kepadanya (hlm. 355)

Data (13) menunjukkan bahwa Tohari tidak hanya piawai berbincang tentang aspek kemanusiaan, kebudayaan, keperempuanan, cinta asmara, dan sosial politik. Tohari juga intens memahami aspek transendental yang esensial bagi kehidupan manusia. Melalui citraan intelektual dengan majas Metonimia, Tohari menggelitik pembaca agar dalam berbuat dan berkarya selalu mengikuti suara hati nurani yang tidak pernah salah, selalu berbisik ke arah kebenaran. Hal ini penting agar manusia tidak terjebak dalam jurang kemaksiatan yang biasanya dimulai dari mengikuti bisikan nafsu. Untuk itu, manusia harus berusaha menyelaraskan segala perilakunya dengan ajaran Tuhan dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Agaknya pada bagian ini Tohari terilhami oleh makna firman Tuhan: Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ilaa rabbiki radhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fi ’ibaadii wadkhulii jannatii, artinya, ”Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu agar memperoleh keridhaan-Nya dan masuklah ke dalam golongan hamba-Ku (yang beriman) dan masuklah ke dalam surga-Ku” (Q.S. al-Fajr: 27-30).
Ilustrasi lain tentang keunikan citraan dalam RDP dapat dicermati data berikut.
(14) Mulut Rasus dan kedua temannya pegal sudah. Namun Srintil tetap melenggang dan melenggok. Alunan tembangnya terus mengalir seperti pancuran di musim hujan. (hlm. 13)
(15) Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan
nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari ketapel sambil menjerit sejadi-jadinya. (hlm. 9)

Dari analisis stilistika RDP di atas, dapat dikemukakan bahwa stilistika merupakan sarana sastra yang berperan penting dalam menciptakan daya estetis karya sastra. Sebagai sarana sastra, stilistika RDP diciptakan Tohari untuk menuangkan gagasan sebagai esensi sastra.

E. Simpulan
Stilistika Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) sebagai sarana ekspresi memiliki daya pukau luar biasa yang menunjukkan keunikan dan kekhasan ala Tohari yang terlihat pada diksi, bahasa figuratif, dan citraan. Stilistika RDP memiliki keunikan dan kekhasan yang tidak ditemukan dalam karya sastra lain sekaligus membuktikan kompetensi Tohari dalam pemberdayaan segenap potensi bahasa.
Stilistika RDP merupakan sarana ekspresi untuk menuangkan gagasan multidimensi, meliputi dimensi kultural, sosial, moral, humanisistik, jender, religius, dan multikultural. Gagasan multidimensi tersebut tidak terlepas dari latar sosiohistoris Tohari dan kondisi sosial budaya pada dekade 1960-an, yakni peristiwa kekejaman manusia akibat geger politik G30S/ PKI 1965. RDP menjadi citra Tohari sebagai sastrawan Indonesia dan merupakan karya masterpeace-nya. RDP memiliki warna dan keunikan tersendiri sehingga menempatkan Tohari sebagai salah satu sastrawan terkemuka di negeri ini.
Kajian stilistika RDP terbukti memberikan fungsi penting bagi penemuan model (baru) kajian stilistika karya sastra dan pemaknaannya. Bagi studi sastra, kajian stilistika karya sastra mengkaji keunikan dan kekhasan bahasa sastra dalam rangka membantu pemahaman maknanya. Adapun terhadap studi linguistik, kajian stilistika RDP memberikan dasar-dasar dalam mengkaji bahasa sastra yang unik dan khas dari sudut pandang linguistik dan efek estetik serta makna yang diekspresikannya.
Daftar Pustaka

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.

_______. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press.

Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Karya sastra. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2007. ”Multikulturalisme dalam Novel Burung-burung Rantau Karya Y.B. Mangunwijaya” dalam Litera Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 6, Nomor 1, Januari 2007.

_______. 2007a. ”Nilai Pendidikan Multikultural dalam Novel Burung-burung Rantau: Kajian Semiotik” dalam Varia Pendidikan Kajian Penelitian Pendidikan, Volume 19, Nomor 1, Juni 2007.

Altenbernd, Lynd and Lislie L. Lewis. 1970. A Handbook for the Study of Poetry.
London: Collier-Macmillan Ltd.

Barthes, Roland. 1973. Mythologies (Trans. Annette Lavers). London: Paladin.

Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. “Hakikat Penelitian Sastra” dalam Jurnal Gatra
Nomor 10/11/12. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.

Chomsky, Noam. 1971. “Deep Structure, Surface Structure, and Semantic
Interpretation” dalam Semantics: An Interdisciplinary Reader in Philosophy
Linguistics and Psychology.

Danny D. Steinberg & Leon A. Jakobovits (Ed.). New York: Cambridge University
Press.

Culler, Jonatan. 1975. Structuralist Poetics, Structuralism, Linguistics and Study of
Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

_______. 1981. The Pursuit of Signs. London: Routledge & Kegan Paul.

Fowler, Roger. 1977. Linguistic and the Novel. London: Methuen & Co Ltd.

Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.

Hough, Graham. 1972. Style and Stilistics. London: Routledge & Kegan Paul.

http://id.wikipedia.org/wiki/AhmadTohari (Diakses tanggal 8 September 2007)

Jauss, Hans Robert. 1984. Toward an Aesthetic Reception. Minneapolis: University of
Minnesota Press.

Junus, Umar. 1984. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

_______. 1988. Karya sebagai Sumber Makna. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.

_______. 1989. Stilistik: Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art. Columbia: Columbia University Press.

Leech, Geoffrey N. & Michael H. Short. 1984. Style in Fiction: a Linguistics Introduction to English Fictional Prose. London: Longmann.

Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills: Sage Publication.

Mukarovsky, Jan. 1976. On Poetry Language. (Translated by John Burbank and Pitter Steiner). London: Yale University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. "Stilistika" dalam Jurnal Humaniora Nomor 1, Tahun 1994.

_______. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.

Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Literary Texs. Lisse: The Peter de Ridder
Press.

Short, Michael H. (Ed). 1989. Reading, Analysing and Teaching Literature. England: Longman.

Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

Sutopo, H.B. 1995. "Kritik Seni Holistik sebagai Model Pendekatan Penelitian Kualitatif". Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Budaya pada Jurusan Seni Rupa Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

_______. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian (Edisi Kedua). Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tohari, Ahmad 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. (Edisi Baru). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Turner, W. 1977. Stylistics. Harmondsworth Middlesex: Penguin Books.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan (Terjemahan Melani Budianto). Jakarta: Gramedia.

________________
*) Disajikan dalam Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) di Batu, Malang Jawa Timur Indonesia pada tanggal 5-7 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar