Rabu, 27 April 2011

REVITALISASI KESENIAN TRADISI

REVITALISASI KESENIAN TRADISI
DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DI SURAKARTA *)

Oleh
Ali Imron Al-Ma'ruf

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan kesenian tradisi dewasa ini, mendeskripsikan reaktualisasi kesenian tradisi agar berdaya pikat bagi masyarakat, dan memaparkan langkah-langkah strategis guna mewujudkannya menjadi aset unggulan dalam menunjang pariwisata di Surakarta.
Dengan menggunakan metode penelitian deskripstif kualitatif, data dikumpulkan dengan teknik pustaka, wawancara mendalam, dan observasi. Adapun analisis datanya dengan menggunakan model interaktif dengan teknik trianggulasi data.
Adapun hasil penelitian ini adalah: (1) Tantangan kesenian tradisi adalah: penggarapan kesenian tradisi yang konvensional meliputi: cerita yang monoton, penggarapan teatrikal kurang kreatif, teknologi pementasan konvensional, dan manajemen tidak profesional. (2) Proses pewarisan nilai budaya tradisi tidak berjalan lancar sehingga apresiasi masyarakat menurun. (3) Membanjirnya produk teknologi elektronik menyebabkan menurunnya minat masyarakat pada kesenian tradisi. (4) Perubahan nilai kehidupan akibat globalisasi berdampak pada bergesernya apresiasi masyarakat atas seni budaya, kini cenderung pada kesenian modern.
Revitalisasi kesenian tradisi dapat dilakukan dengan reaktualisasi sesuai dengan irama zaman, meliputi: (1) Penggarapan cerita yang lebih variatif dan aktual. (2) Penggarapan teatrikalnya yang lebih kreatif dan atraktif. (3) Perlu inovasi dalam teknologi pementasan dengan mengadopsi teknologi sinema/ film. (4) Pengelolaan manajemen pementasan yang profesional.
Langkah strategis untuk mewujudkan kesenian tradisi menjadi aset budaya unggulan dalam pariwisata di Surakarta adalah: (1) Mengemas kesenian tradisi menjadi tontonan yang ringkas tetapi memikat. (2) Menghadirkan bintang tamu dalam pementasannya pada even-even tertentu. (3) Peningkatan kerja sama secara sinergis dengan pihak-pihak terkait. (4) Diadakan dialog antar-pihak terkait guna merealisasikan kesenian tradisi sebagai aset unggulan dalam menunjang pariwisata di Surakarta.

Kata kunci: revitalisasi, kesenian tradisi, pengembangan pariwisata budaya.

I. PENDAHULUAN
Surakarta dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Di daerah ini berkembang berbagai bentuk kesenian tradisi Jawa –termasuk di dalamnya ke-senian daerah atau kesenian rakyat, dan kesenian klasik dengan karya adiluhung--
yang hingga kini eksistensinya masih diakui oleh masyarakat. Terasa sangat kenthal nuansa budaya Jawa itu dalam kehidupan masyarakat. Adanya kesamaan corak dasar kebudayaan Jawa yang masih melekat dan hidup dalam masyarakat yang bersumber dari budaya kraton merupakan indikasi hal itu.
Sebagai salah satu pewaris dinasti kerajaan Mataram, Surakarta memiliki dua kraton yakni Kraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran yang secara fisik dan kultural keberadaannya masih diakui masyarakat hingga kini. Kraton memiliki ragam kesenian klasik yang dikenal adiluhung, seperti tari “Bedaya Ketawang”, “Bedaya Anglir Mendhung”, Tari “Gambyong”, wayang orang, dan karawitan dengan gendhing khusus. Di luar tembok istana berkembang juga jenis kesenian semacam yang kemudian dikenal sebagai kesenian rakyat, yang bersumber dari kraton (lihat Hersapandi, 1994: 41; Lindsay, 1990:82). Kesenian rakyat yang berkembang di masyarakat kemudian juga dikenal sebagai kesenian tradisi atau daerah (Sedyawati, 1981: 39; Kayam, 1981: 60). Karena itu, kiranya cukup beralasan jika berbagai kesenian tradisi tersebut diberdayakan menjadi aset potensial bagi pengembangan wisata budaya di Surakarta.
Kesenian merupakan hasil kebudayaan sebagai materi hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1987: 5). Karena merupakan keseluruhan hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat, maka sifat kebudayaan cukup kongkrit berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sebagai hasil suatu kebudayaan, wajar jika kesenian kemudian menjadi aset masyarakt pemiliknya sehingga memungkinkan untuk dikembang-kan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam konteks kebangsaan, upaya memelihara dan mengembangkan kesenian tradisional yang sudah merakyat merupakan kontribusi besar dalam pembangunan budaya nasional. Hal ini sekaligus merupakan upaya mengurangi ekses budaya asing yang dapat merusak sendi-sendi kepribadian nasional.
Di pihak lain, masuknya produk-produk budaya Barat sebagai dampak globalisasi dunia merupakan tantangan tersendiri bagi upaya pengembangan kesenian tradisional. Kesenian Barat seperti: musik populer, musik rock, tari balet, dan lain-lain, lalu membanjirnya media komunikasi elektronik seperti: video compact disc (VCD), home theatre, televisi (TV) baik TVRI, TV swasta, dan TV asing, digital video disc (DVD), dan internet, membuat perhatian masyarakat terhadap kesenian tradisional menjadi berkurang.
Dampak masuknya teknologi komunikasi media massa beserta budaya Barat terhadap kesenian tradisi cukup terasa. Akhir-akhir ini kesenian tradisi Jawa mengalami masa-masa sulit. Masyarakat terlebih kawula muda banyak yang tidak mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) atas kesenian tradisi, bahkan sebagiannya sudah tidak mengenalnya lagi.
Kini timbul fenomena bahwa masyarakat mulai ‘memandang sebelah mata’ atas kesenian tradisi dan mulai melirik seni budaya Barat. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat terutama komunitas mudanya mulai melirik kesenian Barat, di antaranya kesenian dari Barat dipandang lebih glamour, mudah dinikmati, dinamis, variatif, dan praktis. Hal ini berkaitan dengan pola hidup masyarakat modern yang cenderung ke pola pragmatis, termasuk dalam mencari hiburan dan rekreasi.
Wayang Orang (Wayang Wong) di gedung kesenian Sriwedari dan Kethoprak di RRI Surakarta serta Balekambang misalnya, kini sepi penonton. Di satu sisi, penontonnya sedikit, di sisi lain sarana prasarana pementasan terkesan konvensional dan penggarapan teatrikal pementasan kesenian tradisi terasa monoton tidak berkembang.
Beberapa hal di atas diduga mengakibatkan timbulnya kejenuhan di kalangan penonton yang berimplikasi pada menyusutnya jumlah penonton pada pementasannya. Padahal, kesenian tradisi seperti wayang orang dan kethoprak merupakan aset Kota Surakarta unggulan dalam pengembangan sektor pariwisata budaya yang dapat mendatangkan penghasilan asli daerah (PAD). Dalam konteks otonomi daerah hal itu sangatlah penting untuk diberdayakan.
Ketika sektor minyak dan gas bumi sudah tidak dapat diharapkan lagi menjadi primadona devisa negara –seperti beberapa dasawarna yang lalu—sementara sektor industri belum dapat eksis, maka pengembangan sektor kepariwisataan, baik wisata alam maupun wisata budaya dapat diharapkan menjadi primadona.
Sementara itu, meskipun perekonomian Surakarta kini mulai ‘menggeliat’ dan berangsur-angsur membaik –setelah kerusuhan pascareformasi Mei 1998 dan terbakarnya Pasar Gedhe 2000--, namun praktis pendapatan masyarakat dan Pemkot Surakarta dari sektor perdagangan dan bisnis menurun, belum pulih seperti dulu. Pengembangan sektor pariwisata dan sektor informal dapat menjadi alternatif dalam menambah penghasilan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD). Lebih-lebih dalam konteks otonomi daerah di Kota Surakarta, sesuai dengan Undang-undang No. 22/ 1999 tentang Otonomi Daerah, maka pariwisata di Surakarta utamanya wisata budaya, dapat menjadi program unggulan dalam menambah PAD. Dan, mengingat potensinya, wisata budaya dengan berbagai kesenian tradisi merupakan peluang yang perlu kita tangkap.
Berdasarkan pemikiran tersebut, pengembangan pariwisata di Surakarta dan program menjadikan Sala sebagai “pintu gerbang pariwisata di Jawa Tengah” melalui wisata budaya akan mendekati realitas jika disertai dengan langkah-langkah terprogram, sistematis, dan terpadu serta tindakan proaktif para pengambil kebijakan di bidang pariwisata dan pelaksana di lapangan. Untuk itu penelitian ini megangkat topik “Revitalisasi Kesenian Tradisi dalam Menunjang Pariwisata di Surakarta.”
Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk melakukan revitalisasi kesenian tradisi di Surakarta dewasa ini dalam rangka mengembangkan sektor kepariwisataan terutama wisata budaya di wilayah ini. Secara khusus ada tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni: (1) Memaparkan tantangan yang dihadapi kesenian tradisi Jawa di Surakarta dewasa ini. (2) Mendeskripsikan upaya-upaya kreatif dan antisipatif untuk mengaktuali-sasikan kesenian tradisi di Surakarta agar tetap memiliki daya pikat bagi wisatawan selaras dengan derap kehidupan. (3) Memaparkan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan kesenian tradisi Jawa sebagai aset unggulan dalam pengembangan pariwisata di Surakarta.
Dengan demikian hasil penelitian ini bermanfaat bagi para penentu kebijakan dan/ atau pengambil keputusan Kota Surakarta terutama dalam melakukan langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memberdayakan kesenian tradisi Jawa sebagai aset unggulan dalam pengembangan pariwisata khususnya wisata budaya. Selain itu, hasil penelitian ini juga penting bagi para pekerja kesenian tradisi Jawa dalam upaya revitalisasi agar memiliki nilai lebih sehingga tetap diminati masyarakat dan wisatawan.
Berkaitan dengan latar belakang masalah dan tujuan penelitian, ada tiga masalah yang akan diteliti, yakni: (1) Tantangan apa saja di dihadapi kesenian tradisi di Surakarta dalam upaya revitalisasi dewasa ini? (2) Bagaimana mengaktualisasikan kesenian tradisi di Surakarta agar memiliki daya pikat bagi wisatawan selaras dengan derap kehidupan masyarakat? (3) Bagaimana langkah-langkah strategis guna mewujudkan kesenian tradisi sebagai aset unggulan dalam rangka pengembangan pariwisata di Surakarta?
Ada beberapa buku atau tulisan yang mengkaji kesenian tradisi Jawa,namun tidak mengkaji secara khusus bagaimana kesenian tradisi itu dapat eksis menjadi daya dukung pariwisata. Umumnya, pustaka tersebut membahas keberadaan kesenian tradisi Jawa dan perkembangannya pada masa tertentu. Jennifer Lindsay dalam bukunya Klasik, Kitsh or Contemporary: A. Study of the Javasene Performing Arts (1991), Umar Kayam dalam Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), dan Rahayu Supanggah (1991) dalam “Karawitan Anak-anak: Gejala Perkembangan Karawitan Jawa yang Memprihatinkan”. Ketiganya menyatakan kegelisahan dan keprihatinannya mengenai kesenian tradisi yang semakin redup, padahal memiliki potensi untuk dikembangkan. Bahkan, secara ekstrem Kunt (dalam Lindsay 1991) menyatakan bahwa masa depan kesenian tradisi Indonesia sekarang tetap merupakan hal yang menggelisahkan di Indonesia, bahkan sudah terasa sejak dekade 1930-an pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Edi Sedyawati dalam Pertumbuhan Seni Pertunjukan (1981), jurnal Seni Pertunjukan Indonesia dalam beberapa edisinya juga membahas berbagai perkembangan kesenian tradisi Jawa. Hersapandi dalam “Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial Suatu Kajian Sosio-Historis” (1994) dan Sumanta dalam “Wayang Madya Salah Satu Sarana Pengukuh Mangkunagara IV” (1994) juga membahas seputar kesenian tradisi Jawa, tetapi tidak dalam konteks pengembangan pariwisata.
Pustaka yang ada umumnya membahas sekitar gejala berkemban atau merosotnya kesenian tradisi Jawa. Adapun buku Panduan Pariwisata lazimnya mengutarakan kekayaan daerah akan berbagai kesenian tradisi. Demikian pula buku terbitan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Provinsi, misalnya DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Pemda (kini Pemkot) Surakarta pada ulang tahun emas RI (1995) juga memaparkan masalah yang sama. Jadi, sepanjang pengamatan peneliti, pustaka yang mengkaji kesenian tradisi Jawa di Surakarta dalam konteks pariwisata secara mendalam belum diperoleh. Dengan demikian, orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
Koentjaraningrat (1979: 205) membagi kebudayaan menjadi tujuh unsur, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan; sistem dan organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa; kesenian; sistem mata pencaharian hidup serta sistem teknologi dan peralatan. Demikianlah ketujuh unsur kebudayaan universal mencakup seluruh manusia dalam kehidupannya.
Kesenian tradisi merupakan bagian dari jagat kesenian Indonesia. Pada umumnya, ia hidup dalam dua lingkungan dua alam budaya. Di satu pihak ia lahir dari suatu kebudayaan daerah tertentu yang memiliki sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan tradisi daerah tertentu, dan di pihak lain ia disadur dan dibentuk kembali oleh kebutuhan suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas, yakni Indonesia (lihat Sedyawati, 1981: 39).
Kesenian tradisi kini telah mengalami pergeseran pemilikan, Jika semula ia hanya menjadi milik masyarakat pendukung kebudayaan daerah tertentu, kini masyarakat daerah lain pun merasa memilikinya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan kebudayaan-kebudayaan daerah. Karena itu, kesenian tradisi dari kebudayaan daerah tertentu dapat memperoleh pemasukan cita rasa ataupun konsep-konsep kebudayaan daerah lain. Bahkan, terbuka lebar bagi kesenian tradisi akan masuknya gagasan dan cita rasa negara lain (Sedyawati, 1981: 39). .
Wayang orang dan wayang kulit yang mengangkat cerita dari mahakarya Mahabharata dan Ramayana misalnya, kini tidak hanya menjadi milik masyarakat pendukung aslinya melainkan sudah menjadi milik daerah atau suku lain. Fenomena ini, menurut Kayam (1981: 66; lihat Sedyawati, 1981: 39), barangkali merupakan bagian dari proses ‘Indonesianisasi’ dari banyak ekspresi kesenian termasuk cita-rasa daerah lain, bahkan dimungkinkan pula masuknya unsur-unsur dari mancanegara.
Dengan semakin berkembangnya nasionalisme dalam masyarakat kita, maka berangsur-angsur fanatisme kedaerahan menipis dan menuju semangat keindonesiaan. Hal ini juga mendorong adanya perubahan konsep dan penampilan kesenian tradisi yang lebih bersifat bikultural. Jika dulu kesenian tradisi kenthal dengan budaya masyarakat pendukungnya saja, kini dalam penampilannya sering pula memasukkan unsur-unsur budaya daerah lain dan nuansa yang lebih ‘Indonesia’. Bahkan, cita rasa ‘universal’ mulai terasa dalam penampilan beberapa kesenian tradisi.
Kesenian tradisi sering pula diartikan dengan ‘kesenian rakyat’, ‘kesenian daerah’ atau ‘kesenian klasik’. (lihat Kayam, 1981: 61). Namun, dalam makalah ini digunakan istilah ‘kesenian tradisi’, bukan ‘kesenian rakyat’ atau ‘kesenian daerah’. Sebab, kata ’rakyat’ dapat merupakan lawan dari kata feodal atau istana, sedangkan kata ‘daerah’ dapat diartikan berlawanan dengan ‘nasional’. Dan, meskipun istilah ‘seni-tradisi-rakyat’’ dan ‘seni-tradisi-klasik’ ada semacam perkembangan, pada dasarnya keduanya masih memiliki sifat yang mirip (Kayam, 1981: 61). Karena itu, dalam tulisan ini dipakai istilah kesenian tradisi, dengan batasan yang cukup luas pula, yakni kesenian yang terkait dengan tradisi.
Sebagai sebuah genre karya seni, kesenian tradisi memiliki beberapa ciri khas, antara lain: (1) ia memiliki jangkauan terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya, (2) ia merupakan pencerminan dari sebuah kultur yang berkembang sangat lamban, karena dinamika masyarakat pendukungya memang demikian, (3) ia merupakan bagian dari suatu kosmos kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi, dan (4) ia bukan merupakan hasil kreativitas individu melainkan tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya (Kayam, 1981: 60).
Kesenian tradisi adalah suatu karya budaya berupa seni budaya yang sejak lama turun-temurun tetap hidup dan berkembang pada suatu daerah (Yoeti, 1985: 2). Itu sebabnya kesenian ini disebut juga kesenian daerah. Beberapa bentuk kesenian tradisi Jawa antara lain: wayang kulit, wayang wong (orang), ketoprak, ludruk, kentrung, jathilan, reog, dhagelan, tari-tarian, karawitan, dan lain-lain.
Lahirnya ‘wayang orang panggung komersial’ menunjukkan adanya pergeseran nilai seni dan formalitas budaya kraton, yakni terjadi perubahan bentuk dan sifat kelembagaan dari patron-client dan patrimonial ke produsen-konsumen dan kapitalis. Seperti pandangan Kuntowijoyo (1987: 28), bahwa dalam kebudayaan baru yang ditandai dengan lahirnya budayawan, golongan intelegensia, dan seniman, profesionalisme dalam budaya baru berbeda dengan profesionalisme budaya lama. Singkatnya, hubungan patron-client dalam budaya lama digantikan oleh hubungan produsen-konsumen dalam budaya baru, sifat hubungan vertikal diganti menjadi hubungan horisontal.
Kesenian tradisi merupakan hasil karya budaya masyarakat, yang medianya dapat berbentuk cerita yang diperagakan dengan gerak dan suara, dengan aksentuasi cakapan atau dialog yang diperagakan dan ditampilkan kepada penonton, dapat berupa teater (kethoprak, wayang orang, wayang kulit, dhagelan, ludruk), tari-tarian, ataupun seni musik dan seni suara (karawitan).
Adapun jenis dan bentuk kesenian tradisi Jawa di Surakarta banyak ragamnya, di antaranya: Wayang Kulit/ Purwa, Wayang Orang (Wayang Wong), Ketoprak, Dhagelan, tari-tarian, reog, dan karawitan. Wayang kulit/ purwa adalah pagelaran wayang yang ceritanya (reportair) bersumber pada Kitab Mahabharata dan Ramayana, keduanya dari India (Satoto, 1990:133) dengan menggunakan media wayang (boneka dari kulit). Sedangkan Wayang Orang merupakan suatu jenis wayang yang pelakunya diperankan oleh manusia menggantikan boneka-boneka wayang (dapat berupa kulit, kertas, kayu) yang merupakan pertunjukan dengan gaya tersendiri, sedang sumber ceritanya juga Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India (Satoto, 1990:190).
Ditinjau dari potensinya, sektor pariwisata yang paling dapat diandalkan di Surakarta adalah wisata budaya, yaitu suatu bentuk kegiatan pariwisata dengan memanfaatkan kekayaan budaya potensial untuk dikembangkan, dengan tujuan untuk menunjang peningkatan pembangunan nasional dengan menyejahterakan masyarakat tanpa melupakan upaya pelestarian dan pengembangannya (SKB Menparpostel, Mendikbud dan Mendagri, Tanpa Tahun). Adapun maksud dan tujuan pariwisata budaya yakni meningkatkan, mengembangkan, dan melestarikan obyek wisata budaya sebagai bagian dari kebudayaan bangsa guna terwujudnya pengembangan kepariwisataan kebudayaan yang berdaya guna dan berhasil guna (Dinas Pariwisata Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, 1990).
Dengan sejumlah potensi yang ada, maka pengembangan kesenian tradisi Jawa di Surakarta dapat menjadi salah satu primadona dalam mendukung pengembangan sektor pariwisata. Dan, pada gilirannya, mengingat potensi dan sarana pendukungya, pariwisata budaya di daerah Surakarta tidak tertutup kemungkinan dapat menjadi “wajah” wisata budaya di tingkat nasional.
Banyak sekali ragam kesenian tradisi di Surakarta. Dalam penelitian ini, mengingat berbagai keterbatasan, maka dikaji lima kesenian tradisi saja yakni: wayang purwa (kulit), wayang orang, kethoprak, karawitan, dan tari. Pembatasan ini berdasarkan alasan bahwa bentuk-bentuk kesenian tradisi Jawa tersebut dipandang representatif dan berhubungan secara signifikan dengan permasalahan penelitian. Selain itu, lima kesenian tradisi tersebut dipandang relevan dan memiliki daya jual (marketable) dari sektor kepariwisataan.

II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Bentuk penelitian ini dipandang mampu menuangkan berbagai informasi kualitatif yang penuh nuansa. Dalam penelitian ini digunakan strategi survai yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar variabel mengenai sejumlah besar individu melalui alat pengukur wawancara. Termasuk di dalam penelitian survai yaitu ciri-ciri demografis dari masyarakat, lingkungan sosial, aktivitas, pendapat dan sikap mereka (Moses dalam Masri Singarimbun, 1985: 8).
Sumber data dalam penelitian ini meliputi: (1) Pustaka mengenai kesenian tradisi Jawa di Surakarta dan masalah kepariwisataan, serta monografi Surakarta. (2) Informan, yang terdiri dari pihak-pihak terkait meliputi: Dinas Pariwisata, seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat yang memahami kesenian tradisi di Surakarta dan sejumlah wisatawan. (3) Rekaman peristiwa atau catatan hasil observasi pada lokasi pagelaran kesenian tradisi dan lingkungannya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Teknik pustaka dengan content analysis berupa cuplikan dengan criterion based selection. (2) Wawancara mendalam (in-depth interviewing), yakni wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada informan yang bersifat terbuka (open-ended) dan mengarah pada kedalaman informasi serta dilakukan dengan tidak formal-terstruktur guna menggali informasi yang jauh-mendalam mengenai objek penelitian yakni kesenian tradisi dalam menunjang pariwisata. (3) Observasi, dilakukan dengan menyaksikan pementasan kesenian tradisi pada beberapa even dan tempat guna memperoleh data yang lengkap dan akurat.
Guna menjamin validitas data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka pengujian validitas data dilakukan dengan cara yang disebut triangulasi data, yaitu mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda dan yang tersedia. Dengan demikian kebenaran data yang satu diuji oleh data yang diperoleh dari sumber data yang lain.
Penelitian menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif. Dalam model ini tiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus (Soetopo, 2002: 93-100). Pada model ini peneliti tetap bergerak di antara empat komponen (termasuk proses pengumpulan data), selama proses pengumpulan data ber-langsung.. Skema berikut menggambarkan proses analisis data model interaktif.







Model Analisis Interaktif
Hasil penelitian disajikan dengan metode informal, yakni perumusan dengan kata-kata biasa, tidak dengan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993: 145).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tantangan yang Dihadapi dalam Revitalisasi Kesenian Tradisi
Kehidupan teater tradisi di tengah-tengah membanjirnya produk budaya Barat di masyarakat menghadapi tantangan yang cukup berat. Ada fenomena bahwa masyarakat mulai ‘mengesampingkan’ kesenian tradisi dan mulai melirik seni budaya Barat dengan alasan antara lain: kesenian dari Barat dipandang lebih glamour, mudah dinikmati, dinamis, praktis, dan ‘prestisius’. Terlebih pada masa sekarang, dalam mencari hiburan orang sering bertindak pragmatis, sejalan dengan pola hidupnya yang pragmatis pula.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh temuan, bahwa sepinya penonton pada pementasan wayang orang dan/ atau Kethopark di Surakarta sudah agak lama terjadi yakni sejak akhir dekade 1980-an karena adanya paling tidak empat faktor. Keempat faktor itu antara lain:
Pertama, aspek kesenian tradisi itu sendiri --menyangkut cerita (aspek literernya), penggarapan teatrikalnya, teknologi pementasan, dan manajemen pementasannya--; Dari segi ceritanya, wayang orang dan kethoprak misalnya, biasanya menyajikan tema-tema yang itu-itu saja tanpa banyak variasi, sehingga terkesan monoton. Akibatnya, penonton bosan melihatnya. Segi penggarapan teatrikalnya kurang greget dan tidak mengesankan. Hal ini berbeda jauh dengan ketika masih berkiprahnya seniman legendaris Rusman, Darsih, dan tokoh-tokoh seangkatannya yang bermain total dan sangat populer.
Dari segi teknologi pementasan, kesenian tradisi masih menggunakan peralatan media yang konvensional sifatnya, kurang ada inovasi. Panggung dan back ground (geber) yang terlihat kumal bahkan ada yang sudah berlubang merupakan ilustrasi hal itu. Ini menyebabkan pementasan menjadi kurang menarik. Segi manajemen pementasan pun tampak kurang profesional. Pengelola kurang sigap melakukan gebrakan-gebrakan dalam pemasaran, misalnya menjalin kerja sama dengan relasi dan instansi atau institusi terkait seperti hotel dan lembaga pendidikan.. Penjaringan penonton melalui publikasi dan iklan pun terkesan kurang optimal.
Kedua, kurang adanya proses pewarisan nilai-nilai budaya tradisi secara terprogram, sistematis, dan terpadu bagi generasi muda melalui lembaga pendidikan. Sejak sekitar paroh dekade 1970-an, kesenian daerah, termasuk sastra daerah tidak lagi menjadi mata pelajaran yang ‘terpandang’. Beberapa tahun terakhir kesenian, bahasa, dan sastra daerah di sekolah boleh dikatakan hanya dipandang ‘sebelah mata’, sekedar menjadi muatan lokal (mulok), yang sama sekali ‘tidak prestisius’. Karena itu, motivasi siswa untuk mendalami kesenian tradisi pun kurang. Jika para siswa SD dan SMP dulu (dekade 1960-1970-an) memahami cerita-cerita rakyat di daerah dan cerita Mahabharata dan Ramayana, sejak era 1980-an kebanyakan siswa SD dan SMP di Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak memahaminya, terlebih mengapresiasinya.
Ketiga, membanjirnya produk teknologi komunikasi media massa turut menjauhkan masyarakat dari kesenian tradisi. Munculnya beberapa televisi swasta di Indonesia yakni RCTI (1989) dan SCTV hingga Metro TV dan TV7, dan entah apa lagi, lalu TV mancanegara seperti CNN Amerika, Star TV Hong Kong, dan sejumlah TV Eropa, dengan tayangan acara yang menarik, baik olah raga, kesenian, musik, sains dan teknologi, maupun filmnya menyedot perhatian masyarakat (penonton). Terjadilah semacam demam (euforia) TV swasta saat itu.
Belum usai euforia tersebut, menjamur pula produk-produk elektronik seperti High Devinition Television (HDTV) (1988) dengan laser disc, lalu video compact disc (VCD) dan internet dengan ‘dunia maya’-nya (meluas 1990-an). Bahkan, kini membanjir pula digital video disc (DVD) di masyarakat, sehingga masyarakat ‘dimanjakan’ betul oleh berbagai fasilitas media dengan tiontonan yang menarik. Mereka sekeluarga dapat menikmati tontotan bagus sambil bercengkerama dengan anak dan istri/ suami. Akibatnya, mereka enggan menonton hiburan di luar rumah.
Keempat, pergeseran nilai akibat berlangsungnya transformasi sosial budaya dalam masyarakat seiring dengan era globalisasi. Sejalan globalisasi, terjadilan transformasi sosial budaya yang berimplikasi pada bergesernya nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Kini masyarakat berada dalam tegangan dua kultur, di satu sisi tetap memegang nilai tradisi (lama) dan di sisi lain harus menerima nilai modern (baru) dari kultur asing yang mendunia. Sehingga, masyarakat terlebih kaum muda kini cenderung memilih seni budaya massa (kitsch) daripada budaya lokal, termasuk kesenian tradisi (Imron A.M., 2002: 45).

3.2 Reaktualisasi Kesenian Tradisi untuk Menarik Selera Penonton
Sejalan dengan keempat tantangan yang dihadapi dalam revitalisasi kesenian tradisi, diperlukan upaya-upaya reaktualisasi kesenian tradisi agar dalam pementasannya dapat memiliki daya pikat bagi penonton. Dalam bahasa populernya, bagaimana agar kesenian tradisi itu dapat menarik selera pasar (marketable), dalam hal ini wisatawan.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dari kesenian tradisi itu sendiri, mulai dari unsur cerita (literernya), penggarapan kreasinya, peningkatan kualitas para pemain, penata musik (arranger), penata tari (koreografer), teknologi pementasannaya seperti: tata panggung (setting), tata cahaya, tata suara (back ground), hingga manajemen pementasannya.
Pertama, menyangkut cerita (aspek literer) kesenian tradisi. Sudah selayaknya kesenian tradisi tetap memegang konvensi tertentu. Wayang orang misalnya, cerita yang dilakonkan tetap bersumber pada Mahabharata dan Ramayana. Namun, tanpa mengurangi nilai literernya, dalam pementasan di panggung melalui dialog para pemain terutama para punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dapat diangkat masalah-masalah aktual dan kontekstual dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.
Untuk itu, memang diperlukan usaha ekstra bagi para pekerja kesenian tradisi untuk memperluas wawasannya. Pemahaman tentang sosial, politik, ekonomi, budaya modern, dan hal-hal lain yang sedang ngetrend di masyarakat harus dimiliki. Barangkali kita dapat belajar dari Miing, dedengkot kelompok pelawak intelek Bagito Group dan anggota lainnya. Sebelum melawak, mereka sering mengikuti berbagai seminar guna menimba pengetahuan dan menggali persoalan aktual dalam masyarakat. Sehingga, wajar jika lawakannya selalau up to date dan kontekstual dengan irama zaman.
Kedua, dari segi penggarapan teatrikal (dramatik)-nya juga harus ditingkatkan profesionalisme SDM-nya. Segi teatrikal berkaitan dengan kemampuan acting pemain dalam membawakan tokoh cerita dengan penuh improvisasi dan atraktif.
Totalitas keterlibatan para pekerja seni tradisi dalam dunia panggung agaknya perlu diperhatikan. Pada masa emas kesenian tradisi ketika Rusman, Darsih, dan rekan seangkatannya berjaya (1960-an hingga 1980-an), mereka terlibat secara total dalam dunia kesenian tradisi itu. Sebab, mereka mendedikasikan hidupnya pada kesenian tradisi tersebut. Dalam masa sekarang, banyak pemain terjun ke dunia kesenian tradisi sekedar ‘sambilan’. Akibatnya, sulit diharapkan mereka dapat terjun secara total.
Ketiga, dari segi teknologi pementasan, tampaknya kesenian tradisi juga perlu dilakukan inovasi dan rekonstruksi. Guna menambah daya tarik pementasan kesenian tradisi, para pekerja seni dapat mengadopsi teknologi komunikasi dan media seperti dalam sinema sehingga lebih berdaya jual. Cerita tetap bersumber dari pakem, tetapi teknologi mesti mengikuti perkembangan zaman.
Dari aspek tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata musik, perlu ditunjang dengan teknologi canggih. Panggung misalnya, kiranya dapat diusahakan agar nampak lebih hidup dengan menggunakan teknologi sinema sehingga latar (setting) akan terlihat lebih hidup dan atraktif. Dalam hal-hal tertentu, kelompok kethoprak Siswa Budaya sudah memanfaatkan teknologi itu.
Keempat, dari segi manajemen pementasan, kesenian tradisi perlu lebih profesional. Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu bentuk hiburan yang dijajakan untuk para wisatawan/ masyarakat, maka pementasan kesenian tradisi dalam konteks pengembangan pariwisata harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis hiburan (entertainment). Dari perencanaan program, termasuk pemasaran (marketting) melalui publikasi dan promosi yang memadai dengan berbagai cara: media elektronik (radio, TV), media cetak surat kabar, pamflet di berbagai tempat strategis dan lembaga-lembaga pendidikan, selebaran, mobil keliling, dan seterusnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah manajemen keuangan. Keuangan harus dikelola dengan penuh disiplin. Dengan harga tiket masuk (HTM) yang relatif ringan (Rp 5000,00 – Rp 7.000,00), penjualan tiket masuk harus benar-benar ketat. Sebab, di lapangan ditemukan data bahwa banyak penonton yang dapat masuk ke gedung kesenian/ arena tanpa membayar. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen bisnis hiburan. Terlebih jika wisata budaya ini dikembangkan dalam kerangka mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD).

3.3 Langkah Strategis untuk Mewujudkan Kesenian Tradisi sebagai Produk
Unggulan dalam Menunjang Pariwisata di Surakarta
Dari wawancara dengan berbagai kalanagan diperoleh temuan, bahwa jika kesenian tradisi akan diberdayakan menjadi produk unggulan dalam wisata budaya, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
Pertama, mengemas kesenian tradisi menjadi sebuah suguhan kesenian yang memikat, namun efisien waktu. Untuk keperluan wisatawan –terlebih wisatawan asing yang memiliki waktu relatif sedikit, maka perlu dilakukan kreasi ‘baru’ yang lebih simpel, tanpa harus mengurangi nilai estetiknya. Dalam pementasannya kesenian tradisi dapat dikemas menjadi sebuah sajian yang ringkas, padat, namun tetap atraktif. Alur ceritanya tetap dapat diikuti oleh penonton, tetapi disajikan dalam bentuk ringkas dan padat (simpel).
Adapun untuk suguhan bagi wisatawan asing yang memiliki keterbatasan waktu, maka pementasan kesenian tradisi dapat dilakukan juga di hotel-hotel –selain di Taman Sriwedari, auditorium RRI, dan Balaikambang--. Sebagai perbandingan, kita dapat belajar dari pementasan seni drama tari (sendratari) Ramayana di Candi Prambanan atau tari Kecak di Student Centre Bali. Keduanya digarap sedemikian atraktif dan memikat meskipun singkat.
Kedua, untuk meningkatkan daya jual (marketable), pada even-even tertentu pihak pengelola perlu mendatangkan bintang-bintang tamu dalam pementasan kesenian tradisi. Guna memancing masyarakat datang menyaksikan pementasan kesenian tradisi, tampaknya perlu dihadirkan tokoh-tokoh kelas bintang yang namanya dapat menjadi daya magnetik bagi penonton. Diperoleh data di lapangan, bahwa penonton membanjiri Auditorium RRI Surakarta karena ingin menyaksikan bintang tamu yang ikut bermain kethoprak atau wayang orang.
Sekedar ilustrasi, ketika dipentaskan kethoprak dengan lakon “Arya Penangsang” di auditorim RRI Surakarta dengan menghadirkan bintang-bintang kondang seperti Ki Mantep Sudarsono, Ki Gati (saudara kembar Ki Gito (Alm.) dari Yogyakarta), Timbul, Basuki, dan Nunung (Srimulat), dan lain-lain, ternyata penonton datang berduyun-duyun memenuhi arena pertunjukan.
Demikian pula ketika di gedung Sriwedari digelar Wayang Orang yang diproduksi oleh para seniman muda yang tergabung dalam Paguyuban Seniman Wayang Orang Surakarta (STSI Surakarta, SMK Karawitan, sanggar-sanggar kesenian, dan para siswa dari berbagai sekolah di Surakarta yang menggeluti kesenian tradisi itu), penonton pun membludak (Ali Imron A.M., 2002: 37).
Ketiga, perlu dilakukan kerja sama secara sinergis dengan institusi terkait. Dalam upaya lebih membumikan kesenian tradisi sebagai aset wisata budaya yang dapat menghasilan pendapatan asli daerah (PAD) sekaligus upaya pelestarian dan pewarisan seni budaya tradisi, perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait seperti: sanggar-sanggar kesenian, lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) Cabang Surakarta, Taman Budaya Surakarta (TBS), Gabungan Seniman Wayang Orang Surakarta, biro perjalanan wisata, hotel, dan sebagainya. Kantong-kantong seni budaya perlu diajak kerja sama dalam penggarapan kesenian tradisi.
Sekolah dan perguruan tinggi dapat diajak untuk menanamkan nilai-nilai budaya tradisi dengan memberikan dasar-dasar apresiasi kesenian tradisi, baik melalui pendidikan pengajaran di kelas, pelatihan di sanggar-sanggar seni sekolah (ekstrakurikuler), maupun melalui terjun menyaksikan pementasan kesenian tradisi di gedung kesenian. Dengan demikian, niscaya para siswa akan memiliki rasa memiliki (handarbeni) atas budaya warisan leluhur.
Keempat, perlu retrospeksi berbagai pihak terkait untuk mengkaji revitalisasi kesenian tradisi. Melalui diskusi dan sarasehan akan dapat ditemukan berbagai permasalahan yang bergayut dengan upaya revitalisasi kesenian tradisi guna menunjang pariwisata.

4. Kesimpulan
Secara umum pementasan kesenian tradisi seperti wayang orang dan kethoprak di gedung kesenian Sriwedari, auditorium RRI Surakarta, dan Balaikambang, perlu penggarapan yang lebih kreatif dari aspek teatrikalnya dan modernisasi sarana pendukung pementasannya.
Dengan pengelolaan secara terpadu dan manajemen profesional serta adanya kerja sama secara sinergis dari semua pihak terkait yakni seniman/ budayawan, akademisi dan pengamat budaya, Dinas Pariwisata, Biro Jasa Wisata (pengusaha industri pariwisata) dan pihak perhotelan, kesenian tradisi akan dapat eksis sebagai aset unggulan dalam menunjang pariwisata budaya di Surakarta.
Tantangan yang dihadapi dalam upaya revitalisasi kesenian tradisi meliputi empat aspek yakni: (1) penggarapan kesenian tradisi yang meliputi: segi cerita yang terkesan monoton, penggarapan aspek teatrikal (dramatik)-nya kurang kreatif dan atraktif, teknologi pementasan masih konvensional, dan manajemen pementasan yang tidak profesional. (2) Proses pewarisan nilai budaya tradisi dalam masyarakat tidak berjalan dengan baik sehingga tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisi menurun. (3) Membanjirnya berbagai produk teknologi komunikasi dan media massa mempengaruhi menurunnya minat masyarakat atas kesenian tradisi. (4) Perubahan nilai-nilai kehidupan akibat modernisasi dan globalisasi berdampak pada bergesernya respons dan apresiasi masyarakat atas seni budaya; kini kecenderungan masyarakat lebih kepada seni budaya modern..
Adapun upaya untuk melakukan revitalisasi kesenian tradisi dapat dilakukan melalui reaktualisasi agar sesuai dengan irama kehidupan. Upaya itu meliputi: (1) Penggarapan cerita yang lebih variatif dan mengangkat masalah aktual. (2) Penggarapan teatrikalnya yang lebih kreatif dan araktif. (3) Perlu inovasi dalam teknologi pementasan dengan mengadopsi teknologi sinema/ film. (4) Pengelolaan manajemen pementasan yang profesional.
Selanjutnya, langkah-langkah strategis antisipatif untuk dapat mewujudkan kesenian tradisi menjadi aset budaya unggulan dalam pengembangan pariwisata di Surakarta adalah: (1) Mengemas kesenian tradisi menjadi tontonan ringkas dan padat tetapi memikat. (2) Menghadirkan bintang tamu dalam pementasan pada even-even tertentu. (3) Peningkatan kerja sama secara sinergis dengan pihak-pihak terkait. (4) Sering dilakukan sarasehan bersama antar-berbagai pihak terkait guna merealisasikan kesenian tradisi menjadi aset unggulan dalam menunjang pariwisata di Surakarta.

Daftar Pustaka

Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge Massachussets: Harvard University Press.

Clara van Groenenael, Victoria M. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Temprint.

Deparpostel. TT. Pariwisata dan Sapta Pesona. Jakarta: Dirjen Pariwisata Deparpostel.

Hersapandi. 1994. “Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial” dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Edisi Th. V/1994.

Kartodirjo, Suyatno. 1990. “Mencari Budaya yang Relevan sebagai Potensi Pengembangan Pariwisata”, Makalah Seminar Pariwisata Budaya se-Jawa Bali di SEMA Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Kayam, Umar. 1983. Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.

Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, or Contemporere: A Study of the Javanese Performing Arts. Ph. D. Dissertation, University of Sydney.

Sayid, R.M. 1981. Ringkasan Sejarah Wayang. Jakarta: Pradnya Paramita.

Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Singarimbun, Masri (Ed.). 198 5. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Supanggah, Rahayu, 1991. “Karawitan Anak-Anak: Gejala Perkembangan Karawitan Jawa yang Memprihatinkan”dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Edisi Th. II/1991.

Yoeti, Oka. 1985. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa.

Ismail, 1990. Wawasan Jati Diri dalam Pembangunan Jawa Tengah. Semarang: Effhar dan Bahara Prize.

_______________________
*) Disajikan dalam Workshop/ Seminar Nasional “Manfaat Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK untuk Mendukung Kemandirian Jawa Tengah di Bidang Pertanian, UKM, dan Pariwisata”, Diselenggarakan oleh Balitbang Pemprop Jawa Tengah, 14 September 2004 di Hotel Patrajasa Semarang.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar