Minggu, 24 April 2011

MULTIKUTURALISME DALAM NOVEL BURUNG-BURUNG RANTAU KARYA Y.B. MANGUNWIJAYA: ANALISIS SEMIOTIK

Oleh Ali Imron A.M.
PBSID FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

Abstract

This research study aims to describe construct and meaning multiculturalism in novel Burung-burung Rantau pass observation semiotic. Subjects of this research is novel Burung-burung Rantau (BbR) by Y.B. Mangunwijaya (1992). The data's collecting is done with library techniques, reading and register. Data's analysis is done with descriptive methods qualitative passes to approach Semiotics theory models of Roland Barthes and Riffaterre with reading's methods heuristics and hermeneutics.
As to this research results is novel Burung-burung Rantau by Y.B. Mangunwijaya expressed brainchilds multicultural pass event's tissues and figures especially the childrens of Wiranto and Yuniati: Anggi, Neti, Bowo, and Candra that be generation's symbolization post-Indonesia. Brainchilds multiculturalism in BbR cover: (1) The born of generation post-Indonesia in global culture; (2) they are present generation that fly free to every where even to the foreign state to their own world; (3) they want to escape from the tradition's ties and local cultures even their national culture so they can free in creatifity; (4) the appear phenomenons is the melting of local and national culture, west and east; (5) multiculturalism can pierce ethnic's limits, nationality, and class, with more strengthen women's class existences.

Key words: multiculturalism in literature, plurality of culture, to pierce ethnic’s limits, nations, and
class.


A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil kreasi pengarang yang kehadirannya tidak jarang memberikan pencerahan bagi masyarakat dalam merengkuh kehidupan. Sebagai refleksi pengarang atas fenomena di sekitarnya, tidak sedikit pula karya sastra memberikan kekayaan batin bagi pembaca. Melalui novel misalnya, secara tidak langsung pembaca dapat merasakan, menghayati, dan menemukan permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang. Itulah sebabnya, banyak karya sastra yang mampu melontarkan wacana yang tanpa disadari telah mempengaruhi pandangan masyarakat pembaca.
Salah satu fenomena yang akhir-akhir ini mencuat dalam kehidupan masyarakat dan tak terkecuali dalam khazanah sastra adalah multikulturalisme. Dalam khazanah sastra Indonesia dimensi multikultural mulai tampak pada beberapa karya sastra yang terbit pada dekade 1980-an. Seiring dengan semakin populernya istilah multikulturalisme, maka multikulturalisme akhir-akhir ini sering dibicarakan dalam berbagai forum ilmiah, terlebih dengan adanya upaya-upaya rekonsiliasi nasional dalam rangka mencegah disintegrasi bangsa.
Karya sastra merupakan interpretasi pengarang atas lingkungan sosial yang dihadapinya dan ditangkap oleh pembaca dengan interpretasi pula. Dalam menginterpretasi karya sastra, pembaca menggunakan perspektifnya berdasarkan horison harapannya. Oleh karena itu, tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya yakni tanpa memandangnya sebagai tindak komunikasi atau sebagai tanda, sastra tidak dapat dipahami secara ilmiah (Teeuw, 1984: 43).
Sebagai tindak komunikasi atau gejala semiotik, yakni sebagai sistem komunikasi tanda, sastra merupakan suatu dialektika antara teks dengan pembacanya dan antara teks dengan konteks penciptaannya (Riffaterre, 1978: 1). Dalam karya sastra terdapat relasi ganda, demikian Tynjanov (dalam Luxemburg, 1984: 35), yang pertama synfungsi, yakni relasi sastra dengan unsur yang berada di luar sastra, dan autofungsi, yakni relasi di dalam sastra itu sendiri. Oleh karena itu, karya sastra harus ditempatkan dalam fungsinya sebagai gejala sosio-budaya.
Berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan yang kompleks pada zamannya diungkapkan dalam karya sastra. Sebagai refleksi atas realitas di sekitarnya, karya sastra lazim mendramatisasikan hubungan antarmanusia dengan segala dinamika, dialektika, dan romantikanya. Karena itu, karya sastra periode Balai Pustaka berbeda dengan Angkatan 1945, demikian pula Angkatan 1966 tidak sama dengan Angkatan 2000, baik dari segi konsepsi estetik, ekspresi maupun tema-tema yang dikandungnya.
Lahirnya karya sastra pada tiap angkatan tersebut tidak terlepas dari ideologi pengarang. Ideologi dalam karya sastra lebih diartikan sebagai gagasan dan pandangan hidup pengarang yang berkaitan dengan latar belakang sosial budaya dan situasi yang melahirkannya. Demikian pula munculnya beberapa karya sastra mutakhir yang mengungkapkan dimensi multikultural di jagat sastra Indonesia pada sekitar dua dekade terakhir tidak terlepas pula dari ideologi pengarang yang merupakan refleksi atas fenomena yang berkembang di sekitarnya. Multikulturalisme merupakan fenomena yang menarik dalam kehidupan umat manusia pada akhir abad XX.
Dalam mengkaji ideologi teks sastra, ada dua cara yang dapat ditempuh (Umar Junus, 1989: 192-193). Pertama, ideologi dihubungkan dengan pengarang dan latar belakang masa tertentu. Kedua, ideologi dilihat sebagai fenomena teks itu sendiri yang dapat dikaji secara hermeneutik atau intertekstual. Ideologi pada suatu teks sastra terikat pada hubungannya dengan kesemestaan dan teks lain.
Istilah multikultural itu sendiri di Indonesia mulai ramai dibicarakan orang pada sekitar dekade 1990-an. Hal ini tidak terlepas dari berlangsungnya globalisasi yang melanda bangsa-bangsa di dunia yang melahirkan pluralisme budaya dalam masyarakat modern baik dalam hal etnis, tradisi, agama, maupun bahasa. Perbedaan latar belakang warga masyarakat tampaknya merupakan sebuah kenyataan yang terelakkan. Lahirlah multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat yang kemudian terefleksi dalam karya sastra.
Beberapa karya sastra yang mengungkapkan dimensi multikultural antara lain: karya-karya Y.B. Mangunwijaya sejak dekade 1980-an misalnya: Burung-burung Manyar (1981) yang melambungkan namanya sebagai sastrawan Indonesia yang layak diperhitungkan, disusul dengan Rara Mendut (1983), Balada Becak (1985), dan Burung-burung Rantau (1992). Setelah itu, banyak lahir karya sastra multikultural dari para sastrawan muda bahkan sastrawan wangi (sebutan bagi sastrawan perempuan muda dan cantik). Mereka mengekspresikan nilai-nilai multikultural yang semakin meluas di kalangan masyarakat kita akhir-akhir ini. Sebutlah kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma Saksi Mata (1994), puisi karya Afrizal Malna “Winter Festival” (1995) dan “Lelaki yang Menjadi Seekor Burung” (1996), Ayu Utami dalam novel Saman (1998) dan Larung (2001), Oka Rusmini melalui novel Tarian Bumi (2000), Abidah El Khalieqy dalam puisi “Aku Hadir” dan novel Geni Jora (2004), Dadaisme (2004) karya Dewi Sartika, dan masih banyak lagi.
Di antara karya sastra yang cukup dominan mengungkapkan dimensi multikulralisme adalah Burung-burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya. Dibandingkan dengan Burung-burung Manyar (1981) dan Rara Mendut (1983), Burung-burung Rantau (BbR, 1992) terlihat lebih dominan mencuatkan multikulturalisme dengan spirit pencerahan bagi kehidupan masyarakat pada era global. BbR memiliki posisi tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia mutakhir karena ketika BbR dilahirkan belum banyak karya sastra yang melontarkan masalah multikulturalisme dan kaya wawasan yang menunjukkan keyaan pengetahuan sekaligus kepiawaian pengarangnya dalam bercerita. Dengan pengalaman dan wawasan internasionalnya yang luas, Mangunwijaya dalam BbR terlihat piawai melontarkan gagasan multikulturalisme dalam jalinan cerita menarik, bahkan terkadang terasa menggelitik dan mengiris tajam intelektualitas pembaca.
Berdasarkan alasan dan pemikiran itulah, maka tulisan ini dibuat untuk menganalisis dimensi multikultualisme dalam novel Burung-burung Rantau (BbR) karya Y.B. Mangunwijaya (selajutnya disebut Mangunwijaya). Permasalahannya bagaimana wujud dan makna dimensi multikultural dalam novel Burung-burung Rantau karya Y.B. Manguwijaya?

2. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud dan makna dimensi multikultural dalam novel Burung-burung Rantau (BbR) karya Y.B. Mangunwijaya. Mengingat subjek penelitian ini adalah karya sastra (novel) yang dipandang sebagai sistem komunikasi tanda, dan setiap tanda itu memiliki makna, maka pendeskripsian wujud dan makna dimensi multikultural dalam BbR ini dilakukan secara serempak dalam ketergayutan sebagai hasil penelitian dan pengkajian.

3. Landasan Teori
a. Multikulturalisme dan Sastra Multikultural
Multikulturalisme tidak terlepas dari berlangsungnya globalisasi dunia. Sebelum istilah globalisasi mencuat dan ramai dibicarakan orang, pandangan para futurolog seperti Alvin Toffler (1970), John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990), dan lain-lain, telah menyadarkan kita bahwa pada akhir abad XX terdapat perubahan besar dalam peradaban umat manusia. Terjadi lompatan besar dalam kemajuan teknologi komunikasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan tata nilai dalam kehidupan. Televisi (TV) --dan produk teknologi komunikasi lainnya seperti: video compact disc (VCD), film, digital video disc (DVD), home theatre, dan internet--, menimbulkan akselerasi perubahan nilai dalam kehidupan masyarakat.
Melalui media massa, berbagai informasi dengan muatan sosial budanya mengalir dari negara satu ke negara lainnya terutama dari negara maju (Barat) ke negara berkembang termasuk Indonesia. Dunia seolah menjadi perkampungan global (global village), antara negara satu dengan lainnya tidak ada lagi sekat-sekat kecuali batas teritorial. Terjadilah transformasi sosial budaya dalam masyarakat kita yang berdampak pada perubahan pemahaman, pandangan, dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai kehidupan.
Di Indonesia transformasi sosial budaya mengakibatkan terjadinya pergeseran bahkan perubahan tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Pola kehidupan masyarakat kita kini sedang berubah dari masyarakat agraris menuju industrial, dari tradisional-statis menuju modern-dinamis, dari nilai lokal menuju nilai global-universal, dari keseragaman menuju keberagaman, dari satu nilai menuju serba nilai, dari monokultural menuju multikultural. Inilah wajah masyarakat kita yang sedang berubah sebagai konsekuensi logis dari berlangsungnya globalisasi.
Fenomena globalisasi yang kemudian melahirkan pluralisme budaya tersebut pada beberapa dekade terakhir ini tampaknya mulai merambah dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Tidak hanya dalam upacara ritual, tradisi keluarga, dan pranata sosial, semangat multikultural mulai menjadi orientasi hidup kalangan masyarakat terutama generasi muda kita. Tak terkecuali spirit multikultural juga terasa dalam karya sastra kita.
Munculnya multikulturalisme dilatarbelakangi antara lain oleh adanya tiga teori sosial yang menjelaskan hubungan antarindividu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982: 37-42) teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity (individu-individu yang beragam latar belakang seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya, disatukan ke dalam satu wadah yang dominan); (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis (individu-individu yang beragam latar belakangnya disatukan ke dalam satu wadah baru, identitas agama, etnik, bahasa, dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru; dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy (individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis dengan tidak meminggirkan budaya kelompok minoritas). Masyarakat yang warganya berlatar belakang budaya Jawa, Batak, dan Barat misalnya, tiap individu berhak menunjukkan identitas budayanya dan mengembangkannya tanpa saling mengganggu.
Teori ketiga itulah yang dipandang banyak pengamat paling sesuai dengan pengembangan masyarakat global yang pluralistis. Jadi, multikulturalisme mengakui hak individu untuk tetap mengekspresikan identitas budayanya sesuai dengan latar belakang masing-masing, termasuk jender, dengan bebas. Inilah esensi multikulturalisme dalam masyarakat modern yang heterogen.
Meminjam istilah Robinson (dalam Ekstrand, 1997: 350), kita dapat membedakan tiga perspektif dalam pengembangan multikulturalisme, yakni: (1) Perspektif Cultural Assimilation (model yang menunjuk pada proses asimilasi warga masyarakat dari berbagai kebudayaan atau masyarakat subnasional ke dalam suatu core culture atau core society; (2) Perspektif Cultural Pluralism (menekankan pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat subnasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing; dan (3) Perspektif Cultural Synthesis (sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis, menekankan pentingnya proses terjadinya eksletisisme dan sintesis di dalam diri warga masyarakat, dan terjadinya perubahan dalam berbagai kebudayaan dan masyarakat subnasional.
Perspektif ‘sintesis multilkultural’ memiliki rasional yang paling mendasar dalam hakikat pengembangan masyarakat multikultural, yang oleh Ekstrand (1997: 349), diidentifikasi dalam tiga tujuan yakni tujuan attitudinal, tujuan kognitif, dan tujuan instruksional.
Dalam situasi sekarang yang disebut antropolog Appadurai (1991: 28) sebagai global ethnoscape, budaya-budaya memang tetap memuat perbedaan, tetapi perbedaan itu tidak lagi bersifat taksonomis, melainkan interaktif membedakan daripada sebagai sebuah esensi. Perbedaan (seperti halnya persamaan) dapat dipahami ibarat sebuah titik pada seutas tali yang dapat digeser ke kanan atau ke kiri. Terjadilah perubahan cara pandang dalam antropologi, misalnya, ethnic (etnik) menjadi ethnicity (etnitisitas, kesuku-bangsaan), dari Jawa menjadi ke-Jawa-an, dan seterusnya.
Perbedaan budaya dapat dipahami sebagai suatu keniscayaan, karena hakikatnya dalam masyarakat pasti terdapat individu-individu yang latar belakangnya beraneka ragam. Jadi, pluralisme terdalam akan sampai pada kesepahaman, bahwa perbedaan budaya mengartikulasikan hak-hak orang lain dan inti dari kesatuan dalam perbedaan. Multikulturalisme menciptakan struktur dan proses yang memperbolehkan ekspresi berbagai kebudayaan, komunitas, dan individual baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam konteks ini Dewanto (1991: 25) menyatakan bahwa kita tidak sedang dan hidup dalam aneka dunia yang terpisah satu dengan lainnya, melainkan dalam berbagai dunia yang saling bersentuhan, saling pengaruh, saling memasuki satu dengan lainnya. Karena itu, dunia kita bukanlah dunia yang plural melainkan dunia yang tetap saja tunggal tetapi bersifat multikultural. Pluralitas merupakan tahap awal dari proses ke arah itu, salah satu jalan yang memungkinkan kita untuk toleran dan terbuka untuk memasuki dan dimasuki.
Berdasarkan pemahaman di atas, dapat dikemukakan bahwa multikulturalisme adalah suatu pandangan dan sikap untuk melihat pluralitas budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Sikap seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan menerima dan memahami pluralitas sebagai keniscayaan hidup. Akhirnya muncul kesadaran bahwa pluralitas dalam realitas dinamik kehidupan adalah realitas bahkan kebutuhan yang tak dapat diingkari.
Adapun dimensi multikultural dapat diartikan sebagai aspek atau matra yang berbasis pada pluralitas budaya dalam kehidupan masyarakat yang memberikan kebebasan kepada berbagai budaya untuk hidup berdampingan dengan saling menghargai satu dengan lainnya. Sastra multikultural berarti sastra yang mengandung dimensi-dimensi pluralistik yang menyuarakan spirit multikultural. Gagasan dan semangat pluralistik terasa mendasari karya sastra multikultural itu. Kultur lokal, nasional, dan global semuanya dapat berinteraksi secara wajar tanpa harus dipertentangkan, masing-masing memiliki eksistensinya

b. Teori Semiotik
Analisis dimensi multikultural dalam BbR ini dilakukan dengan pendekatan teori Semiotik. Dengan bantuan diagram Roland Barthes (1973: 115; Hawkes, 1978: 131-133), maka sastra sebagai sistem kode tataran kedua secara metodik akan dapat dijelaskan. Menurut Barthes, "tanda" dalam sistem pertama, yakni asosiasi total antara konsep dan imajinasi, hanya menduduki posisi sebagai "penanda" dalam sistem yang kedua. Diagram Roland Barthes dipaparkan berikut:
1. Penanda 2. Petanda
3. Tanda
I. PENANDA
II. PETANDA
III. TANDA

Pada diagram di atas terdapat dua tataran, yakni tataran sistem tanda pertama, dan tataran sistem tanda kedua. Pada tataran sistem tanda pertama, dimensi multikultural bergayut pada acuan referensial di luar BbR. Pada tataran ini konsep yang berlaku adalah konsep mimesis Plato: dimensi multikultural didudukkan pada gambaran tiruan dari realitas. Guna memberi makna pada BbR, maka BbR harus didudukkan sebagai kreasi (creatio), seperti konsep mimesis model Aristo¬teles (Teeuw, 1984: 222). Artinya, untuk mengungkapkan makna BbR, maka BbR harus didudukkan pada tataran kedua diagram Roland Barthes. Ketika kita menghadapi dimensi multikultural sebagai tanda diubah menjadi penanda dalam kongkretisasi pembaca, maka sifatnya sebagai tanda tidaklah hilang, melain¬kan tetap berfungsi sebagai alat asosiasi mimetik, yang berte¬gangan dengan kreasi (creatio). Pada proses ketika tanda berubah menjadi penanda dalam kongkretisasi yang dilakukan pembaca, maka dimensi multikultural tidak lagi berada dalam deretan kenyataan yang ditirunya, melainkan masuk ke dalam sistem komunikasi sastra.
Dalam kongkretisasi karya itu, suatu karya sastra dimungkinkan memperoleh makna yang bermacam-macam mengingat adanya berbagai kelompok pemba¬ca, yang dipengaruhi oleh faktor yang variabel, sesuai dengan masa, tempat dan keadaan sosio-budaya yang melatarinya. Dengan demikian perubahan latar belakang sosial pembaca akan mempengaruhi makna yang diungkapkannya (Chamamah-Soeratno, 1990: 18). Cara kerja diagram tersebut dipilih guna mengongkretkan dimensi multikultural dalam BbR, yang berada dalam tegangan sistem komunikasi sastra. Dalam hal ini, tegangan antara dimensi multikultural dalam BbR dengan kesemestaan, sastrawan dan pembaca mendapat perhatian penting sesuai dengan model semiotik Abrams (1979: 6).
Untuk dapat menemukan makna dimensi multikultural BbR, dengan menemukan hubungan antara aspek karya, pengarang, pembaca, dan kesemestaan, dilakukan dengan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978: 5). Pene¬muan makna semiotik dapat dilakukan di dalam karya itu sendiri ataupun di luar teksnya. Penemuan makna semiotik di dalam karyanya dapat dilakukan dengan melihat keterkaitannya dengan unsur-unsur lain di dalam teks. Adapun penemuan makna semiotik di luar teksnya dapat dilakukan dengan melihat hubungan inter-teksnya karena prinsip intertekstual merupakan satu fase yang harus dilalui oleh pembaca dalam menemukan makna semiotik (Chamamah-Soeratno, 1990: 10).
Pada pembacaan heuristik, pembaca melakukan interpretasi secara referensial melalui tanda-tanda linguistik. Pembacaan ini berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, artinya bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal nyata (Riffaterre, 1978: 2-6). Pada tahap ini pembaca menemukan arti (meaning) secara linguistik. Adapun realisasi pemba¬caan heuristik ini dapat berupa sinopsis, pengungkapan gagasan utama, dan gaya bahasa yang digunakan.
Proses penemuan makna secara Semiotik sebenarnya merupakan hasil pembacaan hermeneutik. Pembaca melakukan pembacaan bolak-balik melalui teks dari awal hingga akhir. Ia mengingat peristiwa-peristiwa dalam teks yang baru dibacanya dan memodifikasi pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang telah dibacanya (Riffaterre, 1978: 4-6). Pemba¬caan hermeneutik merupakan pemba¬caan tahap kedua yang bersifat retroaktif yang melibatkan banyak kode di luar bahasa dan menggabungkannya secara inte¬gratif guna mengungkapkan makna (significance) dalam sistem tertinggi, yakni makna keseluruhan teks sebagai sistem tanda.

3. Metode Penelitian
Objek penelitian ini adalah dimensi multikultural dalam novel Burung-burung Rantau (BbR). Sumber data penelitian adalah novel Burung-Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya (1992). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak dan catat. Teknik pustaka dimaksudkan sebagai studi terhadap pustaka yang relevan, sedangkan simak dan catat dilaksanakan dengan melakukan penyimakan dan pencatatan data yang berwujud deskripsi verbal dalam BbR.
Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif dengan menggunakan logika induktif. Berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai sistem komunikasi tanda, dalam analisis wujud dan makna dimensi multikultural dalam BbR dilakukan dengan memanfaatkan metode Semiotik model Roland Barthes yakni penanda, petanda, dan tanda serta model Riffaterre dengan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik.
Dengan metode itu, BbR tidak lagi tampil secara tekstual melainkan secara kontekstual dalam hubungannya dengan teks-teks lain sebagai aspek mimetik. Jadi, aspek objektif, ekspresif, pragmatik, dan mimetik berada dalam satu lingkup komponen sastra.

4. Multikulturalisme dalam Burung-burung Rantau
Di Indonesia munculnya sastra multikultural tidak terlepas dari gagasan mengenai sastra kontekstual (Heryanto, 1985) dan posmodernisme (Dewanto, 1991). Gagasan tentang sastra kontekstual membangun totalitas baru yang realis dengan menempatkan karya sastra sebagai produk dan proses historis yang nyata untuk memecahkan problem-problem yang nyata pula. Proses historis diartikan sebagai proses perjuangan kepentingan politik sekelompok anggota masyarakat. Jadi, pusat totalisasi dunia sastra adalah kepentingan politik (lihat Faruk H.T., 2001: 42).
Adapun gagasan yang muncul dalam posmodernisme adalah pandangan mengenai peniadaan pusat totalisasi dunia. Pandangan ini dapat diartikan sebagai peniadaan pusat-pusat kebudayaan sehingga membentuk pluralisme budaya tetapi tidak mengarah pada etnosentrisme (Dewanto, 1991: 19). Posmodernisme menawarkan suatu totalisasi yang beraneka ragam dan unik tanpa meniadakan totalisasi-totalisasi lain. Hal ini sesuai dengan teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy dan perspektif Cultural Synthesis yang telah dikemukakan di atas. Berdasarkan pemahaman multikulturtalisme dengan perspektif posmodernisme inilah analisis dimensi multikulktural Burung-burung Rantau ini dilakukan. Artinya, multikulturalisme sebagai suatu pandangan dan sikap untuk melihat pluralitas budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Kesediaan untuk membuka diri dalam menjalani kehidupan bersama dengan menerima dan memahami pluralitas budaya sebagai keniscayaan.

4.1 Sinopsis Burung-burung Rantau
Perbincangan cukup ramai namun penuh keakraban antara Yuniati, sang ibu, dengan anak gadisnya yang sudah dewasa, Neti (Marineti), Sarjana Antropologi, mengenai kebiasaan Neti yang tidak suka memakai BH, membuka cerita Burung-burung Rantau (BbR). Neti, simbol generasi muda masa kini yang menyukai kebebasan sehingga lebih suka mengenakan celana jeans dan kaos oblong tanpa memakai BH ketimbang rok dan blues, yang dianggap menghalangi kebebasannya dalam bergerak. Perbincangan itu berlangsung ketika mereka hendak menjemput kakak Neti, Wibowo, seorang Doktor di bidang Fisika-Nuklir dan Astro-Fisika, yang hari itu bersama tunangannya, Agatha, seorang gadis Yunani, seorang sejarawan, akan tiba di bandara dari Swiss. Kepulangan Wibowo dari Swiss, tempatnya bertugas selama ini tidak lain bertujuan untuk melamar gadis kekasihnya itu kepada orang tuanya di Yunani. Rencananya, mereka sekaligus akan melangsungkan pernikahannya di sana.
Keluarga Letnan Jenderal Wiranto, generasi 1945, mantan duta besar, komisaris Bank Pusat Negara, adalah sebuah keluarga bahagia yang sukses dan kaya lagi. Bersama istrinya, Yuniati, perempuan cantik campuran Solo-Manado, Wiranto memiliki lima orang anak. Puteri pertamanya, Anggi (Anggraini), seorang janda muda, pengusaha sukses yang malang melintang dari negara satu ke negara lain. Yang kedua, Wibowo, pakar Fisika-Nuklir dan Astro-Fisika, bekerja di laboratorium inti nuklir di Jenewa, Swiss. Yang ketiga, Letkol Candra, seorang instruktur pesawat jet tempur Madiun yang pernah bertugas di pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat di Colorado. Yang keempat, Neti (Marineti), Sarjana Antropologi dan sosiawati di perkampungan kumuh. Putera bungsunya, Edi, adalah seorang laki-laki yang rapuh mentalnya, menjadi korban narkoba, dan mati muda karenanya.
Mereka, seluruh keluarga Wiranto, bersepakat akan berangkat ke Yunani untuk menyaksikan pernikahan Wibowo dengan Agatha. Pasangan itu berencana akan berbulan madu di Pulau Banda, yang terkenal menyimpan banyak peninggalan sejarah. Tanpa disengaja, di Yunani, Neti bertemu dengan Gandhi Krishnahatma, lelaki asal Punjabi berkasta Brahmana yang mempunyai perhatian besar kepada kaum bhagi (najis), yang diubahnya dengan istilah harijan (putra dewa). Mereka bertemu dalam sebuah acara Asia Conference for Grassroot Education di Calcutta. Neti menyukai lelaki Punjabi itu karena mereka memiliki perhatian yang sama yakni pekerja sosial yang mempedulikan kaum miskin. Gandhi ada di Yunani karena ia sedang melakukan penelitian tentang tanaman padi agar dapat ditanam di lahan kering seperti tumbuhan rumput lainnya untuk meraih gelar Doktor di bidang Bioteknologi. Mereka akhirnya menjalin hubungan asmara.
Usai perhelatan di Yunani, keluarga Wiranto berpencar kembali. Anggi, puteri sulungnya, kembali sibuk dalam kegiatan bisnisnya, Wibowo dan Agatha kembali ke Swiss, tempat tugasnya. Candra bersama Wiranto, ayahnya, berangkat ke London, melaksanakan tugas khusus dari pemerintah. Adapun Neti dan ibunya,Yuniati, pulang ke Jakarta. Neti kemudian kembali berkonsultasi dengan dosen pembimbingnya, Prof. Baridjo untuk tesis S2-nya, selain tetap melaksanakan tugas-tugas sebagai sosiawati mengasuh anak-anak di perkampungan kumuh. Topik yang diangkat Neti dalam tesisnya telah mengantarkannya untuk melaksanakan penelitian di Swiss, sehingga dimanfaatkan Neti untuk melihat-lihat laboratorium inti nuklir tempat kakaknya bekerja.
Cerita ditutup dengan acara bulan madu Wibowo dan Agatha di Kepulauan Banda bersama keluarga Wiranto, dan Neti menerima surat dari Gandhi, kekasihnya. Isi surat itu menyatakan bahwa Gandhi terpaksa tidak dapat meneruskan hubungannya dengan Neti karena ia harus mengawini perempuan yang menjadi pilihan keluarganya.

4.2 Dimensi Multikultural dalam Burung-burung Rantau
Sejak awal cerita, terlihat BbR mengusung persoalan-persoalan kultural dalam hal ini perkembangan kehidupan masyarakat kita yang menunjukkan kecenderungan ke arah budaya global dengan multikulturalisme sebagai konsekuensinya, yang tidak lagi terikat oleh satu budaya etnis yang kaku dan tabu. Berbagai nilai budaya antarbangsa dan antaretnis saling berbaur dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Masalah itu disajikan dalam BbR sekaligus diungkapkan adanya perbedaan pandangan antar-generasi dan perkawinan budaya tradisi (lama) yang masih berpijak pada bumi Indonesia dengan budaya modern yang berorientasi global. Generasi tua diwakili oleh pasangan Wiranto dan Yuniati, istrinya, sedangkan generasi pandangan modern pasca-Indonesia yang berkecenderungan global diwakili anak-anaknya: Anggi (Anggraini), pengusaha yang melanglang buana di banyak negara, Wibowo yang bekerja di Swiss, Candra yang menjadi pilot pesawat dan banyak studi kedirgantaraan di Amerika, dan Neti yang suka hidup bebas bagai burung rantau yang dapat terbang sesuai dengan suara hatinya, serta Edi, si bungsu yang terpengaruh oleh pandangan Karl Marx dan terperangkap dalam narkoba.
Gagasan multikultural pertama yang terungkap dalam BbR adalah munculnya generasi pasca-Indonesia yang berorientasi pada multikulturalisme. Neti, tokoh sentral BbR, dilukiskan sebagai anak muda yang cerdas, energik, dan suka kebebasan, namun memiliki kepekaan sosial tinggi. Terbukti dengan tekun ia terjun sebagai sosiawati untuk membimbing anak-anak miskin di perkampungan kumuh. Neti, seperti halnya saudara-saudaranya, mewakili generasi muda modern atau meminjam istilah pengarang ‘generasi pasca-Indonesia’, yang tumbuh berkembang dalam era kemajuan sains dan teknologi canggih. Sebagai perempuan terpelajar, Neti mampu mengapresiasi berbagai nilai budaya. Baginya, manusia tidak perlu terikat oleh satu nilai tradisi lebih-lebih hanya satu budaya pribumi, misalnya. Manusia tidak perlu dipisah-pisahkan oleh sekat-sekat budaya etnis yang dianggapnmya menghalangi ruang geraknya. Karena itu, ia jatuh cinta kepada lelaki asal Punjab, yang memiliki kepedulian yang sama terhadap persoalan kemiskinan rakyat. Kutipan berikut melukisklan gagasan itu.
Letjen Wiranto tertawa. “Kalau aku boleh menengahkan apa yang selalu dikatakan Neti, “ sambungnya, “bukan saya memihak memihak Neti, tetapi hanya karena mungkin ini baik kita perhatikan. Neti bilang bahwa bukan-asing-bukan-pribumi itu tidak perlu ditafsirkan negatif. Misalnya si Bowo ini sudah termasuk jenis yang menurut Neti generasi pasca-Indonesia.” (hlm. 111-112)

Setiap generasi memiliki gugus permasalahannya sendiri yang berbeda dengan generasi terdahulu. Demikian pula generasi pasca-Indonesia tentu memiliki perspektif dan tantangan yang khas. Tiap generasi harus memiliki kreasi yang khas sehingga tidak sekedar meneruskan yang sudah ada. Hal ini dilukiskan dalam bagian cerita berikut.
“Papi setuju kalau itu diartikan sebagai kiasan saja, kan manusia selalu membutuhkan ibarat. Tetapi memang kau benar, dan tadi Papi juga mengatakannya: pada hakikatnya setiap angkatan punya gugusan masalah khasnya sendiri, tetapi diharapkan juga memiliki prakarsa sendiri, punya keberanian bentuk khas sendiri. Jangan imitasi, tidak ada itu yang disebut estafet. Setiap angkatan, bahkan setiap orang punya medan juangnya sendiri-sendiri. Ada kontinuitas memang dan itu penting, sebab kita bukan onggokan batu kali di samping tumpukan batu bata serba lepas.” (hlm. 52-53)

Generasi pasca-Indonesia merupakan burung-burung rantau yang indah dan mengagumkan. Mereka bebas dan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam menemukan dunianya sendiri daripada generasi pendahulunya yang terkurung dalam dunianya yang sempit karena situasi perang dan revolusi serta tradisi.
Ya, memang, benarlah, tidak ada orang tua satu pun yang dapat mengandalkan suatu generasi penerus. Mereka perantau semua, pencari bentuk hidup mereka sendiri: Anggraini dengan bisnisnya, Bowo dengan Agatha, ya, dan di Jenewa dunia mereka kini. (hlm. 349).

Neti, sosok perempuan muda intelektual, --di samping saudara-saudaranya-- dapat dipandang sebagai simbolisasi generasi masa kini yang bebas tidak mau terikat pada nilai-nilai tradisi yang dianggapnya kaku dan membelenggu. Ia lebih suka menyerap berbagai nilai budaya dari mana pun selama bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia. Berlandaskan multikulturalisme, pluralisme nilai dari berbagai budaya dapat hidup berdampingan, berdiri sama tinggi sehingga antarmanusia dapat saling menghargai. Dengan multikulturalisme manusia dapat bebas mengaktualisasikan diri dalam kehidupan.
Gagasan multikultral yang juga terungkap dalam BbR adalah upaya generasi muda melepaskan diri dari nilai budaya etnis agar bebas berkreativitas. Bagi generasi masa kini yang sudah mengenal nilai-nilai multikultural dan menyerap pluralitas budaya dari berbagai bangsa dan etnis, nilai-nilai tradisional yang “membumi Indonesia” terlebih lagi hanya “men-Jawa” misalnya, dipandangnya terlalu sempit. Nilai-nilai lama yang terlalu sarat dengan tata krama sosial itu bagi generasi muda pasca-Indonesia sudah tidak sesuai dengan dinamika dan tanda-tanda zaman. Bagi Neti, pandangan Yunita, ibunya, generasi terdahulu, dianggapnya aneh karena bertentangan sama sekali dengan pandangan kebebasan mereka. Simaklah pernyataan Neti dalam kutipan berikut ketika berbincang dengan ibunya.
“Aneh kaum generasi dulu itu, Mam, mestinya bangga punya anak yang beautifull dengan tekanan pada full, kok malah malu. Maunya yang tipe Twiggy kerempeng seperti tempe keripik, ya.”
“Pokoknya, mau pakai, atau tinggal di rumah!” (hlm. 12)

Generasi masa kini yang sudah akrab dengan kebebasan berpendapat, bersikap, dan berperilaku menganggap batasan orang tua sebagai sesuatu yang mematikan kreativitas. Karena itu, orang tua dianggapnya memiliki sikap sadis, kolonial, bahkan dianggapnya diktator yang suka memaksakan kehendak kepada anaknya. Kutipan berikut melukiskan pandangan tersebut.
“Aduh susahnya punya mami yang terlalu lama menjadi ketua KORISAB plus Darma Perempuan, Drama, Drama Perempuan.”
“Tidak usah banyak omong menyangkut-nyangkut yang bukan urusanmu, pokoknya pilih: mau pakai, atau tidak boleh keluar.”
“Neti kan bukan anak kecil, dikurung macam itu.”
“Bukan dada kecil maksudmu, maka itu, pakai beha, atau tetap di dalam kandang.”
“Sadis! Kolonial! Totaliter! Rezim dictator!
“Terserah, mau pakai terima kasih, tidak mau ya tahu sendiri.”
“Mam, Mami, Mami cantik dan baik hati, Cuma sayangnya tidak peka humor.”
“Itu, itu lagi, sudah seribu kali aku mendengar rayuan gombalmu itu.” (hlm. 14)
Mencairnya budaya Timur dan budaya Barat merupakan gagasan multikultural yang juga muncul dalam BbR. Multikulturalisme berpandangan bahwa tidak ada lagi pusat-pusat kebudayaan yang dianggap dominan baik lokal-daerah, nasional, dan universal-global, maupun Barat dan Timur. Semua kebudayaan itu dalam kehidupan manusia yang heterogen dan pluralistik dapat hidup berdampingan tanpa merendahkan satu dengan lainnya. Bagi multikulturalisme, setiap kebudayaan memiliki eksistensi tersendiri. Karena itu semuanya harus dihargai dan saling menghormati. Pandangan ini dilontarkan oleh pengarang melalui dialog antara Gandhi, Neti, dan Candra berikut.
“Inilah patungan kebudayaan Barat yang telah berkembang ke arah lain dari bangsaku yang kelak, selain dunia Cina dan Jepang, disebut Timur.” Gumam Gandhi merenung-renung, seolah-olah mendarasd kitab-kitab silsilah, seperti ada sesuatu yang ia sesalkan.
“Padahal nenek moyang orantg-orang dan kebudayaan Hellen di Yunani Antik ini sama akarnya: orang-orantg Indo-Jerman ras Nordik dari Asia Sentral. Sungguh misteri, kami mengikuti garis-garis mitologi yang serba berbahasa lambang, dongeng, imajinasi, dan puisi; sedangkan orang-orang di sini menempuh jalan yang justru melawan dunia mitologi dan bahasa-bahasa perasaan, tegas mengandalkan diri kepada rasio, kemerdekaan berpikir, dan jiwa eksplorator yang tidak puas dengan apa yang didapat. Kami cinta pada segala yang statis, yang jangan berubah. Bagi kami, yang permanen, yang abadi, itulah yang terpuji, yang berbobot, yang keramat. Yang memberi ketentraman hati adalah jiwa bagaikan angin bambu dan gelagah rawa-rawa yang menyesuaikan diri dengan irama serta nafsu-nafsu alam; sedangkan budaya Hellen, benih Barat, senantiasa haus, tidak pernah puas, petualang-petualang dan pemberontak yang senang kalau menghadapi yang bergerak dan menempuh bahaya misterius yang tidak dikenal..... (hklm. 237).

Bagaimanapun kemajuan yang dicapai orang Barat, mereka juga memiliki kelemahan. Mereka sering menjadi rakus, serakah, sehingga merusak alam. Oleh karena itu, bagi kita, orang Indonesia, harus dicari jalan tengah yang dapat mencairkan antara Barat dan Timur yang sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Kutipan berikut melukiskan hal itu.
“Tetapi, yang sayang, akhirnya memperkosa dan merusak alam kediamannya sendiri, akibat serakahnya. Dengan perangai yang selalu haus, tidak pernah puas, tidak pernah seimbanglah jiwa petualangan mereka,” sanggah Gandhi.
“Kukira,” sambung Mas Candra, “orang-orang kita harus mencari jalan kencana tengah. Kemudian aku barangkali boleh dipensiun. Tetapi aku pun sudah dihinggapi penyakit Ikarus dan petualang-petualng Barat itu, jujur harus kuakui. Aku tidak bisa lagi tenang dan damai duduk di rumah kalau tidak dapat masuk dalam salah satu burung perang itu dan mengarungi dirgantara. (hlm. 238-239)

Selain melalui dialog tadi, tampaknya perkawinan Bowo dengan Agatha, orang Yunani, merupakan simbolisasi dari kekuatan budaya Barat dan Timur. Budaya Barat yang tidak pernah puas, petualang yang terus bergerak dinamis, dan eksplorator alam yang terkadang menjadi serakah, sedangkan budaya Timur cinta kepada keabadaian, yang permanen, yang mendatangkan ketentraman.
Demikian pula Bowo, pakar Fisika-Nuklir dan Astro-Fisika serta tokoh Candra sang pilot pesawat tempur yang banyak menyerap ilmu di Barat, dapat dimaknai sebagai simbolisasi dari penyerapan sains di Barat untuk menuju pencerahan masa depan bangsa Indonesia yang selama ini kukuh memegang budaya Timur. Dengan menguasai sains dari Barat yang memiliki sifat dinamis, terus bergerak maju, dan tidak pernah puas, namun dilandasi dengan budaya Timur yang menyukai keabadaian (Tuhan), ketentraman, diharapkan bangsa Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang hebat. Di satu sisi kita akan dapat maju di bidang sains dan teknologi dan di pihak lain tetap mencintai keabadian dan ketentraman sehingga terciptalah keseimbangan jiwa. Itulah esensi multikulturalisme, bisa menghargai berbagai budaya sehingga semua budaya dapat hidup berdampingan satu dengan lainnya (hlm. 238-239).
Gagasan multikultural yang sangat penting dalam BbR adalah perlunya meretas batas etnisitas, kebangsaan, dan kasta. Membaca judul novel ini Burung-burung Rantau, pikiran kita sebagai pembaca tentu akan berasosiasi pada peristiwa-perisitiwa perantauan, yang dikemas dalam jalinan cerita yang menarik dengan tokoh-tokohnya sebagai simbolisasi. Kelima anak pasangan Wiranto dan Yunita merupakan simbol generasi pasca-Indonesia yang dipakai oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan multikultural dan permasalahan globalisasi beserta antisipasinya.
Secara harfiah, ‘burung-burung rantau’ memiliki arti sekelompok burung yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari tempat yang lebih nyaman, bisa dari pulau atau benua ke pulau atau benua yang lain karena adanya pertukaran musim. Demikian pula tokoh-tokoh BbR, mereka melakukan “perantauan” ke negara lain baik dalam arti fisik maupun mental spiritual. Seperti burung-burung rantau, mereka tidak lagi terkurung oleh batas-batas wilayah geografis dan administratif nasional. Mereka adalah manusia yang bebas pergi merantau, melanglang buana ke berbagai negara di belahan dunia mana pun untuk melakukan aktivitas sesuai dengan cita-cita dan orientasi hidupnya. Mereka melakukan studi, menghadiri seminar, menjadi pakar ilmu pengetahuan, memiliki jaringan bisnis, mengemban misi diplomatik negara, dan sebagainya. Seperti dilukiskan oleh pengarang dalam BbR berikut.
Burung-burung rantau sungguh mengagumkan. Ya, memang benarlah, tidak ada orang tua satu pun yang dapat mengandalkan satu generasi penerus. Mereka perantau semua, pencari bentuk hidup mereka sendiri: Anggraini dengan bisnisnya, Bowo dengan Agatha, ya, dan di Jenewa dunia mereka kini (hlm 349).

Berbeda dengan generasi sebelumnya, Wiranto dan Yuniati, yang terbatas ruang geraknya karena situasi perang dan revolusi saat itu, terkurung oleh tradisi yang melingkupi dan mengekangnya. Mereka tidak sempat menikmati masa remaja, dari anak-anak dapat dikatakan mereka dipaksa langsung menjadi ibu dewasa, tidak ada waktu bersantai-santai, berdisko, bertamasya, seperti generasi sekarang (hlm. 348).
Di tempat perantauan itulah mereka menemukan sesuatu yang diinginkannya. Neti, remaja antropolog itu dengan riang menceritakan pengalamannya di Swiss melihat indahnya Priska, burung bangau yang datang dari Afrika (hlm. 348). Neti juga berkenalan dengan Gandhi, lelaki satu asal Punjab, dalam sebuah seminar di Calcutta dan diam-diam dia menaruh hati kepadanya yang memiliki perhatian yang sama terhadap rakyat miskin.
“... Nah, Mami dan Papi kan ingat, bukan, bahwa beberapa tahun yang lalu saya diundang sebagai wakil pekerja sosial ke Asia Conference for Grassroot Education. Di situlah awal perkenalan kami.” (hlm. 188)

“Ya sudah, Mam. Namanya bagus sekali: Gandhi Krishmahatma. Dia lahir pas pada hari ulang tahun Mahatma Gandhi yang dibunuh oleh pemuda Hindu fanatik itu.” (hlm. 189).

Sayangnya Gandhi, duda beranak satu, perantau dari Punjab yang dapat ‘menembus batas’ hati Neti, akhirnya harus menikah dengan perempuan pilihan keluarganya. Padahal Gandhi adalah orang India terpelajar, yang maju, yang sudah melanglang buana ke negara-negara Eropa. Pernikahan Gandhi dengan perempuan pilihan keluargnya itu sekaligus menjadi simbolisasi budaya Timur, yang mengedepankan keabadian dan ketentraman yang berkontradiksi dengan budaya Barat yang dimanis dan selalu melakukan eksplorasi.
Neti juga perantau petualang yang hebat. Ia menuntut ilmu dan mengikuti aktivitas dalam tugas sosiawatinya di berbagai benua dan memiliki segudang pengalaman dengan orang-orang mancanegara. Ia adalah simblolisasi generasi pasca-Indonesia yang berani menembus batas status priyayi --tempat ia dibesarkan dalam keluarga pasangan Letnan Jenderal Wiranto dan Yuniati, perempuan blasteran Manado-Solo-- dengan terjun membina anak-anak miskin di kalangan kumuh (hlm. 349).
Anggi, janda muda yang cantik dan pintar itu, melanglang-buana ke berbagai negara juga menemukan dunianya sendiri. Dia sukses menjadi pengusaha di bidang garmen atau bisnis pakaian dan memiliki relasi dari berbagai negara di Eropa dan Asia. Pengarang melukiskan keberadaan Anggi ketika keluarga Wiranto mengikuti perhelatan pernikahan Bowo dengan Agatha di Yunani. Melalui pelukisan Anggi pula, gagasan multikultural dikemukakan dalam bagian cerita berikut.
Hanya Kak Anggi yang rupa-rupanya lebih mementingkan bisnisnya, jarang kelihatan melantai tetapi selalu asyik berbincang-bincang dengan koneksi-koneksinya yang baru. Juga biarkan Kak Anggi ini; bukankah Yunani palungan gagasan demokrasi pertama, tempat setiap pribadi boleh mengembangkan jati diri dan citra dirinya sesuai dengan seleranya sendiri? (hlm. 186)

Kutipan di atas dapat dimaknai bahwa setiap orang bebas mengaktualisasikan diri sesuai dengan pandangannya. Setiap budaya memiliki hak untuk dikembangkan di antara budaya yang lain sehingga dapat saling menghargai. Inilah kedalaman hakiki pemahaman multikultural hakiki. Dengan kekayaan wawasan dan pengalaman spiritualnya sebagai rohaniwan, pengarang secara halus dan cerdas mengungkapkan esensi multikultural melalui peristiwa dan tokoh-tokohnya.
Bowo, Doktor Fisika-Nuklir, pakar Sains, adalah burung rantau yang mengembara di Swiss bekerja di laboratorium inti nuklir. Di sana dia menemukan dunianya sendiri, sains. Simbolisasi Bowo sebagai burung rantau semakin lengkap dengan menemukan jodohnya, Agatha, gadis ahli sejarah, burung rantau dari Yunani. Bagi Bowo, apa pun kata orang tuanya, dia merasa Agatha, gadis pilihan hatinya meskipun dari Yunani, tepat menjadi istrinya. Karena itu, orang tuanya mesti menerima Agatha sebagai menantunya.
Tak peduli apa pun yang dikatakan orang tuanya, Bowo merasa yakin pilihannya tepat. Jadi, suka tidak suka ayah dan ibunya sepantasnya melamar Agatha untuk putra mereka dari Tuan Nicolaus Pavlos Anaxopoulos dan Maria Alexandra Anaxopoulos di Pulau Samos, Yunani. (hlm. 74)

Demikian pula dengan Candra, mayor udara, sang pilot pesawat tempur. Profesinya sebagai penerbang telah mempengaruhi pola pikirnya. Meskipun dia tetap bekerja di tanah air, pada dasarnya dia burung rantau juga, terutama cara pandangnya yang seolah-olah tak ‘menginjakkan kaki di bumi Indonesia’. Dengan pengalamannya menimba ilmu kedirgantaraan di Amerika, dia juga memiliki cara pandang kehidupan yang tegas tak kenal kompromi serta lugas layaknya orang Barat. Begitu pula ketika melihat adik bungsunya, Edi yang terjerat narkoba, dia sinis tak kenal ampun, sesuatu yang tak lazim pada orang Indonesia dalam menyikapi adiknya sendiri (hlm. 38).
Bahkan, Candra, lelaki Jawa dan mengaku sebagai orang yang mirip Werkudara, tokoh wayang yang jujur dan tegas ini, merupakan simbolisasi orang Indonesia yang memiliki jiwa dan cara pikir ala Barat. Namun demikian, sifat keindonesiaannya masih tetap dipertahankannya juga, terutama sifat kemanusiaannya. Nuansa multikultural terasa dalam pengakuan Candra berikut.
“Kukira,” sambung Mas Candra, “orang-orang kita harus mencari jalan kencana tengah. Kemudian aku barangkali boleh dipensiun. Tetapi aku pun sudah dihinggapi penyakit Ikarus dan petualang-petualang Barat itu, jujur harus kuakui. Aku tidak bisa lagi tenang dan damai duduk di rumah kalau tidak dapat masuk dalam salah satu burung perang itu dan mengarungi dirgantara. (hlm. 238-239)

“Well, Si Candra kakakmu ini ya, mirip Werkudara Bayuputra, titisan Dewa Angin; dia ini sudah jadi sekrup mesin perang. Jadi praktis kami semua tadi orang yang hanya kebetulan saja lahir di Timur, tetapi jiwanya sudah Indo-Jerman Aria penakluk, petualang kejam, manipulator alam. Dengan segala kebanggaan, ini jujur terus terang kukatakan, aku tidak menyesal menjadi pilot. Namun, biar cuma sebagian dari suatu mesin besar, abangmu toh masih ingin manusiawi. Nah, keluarga kami ini perlu diwakili oleh kau, Marineti Dianwidhi, agar tetap manusawi.” (hlm. 240)

BbR juga mengungkakan gagasan mengenai perlunya revitalisasi eksistensi kaum perempuan Indonesia. Bagi generasi pasca-Indonesia seperti Neti, perempuan bukan lagi sekedar makhluk kelas dua atau inferior yang terhegemoni kekuasaan dan superioritas laki-laki. Perempuan harus dapat mandiri, dapat berperan sebagai aktor yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Bahkan, kaum perempuan dapat berperan sebagai ilmuwan sekaligus panglima yang memegang komando. Karena itu, bias jender harus ditiadakan dalam kehidupan karena bertentangan dengan asas keadilan. Simaklah kutipan dari BbR berikut.
Maka mestinya, ya seandainya diperbolehkan tumbuh alami dan bebas menentukan nasib sendiri, setiap perempuan adalah antropolog dan panglima teritorial, yang jelas bukan teknokrat ilmu dan industri penghancuran serta pembunuhan yang canggih lagi teramat mahal. Tetapi penentu nasib dan peruntukan dunia sayangnya bagi sang bumi, sang rahim, dan susu-susu kehidupan. (hlm. 61)

Sudah saatnya, kaum perempuan melepaskan ikatan tradisi atau budaya masyarakat yang membelenggu kebebasan bergerak dan aktivitasnya. Kaum perempuan tidak semestinya dijadikan objek bagi laki-laki. Karena itu, perempuan generasi pasca-Indonesia mesti berjuang demi harkat dan harga diri agar memiliki eksistensi dan dapat berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Inilah salah satu nilai multikultural yang semakin berkembang di kalangan masyarakat modern. Budaya etnis atau tradisi masyarakat yang membelenggu kebebasan perempuan sudah saatnya ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan semangat kemajuan seiring dengan perubahan zaman. Kutipan berikut memperjelas hal itu.
Memang aku perempuan! Puan dan empu, pembela kehidupan, penggendong si lemah! Ya, aku berkacak pinggang dan jari-jari mengepal! Jangan coba-coba main-main, kusepak anumu sampai kau menjerit-jerit kesakitan! Ya, aku punya harga, dan tinggi hargaku! Bukan kecantkan modalku! Itu yang kau mau. Tetapi aku bukan bahan gerabah yang dapat kaubentuk menurut kehendakmu! Ya, aku ada! Apa? Kausebut ini tidak pantas itu tidak menurut adat? Aku, ya akulah yang menentukan sendiri mana pantas, mana adat! Bukan kamu! Dan bukan ibuku sekalipun! (hlm. 254)

Dengan demikian terlihat bahwa BbR, melalui tokoh-tokoh generasi pasca-Indonesia, merupakan ekspresi pengarang dalam menyuarakan gagasan multikultural dan refleksinya mengenai budaya global yang makin berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dengan kekayaan wawasan dan pengalamannya, pengarang mengetengahkan dimensi multikultural yang menjadi realitas dalam kehidupan masyarakat modern yang pluralistik.

5. Penutup
Mengakhiri pengkajian multikulturalisme dalam Burung-burung Rantau (BbR) perlu dikemukakan bahwa kehadiran sastra multikultural merupakan jawaban atas fenomena kehidupan masyarakat yang sedang berubah menuju pluralistik serta refleksi terhadap realitas sosial budaya yang berkecenderungan global-universal. Pengarang merespons dan menginterpretasikannya dalam wujud karya sastra. Hal ini sesuai dengan eksistensi sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencerminkan dinamika, dialektika, dan romantika masyarakat yang pluralistik baik dari segi etnis, agama, bahasa, maupun budaya.
Multikulturalisme merupakan suatu paham yang memandang keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Sikap membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan menerima dan memahami pluralitas sebagai keniscayaan hidup yang tidak dapat dihindari. Pluralitas budaya dalam dinamika kehidupan adalah sebuah realitas yang tak dapat diingkari dalam kehidupan masyarakat modern.
Novel Burung-burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya mengekspresikan gagasan multikultural melalui jalinan peristiwa dan tokoh-tokohnya terutama anak-anak pasangan Wiranto dan Yuniati: Anggi, Neti, Bowo, dan Candra yang merupakan simbolisasi generasi pasca-Indonesia. Gagasan multikulturalisme dalam BbR meliputi: (1) lahirnya generasi pasca-Indonesia yang berkecenderungan pada budaya global; (2) mereka adalah generasi masa kini yang terbang bebas ke mana pun bahkan ke mancanegera untuk menemukan dunianya sendiri; (3) mereka ingin melepaskan diri dari ikatan tradisi dan budaya lokal bahkan nasionalnya agar dapat bebas berkreativitas; (4) muncul fenomena mencairnya budaya lokal dan nasional, Barat dan Timur; (5) multikulturalisme mampu meretas batas etnis, kebangsaan, dan kasta, serta menguatnya eksistensi kaum perempuan.
Sastra Indonesia yang berdimensi multikultural merupakan bagian dari proses ‘Indonesianisasi’ dari banyak ekspresi budaya baik cita-rasa lokal, nasional, maupun global-universal. Dengan spirit posmodernisme, sastra multikultural menembus batas agama, etnis, budaya dan bangsa. Secara paradoksal sastra dapat menjadi ‘juru bicara’ yang fasih untuk mengekspresikan multikulturalisme yang berkembang dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New
York: Oxford University Press.

Appadurai, Arjun. 1991. “Global Ethnoscape: Notes and Quenesfor Transnational Anthropology”
dalam Recapturing Anthropology Working in the Present. Richard G. Fox (Ed.). Santa Fe,
New Mexico: School of American Research Press.

Barthes, Roland. 1973. Mythologies (Terj. Annette Lavers). London: Paladin.

Chamamah-Soeratno, Siti. 1990. “Hakikat Penelitian Sastra” dalam Gatra Nomor 10/11/12.
Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.

Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991” dalam Prisma No. 10 Tahun
XX, Oktober 1991.
Ekstrand, L.H. “Multicultural Education” dalam Saha, Lawrence J. (Eds.). 1997. International
Encyclopedia of the Sociology of Education. New York: Pergamon.

Faruk H.T. 2001. Beyond Imagination Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media.

Garcia, Ricardo L. 1982. Teaching in a Pluralistic Society: Consepts, Models, Strategies. New
York: Harper & Row Publisher.

Hawkes, Terence. 1979. Structuralism and Semiotics. London: Methuen and Co. Ltd.

Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press.

Junus, Umar. 1989. Stilistik Satu Pengantar. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Luxemburg, Jan van et al. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

Mangunwijaya, Y.B. 1992. Burung-burung Rantau. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Naisbitt, John and Aburdene, Patricia. 1990. Ten New Directions for the 1990's Megatrends 2000.
Megatrends Ltd.

Riffaterre. 1978. Semiotic of Poetry. Blomington and London: Indiana University Press.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Toffler, Alvin. 1987. Kejutan Masa Depan (Terj. Sri Koesdiyantinah). Jakarta: PT Pantja Simpati.

ooOoo




ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud dan makna multikulturalisme dalam novel Burung-burung Rantau melalui tinjauan Semiotik. Subjek penelitian ini adalah novel Burung-burung Rantau (BbR) karya Y.B. Mangunwijaya (1992). Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik pustaka, simak dan catat. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif melalui pendekatan teori Semiotik model Roland Barthes dan Riffaterre dengan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik.
Adapun hasil penelitian ini adalah novel Burung-burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya mengekspresikan gagasan multikultural melalui jalinan peristiwa dan tokoh-tokohnya terutama anak-anak pasangan Wiranto dan Yuniati: Anggi, Neti, Bowo, dan Candra yang merupakan simbolisasi generasi pasca-Indonesia. Gagasan multikulturalisme dalam BbR meliputi: (1) lahirnya generasi pasca-Indonesia yang berkecenderungan pada budaya global; (2) mereka adalah generasi masa kini yang terbang bebas ke mana pun bahkan ke mancanegera untuk menemukan dunianya sendiri; (3) mereka ingin melepaskan diri dari ikatan tradisi dan budaya lokal bahkan nasionalnya agar dapat bebas berkreativitas; (4) muncul fenomena mencairnya budaya lokal dan nasional, Barat dan Timur; (5) multikulturalisme mampu meretas batas etnis, kebangsaan, dan kasta, serta menguatnya eksistensi kaum perempuan.

Kata kunci: multikulturalisme dalam sastra, pluralitas budaya, menembuas batas etnik, kebangsaan, dan kasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar