Senin, 25 April 2011

AHMAD TOHARI DAN RONGGENG DUKUH PARUK:

AHMAD TOHARI DAN RONGGENG DUKUH PARUK:
EKSISTENSINYA DALAM JAGAT SASTRA INDONESIA
Ali Imron Al-Ma’ruf
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

1. Pendahuluan
Kehadiran sastrawan dalam dunia sastra tidak terlepas dari karya sastra yang diciptakannya. Seberapa jauh karya-karyanya memiliki keunggulan di antara karya-karya sastrawan yang lain dan seberapa tinggi tanggapan para kritikus dan peneliti sastra. Adakah karya-karyanya mampu memberikan sesuatu yang unik, khas, dan istimewa dalan khasanah sastra sehingga menarik untuk dijadikan objek studi sastra atau objek kajian dalam berbagai forum sastra.
Demikian pula kehadiran Ahmad Tohari (selanjutnya disebut Tohari) dalam jagat sastra Indonesia. Tohari mulai menarik perhatian komunitas sastra Indonesia pada paroh kedua dekade 1970-an ketika cerpennya “Jasa-jasa Buat Sanwirya” memenangkan Hadiah dalam Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1975). Nama Ahmad Tohari semakin menjulang setelah sering menerima berbagai penghargaan di antaranya dari Yayasan Buku Utama untuk novel keduanya Kubah (1981) dan novel pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak (1986, dimuat di Harian Kompas pada tahun 1979 dan dibukukan oleh Pustaka Jaya) memenangkan Hadiah pada Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta (1986).
Di antara karya-karyanya, maka novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) yang terdiri atas Catatan Buat Emak (CBE), Lintang Kemukus Dini Hari (LKDH), dan Jentera Bianglala (JB) sering disebut-sebut oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai karya masterpeace-nya (lihat Redaksi dalam Tohari, 2003a: v; Yudiono K.S., 2003: 53). Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itulah yang melambungkan nama Tohari ke puncak popularitas sebagai sastrawan Indonesia yang namanya dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan Indonesia terkemuka seperti: Umar Kayam, Kuntowijoto, Putuwijaya, Gerson Poyk, Arswendo Atmowiloto, dan Mohammad Diponegoro, yang oleh Jakob Sumardjo (1991: Iiv) disebut sebagai angkatan atau generasi kelima sastrawan Indonesia yang lahir melalui majalah sastra Horison sehingga disebut juga generasi Horison. Oleh karena itu, membicarakan Tohari dalam jagat sastra Indonesia tidak dapat terlepas dari trilogi Rongeng Dukuh Paruk.
Salah satu daya tarik karya-karya Tohari adalah kepeduliannya kepada masalah-masalah subkultur atau budaya daerah dengan kearifan lokalnya (local genius), sisi kemanusiaan dan pembelaannya kepada wong cilik. Pada RDP, Tohari membicarakan potret buram kemanusiaan yang senantiasa akan mengusik kesadaran kita mengenai hak asasi manusia, makna demokrasi, cinta kasih, dan nilai-nilai luhur kehidupan. Hal-hal tersebut sangat menonjol dalam RDP yang dilantunkan terutama melalui tokoh Srintil, sang ronggeng dan Rasus, lelaki pujaan hatinya.
Wajar saja jika kemudian RDP mengundang perhatian para pencinta sastra Indonesia baik pembaca, kritikus maupun peneliti sastra atau kalangan akademisi. Bahkan, RDP sering mendapat pujian dari mereka. Damono (1983) --sastrawan sekaligus pakar sastra dari Universitas Indonesia Jakarta-- misalnya, menyatakan, “RDP menunjukkan Ahmad Tohari bisa sangat lancar mendongeng. Latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana digambarkannya dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik.”
Dalam pandangan Maier (1984), RDP berhasil mengungkapkan suatu kisah yang disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita pun sangat lazim. Namun, yang paling mengasyikkan dari RDP adalah gambaran tandas yang berhasil dibangkitkan Ahmad Tohari, yang mengikis khayalan indah kita tentang kehidupan pedesaan di Jawa.
Demikian pula Shinobu Yamane (pakar sastra dari Jepang), berpandangan bahwa RDP sangat menarik ceritanya sehingga ia menerjemahkan ketiga novel trilogi RDP yang dibiayai oleh Japan Fondation (dalam Tohari, 2003: ii). Oleh karena itu, menurut Bertold Damhauser, RDP menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa jurusan sastra Asia Timur (dalam Tohari, 2003: ii). Bahkan, lebih dari 50 skripsi dan tesis di Universitas Leiden Belanda dan Lund University Swedia, telah lahir melalui pengkajian novel RDP ini. Mudah dipahami jika RDP hingga kini telah diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing yakni Jepang, Jerman, Belanda, Cina, dan Inggris, serta bahasa Jawa.
Berdasarkan realitas dan pemikiran di atas maka tulisan ini mencoba mengkaji eksistensi Ahmad Tohari dan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dalam jagat sastra Indonesia. Seperti dinyatakan di atas bahwa Tohari sebagai sastrawan tidak terpisahkan dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk. Karena itu, pembicaraan mengenai Ahmad Tohari dan RDP akan disajikan sepadan dan saling melengkapi. Mengingat berbagai keterbatasan, maka pengkajian ini tidak berpretensi untuk menyajikan informasi mendetail dan mendalam mengenai Tohari dan novel RDP, melainkan sebagai upaya mengungkapkan kehadiran Tohari dan novel RDP dalam jagat sastra Indonesia yang menarik perhatian komunitas sastra di negeri ini.
Adapun permasalahannya adalah bagaimana karakteristik kepengarangan Ahmad Tohari? Bagaimana kekuatan novel trilogi RDP sebagai karya sastra? Bagaimana eksistensi Ahmad Tohari dan RDP dalam jagat sastra Indonesia?

2. Ahmad Tohari dan Karya-karyanya
Ahmad Tohari lahir pada tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SMAN 2 Purwokerto (1966). Tohari pernah kuliah di beberapa fakultas antara lain Fakultas Ekonomi, Sosial Politik, dan Kedokteran di sebuah univesitas Jakarta dan Purwokerto, namun semuanya tidak berhasil diselesaikannya karena kendala non-akademik.
Ia pernah bekerja sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967) tetapi keluar. Dalam dunia jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur pada harian Merdeka (Jakarta, 1979-1981), staf redaksi pada majalah Keluarga (Jakarta, 1981-1986), dan dewan redaksi pada majalah Amanah (Jakarta, 1986-1993). Karena tidak betah tinggal di kota metropolitan yang menurut pengakuannya Jakarta adalah kota yang sibuk dan bising, maka akhirnya sejak tahun 1993 ia memilih pulang ke kampung halamannya, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ia menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta menjadi anggota Poet Essaist and Novelis. Ia sering menulis kolom di harian Suara Merdeka, Semarang, dan aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Bersama dengan kakaknya ia mengelola sebuah pesantren peninggalan orang tuanya di desa kelahirannya untuk mengembangkan potensi dan pemberdayaan umat. Di desa itu pula Tohari membangun mahligai rumah tangga bahagia bersama Syamsiah, istri tercintanya, yang kesehariannya bekerja dinas sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Dengan istri tercintanya Tohari telah dikaruniai anak-anak yang manis dan pintar. Tiga anaknya telah berhasil dikuliahkan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sedangkan dua anaknya yang lain dikuliahkan di Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Ia mengaku sangat bersyukur dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi. Ia merasa dapat “membalas dendam” atas kegagalan dirinya yang pernah kuliah di Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi Jakarta dan Purwokerto tetapi gagal diselesaikannya karena faktor ekonomi.
Tohari termasuk pengarang yang produkif. Karya sastra yang telah dihasilkannya cukup banyak. “Upacara Kecil” adalah cerpen pertamanya yanmg dimuat di media massa. Cerpennya “Jasa-jasa Buat Sanwirya” memperoleh Hadiah Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1975). Di Kaki Bukit Cibalak merupakan novel pertamanya yang dimuat secara bersambung di harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan menjadi buku oleh PT Gramedia, Jakarta, 1986), setelah sebelumnya puluhan cerita pendek telah dihasilkannya. Setelah itu, lahirlah novelnya yang kedua Kubah (1980).
Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak (1982) adalah novel ketiganya, yang merupakan trilogi bersama Lintang Kemukus Din Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986). Setelah trilogi RDP kemudian lahirlah kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989), novel Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II) (2001), dan Orang-orang Proyek (2002). Novel triloginya yang popular dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan menjadi satu buku oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2003) yang memuat ketiga novelnya yakni Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala dengan memasukkan bagian-bagian yang ditersensor selama 22 tahun (Ahmad Tohari, 2003).
Berbagai penghargaan pernah diterima Tohari sebagai pengarang. Ia menerima Hadian Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep untuk cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya” (1975), Hadiah dari Yayasan Buku Utama untuk novelnya Kubah (1980), Hadiah Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta untuk novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986). Ketika mengikuti International Writing Programme di Amertka Serikat ia memperoleh penghargaan Fellow Writer the University of Iowa (1990), Penghargaan Bhakti Upapradana dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk Pengembangan Seni Budaya (1995), dan South East Asia Writes Award, Bangkok (1995) (Dirangkum dari berbagai sumber: Tohari, 2002: 287-288; Tohari, 2003: 396-397; Tohari, 2003a: 163; Eneste, 2001; Yudiono K.S., 2003: 1-4; Yusuf, 1995: xxx; www.ceritanet.com, 5 November 2006).

3. Karakteristik Dunia Kepengarangan Ahmad Tohari
Di tengah keprihatinan dan kondisi batinnya yang gundah melihat situasi dan kondisi masyarakat di sekitarnya dan setelah ia telah sekian tahun terlanjur meninggalkan pekerjaan sebagai karyawan honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967), ia kemudian mulai menulis karya sastra. Lahirlah beberapa cerita pendek dan ternyata dengan mudah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah yang terbit di Jakarta. “Upacara Kecil” adalah cerpen pertamanya yang dimuat di media massa. Demikian pula beberapa cerpennya ternyata tidak sulit untuk diterima di berbagai media massa di Jakarta. Kenyataan itu mendorong semangatnya dan berkembanglah rasa percaya dirinya sebagai pengarang.
Ia kemudian menulis novel pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak (DKBC) yang dimuat secara bersambung di surat kabar harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan oleh PT Gramedia, 1986). Pada novel pertamanya ini, Tohari sudah menunjukkan komitmennya terhadap wong cilik yang terpinggirkan. DKBC menampilkan pemuda desa Pambudi yang tinggal di desa Tanggir daerah Banyumas yang berjuang melawan kesewenangan dan korupsi yang dilakukan Lurah Dirga. Ia juga berjuang membela wong cilik yang lemah seperti Mbok Ralem, seorang warga desa yang miskin dan menderita sakit tumor. Ketika ia gagal mencarikan pinjaman bagi Mbok Ralem melalui kas koperasi desa karena dicegah Lurah Diraga, ia kemudian berhasil menghimpun bantuan melalui surat pembaca di sebuah surat kabar di Yogyakarta. Hal itu membuat Lurah Dirga tersudut karena mendapat teguran Camat dan Bupati sehingga Lurah Dirga berupaya menyingkirkannya. Pambudi yang merasa tidak nyaman lagi tinggal di desa kemudian pergi ke Yogyakarta untuk kuliah dan bekerja. Di kota itulah Pambudi kuliah dan bekerja sebagai wartawan. Artikel-artikelnya yang mengungkapkan kebobrokan manajemen koperasi desanya menarik perhatian Camat dan Bupati sehingga mereka berkeputusan untuk memberhentikan Dirga dari jabatannya sebagai Lurah Desa Tanggir. Di kota itu pula ia kemudian berhasil menyunting Mulyani, gadis keturunan Cina yang dicintainya.
Dalam DKBC ini tampak sekali karakteristik kepengarangan Tohari yang berkutat pada perjuangan membela orang kecil yang terpinggirkan dan tersia-sia, menegakkan kebenaran, pentingnya kejujuran dan cinta kasih sayang. Setting desa yang dilukiskan dengan sangat menarik menjadi ciri khas pada DKBC dan kelak juga menonjol pada karya-karyanya yang lain.
Perhatiannya kepada masyarakat kecil dan terpinggirkan dengan setting desa terlihat semakin kenthal dalam Ronggeng Dukuh Paruk (RDP). Novel yang menjadi tonggak popularitasnya itu juga menampilkan sosok perempuan desa, Srintil sang ronggeng dan Rasus, pemuda desa Dukuh Paruk. Kisah trilogi RDP dimulai dengan menampilkan Srintil kecil yang bermain bersama teman-temannya yakni Rasus dan anak-anak dukuh Paruk lainnya. Ternyata Srintil telah membuktikan dirinya yang terlahir untuk menjadi ronggeng dukuh Paruk ketika dalam sebuah permainan bersama Rasus dan anak-anak dukuk Paruk lainnya Srintil yang baru berusia sebelas tahun mampu nembang (menyanyikan lagu) dan menari layaknya seorang ronggeng yang sebenarnya. Setelah melalui upacara ritual bukak klambu (semacam sayembara bagi laki-laki untuk menikmati virginitas calon ronggeng dengan membayar sejumlah uang, siapa yang paling banyak uangnya, dialah yang menang), resmilah Srintil menjadi ronggeng Dukuh Paruk.
Meskipun dalam tradisi seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikatkan diri diri dengan seorang lelaki, namun ternyata Srintil tak dapat melupakan Rasus, pemuda pujaannya. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Srintil tidak dapat menerima keadaan ini, dan berontak dengan caranya sendiri. Sikap ini menjadi factor penentu dalam pertumbuhan kepribadiannya. Dia tegar dan berani melanggar ketentuan-ketentuan yang biasa berlaku dalam dunia peronggengan, terutama dalam hubungan antara ronggeng dengan dukunnya. Kini Srintil telah menjadi ronggeng yang terkenal berkat kepiawaiannya nembang dan menari ditambah dengan kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuhnya yang membuat hampir setiap lelaki yang memandangnya terpukau dan gemetar dalam renjana birahi.
Ketika menginjak usia hampir dua puluh tahun, keberadaan Srintil mulai teguh. Dia bermartabat, tidak lapar seperti kebanyakan orang dukuh Paruk, dan menampik lelaki yang tidak disukainya. Ketika telah mencapai popularitas dan masa jaya, dalam lintasan hidupnya secara tidak dimengerti oleh Srintil sendiri yang buta huruf dan buta politik itu, ia terlibat dalam kekalutan politik pada tahun 1965. Srintil yang bermartabat, cantik, belia dan terkenal ituberhadapan dengan ketentuyan sejarah yang sekali puntak pernah dibayangkannya. Ia harus meringkuk di dalam penjara sebagai tahanan politik karena dianggap sebagai pendukung PKI melalui berbagai pementasan ronggengnya.
Setelah dibebaskan dari penjara yang telah dijalaninya selama dua tahun sebagai tahanan politik, Srintil berniat meninggalkan dunia ronggeng dan ingin hidup sebagai perempuan somahan (berkeluarga) seperti perempuan normal lainnya sambil mengharapkan kehadiran Rasus yang semakin jauh dari dukuh Paruk karena abertugas sebagai militer. Letih menunggu Rasus, maka harapannya dialihkan kepada Bajus, lelaki yang mendekatinya. Ternyata harapannya hancur berantakan ketika lelaki yang ‘terkesan’ akan menikahinya itu ternyata tetap menganggapnya sebagai ronggeng yang boleh “dipakai” oleh lelaki mana pun. Hancur leburlah jiwanya. Tak kuat menahan penderitaan batinnya, ia menjadi gila, dan harus mendekam dalam bilik kecil yang kotor di rumah kakeknya. Akhirnya, Rasus muncul dan membawa Srintil ke rumah sakit jiwa untuk dirawat di sana.
Bagaimana kelanjutan cerita itu, apakah Srintil kemudian sembuh dan menikah dengan Rasus, lelaki pujaannya, atau tetap gila sampai tua? Tak seorang pun tahu. Semuanya diserahkan kepada pembaca untuk menyelesaikannya. Sesuatu yang tidak biasa dibanding dengan cerita di Indonesia pada umumnya, yang biasanya cerita berakhir dengan bahagia (happy ending).
Akhir cerita RDP tak terlalu penting. Yang pasti, RDP telah membuktikan kemampuan Tohari dalam berkisah dengan tokoh orang desa dan latar desa dengan menarik bahkan tidak jarang sangat menarik. Lebih dari itu, dengan tokoh orang desa dan latar desa itu, Tohari berhasil mengungkapkan berbagai persoalan kemanusiaan, seperti kejujuran, kemunafikan, keikhlasan, kesewenang-wenangan, ketertindasan, keterpaksaan, dan cinta kasih serta komitmennya kepada wong cilik dan terpinggirkan yang menjadi karakteristik dalam hampir semua karyanya.
Karakteristik itu masih tampak dalam karya-karyanya yang lahir kemudian, seperti: Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Bekisar Merah (1993), Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II, 2001), dan Orang-orang Proyek (2002). Hanya saja pada Bekisar Merah, Nyanyian Malam dan Belantik tampak ada sedikit perbedaan. Dalam Nyanyian Malam, alam pedesaan dan penduduknya tidak lagi menjadi sentral dalam beberapa cerpennya. Tohari tetap bertumpu pada persoalan wong cilik yang ditarik dari akar konflik pedesaan ke dalam rantai konflik masyarakat kota. Demikian pula pada Bekisar Merah. Pada novel ini dikisahkan tokoh Lasi yang mengalami perubahan hidup dari alam pedesan ke alam perkotaan, yang membuatnya terkejut dan akhirnya memilih kembali ke desa. Adapun novel Belantik mengemukakan potret kehidupan masyarakat kota yang hedonis, borjuis, dan semu, tampak mendominasi. Tohari bahkan mencoba melibas carut marut dunia perpolitikan semasa orde baru. Kisah ini penting bagai pembaca sebagai dokumen sosial yang tak terhapuskan dalam sejarah bangsa kita.
Dengan demikian, jelaslah bahwa karakteristik yang dominan dalam hampir seluruh karyanya adalah kepeduliannya yang besar terhadap persoalan kehidupan wong cilik yang terpinggirkan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Perjuangan membela kebenaran dan keadilan juga tampak menonjol dalam karya-karyanya. Selain itu, peristiwa, tokoh, dan latar alam pedesaaan yang asli –yang dilukiskan dengan sangat menarik-- tampak menonjol, walaupun pada beberapa karya terakhirnya persoalan masyarakat perkotaan mulai diungkapkan seperti dalam Nyanyian Malam, Bekisar Merah, dan Belantik.
Karakteristik lain dari Tohari dalam karya-karyanya adalah daya komunikatifnya. Tohari mampu memaparkan nilai dan dunia alternatif yang kreatif dan berbobot dengan bahasa yang sederhana, renyah, mengalir lancar, dan mudah dicerna. Dalam karya Tohari, batas antara yang ‘pop; dan yang ‘serius’ menjadi tipis dan lumer. Jika banyak karya sastra serius (‘literer’?) yang sulit dipahami oleh pembaca dengan cita rasa intelektual yang sederhana maka tidak demikian dengan karya Tohari. Meskipun persoalan yang disodorkan dalam karya-karyanya serius dan ‘berat’, di tangannya persoalan serius itu dapat diungkapkan dengan lancar, cair, ringan, dan mudah dicerna. Itulah sebabnya, seandainya sebagian karya Tohari difilmkan atau diteaterkan, kiranya akan menjadi suguhan yang menarik untuk ditonton, dinikmati, dan diapresiasi.

4. Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk: Mitos dan Masterpeace Ahmad Tohari
4.1 Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Mitos
Dalam RDP dikisahkan seorang calon ronggeng harus menjalani upacara ritual bukak klambu. Konsep inisiasi ini bertolak dari pandangan bahwa seseorang calon ronggeng baru sah menjadi ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual sakral dan salah satunya adalah bukak klambu, semacam upacara sayembara memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Dalam hal ini seperti halnya seseorang baru dianggap dewasa jika sudah melalui upacara tertentu, inisiasi, misalnya. Pandangan semacam itu berasal dari konsep mitos.
Mitos adalah sebuah dunia kemungkinan, sesuatu yang belum pasti, tetapi mempengaruhi kehidupan manusia. Mitos itu sendiri dibentuk oleh realitas. Keberanian atau ketakutan menghadapi sesuatu, misalnya, banyak ditentukan oleh mitos. Sebab itu, mitos adalah realitas itu sendiri. Mitos juga timbul dari realitas dan keadaannya selalu berubah-ubah sesuai dengan pandangan pribadi atau masyarakat (Sitepu, 1984).
Agar sah menjadi ronggeng, Srintil harus mengalami tiga tahapan upacara. Proses inisiasi ini timbul dan bertolak dari mitos atau kepercayaan yang selalu diupacarakan. Di dukuh Paruk terdapat mitos bahwa Dukuh Paruk tanpa ronggeng terasa hambar. Para ibu di dukuh itu merasa senang sekali jika anaknya dapat menjadi ronggeng. Selain itu, para istri merasa bangga jika suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng.
Untuk menjadi seorang ronggeng, timbul suatu mitos bahwa seorang ronggeng sejati bukanlah hasil pengajaran melainkan jika indang –semacam ruh atau wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan— telah merasuki tubuhnya. Jika hal itu hadir di dukuh Paruk, maka dukuh itu berada pada citra yang sebenarnya dan arwah Ki Secamenggala –leluhur dukuh Paruk—akan terbahak di kuburnya.
Dengan selesainya Srintil menjalani tiga tahapan upacara, sahlah Srintil sebagai ronggeng dan berhak menyandang gelar Ronggeng Dukuh Paruk. Pada umur sebelas tahun Srintil yang masih lugu telah menjadi milik umum. Ia menjadi ronggeng sekaligus sundal. Upacara bukak klambu selain bernilai ekonomis juga menjadi tonggak sejarah biologis hidupnya.
Dengan penampilan mitos dan upacara tersebut, novel RDP dapat dipandang sebagai berikut:
Pertama, RDP merupakan pengukuhan (myth of concern) terhadap mitos dan upacara. Hal itu dapat dilihat pada persepsi Srintil yang menganggap upacara sebagai sebuah keharusan dan karenanya ia tidak memberontak terhadap upacara itu. Ia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu menghadapi upacara itu. Semua yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima dengan pasrah. Karena itu, walaupun ia merasakan sakit pada bagian perutnya ketika menjalani upacara bukak klambu, ia tetap bertahan pada posisinya.
Kedua, kepergian Rasus merupakan reaksi ketidaksetujunya (myth of freedom) terhadap mitos dan upacara itu. Dalam persepsi Rasus, Srintil adalah figur tempat ia menemukan figur ibunya. Ia tidak mau bersetubuh dengan Srintil di dekat makam Ki Secamenggala –meskipun atas ajakan Srintil—bukan karena ia takut akan kekramatan makam itu melainkan karena tubuh Srintil dianggapnya sebagai tubuh ibunya sendiri, perempuan yang melahirkannya.
Sebenarnya Rasus sangat memberontak terhadap mitos dan upacara-upacara itu, terutama upacara bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena pembantaian kemanusiaan. Membayangkan hal itu, ia merasa muak dan marah sebab melalui upacara itu mustika yang dihargainya selama ini musnah sudah. Rasus merasa kehilangan karena Srintil kini telah menjadi milik umum. Ia sangat mengharapkan Srintil tidak mau menempuh upacara bukak klambu dan memutuskan tidak menjadi ronggeng tetapi ia tidak memiliki otoritas untuk menolak hukum keharusan itu. Merasa tidak dapat lagi berkompromi dengan nilai-nilai lama warisan para leluhurnya, Rasus akhirnya meninggalkan pedukuhannya yang terpencil itu untuk mencari pengalaman hidup yang lain (atau kompensasi?) Namun, agaknya Tohari optimis, “Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan.” (RDP, hlm. 106).
Demikianlah, RDP lebih terasa sebagai simbol daripada cerita. Kisah ini merupakan penyampaian dalam bentuk lain –dalam hal ini bentuk novel I dari apa yang dikemukakan Y.B. Mangunwijaya bahwa bangsa kita belum merdeka dari kurun magis (dalam Waluyo, 1981: 88), sehingga mental seperti itu sangat menghambat pembangunan (bandingkan Lubis, 1981: 32-37; Kuntjaraningrat, 1974: 45-46).
RDP mengemukakan tema yang sangat manusiawi. Seorang pemuda melihat kemusnahan tentang perempuan ideal –sebagi ibu sekaligus kekasih—sehingga melenyapkan cinta kasih yang murni, daya khayal, dan rasa kebersamaan. Tema semacam itu lazim dalam masyarakat Barat, sehingga tema novel RDP boleh dkatakan bersifat universal. Pendek kata, RDP merupaklan bildungs roman (Maier, 1984).
Sebuah cerita menjadi sangat menarik karena kekuatan penceritaannya yang luar biasa. Ada pula cerita yang menarik karena kayanya informasi yang diberikan pengarang. Sering pula cerita menarik karena kesegaran setting-nya, kesegaran dunia yang diciptakan pengarang, sebuah dunia baru yang memberi warna khas bagi pengetahuan pembaca (Rampan, 1983). RDP termasuk paling tidak kategori kedua dan ketiga –jika bukan ketiga kategori— RDP memberikan kekayaan informasi kepada pembaca dan melukiskan latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh orang desa yang sederhana dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik.
Kekuatan pelukisan latar tempat dan latar sosial desa yang terasingkan dari desa lain dengan demikian memiliki nilai lebih tersendiri. Betapa tidak? RDP diramaikan dengan banyaknya jenis satwa yang terdapat di dalamnya. Sedikitnya ada 20 jenis unggas, 16 jenis serangga, 11 jenis hewan menyusui, dan 5 jenis reptil serta 5 jenis hewan lainnya ikut berpentas dalam RDP. Dalam khasanah sastra Indonesia barangkali baru RDP-lah yang berhasil menghimpun begitu banyak jenis binatang di dalamnya, meskipun latar tempatnya hanya “gerumbul kecil di tengah padang yang luas”.

4.2 RDP: Manifestasi Latar Sosial-Budaya Ahmad Tohari
Manifestasi dunia rekaan pengarang diangkat dari realitas sosial, menggambarkan kondisi, perilaku, dan sikap hidup masyarakat di wilayah tertentu, dari kelompok etnis tertentu, dan memiliki kebudayaan tertentu pula. RDP, dengan demikian juga merupakan cerminan pengarang dan dunianya. Dengan kata lain, RDP merupakan manifestasi dunia rekaan Tohari.
Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa tentu saja ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Selain itu, ia adalah penganut Islam (santri) yang mampu menafsirkan ajaran Islam bukan hanya sebagai konsep abstrak, melainkan juga sebagai pedoman sikap dan perilaku sehari-hari. Didukung oleh sikap kritis dan sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Tohari berhasil menyusun konsep kepengarangan yang dapat dikatyakan ‘khas’.
Dikatakan demikian, karena Tohari memiliki sikap holistik yang bertumpu pada pandangan bahwa semua kenyataan --yang baik ataupun yang buruk-- yang mewujud di hadapan kita pada hakikatnya adalah ayat Tuhan. Kewajiban kita adalah “membacanya, membacanya dengan nama Tuhanmu, dengan Bismillah” (Q.S. al-‘Alaq: 1-5). Dengan demikian, apa pun paham atau ajaran –Islam atau kejawen—tidak perlu dikonfrontasikan. Jika perlu bid’ah budaya dapat dilakukan asalkan di dalamnya terdapat komplementasi ajaran Tauhid. Agaknya, bagi Tohari, dakwah tidak harus dilakukan melalui mimbar khutbah. Akan lebih membumi jika dakwah dilakukan melalui dakwah budaya (kultural). RDP merupakan manifestasi dakwah kulturalnya. Demikianlah, latar belakang sosial budaya, pandangan, sikap hidup, dan konsep kepengarangan Tohari jelas terwujud dalam karyanya, RDP. Jika dikaji lebih jauh, akan diperoleh beberapa kesamaan antara Tohari dengan tokoh Rasus. Kesamaan-kesamaan tersebut dapat dinbandingkan sebagai berikut:
Ahmad Tohari:
(1) Ahmad Tohari (AT) orang Jawa, lahir di Banyumas Jawa Tengah.
(2) AT orang desa yang sangat akrab dengan lingkungan alamnya.
(3) AT memiliki kebanggaan cultural sebagai orang desa yang berpandangan modern dan berstatus social terpandang.
(4) AT tidak setuju dengan kesewenangan birahi dalam dunia peronggengan karena melanggar harkat kemanusiaan.
(5) Keluarga AT pernah tertimpa musibah keracunan tempe bongkrek yang menyebabkan orang tua dan beberapa anggota keluarganya meninggal.
(6) Perlakuan Mantri terhadap ibunya ketika terjadi malapetaka itu dipandang tidak manusiawi leh AT.
(7) AT selalu berada di antara setuju dan tidak setuju dalam bermacam-macam bid’ah budaya.
(8) Bagi AT ibu adalah figur ideal untuk menemukan sosok kekasihnya.
Tokoh Rasus:
(1) Rasus (R) orang Jawa, lahir di Dukuh Paruk, Banyumas.
(2) R juga anak desa yang sangat mengenal bumi kelahirannya.
(3) R bangga menjadi anak desa pertama yang berhasil menaikkan martabatnya di mata masyarakat.
(4) R sangat membenci upacara bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena pembantaian kemanusiaan.
(5) Keluarga R juga tertimpa malapetaka keracunan tempe bongkrek hingga menyebabkan kematian orang tuanya.
(6) Mantri membawa pergi ibu R ke kota hingga membawa penderitaan batin berkepanjangan pada diri R.
(7) R juga berada di antara nilai-nilai lama dan baru.
(8) R mencari figur ibunya pada diri Srintil.
Perbandingan tersebut makin memperjelas dugaan tentang keterlibatan pengarang terutama keterlibatan mental dan intelektual pada tokoh Rasus. Adalah sulit diterima oleh akal sehat jika ada seorang anak desa terpencil dan tidak terdidik secara formal memiliki kesadaran sosio-kultural demikian tinggi jika tidak ada campur tangan pengarangnya. Karena itu, Sumardjo (1983) mempertanyakan, “Mungkinkah Rasus yang tidak pernah sekolah dan tidak pernah meninggalkan desanya itu mampu menumbuhkan sikap kulturalnya sendiri?” Agaknya peluang inilah yang dimanfaatkan secara leluasa oleh Tohari untuk memasukkan gagasannya. Pengalamannya kuliah di Fakultas Kedokteran sampai tingkat tiga, misalnya, terlihat pada pengetahuan Rasus tentang jenis bakteria pseudomonas coccovenenans yang mematikan.
Dengan pengetahuan dan pengalamannya, maka Rasus mampu berbicara tentang banyak hal, seperti: hakikat ketaraturan keselarasan, dan kesaling-bergantungan antar-unsur dalam alam; makna kepercayaan dan pengingkartan terhadap ruh leluhur, mantra, keris bertuah, indang, susuk, dan sebagainya; hakikat seorang kekasih sekaligus seorang ibu; makna pengorbanan, perkawinan, keperawanan, keluarga, persahabatan, dan kebebasan seks; renungan tenang dosa, moral, dan pergeseran nilai serta sikap dan perilaku orang-orang primitif; hakikat keberadaan manusia yang membutuhkan pengakuan, perlindungan, perlakuan wajar, kebebasan menentukan pilihan, keamanan, dan kerukunan; kemiskinan, kebodohan, kelicikan, dan ketidakberdayaan amukan sang nasib; dan seluk-beluk dunia peronggengan dengan segala hal-ihwalnya.
Melalui RDP Tohari melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada dalam alam pikiran mitis: miskin, longgar tatanan moralnya, dan reportase upacara wisuda ronggeng. Sekaligus RDP menunjukkan betapa besar simpati, empati, dan komitmen Tohari kepada kaum abangan dan budaya Jawa dengan seluk-beluknya. Namun demikian, bukan berarti Tohari setuju sepenuhnya terhadap kultur dan filsafat Jawa. Seperti terlihat pada sikap Rasus, Tohari mengadakan reaksi atas adat-istiadat Jawa yang tidak relevan dengan ajaran agamanya.
Reaksi Tohari yang terlihat dalam sikap Rasus adalah:
(1) Keraguan Rasus terhadap dongeng, yang sebagian dipercayai sebagai kebenaran dan sebagian lagi sebagai legenda khas Dukuh Paruk.
(2) Ketidakpedulian Rasus terhadap pengkultusindividuan Ki Secamenggala.
(3) Harapan Rasus agar Srintil tidak menempuh upacara bukak klambu kemudian memutuskan untuk tidak menjadi ronggeng.
(4) Kebencian Rasus melihat tempat tidur yang akan dijadikan tempat mewisuda virginitas calon ronggeng Srintil.
(5) Penolakan Rasus atas ajakan Srintil untuk melakukan hubungan badan.
(6) Penolakan Rasus atas ajakan Srintil untuk membina kehidupan rumah tangga.
(7) Kebencian Rasus terhadap orang-oang Dukuh Paruk yang telah merenggut Srintil dari tangannya.
(8) Kepergian Rasus dari pedukuhannya (lihat Darmawan, 1990: 118-119).
Dengan deskripsi lakuan dan simbolisasinya, Tohari berhasil mengekspresikan pengalaman fisik dan spiritualnya dalam RDP. Novel ini terhindar dari kesan sloganistis karena sama sekali tidak ada komentar pengarang mengenai baik-buruk sesuatu hal. Bid’ah budaya Tohari justru sangat menonjol daripada unsur “dakwah”-nya, meskipun hal ini sangat mungkin ia lakukan. Hingga halaman terakhir hanya tiga kali Tohari menyebut nama Tuhan, yakni pada “Yang Mahaperkasa” (RDP, 2003 hlm. 79), “Ya Tuhan” (hlm. 97), “Tuhan” (hlm. 361), dua kali kata “bersembahyang” (hlm. 86), dua kali kata “puasa Senin-Kamis” (hlm. 361), satu kata “dosa” (hlm. 85), dan dua kali kata “dosa besar” (hlm. 86), sekali ungkapan ’Innaa lillaahi wainnaa ilahi raajiuun’ (hlm. ), dua kali kata, Ilaahi,

4.3 Ronggeng Dukuh Paruk: Karya Masterpiece Ahmad Tohari
Tonggak popularitas Ahmad Tohari dimulai dengan lahirnya novel trilogi Ronggeng Dukug Paruk (RDP). Tentu saja hal itu tidak terlepas dari RDP sebagai sebuah karya sastra yang memiliki keunikan dan kekuatan tersendiri dalam khasanah sastra Indonesia. Sebagai sebuah karya sastra fiksi, RDP memang layak memperoleh perhatian besar dari komunitas sastra di Indonesia. RDP berhasil mengungkapkan kehidupan ronggeng dengan segala perniknya, sarat dengan persoalan kemanusiaan, sosial, politik, tradisi, kepercayaan, dan cinta kasih dengan tokoh wong cilik dan latar alam pedesaan yang dilukiskan dengan sangat menarik.
Terlihat dalam RDP, tokoh Srintil yang merupakan perempuan desa yang tidak pernah tahu keadaan kehidupan di luar dukuh Paruk, sosok orang yang lugu, dan tak berdosa, harus mengalami nasib tragis, tergilas oleh roda sejarah kehidupan yang kejam, dahsyat dan dramatis. Betapa tidak? Dalam gejolak politik sekitar 1965 yang terkenal dengan G 30 S/ PKI itu, Srintil yang cantik, menarik, belia, tenar, dan buta politik itu terseret dalam arus politik yang tak dimengertinya, bahkan tak terbayangkan sama sekali. Dia harus mendekam dalam penjara sebagai tahanan politik selama dua tahun. Bahkan, akhirnya Srintil tak kuat menahan penderitaan jiwanya, ia menjadi gila.
Berbeda dengan Srintil, tokoh Rasus merupakan sosok pemuda desa yang mengalami cultural shock (Damono, 1983), pergeseran nilai, dan menemukan identitas dirinya setelah hidup di seberang (di luar pedukuhannya) berkenalan dengan nilai-nilai baru dan selanjutnya dengan kekritisannya dia membandingkan nilai-nilai yang berbeda itu. Dengan demikian, Rasus merupakan cermin pemuda desa yang membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru kemudian menyadari eksistensi hidup berdasarkan pengalaman-pengalamannya tadi (Eneste, 1984; Rampan, 1983).
Dalam realitas hidup, banyak sekali orang semacam Srintil di satu pihak dan Rasus di pihak yang lain. RDP mampu mengungkapkan realitas hidup dalam sebuah karyua fiksi yang menawan sekaligus mampu memperkaya khasanah batin kita dalam menghadapi kehidupan yang kompleks ini.
Mencermati berbagai kekuatan dan keunikan RDP, maka para kritikus sering menyebut novel trilogi Tohari tersebut sebagai karya yang paling kuat dan berbobot. Bahkan, tidak berlebihan kiranya jika novel trilogi tersebut merupakan karya yang dahsyat dan bukan mustahil itulah salah satu masterpiece-nya di antara karya-karyanya (Redaksi dalam Tohari, 2003a: v).
Wajar jika kemudian RDP tidak hanya mendapat sambutan dari komunitas sastra di Indonesia melainkan juga komunitas sastra di mancanegara, terbukti dengan RDP telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, Jerman, Cina, dan Inggris. Oleh karena itu, menjadi mudah dipahami jika lebih dari 50 skripsi dan tesis di Universitas Leiden Belanda dan Universitas Lund Swedia, telah lahir dari novel trilogi tersebut (Tohari, 2003: ii). Tidak sedikit pula beberapa disertasi telah disusun dari RDP. Sungguh luar biasa, betapa inspiratifnya RDP, sehingga mampu menjadi sumber ide di dalam komunitas sastra baik di kalangan akademik maupun di luar akademik.

5. Eksistensi Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Paruk dalam Jagat Sastra
Indonesia
Kehadiran Ahmad Tohari dalam jagat sastra Indonesia tampaknya melekat erat dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk. Ketika banyak sastrawan ataupun pengamat sastra Indonesia ramai membicarakan dan meramalkan masa depan sastra subkultur yang bakal menduduki tempat penting dalam khazanah sastra Indonesia (lihat Esten, 1981), Ahmad Tohari telah menempatkan dirinya sebagai pengarang subkultur Jawa sejak dekade 1980-an. Novel trilogi RDP yang terdiri atas Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini hari, dan Jentera Bianglala, kemudian Kubah, Di Kaki Bukit Cibalak, Bekisar Merah, Belantik, kumpulan cerpen Senyum Karyamin dan Nyanyian Malam, serta novel Orang-orang Proyek, demikian kuat meniupkan nafas budaya Jawa dalam kehidupan rakyat kecil yang terpinggirkan. Alam pedesaan menjadi setting sentral dalam karya-karyanya (lihat Tohari, 2002: v). Membaca karya-karya Tohari kita dapat belajar banyak dari kehidupan masyarakat kecil dengan segala kearifan lokalnya (local genius).
Novel trilogi RDP merupakan sketsa sosial sekaligus antropologis yang kuat, di sana sini diwarnai erotisme (cinta) yang memukau: halus, menyentuh dan menggelitik. Tidak seperti kebanyakan karya sastra (juga film) Indonesia lainnya yang melodramatis dan happy ending, novel trilogi RDP Tohari merupakan tragedi (nasib) yang ‘subversif’. Tokoh sentral cerita itu, seorang ronggeng jelita dan mempesona, belia, yang citranya lugu dan tidak berdosa, harus menjadi korban dari budaya masyarakat yang patriarkis sekaligus seksis dan banal di satu sisi, serta menjadi korban dari konstruk (nalar) politik yang instrumental, otoriter, kejam, dan ideologis di sisi yang lain.
Akhir kehidupan ronggeng sang primadona penggung sungguh tragis dan dramatis serta menyayat hati: sang primadona panggung yang jelita dan masih belia itu menjadi kehilangan keseimbangan jiwanya: gila. ‘Kegilaan’ adalah sesuatu yang jauh lebih tragis dan lebih kejam daripada terputusnya diri dari dunia empiris ini: ‘kematian’. Dalam RDP, Tohari menyajikan kepada kita tragedi kehidupan secara lebih tajam mencekam. Betapa tidak? Seseorang yang cantik, lugu, belia, terkenal, dan tidak berdosa di satu sisi; sementara kesengsaraan, kemalangan, kekecewaan, dan bencana yang dahsyat di pihak lain. Sebuah kondisi yang sangat kontras. Seorang perempuan yang cantik, belia, terkenal, lugu, dan tidak berdosa harus tertimpa kesengsaraan, kemalangan, kekecewaan, dan bencana yang sangat dahsyat, yang akhirnya meruntuhkan, memporak-porandakan, dan menggerogoti keseimbangan jiwanya. Kejujuran nurani manusia, siapa pun dia, tentu tak akan rela dan tak akan dapat menerima kenyataan semacam itu.
RDP dapat dikatakan merupakan karya yang memantulkan kengerian dan keabsudan. Pembaca, kita, seperti ditarik, terbetot, dan tersedot dalam pusaran karya itu, untuk kemudian memancangkan gugatan: “takdir memang (mengapa bukan ‘kadang’?) kejam, tak mengenal perasaan” (lihat unaian kalimat nyanyian Desy Ratnasari), terkadang juga terasa seakan-akan tidak adil. Jika mau jujur, terkadang orang menjadi geram dan marah pada Sang Hidup (Tuhan). “Sabda Alam membuat kodrat tak tertahan. Rasa cinta, rasa nista berpadu satu” (untaian kalimat nyanyian Chrisye).
Dalam RDP, batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. Sebab, banyak perempuan atau manusia pada umumnya, yang mengalami nasib seperti sang ronggeng, tentu dalam berbagai variasi kasus. Dalam konteks itulah maka pemberotakan kaum eksistensialis dan semacamnya, sebagaimana telah (dan akan terus?) terjadi dalam sejarah manusia, menemukan tempatnya (lihat Tohari, 2003a: vii).
RDP dengan tajam mengungkapkan realitas dan budaya subkultur, masyarakat desa yang agraris dengan setting desa di daerah Banyumas Jawa Tengah sekitar tahun 1965/ 1966 yang menampilkan peran ronggeng sang primadona dalam budaya masyarakat desa. Sebagai karya sastra, RDP merupakan simbol verbal, yang menurut Kuntowijoyo (1987: 127) memiliki beberapa peran di antaranya sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), cara berhubungan (mode of commnunication), dan cara penciptaan (mode of creation). Adapun objek karya sastra –dalam hal ini RDP-- adalah realitas –apa pun yang dimaksud realitas oleh pengarang, Tohari. Simbol tersebut menunjukkan penggunaan bahasa imajiner oleh pengarang dalam memahami fenomena kehidupan pedesan yang dituangkan dalam RDP sebagai bentuk penciptaan kembali (mode of creation) fenomena sosial budaya sesuai dengan daya imajinasinya.
Dalam karyanya itu, Tohari mengembangkan tulisannya dengan meletakkan situasi kehidupan subkultur dalam struktur social dan bukan hanya sebagai ornamentasinya. Pemahaman terhadapnya akan melahiurkan gambaran yang koheren dan saling berkaitan. Karya demikian, oleh Teeuw (1986: 220-221) dikategorikan sebagai novel yang merupakan kontribusi baru yang penting bagi studi literatur sejarah Indonesia, karena di dalamnya mengandung komplikasi persoalan dengan aspek-aspeknya yang menarik bagi pengembangan hubungan literatur dengan sejarah sosial.
Di sisi lain, novel RDP juga menyuarakan resistensi kaum perempuan melalui tokoh Srintil, sang ronggeng Dukuh Paruk tentang kesetaraan jender. Srintil dalam novel RDP dilukiskan sebagai duta budaya sekaligus duta keperempuanan. Sebagai duta budaya, Srintil menyadari perannya sebagai ronggeng dukuh Paruk yang harus mengampu naluri-naluri kelelakian. Hal itu dalam pandangan orang Dukuh Paruk merupakan keniscayaan agar terjadi keselarasan antara perempuan dan laki-laki yang bersama-sama hadir dalam kehidupan masyarakat. Adapun sebagai duta keperempuanan, Srintil tidak melihat lelakli sebagai pihak yang superior dan menguasainya. Bagi Srintil, lelaki dan kelelakian adalah imbalan perempuan dan keperempuanan. Artinya, lelaki dan perempuan tidak dipandang secara dikotomis. Srintil tidak merasa lemah ketika berhadapan dengan dunia lelaki (Tohari, 2003b: 127-128).
Dari pendekatan teori sastra, novel RDP dipandang memiliki beberapa keunikan atau ciri khas sebagai keistimewaan di antara novel-novel Indonesia lainnya. Melalui pengkajian kritis, RDP dapat dikatakan merupakan salah satu novel Indonesia mutakhir yang memiliki idiosyncrasy baik segi ekspresi (surface structure) maupun segi kekayaan maknanya (deep structure). Artinya RDP memenuhi dua kriteria utama sebagai karya literer seperti dinyatakan oleh Hugh (dalam Aminuddin, 1987: 45), yakni: (1) relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, melalui imajinasi dan rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh, selaras serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity) dan (2) daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).
Pada kriteria pertama, RDP melukiskan latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik (Damono, 1983). RDP disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita sebenarnya pun sangat lazim. Akan tetapi yang mengasyikkan dari kesemuanya itu adalah gam baran tandas yang berhasil dibangkitkan Tohari yang mengikis khayalan indah kita tentang kehidupan pedesaan di Jawa (Maier, 1984). RDP mengungkapkan budaya lokal Banyumas Jawa Tengah yang khas dengan karakteristik, keunikan, dan permasalahannya dengan cara khas sastra.
RDP memaparkan fenomena yang belum pernah terjadi di dunia sastra Indonesia, yakni kehidupan dunia ronggeng yang khas dengan latar sejarah malapetaka politik G30S/ PKI dengan segala eksesnya. Kultur desa yang longgar dalam tata susila perkawinan, penuh dengan kata-kata cabul, orang leluasa meniduri istri tetangganya, terlukis dalam RDP (bandingkan Sumardjo (1991: 85). Bagi orang dukuh Paruk, jika seorang istri berselingkuh dengan tetangga, maka sang suami tidak perlu ribut menghajar tetangga tadi. Cukuplah sang suami meniduri istri tetangga tersebut, selesailah urusannya.
Dari segi daya ungkapnya, RDP memiliki pembaharuan bentuk ekspresinya yang segar, orisinal, dan khas sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Menarik dan lancar teknik pengisahannya, sehingga dibanding Kubah, novelnya terdahulu, RDP menunjukkan bahwa Ahmad Tohari sangat lancar mendongeng (Damono dalam Ahmad Tohari, 2003).
Dari segi pengungkapan, ekspresi bahasa dalam RDP variatif dan gaya bahasanya orisinal. Sesuai dengan latar masyarakat dalam RDP dan latar kehidupan Tohari yang akrab dengan dunia pedesaan, banyak ungkapan bahasa dan gaya bahasa yang segar dan khas bernuansa alam pedesaan. Profesi Tohari sebagai wartawan turut mewarnai pemakaian bahasa yang variatif dan lancar dalam RDP. Selain itu, idiom Jawa yang kaya nuansa memperkaya bahasa RDP sekaligus mencerminkan ideologi pengarang yang dibesarkan di lingkungan masyarakat Jawa Tengah.
Salah satu kekuatan atau nilai lebih Tohari yang sulit ditemukan pada sastrawan lain adalah kepiawaiannya melukiskan alam pedesaan yang eksotis dan perawan. Di tangannya, panorama kehidupan pedesaan menjadi sedemikian hidup dan menawan. Tak terkecuali, Tohari juga sangat kuat dalam menyuguhkan cinta dan erotisme (bukan pornografi!). Dalam karyanya, cinta, seks, erotisme, perempuan, dan seterusnya menjadi sedemikian memiliki ruh dan menggairahkan. Tak ayal hampuir semua karyanya menarik untuk dikaji, bukan hanya karena permasalhannya yang menarik melainkan juga karena daya ekspresinya yang menawan.
Latar belakang Ahmad Tohari yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran, di samping Fakultas Ekonomi dan Fakulatas Ilmu Sosial Politik, diduga turut berperan dalam memberikan pengayaan dalam eksplorasi bahasa dalam RDP. Banyaknya ungkapan dan gaya bahasa orisinal, segar dan khas dalam RDP mengindikasikan hal itu. Gaya bahasa yang kaya informasi tentang istilah dalam ilmu pengetahuan terutama bidang sosial, politik, kedokteran, dan biologi, terlihat sebagai 'pelangi' yang turut memperindah RDP. Semua itu, menggelitik kita untuk mengkaji stilistikanya yang khas dan unik.
Di pihak lain, karena daya pukaunya, RDP diterjemahkan dalam bahasa Jepang, Belanda, Jerman, Cina, dan Inggris. Bahkan RDP, menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa jurusan Asia Timur di Universitas Bonn Jerman (Bertold Damhauser dalam Tohari, 2003). Oleh kartena itu, tidak berlebihan jika RDP adalah karya yang dahsyat dan bukan mustahil merupakan karya master piece Ahmad Tohari (lihat Ahmad Tohari, 2003a: v).
Dalam karya trilogi itu, tidak berlebihan kiranya jika Tohari disejajarkan dengan “raksasa sastra” Indonesia yang beberapa kali dinominasikan sebagai penerima novel sastra: Pramoedya Ananta Tour (Tohari, 2003a: v). Atau, paling tidak dapatlah dikatakan bahwa Tohari dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka Indonesia seperti: Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Danarto, Iwan Simatupang, dan Umar Kayam. Karena itu, mungkin tidak salah seandainya ada pemilihan lima karya sastra Indonesia mutakhir terbaik, maka RDP adalah salah satunya (www.figurpublik.com, 5 November 2006).
Terlepas dari semuanya, harus diakui Tohari adalah pengarang realis yang tak pernah menulis dari sesuatu yang hampa. Sebagai seorang oengarang, ia menjadi pengamat social budaya yang jeli terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Praktik-praktik ketimpoangan social yang melingkari kehidupan rakyat kecil atau kaum pinggiran menjadi sentral dalam karya-karyanya. Dalam konteks ini, mungkin benar pernyataan Thomas Warton (Pengantar Penerbit dalam Tohari, 2002: ix), bahwa karya sastra adalah dokumentasi sosial, sebuah pendeatan sastra yang sudah sangat tua. RDP merupakan sebuah dokumentaso sosial pada masa pergolakan politik sekitar 1965/ 1966 di Indonesia yang higga kini masih menyisakan kegetiran dan kesengsaraan bagi sebagian rakyat Indonesia. Dengan pisau sensivitas dan empatinya terhadap nasib wong cilik, Tohari dengan fasih mampu mengekspresikan ketertindasan dan menyuarakan riak-riak kebenaran yang terbenam oleh derum mesin kehidupan yang terkadang sangat kejam dan ganas karena berbagai kepentingan baik politik, ekonomi, maupun kepentingan nafsu keserakahan manusia.
Secara rinci dapatlah dikemukakan beberapa kekuatan (ideosincracy) Ahmad Tohari dan novel trilogi RDP sebagai berikut:
(1) Dari segi ekspresifnya, berdasarkan pengamatan awal RDP mengesankan adanya orisinalitas ekspresi yang khas Tohari yang kaya pemanfaatan potensi bahasa dan gaya berbahasa yang segar dalam mengungkapkan gagasan sehingga stilistikanya menarik untuk dikaji.
(2) Berdasarkan pengamatan sepintas RDP terkesan mengungkapkan permasalahan yang multidimensional, baik aspek kultural, moral religi, sosial, politik, issu gender, maupun kemanusiaan yang menarik untuk dikaji maknanya.
(3) RDP mengesankan adanya daya ekspresi dan gagasan yang memiliki daya tarik tersendiri terbukti RDP telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang, Belanda, Jerman, Cina, dan Inggris.
(4) RDP dapat dipandang sebagai masterpiece karya-karya Tohari sehingga representatif dan layak untuk dikaji.
(5) Dari segi pengarangnya, Tohari yang mencuat namanya berkat karyanya RDP adalah sastrawan Indonesia yang karya-karyanya khas dan berbobot literer, terbukti dengan beberapa penghargaan yang diperolehnya dalam berbagai sayembara di antaranya Kincir Emas Radio Nederland dan Dewan Kesenian Jakarta. Karena itu, karya-karyanya layak dijadikan objek penelitian (Al-Ma’ruf, 2005: 11).
Berdasarkan pengkajian di atas maka dapat dikemukakan bahwa kehadiran Ahmad Tohari dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruh menjadi fenomena tersendiri dalam jagat sastra Indonesia. Selain itu, RDP menjadi citra Tohari sebagai sastrawan Indonesia sekaligus merupakan karya monumental yang memiliki warna dan keunikan tersendiri yang menempatkan Tohari sebagai salah satu sastrawan terkemuka di negeri ini.

6. Penutup
Mengakhiri pembahasan mengenai eksistensi Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Pauk (RDP) dalam jagat sastra Indonesia, dapatlah dikemukakan bahwa Ahmad Tohari dan RDP tidak dapat dipisahkan. RDP merupakan tonggak popularitas Ahmad Tohari sekaligus menjadi citranya dalam komunitas sastra sebagai sang Dukun Ronggeng. Menyebut Ahmad Tohari tanpa menyebut RDP terasa kurang lengkap.
Karakteristik kepengarangan Ahmad Tohari adalah komitmennya terhadap persoalan wong cilik yang terpinggirkan yang bertalian erat dengan harkat kemanusiaan, ketertindasan, dengan cinta sebagai pemanis. Setting cerita alam pedesaan dengan masyarakatnya lugu dilukiskan dengan sangat menawan. Kekuatannya melukiskan pencitraan mengenai alam pedesaan barangkali sulit dicari tandingannya dalam khasanah sastra Indonesia.
RDP merupakan manifestasi latar sosial-budaya Tohari. Dengan daya kritis dan sensivitasnya, Tohari mampu mengungkapkan masalah-masalah kemanusiaan yang kompleks yang ditunjang dengan keberaniannya melakukan bid’ah budaya, tanpa terjebak dalam khutbah yang sloganistis. Oleh karena itu, RDP dapat dipandang sebagai karya masterpiece-nya.
Mencermati kekuatan dan keunikan dan kekhasan karya-karyanya , maka eksistensinya sebagai sastrawan dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka negeri ini. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Ahmad Tohari dengan RDP memiliki kontribusi penting dalam jagat sastra Indonesia.

Daftar Pustaka
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2005. “Kajian Stilistika Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari”. Proposal Disertasi Program Pascasarjana S3
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Damono, Sapardi Djoko. 1983. “Negeri Dongeng, elamat Tinggal” dalam Tempo, 19
Februari 1983.

Darmawan, Taufik. 1990. “Tinjauan Novel Ronggeng Dukuh Paruk: Sebuah
Pendekatan Sosiologis” dalam Aminuddin (Ed.). Sekitar Masalah Sastra.
Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

Eneste, Pamusuk. 1983. “Ahmad Tohari: Pengarang Kubah dan Ronggeng Dukuh
Paruk” dalam Sinar Harapan, 15 Januari 1983.

Esten, Mursal. 1984: Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa.

Eseste, Pamusuk (Ed.). 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.

Kleden, Kons. 1983. “Meretas Belenggu” dalam Kompas, Minggu 16 Januari 1983.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lubis, Mochtar. 1981. Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta:
Yayasan Idayu.

Maier, H.J.M. 1984. “Dambaan yang Sirna” dalam Orion, April 1984.

Rampan, Korrie Layun. 1983. “Di Sekitar Ronggeng Dukuh Paruk” dalam Berita
Buana, 18 April 1983.

Suhendra, Yusuf. 1995. Leksikon Sastra. Bandung: Mandar Maju.

Sumardjo, Jakob. 1983. “Ronggeng Dukuh Paruk Novel Ahmad Tohari” dalam
Pikiran Rakyat, 19 Januari 1983.

_______. 1991. Pengantar Novel Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sitepu, Tabir. 1984. “Upacara Inisiasi dalam Ronggeng Dukuh Paruk” dalam Suara
Karya, 11 Oktober 1984.

Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tohari, Ahmad. 2002. Orang-orang Proyek. Yogyakarta: Jendela

_______. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

_______. 2003a. Lingkar Tanah Lingar Air. Yogyakarta: Pustaka Sastra LKIS.

_______. 2003b. “Ronggeng Dukuh Paruk: Resistensi Cara Srintil” dalam Jurnal
Srintil Media Perempuan Multikultural Edisi 2, 2003. Jakarta: Desantara
Institute for Cultural Studies.

Waluyo, Imam dkk. 1981. Dialog: Indonesia Kini dan Esok Buku Kedua. Jakarta:
Leppenas.

www.figurpublik.com. 2006. “Ronggeng Dukuh Paruk Karya Sastra Indonesia Lima
Terbaik”.

Yudiono K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo.

______________
*) Disajikan pada Seminar Sastra dalam rangka Dokumentasi Sastrawan Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta pada tanggal 7 Desember 2006.
ooOoo






















AHMAD TOHARI DAN RONGGENG DUKUH PARUK:
EKSISTENSINYA DALAM JAGAT SASTRA INDONESIA
Ali Imron Al-Ma’ruf
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

1. Pendahuluan
Kehadiran sastrawan dalam dunia sastra tidak terlepas dari karya sastra yang diciptakannya. Seberapa jauh karya-karyanya memiliki keunggulan di antara karya-karya sastrawan yang lain dan seberapa tinggi tanggapan para kritikus dan peneliti sastra. Adakah karya-karyanya mampu memberikan sesuatu yang unik, khas, dan istimewa dalan khasanah sastra sehingga menarik untuk dijadikan objek studi sastra atau objek kajian dalam berbagai forum sastra.
Demikian pula kehadiran Ahmad Tohari (selanjutnya disebut Tohari) dalam jagat sastra Indonesia. Tohari mulai menarik perhatian komunitas sastra Indonesia pada paroh kedua dekade 1970-an ketika cerpennya “Jasa-jasa Buat Sanwirya” memenangkan Hadiah dalam Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1975). Nama Ahmad Tohari semakin menjulang setelah sering menerima berbagai penghargaan di antaranya dari Yayasan Buku Utama untuk novel keduanya Kubah (1981) dan novel pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak (1986, dimuat di Harian Kompas pada tahun 1979 dan dibukukan oleh Pustaka Jaya) memenangkan Hadiah pada Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta (1986).
Di antara karya-karyanya, maka novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) yang terdiri atas Catatan Buat Emak (CBE), Lintang Kemukus Dini Hari (LKDH), dan Jentera Bianglala (JB) sering disebut-sebut oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai karya masterpeace-nya (lihat Redaksi dalam Tohari, 2003a: v; Yudiono K.S., 2003: 53). Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itulah yang melambungkan nama Tohari ke puncak popularitas sebagai sastrawan Indonesia yang namanya dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan Indonesia terkemuka seperti: Umar Kayam, Kuntowijoto, Putuwijaya, Gerson Poyk, Arswendo Atmowiloto, dan Mohammad Diponegoro, yang oleh Jakob Sumardjo (1991: Iiv) disebut sebagai angkatan atau generasi kelima sastrawan Indonesia yang lahir melalui majalah sastra Horison sehingga disebut juga generasi Horison. Oleh karena itu, membicarakan Tohari dalam jagat sastra Indonesia tidak dapat terlepas dari trilogi Rongeng Dukuh Paruk.
Salah satu daya tarik karya-karya Tohari adalah kepeduliannya kepada masalah-masalah subkultur atau budaya daerah dengan kearifan lokalnya (local genius), sisi kemanusiaan dan pembelaannya kepada wong cilik. Pada RDP, Tohari membicarakan potret buram kemanusiaan yang senantiasa akan mengusik kesadaran kita mengenai hak asasi manusia, makna demokrasi, cinta kasih, dan nilai-nilai luhur kehidupan. Hal-hal tersebut sangat menonjol dalam RDP yang dilantunkan terutama melalui tokoh Srintil, sang ronggeng dan Rasus, lelaki pujaan hatinya.
Wajar saja jika kemudian RDP mengundang perhatian para pencinta sastra Indonesia baik pembaca, kritikus maupun peneliti sastra atau kalangan akademisi. Bahkan, RDP sering mendapat pujian dari mereka. Damono (1983) --sastrawan sekaligus pakar sastra dari Universitas Indonesia Jakarta-- misalnya, menyatakan, “RDP menunjukkan Ahmad Tohari bisa sangat lancar mendongeng. Latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana digambarkannya dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik.”
Dalam pandangan Maier (1984), RDP berhasil mengungkapkan suatu kisah yang disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita pun sangat lazim. Namun, yang paling mengasyikkan dari RDP adalah gambaran tandas yang berhasil dibangkitkan Ahmad Tohari, yang mengikis khayalan indah kita tentang kehidupan pedesaan di Jawa.
Demikian pula Shinobu Yamane (pakar sastra dari Jepang), berpandangan bahwa RDP sangat menarik ceritanya sehingga ia menerjemahkan ketiga novel trilogi RDP yang dibiayai oleh Japan Fondation (dalam Tohari, 2003: ii). Oleh karena itu, menurut Bertold Damhauser, RDP menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa jurusan sastra Asia Timur (dalam Tohari, 2003: ii). Bahkan, lebih dari 50 skripsi dan tesis di Universitas Leiden Belanda dan Lund University Swedia, telah lahir melalui pengkajian novel RDP ini. Mudah dipahami jika RDP hingga kini telah diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing yakni Jepang, Jerman, Belanda, Cina, dan Inggris, serta bahasa Jawa.
Berdasarkan realitas dan pemikiran di atas maka tulisan ini mencoba mengkaji eksistensi Ahmad Tohari dan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dalam jagat sastra Indonesia. Seperti dinyatakan di atas bahwa Tohari sebagai sastrawan tidak terpisahkan dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk. Karena itu, pembicaraan mengenai Ahmad Tohari dan RDP akan disajikan sepadan dan saling melengkapi. Mengingat berbagai keterbatasan, maka pengkajian ini tidak berpretensi untuk menyajikan informasi mendetail dan mendalam mengenai Tohari dan novel RDP, melainkan sebagai upaya mengungkapkan kehadiran Tohari dan novel RDP dalam jagat sastra Indonesia yang menarik perhatian komunitas sastra di negeri ini.
Adapun permasalahannya adalah bagaimana karakteristik kepengarangan Ahmad Tohari? Bagaimana kekuatan novel trilogi RDP sebagai karya sastra? Bagaimana eksistensi Ahmad Tohari dan RDP dalam jagat sastra Indonesia?

2. Ahmad Tohari dan Karya-karyanya
Ahmad Tohari lahir pada tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SMAN 2 Purwokerto (1966). Tohari pernah kuliah di beberapa fakultas antara lain Fakultas Ekonomi, Sosial Politik, dan Kedokteran di sebuah univesitas Jakarta dan Purwokerto, namun semuanya tidak berhasil diselesaikannya karena kendala non-akademik.
Ia pernah bekerja sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967) tetapi keluar. Dalam dunia jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur pada harian Merdeka (Jakarta, 1979-1981), staf redaksi pada majalah Keluarga (Jakarta, 1981-1986), dan dewan redaksi pada majalah Amanah (Jakarta, 1986-1993). Karena tidak betah tinggal di kota metropolitan yang menurut pengakuannya Jakarta adalah kota yang sibuk dan bising, maka akhirnya sejak tahun 1993 ia memilih pulang ke kampung halamannya, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ia menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta menjadi anggota Poet Essaist and Novelis. Ia sering menulis kolom di harian Suara Merdeka, Semarang, dan aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Bersama dengan kakaknya ia mengelola sebuah pesantren peninggalan orang tuanya di desa kelahirannya untuk mengembangkan potensi dan pemberdayaan umat. Di desa itu pula Tohari membangun mahligai rumah tangga bahagia bersama Syamsiah, istri tercintanya, yang kesehariannya bekerja dinas sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Dengan istri tercintanya Tohari telah dikaruniai anak-anak yang manis dan pintar. Tiga anaknya telah berhasil dikuliahkan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sedangkan dua anaknya yang lain dikuliahkan di Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Ia mengaku sangat bersyukur dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi. Ia merasa dapat “membalas dendam” atas kegagalan dirinya yang pernah kuliah di Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi Jakarta dan Purwokerto tetapi gagal diselesaikannya karena faktor ekonomi.
Tohari termasuk pengarang yang produkif. Karya sastra yang telah dihasilkannya cukup banyak. “Upacara Kecil” adalah cerpen pertamanya yanmg dimuat di media massa. Cerpennya “Jasa-jasa Buat Sanwirya” memperoleh Hadiah Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1975). Di Kaki Bukit Cibalak merupakan novel pertamanya yang dimuat secara bersambung di harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan menjadi buku oleh PT Gramedia, Jakarta, 1986), setelah sebelumnya puluhan cerita pendek telah dihasilkannya. Setelah itu, lahirlah novelnya yang kedua Kubah (1980).
Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak (1982) adalah novel ketiganya, yang merupakan trilogi bersama Lintang Kemukus Din Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986). Setelah trilogi RDP kemudian lahirlah kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989), novel Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II) (2001), dan Orang-orang Proyek (2002). Novel triloginya yang popular dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan menjadi satu buku oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2003) yang memuat ketiga novelnya yakni Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala dengan memasukkan bagian-bagian yang ditersensor selama 22 tahun (Ahmad Tohari, 2003).
Berbagai penghargaan pernah diterima Tohari sebagai pengarang. Ia menerima Hadian Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep untuk cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya” (1975), Hadiah dari Yayasan Buku Utama untuk novelnya Kubah (1980), Hadiah Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta untuk novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986). Ketika mengikuti International Writing Programme di Amertka Serikat ia memperoleh penghargaan Fellow Writer the University of Iowa (1990), Penghargaan Bhakti Upapradana dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk Pengembangan Seni Budaya (1995), dan South East Asia Writes Award, Bangkok (1995) (Dirangkum dari berbagai sumber: Tohari, 2002: 287-288; Tohari, 2003: 396-397; Tohari, 2003a: 163; Eneste, 2001; Yudiono K.S., 2003: 1-4; Yusuf, 1995: xxx; www.ceritanet.com, 5 November 2006).

3. Karakteristik Dunia Kepengarangan Ahmad Tohari
Di tengah keprihatinan dan kondisi batinnya yang gundah melihat situasi dan kondisi masyarakat di sekitarnya dan setelah ia telah sekian tahun terlanjur meninggalkan pekerjaan sebagai karyawan honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967), ia kemudian mulai menulis karya sastra. Lahirlah beberapa cerita pendek dan ternyata dengan mudah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah yang terbit di Jakarta. “Upacara Kecil” adalah cerpen pertamanya yang dimuat di media massa. Demikian pula beberapa cerpennya ternyata tidak sulit untuk diterima di berbagai media massa di Jakarta. Kenyataan itu mendorong semangatnya dan berkembanglah rasa percaya dirinya sebagai pengarang.
Ia kemudian menulis novel pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak (DKBC) yang dimuat secara bersambung di surat kabar harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan oleh PT Gramedia, 1986). Pada novel pertamanya ini, Tohari sudah menunjukkan komitmennya terhadap wong cilik yang terpinggirkan. DKBC menampilkan pemuda desa Pambudi yang tinggal di desa Tanggir daerah Banyumas yang berjuang melawan kesewenangan dan korupsi yang dilakukan Lurah Dirga. Ia juga berjuang membela wong cilik yang lemah seperti Mbok Ralem, seorang warga desa yang miskin dan menderita sakit tumor. Ketika ia gagal mencarikan pinjaman bagi Mbok Ralem melalui kas koperasi desa karena dicegah Lurah Diraga, ia kemudian berhasil menghimpun bantuan melalui surat pembaca di sebuah surat kabar di Yogyakarta. Hal itu membuat Lurah Dirga tersudut karena mendapat teguran Camat dan Bupati sehingga Lurah Dirga berupaya menyingkirkannya. Pambudi yang merasa tidak nyaman lagi tinggal di desa kemudian pergi ke Yogyakarta untuk kuliah dan bekerja. Di kota itulah Pambudi kuliah dan bekerja sebagai wartawan. Artikel-artikelnya yang mengungkapkan kebobrokan manajemen koperasi desanya menarik perhatian Camat dan Bupati sehingga mereka berkeputusan untuk memberhentikan Dirga dari jabatannya sebagai Lurah Desa Tanggir. Di kota itu pula ia kemudian berhasil menyunting Mulyani, gadis keturunan Cina yang dicintainya.
Dalam DKBC ini tampak sekali karakteristik kepengarangan Tohari yang berkutat pada perjuangan membela orang kecil yang terpinggirkan dan tersia-sia, menegakkan kebenaran, pentingnya kejujuran dan cinta kasih sayang. Setting desa yang dilukiskan dengan sangat menarik menjadi ciri khas pada DKBC dan kelak juga menonjol pada karya-karyanya yang lain.
Perhatiannya kepada masyarakat kecil dan terpinggirkan dengan setting desa terlihat semakin kenthal dalam Ronggeng Dukuh Paruk (RDP). Novel yang menjadi tonggak popularitasnya itu juga menampilkan sosok perempuan desa, Srintil sang ronggeng dan Rasus, pemuda desa Dukuh Paruk. Kisah trilogi RDP dimulai dengan menampilkan Srintil kecil yang bermain bersama teman-temannya yakni Rasus dan anak-anak dukuh Paruk lainnya. Ternyata Srintil telah membuktikan dirinya yang terlahir untuk menjadi ronggeng dukuh Paruk ketika dalam sebuah permainan bersama Rasus dan anak-anak dukuk Paruk lainnya Srintil yang baru berusia sebelas tahun mampu nembang (menyanyikan lagu) dan menari layaknya seorang ronggeng yang sebenarnya. Setelah melalui upacara ritual bukak klambu (semacam sayembara bagi laki-laki untuk menikmati virginitas calon ronggeng dengan membayar sejumlah uang, siapa yang paling banyak uangnya, dialah yang menang), resmilah Srintil menjadi ronggeng Dukuh Paruk.
Meskipun dalam tradisi seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikatkan diri diri dengan seorang lelaki, namun ternyata Srintil tak dapat melupakan Rasus, pemuda pujaannya. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Srintil tidak dapat menerima keadaan ini, dan berontak dengan caranya sendiri. Sikap ini menjadi factor penentu dalam pertumbuhan kepribadiannya. Dia tegar dan berani melanggar ketentuan-ketentuan yang biasa berlaku dalam dunia peronggengan, terutama dalam hubungan antara ronggeng dengan dukunnya. Kini Srintil telah menjadi ronggeng yang terkenal berkat kepiawaiannya nembang dan menari ditambah dengan kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuhnya yang membuat hampir setiap lelaki yang memandangnya terpukau dan gemetar dalam renjana birahi.
Ketika menginjak usia hampir dua puluh tahun, keberadaan Srintil mulai teguh. Dia bermartabat, tidak lapar seperti kebanyakan orang dukuh Paruk, dan menampik lelaki yang tidak disukainya. Ketika telah mencapai popularitas dan masa jaya, dalam lintasan hidupnya secara tidak dimengerti oleh Srintil sendiri yang buta huruf dan buta politik itu, ia terlibat dalam kekalutan politik pada tahun 1965. Srintil yang bermartabat, cantik, belia dan terkenal ituberhadapan dengan ketentuyan sejarah yang sekali puntak pernah dibayangkannya. Ia harus meringkuk di dalam penjara sebagai tahanan politik karena dianggap sebagai pendukung PKI melalui berbagai pementasan ronggengnya.
Setelah dibebaskan dari penjara yang telah dijalaninya selama dua tahun sebagai tahanan politik, Srintil berniat meninggalkan dunia ronggeng dan ingin hidup sebagai perempuan somahan (berkeluarga) seperti perempuan normal lainnya sambil mengharapkan kehadiran Rasus yang semakin jauh dari dukuh Paruk karena abertugas sebagai militer. Letih menunggu Rasus, maka harapannya dialihkan kepada Bajus, lelaki yang mendekatinya. Ternyata harapannya hancur berantakan ketika lelaki yang ‘terkesan’ akan menikahinya itu ternyata tetap menganggapnya sebagai ronggeng yang boleh “dipakai” oleh lelaki mana pun. Hancur leburlah jiwanya. Tak kuat menahan penderitaan batinnya, ia menjadi gila, dan harus mendekam dalam bilik kecil yang kotor di rumah kakeknya. Akhirnya, Rasus muncul dan membawa Srintil ke rumah sakit jiwa untuk dirawat di sana.
Bagaimana kelanjutan cerita itu, apakah Srintil kemudian sembuh dan menikah dengan Rasus, lelaki pujaannya, atau tetap gila sampai tua? Tak seorang pun tahu. Semuanya diserahkan kepada pembaca untuk menyelesaikannya. Sesuatu yang tidak biasa dibanding dengan cerita di Indonesia pada umumnya, yang biasanya cerita berakhir dengan bahagia (happy ending).
Akhir cerita RDP tak terlalu penting. Yang pasti, RDP telah membuktikan kemampuan Tohari dalam berkisah dengan tokoh orang desa dan latar desa dengan menarik bahkan tidak jarang sangat menarik. Lebih dari itu, dengan tokoh orang desa dan latar desa itu, Tohari berhasil mengungkapkan berbagai persoalan kemanusiaan, seperti kejujuran, kemunafikan, keikhlasan, kesewenang-wenangan, ketertindasan, keterpaksaan, dan cinta kasih serta komitmennya kepada wong cilik dan terpinggirkan yang menjadi karakteristik dalam hampir semua karyanya.
Karakteristik itu masih tampak dalam karya-karyanya yang lahir kemudian, seperti: Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Bekisar Merah (1993), Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II, 2001), dan Orang-orang Proyek (2002). Hanya saja pada Bekisar Merah, Nyanyian Malam dan Belantik tampak ada sedikit perbedaan. Dalam Nyanyian Malam, alam pedesaan dan penduduknya tidak lagi menjadi sentral dalam beberapa cerpennya. Tohari tetap bertumpu pada persoalan wong cilik yang ditarik dari akar konflik pedesaan ke dalam rantai konflik masyarakat kota. Demikian pula pada Bekisar Merah. Pada novel ini dikisahkan tokoh Lasi yang mengalami perubahan hidup dari alam pedesan ke alam perkotaan, yang membuatnya terkejut dan akhirnya memilih kembali ke desa. Adapun novel Belantik mengemukakan potret kehidupan masyarakat kota yang hedonis, borjuis, dan semu, tampak mendominasi. Tohari bahkan mencoba melibas carut marut dunia perpolitikan semasa orde baru. Kisah ini penting bagai pembaca sebagai dokumen sosial yang tak terhapuskan dalam sejarah bangsa kita.
Dengan demikian, jelaslah bahwa karakteristik yang dominan dalam hampir seluruh karyanya adalah kepeduliannya yang besar terhadap persoalan kehidupan wong cilik yang terpinggirkan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Perjuangan membela kebenaran dan keadilan juga tampak menonjol dalam karya-karyanya. Selain itu, peristiwa, tokoh, dan latar alam pedesaaan yang asli –yang dilukiskan dengan sangat menarik-- tampak menonjol, walaupun pada beberapa karya terakhirnya persoalan masyarakat perkotaan mulai diungkapkan seperti dalam Nyanyian Malam, Bekisar Merah, dan Belantik.
Karakteristik lain dari Tohari dalam karya-karyanya adalah daya komunikatifnya. Tohari mampu memaparkan nilai dan dunia alternatif yang kreatif dan berbobot dengan bahasa yang sederhana, renyah, mengalir lancar, dan mudah dicerna. Dalam karya Tohari, batas antara yang ‘pop; dan yang ‘serius’ menjadi tipis dan lumer. Jika banyak karya sastra serius (‘literer’?) yang sulit dipahami oleh pembaca dengan cita rasa intelektual yang sederhana maka tidak demikian dengan karya Tohari. Meskipun persoalan yang disodorkan dalam karya-karyanya serius dan ‘berat’, di tangannya persoalan serius itu dapat diungkapkan dengan lancar, cair, ringan, dan mudah dicerna. Itulah sebabnya, seandainya sebagian karya Tohari difilmkan atau diteaterkan, kiranya akan menjadi suguhan yang menarik untuk ditonton, dinikmati, dan diapresiasi.

4. Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk: Mitos dan Masterpeace Ahmad Tohari
4.1 Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Mitos
Dalam RDP dikisahkan seorang calon ronggeng harus menjalani upacara ritual bukak klambu. Konsep inisiasi ini bertolak dari pandangan bahwa seseorang calon ronggeng baru sah menjadi ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual sakral dan salah satunya adalah bukak klambu, semacam upacara sayembara memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Dalam hal ini seperti halnya seseorang baru dianggap dewasa jika sudah melalui upacara tertentu, inisiasi, misalnya. Pandangan semacam itu berasal dari konsep mitos.
Mitos adalah sebuah dunia kemungkinan, sesuatu yang belum pasti, tetapi mempengaruhi kehidupan manusia. Mitos itu sendiri dibentuk oleh realitas. Keberanian atau ketakutan menghadapi sesuatu, misalnya, banyak ditentukan oleh mitos. Sebab itu, mitos adalah realitas itu sendiri. Mitos juga timbul dari realitas dan keadaannya selalu berubah-ubah sesuai dengan pandangan pribadi atau masyarakat (Sitepu, 1984).
Agar sah menjadi ronggeng, Srintil harus mengalami tiga tahapan upacara. Proses inisiasi ini timbul dan bertolak dari mitos atau kepercayaan yang selalu diupacarakan. Di dukuh Paruk terdapat mitos bahwa Dukuh Paruk tanpa ronggeng terasa hambar. Para ibu di dukuh itu merasa senang sekali jika anaknya dapat menjadi ronggeng. Selain itu, para istri merasa bangga jika suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng.
Untuk menjadi seorang ronggeng, timbul suatu mitos bahwa seorang ronggeng sejati bukanlah hasil pengajaran melainkan jika indang –semacam ruh atau wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan— telah merasuki tubuhnya. Jika hal itu hadir di dukuh Paruk, maka dukuh itu berada pada citra yang sebenarnya dan arwah Ki Secamenggala –leluhur dukuh Paruk—akan terbahak di kuburnya.
Dengan selesainya Srintil menjalani tiga tahapan upacara, sahlah Srintil sebagai ronggeng dan berhak menyandang gelar Ronggeng Dukuh Paruk. Pada umur sebelas tahun Srintil yang masih lugu telah menjadi milik umum. Ia menjadi ronggeng sekaligus sundal. Upacara bukak klambu selain bernilai ekonomis juga menjadi tonggak sejarah biologis hidupnya.
Dengan penampilan mitos dan upacara tersebut, novel RDP dapat dipandang sebagai berikut:
Pertama, RDP merupakan pengukuhan (myth of concern) terhadap mitos dan upacara. Hal itu dapat dilihat pada persepsi Srintil yang menganggap upacara sebagai sebuah keharusan dan karenanya ia tidak memberontak terhadap upacara itu. Ia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu menghadapi upacara itu. Semua yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima dengan pasrah. Karena itu, walaupun ia merasakan sakit pada bagian perutnya ketika menjalani upacara bukak klambu, ia tetap bertahan pada posisinya.
Kedua, kepergian Rasus merupakan reaksi ketidaksetujunya (myth of freedom) terhadap mitos dan upacara itu. Dalam persepsi Rasus, Srintil adalah figur tempat ia menemukan figur ibunya. Ia tidak mau bersetubuh dengan Srintil di dekat makam Ki Secamenggala –meskipun atas ajakan Srintil—bukan karena ia takut akan kekramatan makam itu melainkan karena tubuh Srintil dianggapnya sebagai tubuh ibunya sendiri, perempuan yang melahirkannya.
Sebenarnya Rasus sangat memberontak terhadap mitos dan upacara-upacara itu, terutama upacara bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena pembantaian kemanusiaan. Membayangkan hal itu, ia merasa muak dan marah sebab melalui upacara itu mustika yang dihargainya selama ini musnah sudah. Rasus merasa kehilangan karena Srintil kini telah menjadi milik umum. Ia sangat mengharapkan Srintil tidak mau menempuh upacara bukak klambu dan memutuskan tidak menjadi ronggeng tetapi ia tidak memiliki otoritas untuk menolak hukum keharusan itu. Merasa tidak dapat lagi berkompromi dengan nilai-nilai lama warisan para leluhurnya, Rasus akhirnya meninggalkan pedukuhannya yang terpencil itu untuk mencari pengalaman hidup yang lain (atau kompensasi?) Namun, agaknya Tohari optimis, “Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan.” (RDP, hlm. 106).
Demikianlah, RDP lebih terasa sebagai simbol daripada cerita. Kisah ini merupakan penyampaian dalam bentuk lain –dalam hal ini bentuk novel I dari apa yang dikemukakan Y.B. Mangunwijaya bahwa bangsa kita belum merdeka dari kurun magis (dalam Waluyo, 1981: 88), sehingga mental seperti itu sangat menghambat pembangunan (bandingkan Lubis, 1981: 32-37; Kuntjaraningrat, 1974: 45-46).
RDP mengemukakan tema yang sangat manusiawi. Seorang pemuda melihat kemusnahan tentang perempuan ideal –sebagi ibu sekaligus kekasih—sehingga melenyapkan cinta kasih yang murni, daya khayal, dan rasa kebersamaan. Tema semacam itu lazim dalam masyarakat Barat, sehingga tema novel RDP boleh dkatakan bersifat universal. Pendek kata, RDP merupaklan bildungs roman (Maier, 1984).
Sebuah cerita menjadi sangat menarik karena kekuatan penceritaannya yang luar biasa. Ada pula cerita yang menarik karena kayanya informasi yang diberikan pengarang. Sering pula cerita menarik karena kesegaran setting-nya, kesegaran dunia yang diciptakan pengarang, sebuah dunia baru yang memberi warna khas bagi pengetahuan pembaca (Rampan, 1983). RDP termasuk paling tidak kategori kedua dan ketiga –jika bukan ketiga kategori— RDP memberikan kekayaan informasi kepada pembaca dan melukiskan latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh orang desa yang sederhana dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik.
Kekuatan pelukisan latar tempat dan latar sosial desa yang terasingkan dari desa lain dengan demikian memiliki nilai lebih tersendiri. Betapa tidak? RDP diramaikan dengan banyaknya jenis satwa yang terdapat di dalamnya. Sedikitnya ada 20 jenis unggas, 16 jenis serangga, 11 jenis hewan menyusui, dan 5 jenis reptil serta 5 jenis hewan lainnya ikut berpentas dalam RDP. Dalam khasanah sastra Indonesia barangkali baru RDP-lah yang berhasil menghimpun begitu banyak jenis binatang di dalamnya, meskipun latar tempatnya hanya “gerumbul kecil di tengah padang yang luas”.

4.2 RDP: Manifestasi Latar Sosial-Budaya Ahmad Tohari
Manifestasi dunia rekaan pengarang diangkat dari realitas sosial, menggambarkan kondisi, perilaku, dan sikap hidup masyarakat di wilayah tertentu, dari kelompok etnis tertentu, dan memiliki kebudayaan tertentu pula. RDP, dengan demikian juga merupakan cerminan pengarang dan dunianya. Dengan kata lain, RDP merupakan manifestasi dunia rekaan Tohari.
Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa tentu saja ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Selain itu, ia adalah penganut Islam (santri) yang mampu menafsirkan ajaran Islam bukan hanya sebagai konsep abstrak, melainkan juga sebagai pedoman sikap dan perilaku sehari-hari. Didukung oleh sikap kritis dan sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Tohari berhasil menyusun konsep kepengarangan yang dapat dikatyakan ‘khas’.
Dikatakan demikian, karena Tohari memiliki sikap holistik yang bertumpu pada pandangan bahwa semua kenyataan --yang baik ataupun yang buruk-- yang mewujud di hadapan kita pada hakikatnya adalah ayat Tuhan. Kewajiban kita adalah “membacanya, membacanya dengan nama Tuhanmu, dengan Bismillah” (Q.S. al-‘Alaq: 1-5). Dengan demikian, apa pun paham atau ajaran –Islam atau kejawen—tidak perlu dikonfrontasikan. Jika perlu bid’ah budaya dapat dilakukan asalkan di dalamnya terdapat komplementasi ajaran Tauhid. Agaknya, bagi Tohari, dakwah tidak harus dilakukan melalui mimbar khutbah. Akan lebih membumi jika dakwah dilakukan melalui dakwah budaya (kultural). RDP merupakan manifestasi dakwah kulturalnya. Demikianlah, latar belakang sosial budaya, pandangan, sikap hidup, dan konsep kepengarangan Tohari jelas terwujud dalam karyanya, RDP. Jika dikaji lebih jauh, akan diperoleh beberapa kesamaan antara Tohari dengan tokoh Rasus. Kesamaan-kesamaan tersebut dapat dinbandingkan sebagai berikut:
Ahmad Tohari:
(1) Ahmad Tohari (AT) orang Jawa, lahir di Banyumas Jawa Tengah.
(2) AT orang desa yang sangat akrab dengan lingkungan alamnya.
(3) AT memiliki kebanggaan cultural sebagai orang desa yang berpandangan modern dan berstatus social terpandang.
(4) AT tidak setuju dengan kesewenangan birahi dalam dunia peronggengan karena melanggar harkat kemanusiaan.
(5) Keluarga AT pernah tertimpa musibah keracunan tempe bongkrek yang menyebabkan orang tua dan beberapa anggota keluarganya meninggal.
(6) Perlakuan Mantri terhadap ibunya ketika terjadi malapetaka itu dipandang tidak manusiawi leh AT.
(7) AT selalu berada di antara setuju dan tidak setuju dalam bermacam-macam bid’ah budaya.
(8) Bagi AT ibu adalah figur ideal untuk menemukan sosok kekasihnya.
Tokoh Rasus:
(1) Rasus (R) orang Jawa, lahir di Dukuh Paruk, Banyumas.
(2) R juga anak desa yang sangat mengenal bumi kelahirannya.
(3) R bangga menjadi anak desa pertama yang berhasil menaikkan martabatnya di mata masyarakat.
(4) R sangat membenci upacara bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena pembantaian kemanusiaan.
(5) Keluarga R juga tertimpa malapetaka keracunan tempe bongkrek hingga menyebabkan kematian orang tuanya.
(6) Mantri membawa pergi ibu R ke kota hingga membawa penderitaan batin berkepanjangan pada diri R.
(7) R juga berada di antara nilai-nilai lama dan baru.
(8) R mencari figur ibunya pada diri Srintil.
Perbandingan tersebut makin memperjelas dugaan tentang keterlibatan pengarang terutama keterlibatan mental dan intelektual pada tokoh Rasus. Adalah sulit diterima oleh akal sehat jika ada seorang anak desa terpencil dan tidak terdidik secara formal memiliki kesadaran sosio-kultural demikian tinggi jika tidak ada campur tangan pengarangnya. Karena itu, Sumardjo (1983) mempertanyakan, “Mungkinkah Rasus yang tidak pernah sekolah dan tidak pernah meninggalkan desanya itu mampu menumbuhkan sikap kulturalnya sendiri?” Agaknya peluang inilah yang dimanfaatkan secara leluasa oleh Tohari untuk memasukkan gagasannya. Pengalamannya kuliah di Fakultas Kedokteran sampai tingkat tiga, misalnya, terlihat pada pengetahuan Rasus tentang jenis bakteria pseudomonas coccovenenans yang mematikan.
Dengan pengetahuan dan pengalamannya, maka Rasus mampu berbicara tentang banyak hal, seperti: hakikat ketaraturan keselarasan, dan kesaling-bergantungan antar-unsur dalam alam; makna kepercayaan dan pengingkartan terhadap ruh leluhur, mantra, keris bertuah, indang, susuk, dan sebagainya; hakikat seorang kekasih sekaligus seorang ibu; makna pengorbanan, perkawinan, keperawanan, keluarga, persahabatan, dan kebebasan seks; renungan tenang dosa, moral, dan pergeseran nilai serta sikap dan perilaku orang-orang primitif; hakikat keberadaan manusia yang membutuhkan pengakuan, perlindungan, perlakuan wajar, kebebasan menentukan pilihan, keamanan, dan kerukunan; kemiskinan, kebodohan, kelicikan, dan ketidakberdayaan amukan sang nasib; dan seluk-beluk dunia peronggengan dengan segala hal-ihwalnya.
Melalui RDP Tohari melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada dalam alam pikiran mitis: miskin, longgar tatanan moralnya, dan reportase upacara wisuda ronggeng. Sekaligus RDP menunjukkan betapa besar simpati, empati, dan komitmen Tohari kepada kaum abangan dan budaya Jawa dengan seluk-beluknya. Namun demikian, bukan berarti Tohari setuju sepenuhnya terhadap kultur dan filsafat Jawa. Seperti terlihat pada sikap Rasus, Tohari mengadakan reaksi atas adat-istiadat Jawa yang tidak relevan dengan ajaran agamanya.
Reaksi Tohari yang terlihat dalam sikap Rasus adalah:
(1) Keraguan Rasus terhadap dongeng, yang sebagian dipercayai sebagai kebenaran dan sebagian lagi sebagai legenda khas Dukuh Paruk.
(2) Ketidakpedulian Rasus terhadap pengkultusindividuan Ki Secamenggala.
(3) Harapan Rasus agar Srintil tidak menempuh upacara bukak klambu kemudian memutuskan untuk tidak menjadi ronggeng.
(4) Kebencian Rasus melihat tempat tidur yang akan dijadikan tempat mewisuda virginitas calon ronggeng Srintil.
(5) Penolakan Rasus atas ajakan Srintil untuk melakukan hubungan badan.
(6) Penolakan Rasus atas ajakan Srintil untuk membina kehidupan rumah tangga.
(7) Kebencian Rasus terhadap orang-oang Dukuh Paruk yang telah merenggut Srintil dari tangannya.
(8) Kepergian Rasus dari pedukuhannya (lihat Darmawan, 1990: 118-119).
Dengan deskripsi lakuan dan simbolisasinya, Tohari berhasil mengekspresikan pengalaman fisik dan spiritualnya dalam RDP. Novel ini terhindar dari kesan sloganistis karena sama sekali tidak ada komentar pengarang mengenai baik-buruk sesuatu hal. Bid’ah budaya Tohari justru sangat menonjol daripada unsur “dakwah”-nya, meskipun hal ini sangat mungkin ia lakukan. Hingga halaman terakhir hanya tiga kali Tohari menyebut nama Tuhan, yakni pada “Yang Mahaperkasa” (RDP, 2003 hlm. 79), “Ya Tuhan” (hlm. 97), “Tuhan” (hlm. 361), dua kali kata “bersembahyang” (hlm. 86), dua kali kata “puasa Senin-Kamis” (hlm. 361), satu kata “dosa” (hlm. 85), dan dua kali kata “dosa besar” (hlm. 86), sekali ungkapan ’Innaa lillaahi wainnaa ilahi raajiuun’ (hlm. ), dua kali kata, Ilaahi,

4.3 Ronggeng Dukuh Paruk: Karya Masterpiece Ahmad Tohari
Tonggak popularitas Ahmad Tohari dimulai dengan lahirnya novel trilogi Ronggeng Dukug Paruk (RDP). Tentu saja hal itu tidak terlepas dari RDP sebagai sebuah karya sastra yang memiliki keunikan dan kekuatan tersendiri dalam khasanah sastra Indonesia. Sebagai sebuah karya sastra fiksi, RDP memang layak memperoleh perhatian besar dari komunitas sastra di Indonesia. RDP berhasil mengungkapkan kehidupan ronggeng dengan segala perniknya, sarat dengan persoalan kemanusiaan, sosial, politik, tradisi, kepercayaan, dan cinta kasih dengan tokoh wong cilik dan latar alam pedesaan yang dilukiskan dengan sangat menarik.
Terlihat dalam RDP, tokoh Srintil yang merupakan perempuan desa yang tidak pernah tahu keadaan kehidupan di luar dukuh Paruk, sosok orang yang lugu, dan tak berdosa, harus mengalami nasib tragis, tergilas oleh roda sejarah kehidupan yang kejam, dahsyat dan dramatis. Betapa tidak? Dalam gejolak politik sekitar 1965 yang terkenal dengan G 30 S/ PKI itu, Srintil yang cantik, menarik, belia, tenar, dan buta politik itu terseret dalam arus politik yang tak dimengertinya, bahkan tak terbayangkan sama sekali. Dia harus mendekam dalam penjara sebagai tahanan politik selama dua tahun. Bahkan, akhirnya Srintil tak kuat menahan penderitaan jiwanya, ia menjadi gila.
Berbeda dengan Srintil, tokoh Rasus merupakan sosok pemuda desa yang mengalami cultural shock (Damono, 1983), pergeseran nilai, dan menemukan identitas dirinya setelah hidup di seberang (di luar pedukuhannya) berkenalan dengan nilai-nilai baru dan selanjutnya dengan kekritisannya dia membandingkan nilai-nilai yang berbeda itu. Dengan demikian, Rasus merupakan cermin pemuda desa yang membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru kemudian menyadari eksistensi hidup berdasarkan pengalaman-pengalamannya tadi (Eneste, 1984; Rampan, 1983).
Dalam realitas hidup, banyak sekali orang semacam Srintil di satu pihak dan Rasus di pihak yang lain. RDP mampu mengungkapkan realitas hidup dalam sebuah karyua fiksi yang menawan sekaligus mampu memperkaya khasanah batin kita dalam menghadapi kehidupan yang kompleks ini.
Mencermati berbagai kekuatan dan keunikan RDP, maka para kritikus sering menyebut novel trilogi Tohari tersebut sebagai karya yang paling kuat dan berbobot. Bahkan, tidak berlebihan kiranya jika novel trilogi tersebut merupakan karya yang dahsyat dan bukan mustahil itulah salah satu masterpiece-nya di antara karya-karyanya (Redaksi dalam Tohari, 2003a: v).
Wajar jika kemudian RDP tidak hanya mendapat sambutan dari komunitas sastra di Indonesia melainkan juga komunitas sastra di mancanegara, terbukti dengan RDP telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, Jerman, Cina, dan Inggris. Oleh karena itu, menjadi mudah dipahami jika lebih dari 50 skripsi dan tesis di Universitas Leiden Belanda dan Universitas Lund Swedia, telah lahir dari novel trilogi tersebut (Tohari, 2003: ii). Tidak sedikit pula beberapa disertasi telah disusun dari RDP. Sungguh luar biasa, betapa inspiratifnya RDP, sehingga mampu menjadi sumber ide di dalam komunitas sastra baik di kalangan akademik maupun di luar akademik.

5. Eksistensi Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Paruk dalam Jagat Sastra
Indonesia
Kehadiran Ahmad Tohari dalam jagat sastra Indonesia tampaknya melekat erat dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk. Ketika banyak sastrawan ataupun pengamat sastra Indonesia ramai membicarakan dan meramalkan masa depan sastra subkultur yang bakal menduduki tempat penting dalam khazanah sastra Indonesia (lihat Esten, 1981), Ahmad Tohari telah menempatkan dirinya sebagai pengarang subkultur Jawa sejak dekade 1980-an. Novel trilogi RDP yang terdiri atas Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini hari, dan Jentera Bianglala, kemudian Kubah, Di Kaki Bukit Cibalak, Bekisar Merah, Belantik, kumpulan cerpen Senyum Karyamin dan Nyanyian Malam, serta novel Orang-orang Proyek, demikian kuat meniupkan nafas budaya Jawa dalam kehidupan rakyat kecil yang terpinggirkan. Alam pedesaan menjadi setting sentral dalam karya-karyanya (lihat Tohari, 2002: v). Membaca karya-karya Tohari kita dapat belajar banyak dari kehidupan masyarakat kecil dengan segala kearifan lokalnya (local genius).
Novel trilogi RDP merupakan sketsa sosial sekaligus antropologis yang kuat, di sana sini diwarnai erotisme (cinta) yang memukau: halus, menyentuh dan menggelitik. Tidak seperti kebanyakan karya sastra (juga film) Indonesia lainnya yang melodramatis dan happy ending, novel trilogi RDP Tohari merupakan tragedi (nasib) yang ‘subversif’. Tokoh sentral cerita itu, seorang ronggeng jelita dan mempesona, belia, yang citranya lugu dan tidak berdosa, harus menjadi korban dari budaya masyarakat yang patriarkis sekaligus seksis dan banal di satu sisi, serta menjadi korban dari konstruk (nalar) politik yang instrumental, otoriter, kejam, dan ideologis di sisi yang lain.
Akhir kehidupan ronggeng sang primadona penggung sungguh tragis dan dramatis serta menyayat hati: sang primadona panggung yang jelita dan masih belia itu menjadi kehilangan keseimbangan jiwanya: gila. ‘Kegilaan’ adalah sesuatu yang jauh lebih tragis dan lebih kejam daripada terputusnya diri dari dunia empiris ini: ‘kematian’. Dalam RDP, Tohari menyajikan kepada kita tragedi kehidupan secara lebih tajam mencekam. Betapa tidak? Seseorang yang cantik, lugu, belia, terkenal, dan tidak berdosa di satu sisi; sementara kesengsaraan, kemalangan, kekecewaan, dan bencana yang dahsyat di pihak lain. Sebuah kondisi yang sangat kontras. Seorang perempuan yang cantik, belia, terkenal, lugu, dan tidak berdosa harus tertimpa kesengsaraan, kemalangan, kekecewaan, dan bencana yang sangat dahsyat, yang akhirnya meruntuhkan, memporak-porandakan, dan menggerogoti keseimbangan jiwanya. Kejujuran nurani manusia, siapa pun dia, tentu tak akan rela dan tak akan dapat menerima kenyataan semacam itu.
RDP dapat dikatakan merupakan karya yang memantulkan kengerian dan keabsudan. Pembaca, kita, seperti ditarik, terbetot, dan tersedot dalam pusaran karya itu, untuk kemudian memancangkan gugatan: “takdir memang (mengapa bukan ‘kadang’?) kejam, tak mengenal perasaan” (lihat unaian kalimat nyanyian Desy Ratnasari), terkadang juga terasa seakan-akan tidak adil. Jika mau jujur, terkadang orang menjadi geram dan marah pada Sang Hidup (Tuhan). “Sabda Alam membuat kodrat tak tertahan. Rasa cinta, rasa nista berpadu satu” (untaian kalimat nyanyian Chrisye).
Dalam RDP, batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. Sebab, banyak perempuan atau manusia pada umumnya, yang mengalami nasib seperti sang ronggeng, tentu dalam berbagai variasi kasus. Dalam konteks itulah maka pemberotakan kaum eksistensialis dan semacamnya, sebagaimana telah (dan akan terus?) terjadi dalam sejarah manusia, menemukan tempatnya (lihat Tohari, 2003a: vii).
RDP dengan tajam mengungkapkan realitas dan budaya subkultur, masyarakat desa yang agraris dengan setting desa di daerah Banyumas Jawa Tengah sekitar tahun 1965/ 1966 yang menampilkan peran ronggeng sang primadona dalam budaya masyarakat desa. Sebagai karya sastra, RDP merupakan simbol verbal, yang menurut Kuntowijoyo (1987: 127) memiliki beberapa peran di antaranya sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), cara berhubungan (mode of commnunication), dan cara penciptaan (mode of creation). Adapun objek karya sastra –dalam hal ini RDP-- adalah realitas –apa pun yang dimaksud realitas oleh pengarang, Tohari. Simbol tersebut menunjukkan penggunaan bahasa imajiner oleh pengarang dalam memahami fenomena kehidupan pedesan yang dituangkan dalam RDP sebagai bentuk penciptaan kembali (mode of creation) fenomena sosial budaya sesuai dengan daya imajinasinya.
Dalam karyanya itu, Tohari mengembangkan tulisannya dengan meletakkan situasi kehidupan subkultur dalam struktur social dan bukan hanya sebagai ornamentasinya. Pemahaman terhadapnya akan melahiurkan gambaran yang koheren dan saling berkaitan. Karya demikian, oleh Teeuw (1986: 220-221) dikategorikan sebagai novel yang merupakan kontribusi baru yang penting bagi studi literatur sejarah Indonesia, karena di dalamnya mengandung komplikasi persoalan dengan aspek-aspeknya yang menarik bagi pengembangan hubungan literatur dengan sejarah sosial.
Di sisi lain, novel RDP juga menyuarakan resistensi kaum perempuan melalui tokoh Srintil, sang ronggeng Dukuh Paruk tentang kesetaraan jender. Srintil dalam novel RDP dilukiskan sebagai duta budaya sekaligus duta keperempuanan. Sebagai duta budaya, Srintil menyadari perannya sebagai ronggeng dukuh Paruk yang harus mengampu naluri-naluri kelelakian. Hal itu dalam pandangan orang Dukuh Paruk merupakan keniscayaan agar terjadi keselarasan antara perempuan dan laki-laki yang bersama-sama hadir dalam kehidupan masyarakat. Adapun sebagai duta keperempuanan, Srintil tidak melihat lelakli sebagai pihak yang superior dan menguasainya. Bagi Srintil, lelaki dan kelelakian adalah imbalan perempuan dan keperempuanan. Artinya, lelaki dan perempuan tidak dipandang secara dikotomis. Srintil tidak merasa lemah ketika berhadapan dengan dunia lelaki (Tohari, 2003b: 127-128).
Dari pendekatan teori sastra, novel RDP dipandang memiliki beberapa keunikan atau ciri khas sebagai keistimewaan di antara novel-novel Indonesia lainnya. Melalui pengkajian kritis, RDP dapat dikatakan merupakan salah satu novel Indonesia mutakhir yang memiliki idiosyncrasy baik segi ekspresi (surface structure) maupun segi kekayaan maknanya (deep structure). Artinya RDP memenuhi dua kriteria utama sebagai karya literer seperti dinyatakan oleh Hugh (dalam Aminuddin, 1987: 45), yakni: (1) relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, melalui imajinasi dan rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh, selaras serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity) dan (2) daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).
Pada kriteria pertama, RDP melukiskan latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik (Damono, 1983). RDP disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita sebenarnya pun sangat lazim. Akan tetapi yang mengasyikkan dari kesemuanya itu adalah gam baran tandas yang berhasil dibangkitkan Tohari yang mengikis khayalan indah kita tentang kehidupan pedesaan di Jawa (Maier, 1984). RDP mengungkapkan budaya lokal Banyumas Jawa Tengah yang khas dengan karakteristik, keunikan, dan permasalahannya dengan cara khas sastra.
RDP memaparkan fenomena yang belum pernah terjadi di dunia sastra Indonesia, yakni kehidupan dunia ronggeng yang khas dengan latar sejarah malapetaka politik G30S/ PKI dengan segala eksesnya. Kultur desa yang longgar dalam tata susila perkawinan, penuh dengan kata-kata cabul, orang leluasa meniduri istri tetangganya, terlukis dalam RDP (bandingkan Sumardjo (1991: 85). Bagi orang dukuh Paruk, jika seorang istri berselingkuh dengan tetangga, maka sang suami tidak perlu ribut menghajar tetangga tadi. Cukuplah sang suami meniduri istri tetangga tersebut, selesailah urusannya.
Dari segi daya ungkapnya, RDP memiliki pembaharuan bentuk ekspresinya yang segar, orisinal, dan khas sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Menarik dan lancar teknik pengisahannya, sehingga dibanding Kubah, novelnya terdahulu, RDP menunjukkan bahwa Ahmad Tohari sangat lancar mendongeng (Damono dalam Ahmad Tohari, 2003).
Dari segi pengungkapan, ekspresi bahasa dalam RDP variatif dan gaya bahasanya orisinal. Sesuai dengan latar masyarakat dalam RDP dan latar kehidupan Tohari yang akrab dengan dunia pedesaan, banyak ungkapan bahasa dan gaya bahasa yang segar dan khas bernuansa alam pedesaan. Profesi Tohari sebagai wartawan turut mewarnai pemakaian bahasa yang variatif dan lancar dalam RDP. Selain itu, idiom Jawa yang kaya nuansa memperkaya bahasa RDP sekaligus mencerminkan ideologi pengarang yang dibesarkan di lingkungan masyarakat Jawa Tengah.
Salah satu kekuatan atau nilai lebih Tohari yang sulit ditemukan pada sastrawan lain adalah kepiawaiannya melukiskan alam pedesaan yang eksotis dan perawan. Di tangannya, panorama kehidupan pedesaan menjadi sedemikian hidup dan menawan. Tak terkecuali, Tohari juga sangat kuat dalam menyuguhkan cinta dan erotisme (bukan pornografi!). Dalam karyanya, cinta, seks, erotisme, perempuan, dan seterusnya menjadi sedemikian memiliki ruh dan menggairahkan. Tak ayal hampuir semua karyanya menarik untuk dikaji, bukan hanya karena permasalhannya yang menarik melainkan juga karena daya ekspresinya yang menawan.
Latar belakang Ahmad Tohari yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran, di samping Fakultas Ekonomi dan Fakulatas Ilmu Sosial Politik, diduga turut berperan dalam memberikan pengayaan dalam eksplorasi bahasa dalam RDP. Banyaknya ungkapan dan gaya bahasa orisinal, segar dan khas dalam RDP mengindikasikan hal itu. Gaya bahasa yang kaya informasi tentang istilah dalam ilmu pengetahuan terutama bidang sosial, politik, kedokteran, dan biologi, terlihat sebagai 'pelangi' yang turut memperindah RDP. Semua itu, menggelitik kita untuk mengkaji stilistikanya yang khas dan unik.
Di pihak lain, karena daya pukaunya, RDP diterjemahkan dalam bahasa Jepang, Belanda, Jerman, Cina, dan Inggris. Bahkan RDP, menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa jurusan Asia Timur di Universitas Bonn Jerman (Bertold Damhauser dalam Tohari, 2003). Oleh kartena itu, tidak berlebihan jika RDP adalah karya yang dahsyat dan bukan mustahil merupakan karya master piece Ahmad Tohari (lihat Ahmad Tohari, 2003a: v).
Dalam karya trilogi itu, tidak berlebihan kiranya jika Tohari disejajarkan dengan “raksasa sastra” Indonesia yang beberapa kali dinominasikan sebagai penerima novel sastra: Pramoedya Ananta Tour (Tohari, 2003a: v). Atau, paling tidak dapatlah dikatakan bahwa Tohari dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka Indonesia seperti: Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Danarto, Iwan Simatupang, dan Umar Kayam. Karena itu, mungkin tidak salah seandainya ada pemilihan lima karya sastra Indonesia mutakhir terbaik, maka RDP adalah salah satunya (www.figurpublik.com, 5 November 2006).
Terlepas dari semuanya, harus diakui Tohari adalah pengarang realis yang tak pernah menulis dari sesuatu yang hampa. Sebagai seorang oengarang, ia menjadi pengamat social budaya yang jeli terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Praktik-praktik ketimpoangan social yang melingkari kehidupan rakyat kecil atau kaum pinggiran menjadi sentral dalam karya-karyanya. Dalam konteks ini, mungkin benar pernyataan Thomas Warton (Pengantar Penerbit dalam Tohari, 2002: ix), bahwa karya sastra adalah dokumentasi sosial, sebuah pendeatan sastra yang sudah sangat tua. RDP merupakan sebuah dokumentaso sosial pada masa pergolakan politik sekitar 1965/ 1966 di Indonesia yang higga kini masih menyisakan kegetiran dan kesengsaraan bagi sebagian rakyat Indonesia. Dengan pisau sensivitas dan empatinya terhadap nasib wong cilik, Tohari dengan fasih mampu mengekspresikan ketertindasan dan menyuarakan riak-riak kebenaran yang terbenam oleh derum mesin kehidupan yang terkadang sangat kejam dan ganas karena berbagai kepentingan baik politik, ekonomi, maupun kepentingan nafsu keserakahan manusia.
Secara rinci dapatlah dikemukakan beberapa kekuatan (ideosincracy) Ahmad Tohari dan novel trilogi RDP sebagai berikut:
(1) Dari segi ekspresifnya, berdasarkan pengamatan awal RDP mengesankan adanya orisinalitas ekspresi yang khas Tohari yang kaya pemanfaatan potensi bahasa dan gaya berbahasa yang segar dalam mengungkapkan gagasan sehingga stilistikanya menarik untuk dikaji.
(2) Berdasarkan pengamatan sepintas RDP terkesan mengungkapkan permasalahan yang multidimensional, baik aspek kultural, moral religi, sosial, politik, issu gender, maupun kemanusiaan yang menarik untuk dikaji maknanya.
(3) RDP mengesankan adanya daya ekspresi dan gagasan yang memiliki daya tarik tersendiri terbukti RDP telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang, Belanda, Jerman, Cina, dan Inggris.
(4) RDP dapat dipandang sebagai masterpiece karya-karya Tohari sehingga representatif dan layak untuk dikaji.
(5) Dari segi pengarangnya, Tohari yang mencuat namanya berkat karyanya RDP adalah sastrawan Indonesia yang karya-karyanya khas dan berbobot literer, terbukti dengan beberapa penghargaan yang diperolehnya dalam berbagai sayembara di antaranya Kincir Emas Radio Nederland dan Dewan Kesenian Jakarta. Karena itu, karya-karyanya layak dijadikan objek penelitian (Al-Ma’ruf, 2005: 11).
Berdasarkan pengkajian di atas maka dapat dikemukakan bahwa kehadiran Ahmad Tohari dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruh menjadi fenomena tersendiri dalam jagat sastra Indonesia. Selain itu, RDP menjadi citra Tohari sebagai sastrawan Indonesia sekaligus merupakan karya monumental yang memiliki warna dan keunikan tersendiri yang menempatkan Tohari sebagai salah satu sastrawan terkemuka di negeri ini.

6. Penutup
Mengakhiri pembahasan mengenai eksistensi Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Pauk (RDP) dalam jagat sastra Indonesia, dapatlah dikemukakan bahwa Ahmad Tohari dan RDP tidak dapat dipisahkan. RDP merupakan tonggak popularitas Ahmad Tohari sekaligus menjadi citranya dalam komunitas sastra sebagai sang Dukun Ronggeng. Menyebut Ahmad Tohari tanpa menyebut RDP terasa kurang lengkap.
Karakteristik kepengarangan Ahmad Tohari adalah komitmennya terhadap persoalan wong cilik yang terpinggirkan yang bertalian erat dengan harkat kemanusiaan, ketertindasan, dengan cinta sebagai pemanis. Setting cerita alam pedesaan dengan masyarakatnya lugu dilukiskan dengan sangat menawan. Kekuatannya melukiskan pencitraan mengenai alam pedesaan barangkali sulit dicari tandingannya dalam khasanah sastra Indonesia.
RDP merupakan manifestasi latar sosial-budaya Tohari. Dengan daya kritis dan sensivitasnya, Tohari mampu mengungkapkan masalah-masalah kemanusiaan yang kompleks yang ditunjang dengan keberaniannya melakukan bid’ah budaya, tanpa terjebak dalam khutbah yang sloganistis. Oleh karena itu, RDP dapat dipandang sebagai karya masterpiece-nya.
Mencermati kekuatan dan keunikan dan kekhasan karya-karyanya , maka eksistensinya sebagai sastrawan dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka negeri ini. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Ahmad Tohari dengan RDP memiliki kontribusi penting dalam jagat sastra Indonesia.

Daftar Pustaka
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2005. “Kajian Stilistika Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari”. Proposal Disertasi Program Pascasarjana S3
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Damono, Sapardi Djoko. 1983. “Negeri Dongeng, elamat Tinggal” dalam Tempo, 19
Februari 1983.

Darmawan, Taufik. 1990. “Tinjauan Novel Ronggeng Dukuh Paruk: Sebuah
Pendekatan Sosiologis” dalam Aminuddin (Ed.). Sekitar Masalah Sastra.
Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

Eneste, Pamusuk. 1983. “Ahmad Tohari: Pengarang Kubah dan Ronggeng Dukuh
Paruk” dalam Sinar Harapan, 15 Januari 1983.

Esten, Mursal. 1984: Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa.

Eseste, Pamusuk (Ed.). 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.

Kleden, Kons. 1983. “Meretas Belenggu” dalam Kompas, Minggu 16 Januari 1983.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lubis, Mochtar. 1981. Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta:
Yayasan Idayu.

Maier, H.J.M. 1984. “Dambaan yang Sirna” dalam Orion, April 1984.

Rampan, Korrie Layun. 1983. “Di Sekitar Ronggeng Dukuh Paruk” dalam Berita
Buana, 18 April 1983.

Suhendra, Yusuf. 1995. Leksikon Sastra. Bandung: Mandar Maju.

Sumardjo, Jakob. 1983. “Ronggeng Dukuh Paruk Novel Ahmad Tohari” dalam
Pikiran Rakyat, 19 Januari 1983.

_______. 1991. Pengantar Novel Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sitepu, Tabir. 1984. “Upacara Inisiasi dalam Ronggeng Dukuh Paruk” dalam Suara
Karya, 11 Oktober 1984.

Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tohari, Ahmad. 2002. Orang-orang Proyek. Yogyakarta: Jendela

_______. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

_______. 2003a. Lingkar Tanah Lingar Air. Yogyakarta: Pustaka Sastra LKIS.

_______. 2003b. “Ronggeng Dukuh Paruk: Resistensi Cara Srintil” dalam Jurnal
Srintil Media Perempuan Multikultural Edisi 2, 2003. Jakarta: Desantara
Institute for Cultural Studies.

Waluyo, Imam dkk. 1981. Dialog: Indonesia Kini dan Esok Buku Kedua. Jakarta:
Leppenas.

www.figurpublik.com. 2006. “Ronggeng Dukuh Paruk Karya Sastra Indonesia Lima
Terbaik”.

Yudiono K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo.

______________
*) Disajikan pada Seminar Sastra dalam rangka Dokumentasi Sastrawan Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta pada tanggal 7 Desember 2006.
ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar