Selasa, 26 April 2011

MENCARI PARADIGMA BARU GERAKAN POLITIK MAHASISWA PASCAREFORMASI: REFLEKSI HARKITNAS 2006

MENCARI PARADIGMA BARU GERAKAN POLITIK MAHASISWA PASCAREFORMASI: REFLEKSI HARKITNAS 2006 *)
Oleh Ali Imron Al-Ma’ruf
PBSID FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

1. Prawacana
. The students is a prophetic minority, ‘komunitas mahasiswa adalah kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa yang memainkan peran profetik’ (Newfield, dalam Rahardjo, 1993). Dalam bahasa Rasulullah Saw., "Cendekiawan adalah pewaris (cita-cita) para Nabi" (al-Hadits). Peran mereka bagaikan Nabi, dengan aksi nyatanya mereka menyeru kepada kebenaran dan menegakkan keadilan, bukan kyai atau pendeta yang sering terjebak rutinitas dan dogmatis. Mereka adalah 'Nabi' secara kolektif, yang mencela kebobro¬kan dan membela kebenaran.
“Setiap generasi adalah anak zamannya" dengan dialektika, romantika, dinamika, dan tantangannya sendiri. Karena itu, peran besar mahasiswa pada berbagai peristiwa monumental di negeri ini, dari masa kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, zaman kemerdekaan 1945, lahirnya orde baru 1966, hingga gerakan reformasi (1998) yang berhasil menumbangkan hegemoni penguasa orde baru, sebuah kondisi yang lazim di negara-negara dunia ketiga (meminjam istilah Huntington, 1968), merupakan pilihan sadar para mahasiswa setelah mereka berdialog dengan lingkungan so¬sial-politiknya dan menghadapi tantangan dalam setting zamannya. Itu semua karena mahasiswa memiliki moral force dan "kewiba¬waan intelektual". Peran besar mahasiswa semacam itu seolah telah menjadi "mitos" bahkan "nyaris legendaris".
Berbagai peristiwa termasuk gelombang demokratisasi di negara-negara dunia III, akan turut "memanaskan" setidaknya "menjaga" atmosfir politik di Indonesia pada abad informasi kini (meminjam istilah Alvin Toffler, 1970). Pada gilirannya, hal itu akan mempengaruhi pola gerakan politik mahasiswa. Terlebih bangsa kita baru saja melakukan reformasi sehinga menimbulkan euforia politik yang terkadang reformasi disalahartikan sebagai "kebebasan segala-galanya”.
Berangkat dari realitas itu, terlihat bahwa problema dan tantangan yang dihadapi
mahasiswa pada tiap periode berbeda. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa pun sangat bergantung pada setting zamannya. Pertanyaan yang menggelitik kita adalah mengapa setelah gerakan reformasi berhasil menumbangkan tirani kekuasaan orde baru, seolah-olah (gerakan) mahasiswa ‘mati suri’? Pascareformasi, tidak ada gerakan politik mahasiswa yang berarti dalam skala nasional, padahal masih banyak agenda reformasi yang belum dilaksanakan secara tuntas.
Permasalahannya adalah bagaimana peran mahasiswa pada era pascareformasi di negeri ini? Bagaimana model dan strategi gerakan mahasiswa guna mendorong tercapainya cita-cita reformasi? Juga, bagaimana menciptakan jaringan antar-ormawa perguruan tinggi yang ideal untuk menuju pencerahan mahasiswa? Mengingat berbagai keterbatasan, makalah ini tidak akan mengkaji masalah secara mendalam melainkan lebih sebagai refleksi dari seorang mantan aktivis gerakan mahasiswa.

2. Problema dan Tantangan Mahasiswa dalam Sejarah
Sebelum mengkaji gerakan mahasiswa pascareformasi, lebih dahulu akan dikaji problema dan tantangan yang dihadapi mahasiswa yang senantiasa berbeda pada tiap periode sejarah bangsa. Tantangan itu akan berpengaruh terhadap peran dan pola gerakan mahasiswa pada tiap periode. Pada 1908 misalnya, tantangan yang dihadapi adalah tertindasnya bangsa Indonesia karena terjajah oleh bangsa lain, sehingga muncullah kebangkitan nasional. Setelah kebangkitan nasional, terlihat terpecah-belahnya gerakan perjuangan mengusir penjajah, sehingga muncul Sumpah Pemuda 1928. Begitu pun pada 1945 masalah yang dihadapi adalah perlunya segera kemerdekaan untuk membebaskan bangsa kita dari penjajahan bangsa lain sehingga diproklamasikanlah kemerdekaan RI. Kesemuanya itu tidak terlepas dari kepeloporan kaum intelekltual muda mahasiswa.
Pada pasca-1966 tekad meluruskan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 itu terus mengkristal. Hal itu pula yang menjadi tema-tema gera¬kan mahasiswa saat itu meski dengan stressing yang berbeda. Gerakan maha¬siswa pada 15 Januari 1974 (Malari) misalnya, memprotes dominasi Jepang atas perekonomian Indonesia (terlepas dari tuduhan gerakan ini ditunggangi oleh pihak ketiga atau tidak). Gerakan mahasiswa 1977/ 78, melakukan koreksi terhadap cara penye¬lenggaraan pemilu yang dinilainya tidak fair (bandingkan Liddle, 1992). Tak kalah garang dan canggihnya, gerakan mahasiswa 1998 yang mengusung tema Reformasi, menumbangkan hegemoni kekuasaan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang represif-militeristik (diktator, tidak demokratis) dan sarat penyelewengan (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme/ KKN) sehingga ekonomi terpuruk.
Fenomena timbulnya berbagai gerakan mahasiswa pada masa-masa akhir kekuasaan orde baru antara lain karena: (a) Sistem politik yang dinilai otorit¬er dan patrimonial yang ditandai oleh tindakan represif, (b) Gejala marginalisasi rakyat kecil dan kelom¬pok-kelompok periferal lainnya, (c) Ancaman terhadap sumber-sumber alam dan lingkungan hidup akibat dari ekspansi ekonomi, dan (d) Tumbuhnya nilai-nilai neo-feodalisme di kalangan elite politik. Selain itu, mahasiswa kita juga menghadapi semacam "beban sejarah" yakni mitos peran besar mahasiswa dalam kehidupan bangsa.
Adapun tantangan yang timbul pada pascareformasi yang terutama adalah pelaksanaan agenda reformasi yang hingga saat ini belum tuntas. Agenda reformasi yang belum tergarap secara serius antara lain adalah: (1) penegakan supremasi hukum dari hulu hingga hilir, (2) pemberantasan KKN yang belum terwujud bahkan boleh dikatakan menjadi-jadi (dulu KKN banyak terjadi di kalangan eksekutif dan pucuk pimpinannya saja, kini bahkan legislatif tak kalah banyaknya), (3) demokratisasi yang masih sarat dengan money politycs (dari Pilkades hingga Pilkada) dan nuansa intimidasi, dan (4) pemerataan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat, masih “jauh panggang dari api”.
Di pihak lain, mahasiswa masa kini/ pascareformasi menghadapi problema mengenai iklim kehidupan kampus yang kurang kondusif untuk studi dan berorganisasi sekaligus (misalnya: ketatnya perkuliahan, 75% wajib hadir, dan banyaknya tugas kuliah: makalah, resensi buku, kajian teori (theoretical review), resume buku, praktik di laboratorium, dan praktik kerja lapangan, meskipun bagi aktivis hal itu sebenarnya wajar-wajar saja), serta kekhawatiran terhadap nasib dan masa depan mereka sendiri yang masih kabur, yang lebih populer dengan ungkapan "madesu" (masa depan suram).
Kekhawatiran itu wajar jika muncul di kalangan mahasiswa karena mereka dihadapkan pada beberapa masalah antara lain: Pertama, masalah demografi. Tahun 2005 diperkirakan popula¬si Indonesia lebih dari 250 juta jiwa. Hal ini membawa implikasi langsung terhadap berbagai masalah berikutnya seperti kian terba¬tasnya lapangan kerja (jika dulu Sarjana S-1 cukup, kini dan masa mendatang dituntut berijazah S-2/ S-3, terutama sektor swasta), makin sempitnya perumahan, mahalnya pendidikan, dan sebagainya, termasuk banyaknya sarjana penganggur.
Kedua, kompleksitas masalah-masalah kehidupan masyarakat menyangkut lingkungan hidup yang makin memprihatinkan, tingkat ekonomi rendah, sosial budaya yang memprihatinkan (dari segi moral dan agama; lihat kasus Pornografi dan Pornoaksi), banyaknya pejabat eksekutif, yudikatif (jaksa dan hakim), dan legislatif yang melakukan KKN, dan sebagainya. Ketiga, kemajuan sains dan teknologi begitu pesat melahirkan produk-produk teknologi tinggi seperti komputer, internet (era cyberspace), dan robot yang menjadi pesaing mahasiswa dalam lapangan kerja. Dan keempat, teknologi komunikasi terutama media massa elektronik dan cetak telah menghadirkan banjir informasi dari mancanegara, termasuk informasi politik. Insan akademis mendatang akan memiliki wawasan budaya dan politik yang kosmopolitan. Hal ini akan berakibat mengasingkan atau setidaknya merenggangkan mereka dari akar budaya sendiri.
Berbagai masalah di atas menimbulkan keresahan sosial di dalam kehidupan masyarakat dan kesemuanya merupakan tantangan yang kompleks. Fenomena itu makin menyadarkan kita akan besarnya tantangan yang dihadapi mahasiswa pada zaman saintek Milenium III. Situasi objektifnya semakin berat dan rumit, sementara keuntungan status sosial yang dulu pernah dinikmati oleh para mahasiswa semakin tipis. Muncullah kemudian apatisme, sinisme, dan berkembanglah materialisme, permissivisme, dan hedonisme di kalangan mahasiswa sebagai pelarian dari ketidakpedu¬lian terhadap politik di satu pihak.
Di pihak lain, problema di atas justru dapat melahirkan pula kelompok mahasiswa aktivis yang sangat kritis, progresif, bahkan agresif-revolusioner dalam gerakan-gerakan politik mereka, terma¬suk di dalamnya gerakan memobilisasi massa untuk melakukan aksi demonstrasi dalam upaya bergaining position atau melakukan pressure terhadap penguasa --termasuk penguasa kampus-- yang dianggap menyimpang dari sistem yang ada atau peraturan yang berlaku.

3. Gerakan Mahasiswa dalam Teori Pembangunan Politik
Fenomena gerakan politik mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini dapat diteropong dari teori pembangunan yang diterapkan pemerintah. Sejak orde baru 1966, dalam menjalankan fungsi pembangunan masyarakatnya, pemerintah Indonesia lebih memilih priori¬tas produktivitas ketimbang demokrasi (Mas'ud, 1989). Pilihan produktivitas mendorong pemerintah untuk penyelesaian masalah "bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi". Patokannya adalah nilai-nilai teknokratis seperti efisiensi, efektivitas, dan produktivitas sehingga diperlukan aktor "kuat".
Adapun prioritas demokrasi akan membuat pemerintah menekankan "bagaimana menciptakan hubungan pemerintah-masyarakat yang demokratis". Nilai-nilai yang didukung adalah persamaan dalam hubungan antarmanusia, hak-hak warga negara, dan tanggung jawab pejabat negara terhadap rakyat. Prestasi pemerintah diukur dengan seberapa jauh ia merealisasikan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) seperti persamaan, keadilan, mengutamakan warga negara, dan tanggung jawabnya. Aktor dalam tatanan seperti ini lebih meluas.
Dalam pemerintahan orde baru (1966-1998), kita lihat seman¬gat para birokrat adalah semangat teknokratis itu. Dan, analogi yang dikembangkan sering bersifat militeristik. Semangat aktor kuat harus diutamakan dan berkembang di berbagai bidang kehidupan: ekonomi, sosial dan politik. Karena itu, tidak mengherankan jika mahasiswa, yang selama ini diunggulkan sebagai aktor sentral, pada era orde baru mengalamai degradasi peran. Mereka lebih banyak menjadi spektator daripada aktor. Mahasiswa bukan lagi tokoh sentral yang secara langsung menyumbang peningkatan produktivitas, melainkan tokoh marginal yang hanya memiliki kekuatan periferal (Al-Ma’ruf, 1996).
Kondisi semacam itu memperlemah posisi mahasiswa. Padahal, jika dicermati sebenarnya mahasiswa mampu memimpin kelompok mereka sendiri. Optimisme itu beralasan jika kita menyaksikan aktivis mahasiswa yang banyak terlibat dalam kegiatan kemahasis¬waan atau kepemudaan, di kampus-kampus megah atau di kampung-kampung kumuh (Lihat, berdirinya ICMI tahun 1990 atas inisiatif beberapa aktivis mahasiswa, ini merupakan potret mengenai eksistensi mahasiswa), dan di kancah nasional (yang terakhir adalah gerakan reformasi yang mencuatkan M. Amien Rais sebagai lokomotifnya.

4. Paradigma Gerakan Mahasiswa Pasca-Reformasi: Pola dan Kecenderungannya
Dibanding pendahulunya, pola gerakan mahasiswa kini dan akan datang berbeda. Rasanya tidak adil jika perbedaan itu menyangkut soal kualitas, bahwa aktivitas mahasiswa dulu lebih hebat daripa¬da mahasiswa sekarang. Yang benar adalah gerakan mahasiswa kini berbeda paradigmanya dibanding dulu. Masalahnya sederhana saja, yakni "zaman akan melahirkan anak-anaknya" tersendiri, yang satu berbe¬da dengan "anak zaman" yang lain. Setiap zaman memiliki permasa¬lahan dan tantangan tersendiri dan harus dihadapi dengan pola gerakan yang lain pula.
Melihat konstelasi politik, sosial ekonomi, dan budaya, dan berbagai problema serta tantangan yang dihadapi pascareformasi, maka peran politik mahasiswa periode kini dan akan datang agaknya akan cenderung pada penekanan "penyadaran massa atau mobilisasi ide". Selanjutnya, ketika ide sudah tersosialisasi di kalangan massa sedangkan dialog sudah tak dapat mencapai tujuan, dan situasi kehidupan kebangsaan sudah carut-marut tak terkendali, maka ibarat "mangga sudah matang", gerakan politik mahasiswa akan menuju pada mobilisasi massa dengan aksi demonstrasi seperti gerakan reformasi 1998 lalu. Artinya, mahasiswa akan lebih mengintensif¬kan gerakan-gerakan penyadaran politik masyarakat melalui advokasi dan sosialisasi ide misalnya. Tepatnya, gerakan-gerakan penyadaran internal masyarakat yang kini lebih populer --meminjam istilah Amien Rais (1995)-- dengan istilah penyadaran Tauhid Sosial dalam arti luas, termasuk di dalamnya aspek politik. Proses penyadaran politik ini, demikian Kuntowi¬joyo (1994), sama fungsionalnya dengan mobilisasi massa. Jika pada periode ideologi dulu mobilisasi massa sangat penting, maka pada zaman ide atau ilmu ini --dengan era teknologi komunikasi dan informasi-- proses penyadaran sangat relevan. Namun demikian, dalam situasi mendesak (diperlukan) mobili¬sasi massa juga dapat dilakukan.
Peran mahasiswa dalam kehi¬dupan bangsa juga mengalami perubahan. Namun, pada dasarnya gerakan mahasiswa tetap bertumpu pada dua sumber daya pendorong bagi mahasiswa untuk melibatkan diri dalam proses politik, yakni ilmu pengetahuan dan idealisme yang lazimnya menjadi karakteristik mahasiswa. Kombinasi antara kebebasan struktural dengan pengetahuan dan penilaian terhadap politik serta kemasyarakatan yang tertuang di dalam ideologi, memungkinkan sikap mahasiswa untuk mempunyai sikap idealis tanpa harus terjebak dalam retorika bombastis.
Berpijak pada fenomena politik, sosial-ekonomi, hukum, dan masih adanya (sisa-sisa) euforia politik pascareformasi, maka pola gerakan politik mahasiswa kini dan mendatang –setidaknya sampai terjadi momentum politik nasional yang mendesak—mempunyai paradigma yang berbeda dengan pola sebelumnya. Pola gerakan mahasiswa itu antara lain: (1) Orientasi gerakan mahasiswa kini adalah pembentukan opini publik dan gugatan kepada penegakan dan pelaksanaan cita-cita reformasi (supremasi hukum, demokratisasi, dan pemerataan ekonomi); (2) Gugatan gerakan mahasiswa adalah gugatan politik konseptual terhadap sistem so¬sial, namun juga praktik politik penguasa; (3) Format aktivitas mahasiswa sebagai realisasi gerakan adalah aksi informasi berupa penyadaran publik sekaligus aksi massa atau gerakan politik praktis; (4) Organisasi gerakan mahasiswa bervariasi dari kelompok-kelompok periferal dengan metode mobilisasi ide dan persepsi politik hingga jaringan organisasi gerakan mahasiswa untuk mencapai tujuan perjuangan; (5) Kultur yang mendukung gerakan mahasiswa adalah suhu akademis tinggi yang ditopang oleh otonomi kampus yang netral/ bebas dari politik; dan (6) Perjuangan mahasiswa tidak lagi terfo¬kus pada gerakan elitis dengan menjadi kekuatan penekan yang mengontrol praktik-praktik politik penguasa melainkan lebih menyebar atau meluas dalam pelaksanaan cita-cita reformasi dalam kehidupan bangsa.
Adapun bentuk-bentuk gerakan mahasiswa itu sedikitnya meliputi: (1) Kelompok-kelompok studi/ forum kajian mahasiswa guna mengkaji berba¬gai masalah sosial-politik; (2) Terjun dalam organisasi ekstrauniversiter guna mensosialisasikan ide penyadaran politik kepada masyarakat sekaligus jika perlu memobilsasi massa dalam rangka mengkritisi keadaan; (3) Terjun dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam rangka pengembangan masyarakat, advokasi hukum, kontak langsung dengan masyarakat kelas bawah. Melalui Lembaga Swadaya Masyarakat /LSM (Non-Governence Organization) mahasiswa menjadi motivator, dinamisator, inspirator, komu-nikator, dan fasilitator masyarakat dengan mengoptimalkan segala potensi yang ada di dalamnya (dimensi populis) untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup, (4) Sosialisasi ide-ide dan pemikiran politik melalui media massa, baik elektronik maupun cetak, pers kampus dan pers umum. Setelah ide-ide politik tersosiali¬sasikan dan proses penyadaran politik berlangsung maka timbul "daya kritis" di kalangan masyarakat terhadap masalah-masalah di sepu¬tarnya. Hal ini relevan dengan era globalisasi dan abad informasi yang tengah berlangsung, (5) Pembentukan dan pelibatan diri dalam organisasi profesi yang bersandar pada disiplin ilmu tertentu dengan gerakan akademis. Organisasi profesi itu untuk melahirkan tenaga-tenaga profesional yang semakin diperlu¬kan dalam era pasar bebas yang serba kompetitif dan menjadi penyangga penting kebudayaan modern; dan (6) Bentuk-bentuk aktivitas lain yang be¬rorientasi pada mobilisasi ide atau penyadaran politik masyarakat (bdk. Ali Imron A.M., 1996). Jika ide-ide politik telah tersosia¬lisasikan dan telah mengkristal di dalam kehidupan masyarakat, maka pada gilirannya juga mengadakan mobilisasi massa guna mela¬kukan bargaining position dalam mengantisipasi masalah-masalah nasional yang dipandang krusial.
Strategi penyadaran politik itu ditekankan, berlandaskan suatu asumsi bahwa the idea has legs, ‘ide itu ada kakinya’. Menur¬ut Saidi (1991), setelah suatu ide dikomunikasikan, maka ide akan berjalan sendiri karena setelah itu akan mendapatkan "kaki". Akan tetapi "kaki" tidak datang begitu saja jika ide yang dilontarkan tidak komunikatif. Hal itu bergantung pada bagaimana ide itu dirumuskan, dan dengan cara bagaimana disampaikan. Proses perumu¬san ide merupakan "buah" dari kekuatan penalaran atau hasil kerja intelektual. Cara menyampaikan ide menuntut bakat dan ketrampilan dalam penguasaan teknik dan metode komunikasi, baik lisan maupun tertulis.
Sementara itu ada desakan dari dalam diri sendiri untuk memenuhi kewajiban mengaktualisasikan misi dan peran yang mesti diembannya atas harapan dan tuntutan masyarakatnya. Di sisi lain agaknya harapan dan tuntutan masyarakat itu tak dapat dipenuhi oleh beberapa sebab, antara lain: (1) Harapan dan tuntutan ma¬syarakat atas misi dan peran yang harus dijalankan mahasiswa itu kemungkinan tidak sesuai dengan siatuasi sekarang, (2) Mahasiswa belum menemukan visi dan program ideal untuk mengaktualisasikan dan memanfaatkan moral force yang dimilikinya, dan (3) Mahasiswa tidak memiliki "peluang" untuk mendayagunakan kekuatan moral yang dimilikinya dalam mendukung program-program yang berakar dari Tri Dharma PT. Akibatnya, sebagian mahasiswa mengadakan aktivitas khas anak muda, yang oleh sebagian pengamat dipandang "keluar" dari misi yang mesti diembannya, seperti pentas musik rock, jazz, lomba ratu dance, break dance, ratu (kecantikan) kampus, dan budaya pop lainnya.

5. Jaringan Ormawa Menuju Pencerahan
Memperhatikan tantangan dan fenomena zaman demikian, maka diperlukan rekonstruksi ormawa yang lebih antisipatif. Salah satu kelemahan –jika boleh disebut demikian—yang membuat kurang dinamisnya gerakan mahasiswa yang dimotori para aktivis itu antara lain adalah lemahnya SDM. Dalam arti mereka kebanyakan miskin konsep, menurunnya idealisme karena situasi dan tak jelasnya prospek, dan kurang matang dalam menjalankan aksi gerakannya. Hal ini mungkin disebabkan oleh fenomena elitisme organisasi ekstrauniversiter yang kini seolah-olah menunjukkan eksistensinya di kampus dalam melahirkan kader-kader terbaiknya untuk berkiprah dan mendominasi gerakan mahasiswa baik di kampus maupun di masyarakat. Bahkan, ada fenomena seorang aktivis di tingkat universitas terkadang tidak mengalami strata kepemimpinan berjenjang dari bawah ke atas.
Satu pertanyaan yang menggoda adalah mengapa gerakan mahasiswa dulu dari kampus ke kampus dapat demikian kompak? Antara lain karena para aktivis itu memiliki jaringan organisasi di luar organisasi intrauniversiter, misalnya: HMI, IMM, PMII, GMNI, GMKI, GMKI, PMKRI, dan lain-lain. Yang pasti, rasanya tidak mungkin seorang tokoh aktivis yang memimpin ormawa bukan kader organisasi ekstrauniversiter tertentu. Di sinilah letaknya mahasiswa belajar memimpin sekaligus belajar berpolitik, memobilisasi massa dalam pemilihan yang berbasis pada para anggota organisasi ekstrauniversiter tersebut.
Jika mencermati perjalanan ormawa di UMS selama ini, tampaknya belum terdapat struktur dan mekanisme ormawa yang ideal. Sebagai ilustrasi, DPM atau BEM yang dipilih langsung melalui pemilu raya, ternyata mahasiswa terlibat memberikan suara amat minim (maksimal 18% tahun 2000, setelah itu makin menurun?). Artinya, apakah hasil pemilu mahasiswa itu cukup representatif? Akan tetapi jika pembentukan DPM dan BEM tidak melalui pemilu, agaknya juga kurang mencerminkan demokrasi dan tidak memberikan kesempatan belajar berpolitik kepada mahasiswa. Karena itu, ada baiknya kita meninjau kembali sistem pembentukan DPM dan BEM di PT agar lebih prospektif.
Selanjutnya mengenai struktur ormawanya, juga perlu direkonstruksi. Secara objektif, apakah penggunaan istilah presiden mahasiswa dan menteri-menteri itu sudah tepatkah atau cukup menarik perhatian mahasiswakah? Jangan-jangan penggunaan istilah yang mentereng dan keren itu justru merupakan ketidakmenarikan ormawa, karena dipandang bernuansa arogan atau elitis misalnya? Apakah tidak lebih baik kita menggunakan istilah-istilah yang lebih tawadhu’ yang lazim dalam dunia akademik seperti ketua, koordinator, bidang, dan sebagainya yang terkesan lebih populis. Apalah artinya sebuah nama, kata orang. Artinya, kita lebih mengutamakan substansi/ isi atau formalitas/ kulitnya? Mungkin dengan menggunakan istilah-istilah yang lebih akademis dan egaliter-populis akan lebih menarik simpati mayoritas mahasiswa sehingga pada gilirannya mereka akan lebih terlibat aktif dalam berbagai program kegiatan yang diselenggarakan ormawa, termasuk pemilu raya mahasiswa.
Optimalisasi fungsi jaringan antar-ormawa baik ormawa intrauniversiter maupun ekstrauniversiter tampaknya kini menjadi alternatif yang penting. Jaringan antar-ormawa yang ada di tingkat lokal, regional, dan nasional tersebut dapat berperan menjadi media komunikasi, sosialisasi, dan sinkronisasi ide gerakan dalam menghadapi berbagai persoalan kebangsaan. Bahkan, pada saat-saat mendesak misalnya menghadapi masalah krusial jaringan tersebut dapat dimanfaatkan untuk koordinasi dan mobilisasi massa dari berbagai kampus dan elemen ormawa.
Dalam pelaksanaannya, jaringan ormawa tentunya harus memiliki agenda pertemuan yang rutin untuk membahas perkembangan situasi dan konstelasi social politik nasional. Dengan demikian, jaringan ormawa tersebut benar-benar fungsional dalam membawa panji-panji perjuangan mahasiswa yang hingga saat ini masih ditunggu oleh kalangan masyarakat. Sebab, melihat fenomena politik yang berkembang, agaknya tinggal elemen mahasiswa dan akademisilah yang mendapat kepercayaan publik di Indonesia. Elemen yang lain sudah tercemar oleh perilakunya yang kurang simpatik dalam sejarah perjuangan bangsa ini (misalnya: LSM dulu dikenal bagus ketika masih murni; akhir-akhir ini dikenal adanya LSM hijau dan merah).

6. Purna Wacana
Kapan pun dan di mana pun mahasiswa memiliki peran monumen¬tal dalam mendorong adanya perubahan kehidupan bangsanya. Untuk merealisasikan hal itu, mau tak mau, mahasiswa mesti me¬ningkatkan kualitas intelektual, kapasitas keilmuan, dan memper¬luas wawasannya serta kemampuan kepemimpinan dan manajemen.
Model gerakan mahasiswa dalam merespons ketimpangan sosial dan pelaksanaan cita-cita reformasi, masih cenderung pada prinsip kombina¬si antara penyadaran politik masyarakat dan mobilisasi massa guna melakukan pressure terhadap penguasa. Struktur dan strategi ormawa yang ideal akan menentukan gerak langkah perjuangan idealisme berikutnya. Sebab, tanpa dukungan mahasiswa pada umumnya, apalah artinya sebuah program kegiatan yang dirancang dan diselenggarakan oleh aktivis/ ormawa?
Di sisi lain mahasiswa juga dapat mendirikan dan terlibat secara intentif dalam kelompok-kelompok studi, kajian buku, Lembaga Swadaya Masyara¬kat, media masssa, organisasi mahasiswa dan organisasi kader, organisasi profesi, dan sebagainya untuk mengkritisi keadaan.
Mahasiswa menyimpan potensi moral force dan kewibawaan intelektual. Maha-siswa dapat berperan sebagai agen perubahan sosial sekaligus kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat bangsanya dengan stra¬tegi dan pola gerakan yang memiliki trade merk tersendiri. Binal, nakal (baca: kritis), rasional, kritis, romantis, dan berani memang identik dengan mahasiswa sehingga terkadang "dianggap" keluar dari etika oleh kalangan orang tua.
Kini pertanyaannya adalah apakah berbagai problema kehidupan dan tantangan yang makin kompleks yang dihadapi mahasiswa kini dan pada masa depan masih menarik mahasiswa melibatkan diri dalam gerakan politik mahasiswa? Mampukah gera-kan mahasiswa dengan penyadaran politik mahasiswa dan mobilisasi massa dapat menciptakan iklim akademik yang kondusif di kampus, dan yang terpenting mampukah mendorong terciptanya iklim politik yang kondusif dalam kehidupan kebangsaan untuk menuju terwujudnya masyarakat madani (sivil society) dalam Indonesia baru?
Semua itu terpulang pada kiprah dan idealisme mahasiswa. Ungkapan Blessing in disguise, unanticipated consequences, and one way sequences that work in reverse patut pula kita renungkan. Sebab, dalam menghadapi realitas, terkadang kita menemukan hal-hal di luar dugaan. ***)

Daftar Pustaka:

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 1996. "Mencari Paradigma Baru Politik Mahasiswa" dalam SKH
Pelita Edisi Tanggal 25 Januari 1996.

Kuntowijoyo. 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin
Press dan Pustaka Pelajar.

Huntington, P. Samuel. 1968. Political Ordern Changing Society. Yale: Yale University
Press.

Liddle, R. William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik (Terj.
Nung Katjasungkana). Jakarta: LP3ES.
Mas'ud, Mochtar. 1989. "Pengaturan Politik bagi Gerakan Pemuda". Makalah dalam
Seminar Nasional Pembangunan Politik Pemuda, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Rahardja, M. Dawam dalam J.A., Denny. 1990. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum
Muda Era 80-an. Jakarta: Miswar.
Saidi, Ridwan. 1991. Mahasiswa dan Lingkaran Politik. Jakarta: Lembaga Pers
Mahasiswa Mapussy Indonesia.
_____________________
*) Digelar dalam Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Madya (LKMM TM) yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UMS tanggal 11-13 Mei 2006 di Wisma Haji Surakarta.


Fajar Indah Surakarta A-37
09 Mei 2006

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar