Rabu, 27 April 2011

AKTUALISASI FILM SASTRA SEBAGAI MEDIA

AKTUALISASI FILM SASTRA SEBAGAI MEDIA
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
(Dimuat dalam Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Oleh
Ali Imron A.M.

ABSTRAK

Akhir-akhir ini kita jarang dapat menikmati film nasional –dan sinema lainnya-- yang mampu menyuguhkan sesuatu yang khas Indonesia, yang membuka pemikiran dan memberikan makna berharga bagi kehidupan manusia.Di sisi lain minat baca karya sastra di masyarakat masih minim, artinya masih terbatas kalangan menengah ke atas. Perlu digagas untuk menciptakan film sastra yang merupakan film yang diangkat dari karya sastra literer, yang memiliki keharmonisan antara metode/ bentuk penceritaan dan ide/ persoalan yang dikandungnya. Film sastra dapat mempresentasikan kesaksian tentang kehidupan sosial dan kehidupan budaya pada zamannya. Ia juga akan dapat mengembangkan rasa empati dan toleransi, mampu membuat penontonnya mengenal dirinya sendiri melalui tokoh-tokohnya. Pendeknya, film sastra dapat menjadi alternatif cultural engineering dalam pembangunan bangsa. Sebab, sebagai media massa, film sastra akan dapat memerankan fungsi: (1) memberi informasi, (2) mendidik, (3) menghibur, (4) mempengaruhi, (5) membimbing, dan (6) mengeritik. Aspek kemanfaatan film sastra yang mampu menawarkan nilai-nilai kehidupan, menyampaikan pendidikan multikultural tanpa menggurui, dengan daya pikatnya yang menghibur dan enak ditonton, itulah kekuatan film sastra.

Kata kunci: Film sastra; media massa, pendidikan multikultural, mendidik sekaligus
menghibur; pembangunan budaya.

1. Prawacana
“Film suatu bangsa mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya.” (Kracauer, 1974). Pendapat Kracauer itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama, film adalah karya bersama (kolektif). Artinya, dalam proses pembuatan film, sutradara memang memimpin suatu kelompok yang terdiri atas berbagai seniman dan teknisi. Namun, dalam proses kerja, sutradara tidak dapat menghindar dari mengakomodasikan sumbangan pendapat dari berbagai pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak. Karena memperhitungkan selera sebanyak mungkin itulah maka film tidak dapat jauh beranjak dari masyarakat penontonnya. Sulit rasanya membayangkan seorang pemilik modal berminat mengeluarkan dana untuk memproduksi film dengan sutradara dan pemain-pemain yang bagaimanapun hebatnya yang secara logika teoretis tidak akan diminati khalayak penonton atau masyarakat.
Sementara itu, budaya sinema Indonesia --tidak sama dengan masa dimulainya pembuatan dan pemutaran film di bioskup dan penayangan sinetron di televisi-- belum menjadi bagian sistem budaya Indonesia, melainkan masih tumbuh sebagai permasalahan di kalangan insan perfilman Indonesia termasuk instansi resmi pemerintah sebagai pembina formal yakni Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan (sejak 1999 di bawah Departemen Perhubungan). Karena itu, wajar jika sinema –termasuk di dalamnya film, sinetron, telenovela, atau apa pun namanya-- selama ini hanya berpredikat sebagai sarana hiburan saja. Padahal sebenarnya sinema dapat dikembangkan menjadi sarana kultural yang serba guna. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa sinema Indonesia kini 'ditinggalkan' oleh masyarakat penontonnya..
Sebagai tontonan, kebanyakan sinema kita --kecuali beberapa sinema seperti Tjut Nja’ Dhien karya Eros Djarot, Langitku Rumahku karya Slamet Raharjo, Taksi karya Teguh Karya, Kejarlah Daku Kau Kutangkap karya Chairul Umam, Daun di Atas Bantal karya Garin Nugraha, Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto, Si Doel Anak Sekolahan karya Rano Karno (diilhami oleh cerita novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt. Madjoindo), Pengemis dan Tukang Becak, Pasir Berbisik, Tiga Orang Perempuan, dan beberapa film/ sinetron yang lain-- telah kehilangan daya atraktif dan teatrikalnya. Sedangkan sebagai sarana komunikasi kultural sinema akiata tidak mampu menawarkan persoalan-persoalan yang inovatif, yang khas Indonesia, dan yang sesuai dengan mainstream masyarakat Indonesia yang cita rasanya terus meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan/ intelektualitasnya pada era global.
Banyak fenomena yang memprihatinkan berkaitan dengan film sebagai media pendidikan budaya. Membanjirnya film-film asing --baik di bioskup maupun persewaan VCD yang mewabah sebagai konsekuensi berlangsungnya era global-- yang notabene sering bertentangan dengan nilai budaya bangsa, kemudian miskinnya perfilman nasional yang memiliki nilai edukatif kultural, terlebih film untuk anak-anak (terakhir baru film Petualangan Sherina (2000) dan Yoshua Oh Yoshua (2000), merupakan realitas memprihatinkan yang sekaligus mencerminkan keterpurukan perfilman nasional. Sementara itu televisi swasta di Indonesia kini sudah semakin banyak di samping TVRI sehingga televisi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tak terhindarkan. Karena itu, gagasan untuk revitalisasi film sebagai media pengembangan nilai edukatif kultural kiranya patut kita cuatkan ke permukaan.
Harus diakui, bahwa selama ini pembinaan sinema Indonesia dilakukan di bawah slogan-slogan yang mentereng hebat. Sinema kita juga dilindungi oleh kebijakan birokrasi yang cukup ketat paling tidak selama pemerintahan Orde Baru (dekade 1970-an hingga akhir dekade 1990-an). Namun demikian, fungsi sinema Indonesia tidak dapat ditegakkan secara kultural.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 pasal 2, 3, dan 4 jelas menyatakan tentang Dasar, Arah, dan Tujuan (Bab III) Perfilman Nasional. Secara normatif, penyelenggaraan, pembinaan, dan pengembangan budaya sinema Indonesia lebih ditekankan pada nilai-nilai budaya bangsa daripada nilai ekonomi. UU No. 8/ 1992 tersebut merupakan undang-undang perfilman pertama yang dibuat melalui proses demokratis. Hal ini menunjukkan adanya kehendak politik (political will) bangsa Indonesia dalam membangun budaya sinema Indonesia.
Di sisi lain minat membaca karya sastra di kalangan masyarakat Indonesia hingga kini masih minim. Lebih-lebih pada zaman global yang penuh kompetisi dalam segala bidang dan kehidupan serasa berjalan sangat cepat serta kemajuan teknologi elektronik yang memanjakan masyarakat dengan berbagai media massa elektronik dan produk teknologi komunikasi yang memberikan informasi dan hiburan murah seperti radio, tape recorder, televisi, video, VCD/ DVD, telepon seluler (hand phone), komputer, dan internet, maka minat dan kesempatan membaca karya sastra agaknya semakin memprihatinkan. Dalam arti tidak banyak masyarakat Indonesia yang suka membaca karya sastra. Jika ada itu pun terbatas pada kaum terpelajar atau kalangan intelektual tertentu dan ibu-ibu muda yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang memadai. Karya sastra literer misalnya kebanyakan pembacanya adalah komunitas sastra yang pada umumnya adalah para pecandu sastra yang berlatar belakang sastra seperti mahasiswa dan dosen Fakultas Sastra atau FKIP Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra dan dipersempit lagi Bahasa dan Sastra Indonesia, dan sebagian lagi adalah kalangan intelektual atau terpelajar tertentu yang memiliki kegemaran membaca karya sastra yang jumlahnya relatif sedikit. Adapun karya sastra populer (dalam pembagian genre sastra menurut Jakob Sumardjo, 1979) pembacanya kebanyakan adalah kaum muda bahkan sebagian remaja belia (Anak Baru Gedhe/ ABG) dan ibu-ibu muda yang status sosial ekonominya relatif tinggi. Jadi, pembaca karya sastra kita sebagian besar adalah masyarakat kota kelas menengah ke atas yang terpelajar dan memiliki kesempatan serta dana untuk membeli karya sastra atau menyewa di tempat persewaan buku.
Keadaan tersebut terungkap dalam berbagai diskusi dan seminar sastra di samping dapat dilihat dari minimnya jumlah pembelian karya sastra di toko-toko buku dan sedikitnya cetak ulang karya sastra. Tentu saja ada pengecualian dalam hal ini untuk beberapa karya sastra fenomenal terutama novel seperti Pariyem Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi A.G. (1981), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari (1983), Merahnya Merah karya Iwan Simatupang (1968), Khutbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo (1976), Detik-detik Cinta Menyentuh karya Ali Shahab (1981), Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya (1981), Sri Sumarah dan Bawuk serta Para Priyayi karya Umar Kayam (1975; 1992), Hati yang Damai (N.H. Dini, 1971), Royan Revolusi (Ramadhan K.H., 1970), Saman karya Ayu Utami (1998), Supernova karya Dewi (2001). Di jajaran novel-novel populer mencuatlah Bukan Impian Semusim karya Marga T. (1966), Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar (1974), Terminal Cinta Terakhir karya Ashadi Siregar, (1975), Cowok Komersil karya Deddy D. Iskandar (1977), Catatan Si Boy, Lupus, dan lain-lain, lalu pada genre cerita pendek adalah kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis (1967), Godlob dan Adam Ma’rifat karya Danarto (1974; 1982), dan lain-lain. Karya-karya sastra tersebut mengalami cetak ulang beberapa kali.
Berpijak pada pemikiran dan realitas di atas, dikaitkan dengan keterpurukan perfilman nasional Indonesia yang seolah-olah “hidup segan mati tak mau”, kiranya sudah saatnya kita memikirkan pemberdayaan film sastra sebagai media pengembangan nilai edukatif kultural yang strategis, baik di institusi pendidikan (sekolah, kampus) maupun di masyarakat pada umumnya tanpa harus mengguri dan mengindoktriniasi mereka. Permasalahannya adalah seberapa jauh film nasional telah melakukan fungsi edukatif kultural itu; dan bagaimana peran kalangan sastrawan dan pendidik bekerja sama dengan para sineas dalam revitalisasi film nasional untuk mengembangkan nilai-nilai kultural.

2. Media Massa Film
Sebagaimana karya sastra yang memiliki fungsi berguna dan menghibur (dulce and utile), film merupakan karya artistik. Namun film juga merupakan karya sintetik (perpaduan berbagai cabang seni) dan karya kolektif. Film melibatkan para seniman dari berbagai cabang kesenian, seperti; seni rupa, seni desain, seni musik, seni peran (acting), seni sastra, seni tari, dan lain-lain, di samping melibatkan para ahli teknologi seperti; ahli elektronik, kamera, komputer, dan teknologi canggih lainnya dalam menampilkan adegan-adegan action dan adegan atraktif lainnya dengan trik-trik yang menawan. Karena itu kiranya tidak berlebihan jika film dan jenis sinema lainnya dikatakan sebagai media artistik yang paling kompleks.
Media massa, --termasuk film dan jenis sinema lainnya memiliki tiga fungsi utama yakni; (1) memberi informasi (to inform), (2) mendidik (to educate), dan (3) menghibur (to entertain). Di samping itu, ada tiga fungsi lain media massa yakni: (4) mempengaruhi (to influence), membimbing (to guide), dan mengeritik (to criticise) (lihat Effendi, 1986). Melihat keenam fungsi film tersebut, alangkah baiknya jika kita dapat memanfaatkannya sebagai media pendidikan kultural bagi kaum terpelajar ataupun masyarakat pada umumnya. Sebab, dengan daya artistik dan kecanggihan teknologinya, film tidak saja memberi penonton hiburan melainkan juga memberi informasi sekaligus mendidik secara persuasif. Sehingga, seperti halnya karya sastra, tanpa memaksa tau sebaliknya memanjakan, film mengajak para pentonton memperoleh pendidikan kultural tanpa harus menggurui.
Seperti halnya karya sastra, film pada hakikatnya menyangkut dua jenis ungkapan sosial-budaya (Soebadio, 1993). Di satu sisi film memberikan kesaksian tentang keadaan masyarakat (kehidupan sosial) pada zamannya dan di sisi lain film juga memberikan kesaksian akan pikiran dan perasaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (kehidupan budaya). Dalam hal ini, film memberikan kesaksiaannya melalui gambar. bahkan, dulu film sering disebut sebagai gambar hidup. Dengan kata lain, film menggunakan cara visual untuk mengungkapkan kehidupan sosial-budaya masyarakat.
Selanjutnya, landasan bagi ungkapan sosial-budaya tersebut adalah keadaan kehidupan sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan. Artinya, keadaan suatu masyarakat tertentu, dalam wilayah dan kurun waktu tertentu, mempengaruhi sifat ungkapan yang diutarakan. Dengan kata lain, dalam memberikan penilaian atas isinya, perlu diperhatikan keadaan sosial-budaya masyaakat bersangkutan. Implikasinya, bahwa isi film yang dihadapi pada suatu saat tertentu tidak dapat dinilai terlepas dari jenis masyarakat yang berkaitan. Hal itu menyangkut pula perhatian terhadap tingkatan masyarakat dalam pendidikan.
Film merupakan media modern dan baru berkembang pada abad XX, sehingga budaya sinema pun belum berkembang dalam kehidupan masyarakat kita. Artinya, persoalan film atau sinema pada umumnya masih menjadi persoalan kalangan terbatas yakni para insan perfilman (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, diperlukan sikap lain dalam menilai dan memahaminya. Film menggunakan media audiovisual. Ini berarti, film dapat dilihat dan dinikmati oleh siapa saja, termasuk mereka yang berpendidikan rendah, belum dapat membaca dan menulis, bahkan mereka yang belum dapat membaca dan menulis. Akibatnya, dampak film dan karya sinema lainnya jauh lebih luas dan jika ada dampak negatifnya lebih mengkhawatirkan daripada sastra (Imron A.M., 1993). Karena itu, dibentuklah Badan Sensor Film di Indonesia (kini Lembaga Sensor Film) untuk menyensor adegan-adegan yang dipandang tidak mendidik. Jika kita melihat film dan kemungkinan disensor karena alasan pendidikan, maka sekali lagi perlu diperhitungkan tingkatan kependidikan dan keberadaban masyarakat penonton ataupun kreativitas kalangan sineas.

3. Asas Edukatif Kultural Film
'For us, the most importance of all art, is cinema', kata Vladimir Ilyich Lenin (dalam Sumardjono, 1993). Pernyataannnya itu dilandasai oleh pengertian bahwa sinema dapat berfungsi sebagai guru sekaligus propagandis. Di Indonesia, pencanangan fungsi edukatif kultural sinema ini dimulai pada zaman Ali Murtopo ketika menjadi Menteri Penerangan RI (Sumardjono, 1993). Saat itu pemahaman mengenai asas kultural edukatif sangat sempit. Seolah-olah asas itu hanya dasar pembinaan produksi film Indonesia, sedangkan sektor perfilman lainnya tetap pada asas ekonomi yang komersial. Menghadapi situasi yang kontroversial demikian para produser film mengeluh bahwa asas kultural edukatif itu membuat film Indonesia sulit dipasarkan. Sayang sekali bahwa “ruh” kebijakan Menpen Ali Murtopo tersebut tidak dijabarkan lebih jauh sehingga asas kebijakan pembinaan film berdimensi eduaktif kultural yang begitu luhur tidak mencapai tujuan esensinya.
Fungsi sinema sebagai sarana edukatif kultural hanyalah salah satu fungsi kultural sinema Indonesia. Namun dalam ruang lingkup kebijakan mencerdaskan kehidupan bangsa, sinema sebagai sarana edukatif kultural tampaknya perlu kita kaji lebih mendalam. Sebab, sinema sebagai salah satu media massa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan wawasan dan pembentukan persepsi masyarakat sehingga pada gilirannya akan dapat berpengaruh pada perilaku mereka. Hal ini dimungkinkan mengingat “khutbah-khutbahnya lebih sering didengar mereka ketimbang khutbah para kyai di masjid atau pendeta di gereja, sebab langsung masuk di kamar-kamar rumah di berbagai pelosok (lihat Rachmat, 1992). Pesan-pesan film yang ditayangkan media elektronik sering lebih didengar daripada para khutbah para kyai di masjid atau pendeta di gereja.
Film sastra agaknya dapat menjadi alternatif dalam menginternalisasikan nilai-nilai edukatif kultural dalam kehidupan masyarakat tanpa harus berkhutbah. Inilah kekuatan film sastra: menghibur sekaligus menawarkan alternatif nilai-nilai untuk memperkaya khazanah batin manusia.

4. Film Sastra sebagai Sarana Presentasi Nilai Humaniora
Film sastra yang dimaksud dalam konteks ini adalah film atau jenis sinema yang lain seperti film bioskup, film televisi (FTV), sinetron, dan telenovela—yang dibuat berdasarkan karya sastra sehingga film itu memiliki bobot literer. Sebagai sinema yang memiliki bobot literer maka sinema itu paling tidak memiliki keharmonisan antara hakikat. dan metodenya, atau antara bentuk dan isinya. Dari segi hakikat/ isi berarti aspek cerita yang terjalin dalam alur kisah memiliki makna yang berguna bagi kehidupan manusia dalam hal ini mampu memperkaya khazanah batin manusia dengan menawarkan alternatif nilai kultural. Adapun dari segi metode/ bentuk menyangkut bagaimana cara mempresentasikan makna kehidupan yang berupa mosaik-mosaik dan serpihan-serpihan yang digali dari dunia auniversal aitu kepada khalayak penonton tanpa harus memaksa dengan doktrin atau dogmatis terlebih bersifat menggurui. Dengan kata lain, sinema tersebut memiliki nilai-nilai humaniora yang tinggi sekaligus enak ditonton karena memiliki daya artistik.
Jadi, jika setiap hari kita disuguhi telenovela atau jenis sinema lain yang didatangkan dari negara Amerika Latin yang kadang-kadang budayanya sering bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia, mengapa kita tidak memproduksi sendiri film sastra yang dapat dipakai untuk mempresentasikan nilai-nilai edukatif kultural. Padahal kita menyadari betapa besar pengaruh produk teknologi komunikasi elektronik itu bagi masyarakat dalam membentuk image, persepsi, sikap, dan pada gilirannya juga perilaku.
Pengaruh budaya asing terhadap budaya nasional bukan lagi sekedar bersifat penetrasi, melainkan akan membanjir dalam kehidupan masyarakat karena kini pintu terbuka lebar dan arus informasi tidak mungkin dibendung dengan upaya politik sekalipun. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi dan mencuatnya era cyberspace yang memungkinkan manusia melihat dunia cukup melalui media elektronik khususnya internet sehingga arus informasi kultural dari seluruh dunia akan melanda bangsa kita. Untuk mengantisipasi hal itu, membangun bangsa Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, maka pendidikan dan pelajaran Humaniora (Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan/ atau Kebudayaan) terasa sangat urgen dan aktual.
Salah satu cara terbaik --jika bukan satu-satunya-- sebagai peredam untuk menanggulangi dampak negatif arus globalisasi terhadap keluhuran budaya bangsa Indonesia agaknya adalah kepercayaan atas diri sendiri akan kebenaran falsafah hidup bangsa yang sarat dengan nilai moral relegius. Sesuai dengan keyakinan itu, maka aktualisasi nilai-nilai Humaniora termasuk budi pekerti melalui sinema menjadi teramat penting.
Selama ini pelajaran Pancasila atau PPKn --dan kini Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi “dititipi” untuk pendidikan budi pekerti – di sekolah dan mata kuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD) yang menjadi sarana pendidikan Humaniora di sekolah-sekolah lebih bersifat indoktrinatif bahkan sering cenderung dogmatik. Padahal nilai-nilai Humaniora yang merupakan nilai fundamental untuk mencapai cita-cita luhur itu seyogyanya dilakukan secara persuasif, manusiawi, dan kultural. Untuk itu, film sastra dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam melakukan pendidikan yang berdimensi kognetif, afektif, dan psikomotorik itu agar lebih efektif. Melalui film sastra yang menggunakan bahasa visual sinematik, pesan-pesan edukatif kultural dapat disampaikan dengan lebih gambaran yang konkrit.
Nilai-nilai humaniora yang disampaikan dengan media sinema niscaya akan mampu menampilkan keterpaduan manusia (karakter), ruang, dan waktu dalam aneka ragam peristiwa kehidupan sebagai pencerminan pengalaman dan manusia mencapai kesempurnaan seperti terlihat dalam perkembangan budaya dan peradabannya. Pendeknya, menyaksikan manusia menghadapi berbagai problema dan dialektika kehidupan yang dinamis dan tak mengenal kelemahan individual adalah contoh pendidikan dengan pendekatan kognetif. Penampilan Humaniora melalui teknologi komunikasi dapat dibuat dengan dimensi dramatik dan estetik yang memikat melalui sinema dan dapat bermanfaat sebagai metode afektif yang efektif, bahkan aspek psikomotorik dapat pula terangkum dalam satu langkah.
Sebagai ilustrasi, sampai saat ini sudah ada beberapa karya sastra khususnya novel yang difilmkan dan sempat mendapat sambutan positif dari masyarakat di samping cukup sukses dari aspek bisnis hiburan. Beberapa novel yang pernah difilmkan tersebut antara lain Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt. Madjoindo (1970-an yang kemudian mengilhami lahirnya mega sinetron Si Doel Anak Sekolahan garapan Rano Karno (1993) yang mendapat sambutan luar biasa dari khalayak penonton dan dari segi bisnis hiburan pun sukses luar biasa), Kadarwati Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana dan Kabut Sutra Ungu karya Ike Supomo (1980-an). Dari genre novel populer pernah difilmkan juga Cintaku di Kampus Biru (1975), Terminal Cinta Terakhir (1979), Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar (1970-an), Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira (1970-an), Ali Topan (Turun Jalanan) karya Teguh Esha (1980-an), Detik-detik Cinta Menyentuh karya Ali Shahab (1986). Demikian pula dari roman lama ada Sitti Nurbaya (1990), Sengsara Membawa Nikmat (1991), Salah Asuhan (1987), dan masih banyak lagi yang lain. Dari karya-karya masterpeace atau mahakarya yang pernah difilmkan antara lain Mahabharata dan Ramayana, keduanya epos dari India yang sukses mendapat sambutan antusias di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Sayang, sejalan dengan situasi nasional di Indonesia dengan datangnya krisis politik dan ekonomi, maka kini hampir tidak ada lagi sinema yang mengangkat karya sastra atau film sastra. Yang dominan sekarang dalam tayangan televisi --mungkin juga di bioskup, jika masih ada-- adalah karya sinema yang sekadar banyak digandrungi penonton (berdasarkan pantauan Survey Research Indonesia) yang --berdasarkan realitas-- memang diminati banyak advertiser. Jadi, kecenderungan kriterianya adalah laku: laku ditonton dan laku dipasangi iklan (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, sudah asaatnya diciptakan film sastra yang dapat menjadi media sosialisasi dan internalisasi nilai edukatif kultural dalam kehidupan masyarakat yang haus tontonan. Sekaligus akan dapat menjembatani antara kelangkaan dan minimnya minat membaca sastra masyarakat dengan upaya apresiasi sastra di kalangan masyarakat.
Mengapa film sastra ini perlu dilahirkan? Ada beberapa alasan yang mendukung gagasan ini. Pengembangan film sastra sebagai salah satu cultural engineering masyarakat (meminjam istilah Kuntowijoyo, 1987) berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat. Kemampuan memupuk dan mengembangkan rasa empati, toleransi, dan membuat penilaian etis –yang dapat diperoleh antara lain melalui penikmatan film sastra-- merupakan modal penting yang sama sekali tidak dapat diabaikan dalam pembangunan bangsa (nation building).
Realitas menunjukkan bahwa pembangunan bangsa telah melahirkan pula sejumlah persoalan seperti perubahan nilai dan pilihan nilai. Sebagian persoalan ini timbul akibat terputusnya gaya hidup tertentu untuk digantikkan dengan gaya hidup baru yang sama sekali berbeda karakternya –sebuah diskontinuitas yang merupakan pelengkap yang nyaris tak terhindarkan dalam pembangunan--. dapun sebagian masalah lain muncul sebagai efek dari ketimpangan yang makin meningkat antarberbagai golongan masyarakat. Timbullah semacam rasa kecemburuan sosial yang telah tersebar cukup luas bahwa pembangunan telah ,mendorong banyak manusia melampiaskan sifat-sifat negatifnya, termasuk ketamakan dan keserakahannya. Dalam konteks inilah film sastra dapat menjadi alternatif dalam mempresentasikan nilai-nilai edukatif kultural kepada masyarakat sambil memberikan hiburan untuk penyegaran kembali (refreshing) bagi fisik dan mental yang lelah sebagaimana fungsi karya sastra pada umumnya.
Di sisi lain, kita sedang menuju suatu masda depan yang tidak dapat diramalkan (unpredictable). Kita harus mampu menghadapinya tanpa harus kehilangan arah tau bahkan menjadi teralienasi, tanpa kehilangan rasa sopan santun kita, identitas kita, rasionalitas kita, dan sumber-sumber inspirasi kita. Dalam konteks inilah, seperti dinyatakan Bennet (dalam Moglen, 1984), agaknya film sastra –sebagai salah satu upaya pengembangan Ilmu-ilmu Humaniora-- dapat membantu kita dalam penyusunan kerangka imajinatif untuk tindakan kita.
Permasalahannya kini adalah genre sastra yang bagaimana yang layak untuk difilmkan. Memang tidak semua karya sastra dapat diangkat menjadi film. Dalam hal ini yang relatif mudah untuk diangkat ke dalam sinema adalah genre novel, itu pun yang memenuhi kriteria tertentu. Sejalan dengan pemikiran pada awal bab ini tentang film sastra, maka novel yang selayaknya difilmkan adalah novel literer. Sebab, novel literer memiliki keharmonisan antara bentuk atau metode penceritaannya dan isi atau hakikat persoalan yang dikemukakan. Atau, secara semiotik mengandung makna yang dalam kehidupan bagi manusia dan bermanfaat untuk memperkaya khasanah batinnya, baik dimensi kemanusiaan, kasih sayang, relegiusitas, sosial, sejarah, politik, maupun nasionalisme. Bagaimana dengan novel populer? Sebenarnya novel-novel populer pun sah-sah saja difilmkan. Hanya saja dari asas manfaat relatif kurang bermakna bagi kehidupan masyarakat, kecuali sekadar berorientasi hiburan dan bisnis. Dan, ini pula yang selama ini mendorong para produser atau pemilik modal untuk melayarperakkan atau mensinetronkannya.
Sebagai contoh, novel-novel literer semacam Para Priyayi karya Umar Kayam (1992), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari (1983), Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya (Telegram karya Putuwijaya, Dan Senja pun Turun karya Nasjah Djamin (1981), Gaun Hitam Seorang Hostess karya Ali Shahab (1977), Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. (1976), Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis (1975), Sang Guru karya Gerson Poyk (1973), Kemarau karya A.A. Navis (1969). Dari angkatan 1945 layak difilmkan misalnya Atheis karya Achdiat Kartamihardja.
Tentu masih banyak lagi novel yang dapat difilmkan yang tidak dapat disebut satu persatu. Dalam pelaksnaannya, judul novel terkadang diadaptasi sedemikian rupa agar dari segi sinamatografi memungkinkan, juga agar lebih memiliki daya pikat bagi khalayak penonton atau lebih marketable dari kacamata bisnis hiburan. Yang pasti, untuk memfilmkan novel diperlukan kerja sama secara sinergis antara sastrawan, lalu jika perlu pendidik, dan sineas/ insan perfilman yang menguasai sinematografi, dan tentu saja produser/penyandang dana yang dapat berupa perorangan ataupun instritusi misalnya Perusahaan Film Nasional (PFN), atau Departemen Pendidikan Nasional.
Ketika kita menyaksikan film sastra atau membaca karya sastra, secara otonatis kita akan menerobos lingkungan ruang dan batas waktu yang ada di sekitar kita. Karya fiksi yang termasuk dalam karya sastra literer adalah karya yang berhasil membangunkan manusia terhadap rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya termaksud. Film sastra membuat kita sanggup memahami segenap perjuangan tokoh-tokoh yang dilukiskannya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. Kita juga dapat mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh dalam film sastra yang kita saksikan. Kita turut menghayati nasib yang dialami tokoh-tokohnya. Dalam penghayatan ini dunia kita diperluas, menembus batas-batas duniawi yang ada di sekitar kita.
Kermampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Ini merupakan modal permulaan dan kemampuan untuk mengembangkan empati dan toleransi. Sesuatu yang esensial yang kita butuhkan dalam merfengkuh hidup ini. Inilah kekuatan film sastra --juga karya sastra lainnya -- yang rasanya tidak diperoleh dalam buku-buku ilmu pengetahuan.

5. Film Sastra: Kerja sama Sastrawan dan Sineas
Terlebih dulu perlu dupahami dua faktor penting dalam hal film sastra ini, yakni pertama pembuatan sarana (produk media) dan kedua adalah sistem penggunaan sarana (eksibisi media) Dalam sistem pembuatan sinema harus mandiri dari asas ekonomi yang sudah lazim dalam produksi sinema Indonesia. Dengan kata lain, sistem pembuatan sinema itu harus dijauhkan dari perhitungan perputaran modal secara komersial. Tegasnya, sudah sangat mendesak perlu dipikirkan kebijakan penyelenggara negara dalam penyediaan dana secara khusus untuk memproduksi sinema yang memiliki daya edukatif kultural.
Berangkat dari pemikiran itu perlu dimunculkan paradigma baru dalam perfilman anasional yang tidak saja memfokuskan pada hegemoni pemilik modal melainkan juga pada dimensi kulturalnya secara benar. Artinya, sumber daya manusia (SDM) sebagai faktor yang sangat esensial sebaiknya tidak dari sektor produksi film komersial. Harus dibangun tradisi baru dalam penyediaan SDM, yakni SDM dari sektor pendidikan yang dipercaya memiliki dedikasi kepada dunia pendidikan. Karena itu, SDM ini memang sudah harus bermuatan ilmu dan berkepribadian sebagai pendidik, paling tidak memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai edukatyif kultural, bukan sekadar bermuatan bisnis. Secara sederhana mereka menguasai ilmu didaktik metodik, sistem pengajaran dengan strategi yang bertumpu pada aspek kognetif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus memiliki kapasitas dalam hal sinematografi.
Perlu disadari bahwa sinema itu hanya media seperti buku dan guru. Perbedaannya adalah sinema memiliki prosedur kebahasaannya yang unik, kebahasaan piktorial yang dapat berfungsi universal. Buku dan guru menggunakan bahasa lisan atau tulisan dalam sistem linguistik berdasarkan kepahaman bahasa yang secara kultural dikenal dan dipahami siswa sebagai komunikan. Bahasa-bahasa dalam ragam tulisan dan lisan sbagai sarana komunikasi pendidikan memerlukan kekuatan daya penafsiran yang cukup canggih dari siswa (komunikan) untuk memahami pengertian pesan komunikatif baik secara denotatif maupun konotatif. Adapun daya tafsir para siswa sebagai sikap persepsional dapat beragam berdasarkan kondisi intelektual, kondisi sosial-kultural, dan mungkin kondisi pribadi dalam fenomena psikologis.
Dibandingkan dengan bahasa tulisan dan lisan yang hanya mampu menyajikan bentuk abstrak (imajiner), maka bahasa sinema mampu menyajikan bentuk secara konkrit. bahasa sinema atau bahasa piktorial membantu para siswa menafsirkan pesan praktis dan mudah. Namun, sebenarnya bahasa sinema dipandang dari aspek semiotik juga memerlukan kemampuan membaca atau mengeja bentuk sebagai unsur visual untuk mencapai kepahaman secara optimal. Itu sebabnya James Monaco membuat judul bukunya tentang tinjauan berbagai masalah sinematografi bukan How to See Film melainkan How to Read a Film.
Untuk mencapai kepahaman optimal terhadap misi pesan yang disampaikan dengan sarana komunikasi sinematik, tidak cukup hanya menonton tetapi juga harus membaca lambang-lambang komunikasi yang terwujud dengan beragam bentuk fisik dan mungkin juga berbagai ciri eksistensi makhluk terutama manusia tentang karakter dan latar belakag pribadinya. Memang dalam paham yang paling sederhana, sinema edukatif diartikan sebagai merekam dan menayangkan kegiatan sang guru di depan kelas. Dalam pengertian yang maju, sinema edukatif harus diartikan sebagai transformasi pelajaran yang biasa disampaikan oleh guru ke dalam bentuk sinematik atau melalui pendekatan sinematografik.
Mengapa di tengah lesunya film nasional kita perlu memikirkan pentingnya film yang berwawasan edukatif kultural? Justru inilah salah satu peluang untuk mengisi dan membangkitkannya. Bukankah kini banyak televisi swasta yang dapat diajak bekerja sama untuk menggulirkan gagasan tersebut. Selain itu, sebenarnya ada beberapa solusi untuk menggairahkan kembali film nasional. Paling tidak ada empat pihak terkait yang dapat melakukannya; Pertama, yakni pihak insan film sendiri harus meningkatkan profesionalitasnya, baik dalam acting, manajemen, teknologi, pamasaran, dan lain-lain. Kedua, masyarakat kita yang rata-rata kelas menengah ke bawah perlu diberikan apresiasi film; termasuk juga perlu didirikannya Cine Club-Cine Club untuk membentuk komunitas film dan budaya film. Ketiga, pihak produser mestinya tidak hanya mengejar profit melulu, melainkan juga berorientasi pada aspek edukatif kultural dan berorientasi kebangsaan (nasionalisme) sehingga mau membiayai film-film bermutu (lihat Said, 1991), dan keempat pihak pemerintah, sudah semestinya membuat kebijakan proteksi terhadap masuknya film-film asing (ini yang sulit dengan berlangsungnaya era globalisasi dan datangnya era pasar bebas yang dimulai dengan AFTA pada 2003) untuk memberi kesempatan kepada film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita dapat belajar dari India dan Filipina dalam hal ini (Imron A.M., 1999). Jika keempat pihak yang saling terkait tersebut dapat menjalankan fungsi masing-masing secara optimal maka bukan tidak mungkin film nasional akan dapat bangkit kembali dalam beberapa tahun mendatang.
Di sinilah terlihat betapa penting kerja sama antara sastrawan sebagai kreator cerita berbobot, pendidik yang menguasai metode edukasi, dan sineas yang memiliki kompetensi di bidang sinematografi. Dengana kerja sama ketiga komponen tersebut –tentu saja ditambah dengan produser/ pemilik modal atau institusi penyandang dana-- bukan tidak mungkin akan lahir banyak sinema yang mampu melakukan fungsi pengembangan nilai-nilai kultural.

6. Sosialisasi Nilai Kultural dengan Bahasa Sinematik
Sejalan dengan Kracauer, Hauser (1982) menyatakan, bahwa semua media ekspresi artistik mempunyain ciri-ciri nasional. Tidak seorang pun seniman yang sanggup menggunakan bahasa universal, bahasa yang meremehkan bahasa nasional, tetapi dari semula mereka juga tidak hanya mengurung diri dalam kungkungan satu bahasa nasional. Semua karya seni, tidak hanya kesusatraan, mengekspresikan diri lewat idiom dari bahasa-bahasa nasional (1984). Bahasa kesenian, menurut Hauser, adalah hasil sebuah proses dialektik yang bertolak dari idiom nasional dalam usaha dan perjalanannya menjadi suatu karya yang universal ini.
Shakespeare dan pengarang-pengarang kelas dunia lainnya, semuanya menciptakan karya mereka dalam semangat bahasa ibu mereka. Karena itu, tanpa pengetahuan yang memadai akan rasa bahasa dalam suatu karya yang ditulis, sulit untuk sepenuhnya mengerti karya tersebut.'
Bahasa sinematik sebagai sarana komunikasi pada hakikatnya juga berbentuk seperti isyarat dan lambang. Sebagai aspek semiotik, bahasa sinematik juga dilengkapi dengan unsur Ikon, Indeks, dan Simbol. Tiga unsur itu tercermin dari berbagai unsur visual yang terdapat pada tiap film. Menciptakan, memilih, menghimpun, menyusun, dan merakit usur-unsur visual dengan metode sinematografi, apakah itu dalam konsep penyutradaraan atau dalam proses penyuntingan film (editing) adalah prosedur fundamental dalam bertutur sinematik.
Seperti halnya dalam proses komunikasi pada umumnya, perlu ada kesepakatan dan konsensus serupa itu. Cara yang paling sederhana untuk mencapai konsensus itu adalah mengajarkan kepada komunikan, dalam hal ini para pelajar (siswa dan mahasiswa) dan masyarakat pada umumnya, pengertian atau penguraian lambang-lambang sinematik yang lazim digunakan sebagai unsur bahasa sinematik.
Untuk itulah perlu digagas dan diusulkan kembali adanya pelajaran apresiasi film dalam kurikulum pendidikan dan pengajaran Indonesia. Gagasan ini tidak berlebihan, mengingat dalam kurikulum yang sudah lazim terdapat pelajaran apresiasi seni pada berbagai bidang dan program studi di perguruan tinggi dan pelajaran Kesenian juga diajarkan di sekolah. Bahkan di berbagai sekolah SD sampai dengan SMU/ SMTA, pelajaran Kesenian diajarkan sebagai muatan lokal (mulok). Akan tetapi sinema yang diakui dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat dari dimensi sosial, kultural, dan psikologis justru tidak disentuh dalam kurikulum pendidikan apresiasi seni. Alasannya klasik yakni beban siswa sudah terlalu banyak. Argumen semacam itu tidak komplementer dan tidak populer yang bersumber pada terbatasnya pemahaman mengenai fungsi sinema sebagai sarana kultural.
Sebagai ilustrasi, kini di beberapa TK Favorit Jakarta misalnya Al-Azhar, para siswanya sudah diberi apresiasi sinema, bahkan mulai dikenalkan proses produksi sinema. Demikian juga di beberapa perguruan tinggi –meskipun perguruan tinggi tersebut tidak memiliki Fakultas Sastra/ Ilmu-ilmu Budaya) seperti Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler mulai dilakukan pelatihan pembuatan atau proses produksi film tersebut dari pembuatan skenario cerita, casting pemain, acting, pengambilan gambar dengan kamera, trik-trik kamera, hingga proses penyuntingan film dengan menghadirkan beberapa pakar dari insan perfilman. Di banyak perguruan tinggi misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) terdapat Cine Club, di UMS ada Unit Sastra dan Film, atau sejenisnya sebagai salah satu unit kegiatan kemahasiswaan ekstrakurikuler yang banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang memfokuskan perhatiannya pada film atau sinema pada umumnya baik melalaui dialog, diskusi, sarasehan, pemutaran film dengan menghadirkan para insan film baik pemain, sutradara, penulis skenario, produser, dan lain-lain.

7. Purna Wacana
Mengakhiri pembicaraan mengenai film “sastra” sebagai media edukatif kultural, kiranya layak dikemukakan bahwa di tengah minimnya produksi film nasional bermutu dan di pihak lain membanjirnya film-film asing di tengah kehidupan bangsa kita, kiranya perlu dipikirkan pentingnya memproduksi film-film yang berdimensi edukatif kultural. Dengan kerja sama kalangan sastrawan, sineas, dan pendidik yang dikomandani Pusat Tekonologi Komunikasi (Pustekkom) Departemen Pendidikan Nasional, atau Perusahaan Film Nasional (PFN), serta lembaga lainnya yang terkait, sudah saatnya berbagai kalangan dan institusi memikirkan hal ini.
Selanjutnya, bagi Departemen Pendidikan Nasional dan institusi pendidikan yang memiliki komitmen terhadap pengembangan nilai-nilai edukatif klultural dalam pengembangan bangsa, sudah saatnya memikirkan upaya kerja sama sinergis antara berbagai pihak di atas dengan memasukkannya dalam kebijakan yang terprogram, terarah, dan berkseinambungan. Hal ini diperkuat oleh realitas keringnya film nasional dari unsur edukatif kultural, terlebih minimnya film anak-anak yang kaya nilai moral, edukatif, dan relegius.
Institusi pendidikan tinggi sudah saatnya melakukan kajian-kajian mendalam mengenai mengenai film-film “sastra” dengan berbagai aktivitas akademik seperti penelitian, diskusi, seminar, sarasehan, dialog, dan lain-lain. Pembentukan unit kajian film semacam Cine Club merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan yang memfokuskan kajiannya pada sinema-sinema. Selain itu perguruan tinggi dapat pula berperan sebagai mediator atau fasilitator dalam menjajaki berbagai kemungkinan untuk pelaksanaan kerja sama berbagai pihak terkait agar gagasan untuk melahirkan film sastra: tersebut dapat terwujud.
Akhirnya, beberapa gagasan mengenai revitalisasi film “sastra” dalam upaya sosialisasi dan pengembangan nilai-nilai edukatif kultural tersebut baru merupakan kajian awal yang lebih merupakan wacana sehingga perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Realisasinya tentu saja terpulang kepada kemauan dan tekad kita bersama untuk menjawabnaya.

Daftar Pustaka

Effendi, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Karya.

Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. Chicago and London: The University of Chicago
Press.

Imron A.M., Ali. 1999. “Mengurai Benang Kusut Perfilman Nasional”. Makalah pada Dialog
Perfilaman Nasional pada tanggal 28 April 1999 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

_____________. 1993. “Revolusi Televisi: Imperialisme Budaya Masyarakat Modern”. Makalah
dalam Seminar Nasional tentang “Era Televisi Swasta di Indonesia” Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 30 Oktober 1993.

Kracauer, Sigfried. 1974. From Caligary to Hitler: A Psychological History of the German Film.
New Yersey: Princeton University Press.

Moglen, Helena. 1984. “Erosion in theHumanities” dalam Change, Volume 16 No. 7, Oktober
1984.

Rachmat, Djalaluddin. 1992. Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim. Bandng:
Mizan.

Said, Salim. 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Sinar Harapan.

Soebadio, Haryati. 1993. “Memahami Sastra dan Film sebagai Ungkapan Sosial-Budaya dan
Konsekuensinya untuk Pendidikan”. Makalah pada Seminar Internasional dengan tema
Sastra, Film, dan Pendidikan pada tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Sumardjono. 1993. “Sinema sebagai Sarana Edukatif”. Makalah pada Seminar Internasional
dengan tema Sastra, Film, dan Pendidikan pada tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Wardhana, Veven Sp. 1997. Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar