Senin, 25 April 2011

MELAHIRKAN LULUSAN UNGGUL

MELAHIRKAN LULUSAN UNGGUL
MELALUI REKONSTRUKSI KURIKULUM PERGURUAN TINGGI
PERSPEKTIF FKIP
Ali Imron Al-Ma’ruf

1. Pendahuluan
Dunia sedang menuju suatu proses penyatuan tanpa mengenal sekat-sekat negara dan bangsa. Adanya pasar bebas, information superhighway, turisme universal, finance scape yang mengalirkan dana ke berbagai negara, lalu adanya idea scape dan sacri scape yang mendistribusikan ide politik, hak asasi manusia, demokrasi, dan nilai-nilai keaga-maan ke seluruh dunia, demikian Kenichi Ohmae (dalam Sopater, 1998: 173) merupakan bukti bahwa dunia sudah menjadi suatu perkampungsn global (global village).
Akselerasi perubahan sosial serta kemajuan sains dan teknologi menjadi ciri utama abad XXI. Berlangsunglah era informasi atau era revolusi industri kedua dengan kecanggihan teknologi komunikasi. Hal itu kemudian melahirkan masyarakat belajar (learning society) atau masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society). Timbullah persaingan global di berbagai bidang termasuk tenaga sarjana (Imron A.M., 2002: 113). Dalam kondisi demikian, hanya manusia atau bangsa yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang akan dapat survive dan memenangkan masa depan.
Akselerasi perubahan situasi dan kehidupan yang semakin kompetitif, menuntut pendidikan tinggi untuk meninjau kembali strategi pengembangan, program-program, dan kurikulumnya. Terlebih dengan datangnya era Pasar Bebas 2003 (AFTA) dan globalisasi ekonomi dunia pada tahun 2020 --yang merupakan produk kapitalisme global yang dipelopori oleh World Trade Organization (WTO)--, dunia memasuki babak baru dalam peradaban umat manusia.
Pengamatan Institute for Management Development (IMD) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-39 dari 46 negara dan The World Cvompetitiveness Year Book memposisikan daya saing Indonesia berada pada peringkat 41 dari 48 negara (Elias, 1997). Hasil pengamatan IMD tersebut cukup memprihatinkan kita karena hal tersebut menunjukkan bahwa daya saing nasional Indonesia sangat rendah. Bahkan data terakhir menunjukkan bahwa dari 12 negara di Asean, Indonesia menempati urutan hampir buncit alias di bawah Vietnam yang nota bene baru saja membangun negerinya. Data-data ini merupakan informasi yang dapat menjadi daya dorong untuk meningkatkan kualitas SDM. Dalam konteks inilah perguruan tinggi (PT) memiliki posisi strategis.
Perguruan tinggi tidak sekadar untuk menampung semua anak usia pendidikan tinggi ke dalam PT, tetapi lebih bersifat melahirkan suatu kelompok kritis (critical mass) yang mengikuti studi PT, bagian tertentu dari penduduk kita yang mengalami pendidikan tinggi. Hal itu harus dilakukan jika kita ingin dapat survive menghadapi pengetahuan global atau berada dalam sistem budaya mondial baik di bidang informasi, saintek, ekonomi, dan politik. Kelompok kritis tersebut dapat bergerak bersama PT menjadi penggerak pertama (primer mover) dari seluruh penduduk kita guna menghadapi tantangan global. Kelompok kritis ini –sering disebut the prophet minority ‘kelompok minoritas pewaris Nabi’—meskipun kecil jumlahnya, perannya besar dalam pembangunan bangsa. Hal ini sudah terbukti dalam sejarah perjuangan bangsa kita.
Perubahan sosial dan tantangan abad XXI menuntut PT untuk melakukan rekonstruksi di berbagai aspek baik kelembagaan, manajemen, SDM, maupun kurikulum. PT harus mampu berintegrasi (bukan beradaptasi) dengan lingkungan sosial bangsanya. Integrasi dimaksudkan sebagai kemampuan menyesuaikan dengan realitas, ditambah kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas (Freire, 1984: 4).
Selanjutnya, kebijakan mengenai pelaksanaan swakelola kampus (dan otonomi daerah) menuntut perguruan tinggi (PT) untuk melakukan berbagai langkah strategis, agar siap memenangkan kompetisi global pada masa depan yang sulit diramalkan (unpredictable). Karena itu, akselerasi perubahan zaman, kebutuhan masyarakat, dan kemajuan iptek melahirkan paradigma baru dalam dunia pendidikan, yakni pendidikan berdasarkan kompetensi pembelajar (competence-based-approach). Kondisi di atas, menimbulkan perubahan pula mengenai peran PT yang juga berimplikasi pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Permasalahannya adalah bagaimana strategi FKIP menghadapi tantangan global abad XXI yang sarat kompetisi? Bagaimana rekonstruksi desain kurikulum FKIP yang antisipatif dan prospektif? Makalah ini tentu tidak berpretensi untuk mengkaji dan memecahkan berbagai permasalahan PT, melainkan sekadar menawarkan alternatif peningkatan lulusan LPTK melalui pengembangan kurikulum.

2. Fenomena dan Tantangan bagi Pendidikan pada Abad XXI
Salah satu fenomena pada abad XXI adalah adanya liberalisasi perdagangan dan investasi, dengan diberlakukannya Pasar Bebas mulai tahun 2003 untuk AFTA dan 2020 untuk seluruh dunia. Beberapa prinsip yang merupakan intisari penerapan globalisasi 2020 antara lain:
(1) Cross Border, eksportir ataupun produsen bebas masuk ke suatu negara, (2) Consumption Abroad, setiap orang atau konsumen bebas membeli barang dan jasa termasuk dari luar negeri (impor), (3) Commercial presence, setiap orang bebas mendirikan pabrik, kantor, atau perwakilan di negara lain, (4) Presence of Natural Person, setiap orang bebas untuk berusaha di negara lain, (5) Most Favoured Nation, tidak ada perlakuan yang berbeda atau istimewa terhadap negara lain, dan (6) National Treatment, perlakuan produsen luar negeri sama dengan perlakuan terhadap produsen dalam negeri (Nopirin, dalam Sopater (Ed.), 1998: 244-245).
Pada abad XXI tidak ada satu negara pun yang dapat terhindar dari tuntutan globalisasi yang berarti tantangan pula bagi dunia pendidikan tinggi. Naisbitt & Aburden (1996), memprediksi bahwa abad XXI merupakan abad iptek sehingga sektor jasa menjadi dominan dalam kegiatan ekonomi. Terjadilah perubahan sistem pengendalian pemerintah menuju mekanisme pasar, dari padat karya menuju padat teknologi.
Kekuatan teknologi bukan saja mempengaruhi pertumbuhan bidang sosial-budaya, tetapi bahkan menciptakan kebudayaan teknologi. Dan, kebudayaan teknologi itu menimbulkan krisis dalam kehidupan masyarakat. Menurut Habermas (1975: 1-17), suatu krisis terjadi jika struktur kehidupan sosial tidak mampu lagi memberikan solusi seperti yang diharapkan untuk menjamin kelestarian sistem kehidupan itu sendiri.
Berdasarkan realitas dan pemikiran itu maka setidaknya ada lima tantangan eksternal yang harus dihadapi dunia PT, yakni:
2.1 Orientasi Nilai Plus
Menghadapi era persaingan global yang ketat, PT harus mampu ‘melahirkan’ (melalui proses panjang) tenaga sarjana yang memiliki nilai plus. Dalam kondisi demikian, masyarakat dimanja dengan berbagai pilihan, sehingga nilai plus suatu barang/ tenaga kerja mutlak diperlukan. Sarjana harus memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh sarjana pada umumnya, misalnya kelebihan dalam penguasaan komputer, mana-jemen, kewirausahaan, dan bahasa asing. Selain itu, sarjana juga harus memiliki ketrampilan khusus sebagai nilai plus untuk memperkuat keahliannya, dan mampu berpikir kreatif, alternatif, dan inovatif di bidang iptek agar memiliki daya saing tinggi.
2.2 Perubahan Struktur Masyarakat dari Agraris ke Industri
Modernisasi menimbulkan terjadinya transformasi masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Kondisi tersebut menyebabkan adanya perubahan nilai dalam masyarakat. Seiring dengan itu, transformasi sosial budaya yang mengusung nilai-nilai asing, mengakibatkan tatanan nilai dalam masyarakat goyah dan akarnya tercerabut meski belum sepenuhnya, sedangkan nilai baru belum sepenuhnya diterima. PT dituntut dapat mengembangkan pribadi mahasiswa yang utuh, yang memiliki keharmonisan fisiologis, psikologis, sosiologis, dan religiusnya, yang tidak hanya bekerja dengan otot dan otak, melainkan juga dengan hati nuraninya.
Manusia yang utuh adalah manusia individu, manusia masyarakat, dan manusia dunia sekaligus. Itulah sosok manusia universal yang bersifat konkret sekaligus virtual. Sebagai individu, ia nyata berada di suatu tempat, namun sebagai manusia masyarakat dan dunia, eksistensinya yang virtual tetap berperan di sana. Inilah individu yang memiliki integritas utuh: dalam kesendiriannya ia bersifat diskrit dan unik, namun sebagai warga masyarakat dan dunia ia harus bersifat holistik dan mengglobal.
2.3 Dampak Proses Globalisasi
Memasuki abad XXI terasa cukup berat bagi bangsa Indonesia. Akselerasi perubahan sosial begitu dahsyat, sehingga tatanan nilai di lingkungan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan goyah. Fenomena berikut merupakan tantangan yang dapat kita lihat pada keseharian: (1) Lalu lintas informasi tidak dapat dibatasi dan disensor lagi sehingga nilai-nilai baru masuk melalui berbagai jenis komunikasi/ media; (2) Iptek yang berfungsi sebagai media sarat dengan tawaran ide, keyakinan, pandangan dan gaya hidup, moral, dan budaya mondial; (3) Persaingan semakin kuat dan terbuka dalam sektor barang dan jasa, sehingga hal ini memanjakan masyarakat, yang berdampak pada aktivitas mahasiswa dalam belajar; (4) Munculnya mentalitas persaingan yang kuat melahirkan sikap individualistik, dan mengarah pada menipisnya semangat solidaritas sesama; (5) Maraknya iklan di media massa dan plaza-plaza mewah menggoda masyarakat kepada kemewahan materi dan mendorong budaya konsumtif; dan (6) Semakin tingginya kesadaran akan hak asasi manusia di kalangan masyarakat.
Seperti ‘pedang bermata dua’, dampak globalisasi ternyata positif dan negatif. Karena itu, pendidikan harus bersifat terbuka terhadap perubahan namun tetap selektif.
2.4 Struktur Demografis
Diperkirakan Indonesia akan mengalami perubahan struktur kependudukan yang mendasar. Pada abad XXI pertumbuhan penduduk akan menurun sampai sekitar 1,0 % pada kurun waktu 2015-2020, namun jumlah penduduk tetap akan terus meningkat menjadi 269,9 juta pada tahun 2020. Penduduk berpendidikan minimal SMTA akan menjadi 71 juta orang dan yang berpendidikan tinggi akan berjumlah 18 juta orang (Brahim dalam Sopater, 1998: 186). Selain itu, diprediksikan jumlah penduduk perempuan akan lebih banyak ketimbang laki-laki (sekarang sudah terjadi). Gambaran pola penduduk tersebut menunjukkan bahwa pada masa depan, dunia pendidikan membutuhkan paradigma yang berwawasan demografis yakni mendorong beberapa penyesuaian sasaran strategis, termasuk pemberdayaan perempuan.
2.5 Visi ke Depan
Persaingan kuat dan perkembangan nilai-nilai baru menuntut adanya perubahan sikap manusia pada masa depan yang berbeda dengan masa lalu. Tantangan dan hambatan masa depan sekaligus merupakan peluang untuk dianalisis. Dari kecenderungan masyarakat dunia abad XXI, visi masa depan dapat dikemukakan yakni:
(1) Tuntutan terhadap kualitas merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan baik dalam manajemen, proses belajar-mengajar, kurukulum, maupun lulusan.
(2) Profesionalitas dalam manajemen lembaga pendidikan menjadi sebuah keharusan sehingga pimpinan, dosen, dan karyawan dituntut bekerja secara optimal.
(3) Dengan berlakunya pasar bebas mulai 2003 (AFTA) dan 2020 (APEC) terbuka kemungkinan perginya tenaga-tenaga potensial karena tertarik pada dunia di luar institusi pendidikan yang lebih ‘menjanjikan’.
(4) Munculnya jalan tol informasi (information superhighway) membuat masyarakat hidup di ruang cyberspace sehingga informasi tak mungkin disensor lagi. Hal ini perlu direspons secara proaktif dengan sikap terbuka namun selektif sehingga kita bersedia menerima gagasan dan nilai-nilai baru yang konstruktif;
(5) Berbagai perubahan dan kecenderungan di atas mendorong dunia pendidikan untuk melakukan inovasi-inovasi baik dalam proses belajar-mengajar, kurikulum, maupun manajemen yang profesional dan antisipatif.

3. Paradigma Baru Kurikulum Pendidikan Tinggi
Seperti sudah menjadi konvensi, setiap satu dekade muncul kurikulum baru guna mengantisipasi perkembangan mutakhir. Secara normatif Kurikulum PT diatur dalam dua keputusan menteri yakni Kepmendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa; dan Kepmendiknas Nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Terdapat paradigma baru dalam kurikulum PT 2000 yakni didasarkan pada paradigma kompetensi ‘competence-based-approach’ menggantikan paradigma content-based-approach pada kurikulum lama.
Pergantian paradigma itu berimplikasi pada: (1) penguasaan aspek kognitif dari instrumental diubah ke bentuk kemampuan, (2) penguasaan aspek afektif dari pragmatis diubah ke komprehensif, dan (3) penguasaan aspek psikomotorik dari adaptif diubah ke profesional (Pusposutardjo, 2002: 32).
Dalam desain kurikulum yang menggunakan competence-approach, behavioral objectives dipakai untuk menggambarkan apa yang harus dipelajari peserta didik. Adapun materi kurikulum bukan substansi keilmuan semata melainkan seperangkat kompetensi yang harus dicapai peserta didik untuk dapat melakukan pekerjaan atau profesi tertentu Sebenarnya ada desain kurikulum lainnya yakni kurikulum dengan process-approach, yang dalam hal ini materi kurikulum lebih menekankan pada ketrampilan proses belajar, bukan substansi keilmuannya (lihat Sunardi, 2004: 2-3).
Mengacu Kepmendiknas Nomor 232/U/2000: (i) Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaian (yang berbentuk mata kuliah), digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di PT.
Adapun kompetensi menurut Kepmendiknas Nomor: 045/U/2002, adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tersebut. Kompetensi hasil pendidikan setiap program studi terdiri atas kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain. Adapun elemen kompetensi terdiri atas: (1) pengembangan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan ketrampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku berkarya, dan (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat.
Jika dicermati, ternyata bahwa elemen-elemen kompetensi tersebut diadopsi dari keempat pilar pendidikan UNESCO (Ditjen Dikti, 1999), yakni: (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, and (4) learning to live together. Karena itu, kurikulum PT 2000 diformulasikan dalam kelompok-kelompok mata kuliah sesuai dengan keempat pilar pendidikan tersebut, ditambah dengan muatan lokal yakni kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian, yakni:
(1) Kelompok Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK), adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang ditujukan terutama untuk memberikan landasan penguasaan ilmu dan ketrampilan tertentu.
(2) Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) adalah kelompok kajian dan pelajaran yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga ahli dengan kekaryaan berdasarkan dasar ilmu dan ketrampilan yang dikuasai.
(3) Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB) adalah bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan dasar ilmu dan ketrampilan yang dikuasai.
(4) Kelompok Mata Kuliah Berkehidupan Bersama (MBB) adalah kelompk bahan kajian dan pelajaran yang diperlukan seseorang untuk dapat memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
(5) Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), adalah kelompok mata kuliah untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya terdiri atas Pendidikan, Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Dalam dataran praksis, ternyata pelaksanaan kurikulum PT 2000 kebanyakan hanya mengalami regrouping dari kurikulum PT lama, sehingga sebagian mata kuliah yang dulu masuk kelompok MKU misalnya kini dimasukkan ke kelompok MKK, dan sebagian lagi ke kelompok MPK. Kelompok yang dulu MKDK dan MKK kini menjadi MKK dan MKB (lihat Sunardi, 2004: 5). Padahal filosofis dan paradigmanya berbeda. Kurikulum lama memakai contence-based-approach sedangkan kurikulum PT 2000 memakai competence-based-approach (berbasis kompetensi).
Mencermati dataran praksis tersebut maka sudah selayaknya jika PT melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi kurikulum agar dapat mencapai tujuan pendidikan PT.

4. ‘Melahirkan’ Sarjana Plus dengan Rekonstruksi Kurikulum PT
Berdasarkan Kepmendiknas No, 232/U/2000, Kurikulum PT 2000 terdiri atas kurikulum inti (baca: kurikulum nasional) dan kurikulum institusional. Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara nasional. Kurikulum inti meliputi kelompok MPK, MKK, MKB, MPB, dan MBB, sebagai persyaratan minimal yang harus dicapai peserta didik dalam penyelesaian suatu program studi. Kurikulum inti program Sarjana (S1) berkisar antara 40% - 80%.
Kepmendiknas Nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi menjelaskan bahwa kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri atas: (1) kompetensi utama, (2) kompetensi pendukung, dan (3) kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama. Elemen-elemen kompetensi terdiri atas (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan ketrampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkatan keahlian berdasarkan ilmu dan ketrampilan yang dikuasai, dan (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. Kurikulum inti merupakan penciri dari kompetensi utama, sedangkan kompetensi pendukung dan kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama suatu program studi ditetapkan oleh institusi penyelenggara program studi. Perbandingan beban ekivalen dalam bentuk SKS antara kompetensi utama dengan kompetensi pendukung dan kompetensi lain di dalam kurikulum berkisar antara 40-80% : 20-40% : 0-30%.
Adapun kurikulum institusional merupakan sejumlah bahan kajian dan pelajaran yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan tinggi, terdiri atas tambahan dari kelompok ilmu dalam kurikulum inti yang disusun dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri khas perguruan tinggi yang bersangkutan.
Kepmendiknas Nomor 045/U/2002 Pasal 6 menjelaskan, bahwa Mendiknas tidak menetapkan kurikulum inti tiap program studi, seperti diatur pada Pasal 11 Kepmendiknas Nomor 232/U/2000, dan selanjutnya ditetapkan oleh kalangan perguruan tinggi bersama masyarakat profesi dan pengguna lainnya.
Dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab X dijelaskan, bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi, sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, daerah, dan peserta didik. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
Selanjutnya, kurikulum disusun dengan memperhatikan: peningkatan iman dan takwa; peninghkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah danlingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan (Pasal 36). Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: (1) pendidikan agama, (2) pendidikan kewarganegaraan, dan (3) bahasa (Pasal 37).
Mencermati Kepmendiknas Nomor: 232/U2000 dan Nomor: 045/U/2002 serta UU No. 20/ 2003 di atas, maka rekonstruksi kurikulum PT dapat disusun sebagai berikut:
Pertama, Kurikulum inti tiap program studi ditentukan bersama antara perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna. Hingga saat ini Kurikulum Inti tiap program studi belum tersusun (jadi masih memakai kurikulum PT lama). Ini berarti terbuka peluang besar untuk menyusun kurikulum inti yang benar-benar antisipatif dan prospektif. Kurikulum inti dapat disusun berkisar 60% dari jumlah kurikulum.
Kedua, kurikulum institusional dapat diwujudkan berupa hasil seleksi atas mata kuliah yang didasarkan atas pertimbangan tertentu akan memperkuat kompetensi lulusan sekaligus memberikan selective excellence lulusan tiap program studi. Kurikulum institusional dapat ditetapkan misalnya 25% untuk memberi ‘warna khas’ institusi PT yang tersebar pada kelompok mata kuliah MPK, MKK, MKBN, MPB, dan MBB.
Untuk MPK, ternyata antara Kepmendiknas Nomor 232/U/2000 dengan UU No. 20/ 2003 (Sisdiknas) berbeda sedikit. Namun, mengingat secara hierarkis Undang-undang lebih tinggi ketimbang Kepmendiknas, seyogyanya kita berpedoman pada Sisdiknas yakni: kelompok MPK yang wajib diberikan pada pendidikan tinggi adalah: Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa (tidak ada Pancasila, atau sudah tercakup dalam PPKn.?). Mata kuliah bahasa di sini dapat ditafsirkan Bahasa Indonesia (untuk Karya ilmiah/ Teknik Penulisan Karya Ilmiah) guna mendukung kemahiran menulis karya ilmiah mahasiswa yang berdasarkan penelitian sangat memprihatinkan dan/ atau Bahasa Inggris sebagai ‘jendela ilmu pengetahuan’ sekaligus sangat berguna mendukung kemahiran berkomunikasi pada era global yang sangat kompetitif termasuk dengan sarjana mancanegara.
Adapun kurikulum institusional untuk kelompok MPK dapat dimasukklan mata kuliah: antara lain Filsafat Ilmu, Teori Kebudayaan (bukan IBD), Manajemen, Kewirausahaan, Feminisme (Perspektif Gender), Komputer, dan Bahasa (Inggris/ Indonesia/ Teknik Penulisan Karya Ilmiah).
Ketiga, pada kelompok mata kuliah MKK kita dapat memasukkan mata kuliah yang dapat mendukung spesialisasi atau nilai plus untuk memperkuat keahlian lulusan di bidang studi masing-masing yang akan meningkatkan daya saing dalam kompetisi global. Tiap jurusan/ program studi harus memiliki spesialisasi profesi yang dapat diandalkan, yang belum (banyak) dimiliki oleh PT lain, semacam selective excellence di atas yang jumlahnya sekitar 15%. Hal ini sebenarnya sudah dimulai oleh FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan beberapa spesifikasi tiap program studi, namun perlu dipertajam lagi.
Misalnya: (1) Program studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi misalnya, dapat dimasukkan mata kuliah Pendidikan Ekonomi Islam, Sistem Ekonomi Islam, memahami liku-liku seputar Bank Syariah, Lembaga Keuangan Syari’ah, Baitul Maal wat Tamwil (BMT); (2) Program Pendidikan Bahasa, Sastra Indoensia dan Daerah misalnya, dapat memasukkan MKK Ketrampilan Penyuntingan (Editing), Kepenyiaran, dan Jurnalistik; (3) Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris misalnya; dapat memasukkan MKK Kepariwisataan (Tourism), public relation (PR), Komunikasi Bisnis, dan Bahasa Inggris untuk Sekretaris, misalnya. Demikian pula program studi lain. Sarjana yang memiliki spesialisasi sebagai unggulan, terbuka peluang lebih luas dalam kompetisi tenaga kerja.
Perlu ditekankan di sini bahwa pemilihan kelompok MPK institusional harus berdasarkan argumentasi rasional dan realistis dengan berorientasi pada user dan stakholders. Jadi, penetapannya bukan atas nama retorika ilmiah tetapi di balik itu sebenarnya ada like and dislike atau bahkan tersembunyi kepentingan tertentu. Bergayut dengan user dan/ atau stakholders di sini artinya adalah bahwa pemilihan dan penetapan mata kuliah yang disusun dalam kurikulum PT didasarkan atas pengkajian yang jeli terhadap fakta di lapangan mengenai kebutuhan yang sedang berkembang dalam masyarakat pengguna lulusan PT (user) dan/ atau pihak terkait lainnya (stakholders). Paradigma demikian –melibatkan masyarakat pengguna lulusan dan pihak terkait lainnya (user dan stakholders)-- menjadi salah satu ciri kurikulum PT 2000 yang berbeda dengan kurikulum lama yang hanya ditetapkan oleh pihak PT sendiri.
Dengan demikian perbandingan beban ekivalen dalam bentuk SKS antara kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain adalah: 60%: 25%: 15%.
Agar lebih jelas, distribusi kelompok mata kuliah dalam pengembangan kurikulum PT 2000 dapat didiskripsikan sebagai berikut:



No Proses Pembelajaran Penguasaan
Proses Padanan SK Mendiknas Nomor 232/U/2000 Kompetensi
1. MK Keilmuan dan Ketrampilan (MKK)
Learningb to know 55% MKK Akademik
2.
MK Keahlian Berkarya (MKB)
Learning to do 25% MKB Ketr. Untuk menghasilkan produk
3.
MK Perilaku Berkarya (MPB)
Learning to behave 6% MPB Profesi
4.
MK Berkehidupan Bersama (MBB)
Learning to live together 8% MBB Komunikasi
global
5.
MK Pengembangan Kepribadian (MPK)
Learning to be 6% MPK Kultural

Sebagai catatan, kita melihat bahwa kurikulum PT kita selama ini terlalu menekankan pengembangan aspek kognitif atau kecerdasan rasional (Rational Quotient) dan kurang menekankan aspek emosional (Emotional Quotient) untuk pengembangan inisiatif, kreativitas, pengendalian diri, semangat dan ketekunan, motivasi diri, empati, dan kecakapan sosial. Padahal realitasnya, banyak orang sukses justru karena kecerdasan emosionalnya meskipun kecerdasan rasionalnya tidak menonjol. Ditunjukkan oleh Daniel Goleman (1995: xiii), bahwa ada faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal sedangkan orang yang ber-IQ sedang-sedang justru sukses. Kuncinya terletak pada kemampuan-kemampuan yang disebutnya kecerdasan emosional (EQ) tadi. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu diajarkan kepada mahasiswa untuk melatih mereka memanfaatkan potensi intelektualnya. Ilustrasi hal ini dapat dilihat pada banyak tokoh di bidang politik, bisnis, seni budaya, dan lain-lain.
Dari realitas itu, Kurikulum Perguruan Tinggi 2000 yang memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk pengembangannya sesuai dengan visi-misi dan potensi PT, kebutuhan masyarakat, dan tuntutan zaman, patut kita berdayakan secara maksimal.
5. Mengedepankan Proses Pembelajaran di PT
Kurikulum PT 2000 dan pengembangannya yang didasarkan pada paradigma kompetensi mahasiswa, pada hakikatnya tidak akan banyak mencapai hasil maksimal tanpa disertai dengan proses pembelajaran yang sesuai dengan filosofi, pendekatan, dan metode yang tepat. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kurikulum boleh terus berganti-ganti dan semakin canggih, tetapi dalam dataran praksisnya ternyata banyak dosen dalam proses pembelajaran di kelas tetap saja seperti ketika menggunakan kurikulum lama. Akibatnya, jelas tujuan tidak akan tercapai secara maksimal. Karena itu, pembelajaran yang mengedepankan proses niscaya akan sangat menunjang keberhasilan kurikulum PT 2000.
Kurikulum PT 2000 yang menggunakan competence-based-approach pada hakikatnya dilatari oleh filsafat Humanisme dan Konstruktivisme dalam pendidikan. Humanisme dalam pendidikan berpijak pada desain Learner-centered-design. Artinya, dalam pembelajaran, pembelajar diberi tempat utama, yang belajar adalah pembelajar sendiri. Pengajar hanya berperan menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Pembelajar merupakan organisme yang memiliki potensi untuk berbuat, berperilaku, belajar, dan juga berkembang sendiri. Karena itu, desain ini disebut juga Humanistic Design (Sukmadinata, 2002: 117-118).
Adapun filsafat Konstruktivisme dalam pendidikan beranggapan, bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Glaserfeld dalam Suparno, 1997: 18). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt dalam Suparno, 1997: 18). Karena itu, menurut Piaget (dalam Suparno, 1997: 18), pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya. Proses pembentukan ini berjalan terus-menerus dengan setiap kali mengalami reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Dalam pembelajaran yang berdimensi konstruktivisme, pengajar berperan sebagai mediator dan fasilitator. Dalam hal ini, pengajar: (1) menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan pembelajar bertangggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian; (2) Menemberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan pembelajar dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasan serta mengkomunikasikan ide ilmiah mereka; (3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran pembelajar jalan atau tidak. Pengajar menunjukkan apakah pengetahuan pembelajar berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Dalam konteks inilah maka pengajar harus mampu berinteraksi dengan pembelajar, dan siswa.juga harus terlibat penuh.
Kurikulum berbasis kompetensi menurut Kniep (dalam Suyono, 2002: 28), setidaknya memiliki tiga karakteristik utama, yakni: (1) berpusat pada pembelajar (focus on learners), (2) memberikan mata pelajaran dan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual (provide relevan and contextualized subject matter), dan (3) mengembangkan mental yang kaya dankuat pada pembelajar (develop rich and robust mental models). Karena itu, dalam aplikasinya harus didasarkan pada ketiga ciri utama di atas.
Pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan kehidupan jangka panjang (Depdiknas, 2003: 1). Karena itu, pendekatan yang sesuai dengan praktik pembelajaran Kurikulum PT 2000 adalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
Adapun pendekatan kontekstual dalam pembelajaran adalah konsep belajar-mengajar yang membantu pengajar mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata pembelajar dan mendorong mereka membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constuctivism), menemukan (inquiry), bertanya (quastioing), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assesment) (Depdiknas, 2003: 5).
Sejalan dengan pendekatan kontekstual di atas, maka metode pembelajaran dalam aplikasi kurikulum PT 2000 yang disarankan adalah Discovery-Inquiry ‘mencari dan menemukan masalah’. Pembelajar diberikan kesempatan, didorong, dan dirangsang untuk mencari masalah dan menemukan sendiri solusi pemecahannya. Dalam hal ini dosen dituntut benar-benar menguasai ilmu/ materi yang diajarkan dan memiliki wawasan yang luas sehingga selalu siap untuk menjadi narasumber ‘tempat bertanya’ jika mahasiswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajarannya. Namun demikian, dosen tidak dibenarkan menjadi orang yang merasa ‘mahatahu’ yang memaksa diri untuk selalu dapat menjawab pertanyaan mahasiswa, padahal sebenarnya tidak menguasainya.
Berkaitan dengan peran dosen tersebut, dalam pembelajaran dosen perlu mengupayakan agar mahasiswa dapat belajar secara aktif, menyenangkan, dan efektif (active, joyful, and effective learning). Mahasiswa tidak merasa kegiatan pembelajaran sebagai beban, sebaliknya melakukan dan merasakannya sebagai suatu hal yang mengasyikkan (lihat Suwandi, 2002: 11). Dengan situasi pembelajaran demikian, maka pelaksanaan kurikulum PT 2000 dan pengembangannya niscaya akan dapat meningkatkan gairah belajar mahasiswa sehingga pada gilirannya akan dapat mencapai tujuan pendidikan tinggi seperti yang diharapkan.

6. Penutup
Mengakhiri pembahasan mengenai pengembangan kurikulum PT dalam ranghka melahirkan lulusan yang unggul ini, perlu ditekankan bahwa kurikulum PT 2000 yang berbasis kompetensi dapat duikatakan cukup ideal. Bahkan Kurikulum PT 2000 memberikan kebebasan kepada institusi untuk menyusun kurikulum inti bersama-sama pengguna lulusan dan pihak terkait lainnya. Ini berarti, PT dapatmenyusun kurikulum sesuai dengan tuntutan hidup, kebutuhan masyarakat pengguna, kemajuan iptek, dan sesuai visi-misi PT.
Akhirnya, jika PT pandai-pandai memberdayakan keleluasaan yang diberikan Depdiknas dalam menyusun kurikulum PT niscaya akan memberikan pencerahan bagi upaya melahirkan lulusan unggul yang memiliki daya saing yang kompetitif dan komparatif.

Daftar Pustaka:
Dardjowijoyo, Soenjono. 1992. PTS dan Potensinya di Hari Depan. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.

Depdiknas. 2000. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendiikan Tinggi dan Penilaian Hasil
Belajar. Jakarta: Ditjen Dikti.

________. 2002. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/U/2002
tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti.

________. 2003. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Depdiknas. 2003. Pendekatan Konstekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta:
Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Ditjen Dikti. 1999. Penjelasan tentang Isi Perubahan Kepmendikbud No. 058/U/1994
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil
Belajar Mahasiswa. Jakarta: Author.

Elias, Michael. 1997. “Korelasi Mutu Pendidikan dan daya Saing” dalam Bisnis
Indonesia, Jakarta, 7 Agustus 1997.

Freire, Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia.

Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence (Terj. T. Hermaya). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama..

Habermas, Jurgen. 1975. Legimitation Crisis. Beacon Press.

Hamad, Ibnu. 1995. Membangun Kemandirian Indonesia. Jakarta: Forum Dialog
Indonesia.

Imron A.M., Ali.1994. “Televisi dan Tantangan bagi Pendidikan” dalam Harian
Republika Edisi Tanggal 24 November 1994.

Pusposutardjo, Suprodjo. 2002. “Kebijakan Pengembangan Kurikulum dan Institusi
Pendidikan Tinggi di Era Kehidupan Mendunia”. Makalah Seminar Nasional
tentang Paradigma Kurikulum Pendidikan Tinggi Tahun 2000, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Sopater, Sularso dkk. (Ed.). 1998. Pembelajaran Memasuki Era Kesejagatan. Jaklarta:
Pustaka Sinar Harapan.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2002. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sunardi. 2004. “Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi”.
Makalah pada Diskusi KBK-Pertemuan Pimpinan PTS Bidang I di Wilayah
Surakarta, 18 Maret 2004.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Suwandi, Sarwiji. 2002. “Peningkatan Kompetensi Berbahasa Siswa Berdasarkan
Kurikulum Berbasis Kompetensi”. Makalah pada Semiloka Implementasi KBK,
Ungaran, 18 April 2002.

Suyono. 2002. “Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kondisi Penerapannya di Sekolah”.
Makalah pada Simposium Nasional Pembelajaran Bahasa yang diselenggarakan
UNNES, 14 Oktober 2002.

___________________
1) Disajikan dalam Seminar Nasional “Arah LPTK ke Depan Menghadapi Persaingan Global” di Auditorium Widyagraha Universitas Muhammadiyah Surakarta, 7 Mei 2004.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar