Minggu, 24 April 2011

BAHASA FIGURATIF NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: KAJIAN STILISTIKA

Oleh Ali Imron A.M.
Pend. Bahasa & Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos 1 Surakarta 57102
Telpon (0271) 717832/ Ponsel: 081329107250 Posel: aliimron_almakruf@yahoo.com

ABSTRACT

The purpose of the study is to descripe figurative languge of the novel Ronggeng Dukuh Paruk’s (RDP) stylistics form and express the function and purpose of use as author’s expression to state his ideas. The research use qualitative descriptivemethod with head the interpretation full of meaning. Dta analysis is done by inductive thinking method by applying Semiotic reading method which are heuristic and hermeneutic. The result of RDP’s stylistic study shows that RDP’s figurative language has uniqueness and authenticity as well as proof of Tohari’s competence in using the full potency of language. The authenticity of RDP’s figurative language can be seen from Tohari’s style of majas and idiom of Tohari’s style. Figuratiove langiage on RDP is dominated by majas, beside idiom, which is beautiful and various, also full expressive, assosiative, and aesthetic power. This shows Tohari’s inviduation as an author who has high intellectuality. Through stylistic study, it is inferred that RDP’s figurative language has stong expression as articulation media of author’s idea which is not been far from his sociohistorical background.

Key words: stylistics, figurative language, Ronggeng Dukuh Paruk, majas and idiom, aesthetic.

A. PENDAHULUAN
Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari dipandang oleh para pengamat sastra sebagai salah satu fiksi Indonesia mutakhir yang memenuhi kriteria sastra literer dalam teori Hugh (dalam Aminuddin, 1990: 45). Kriteria itu adalah: (1) relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, imajinasi, dan rekaan yang membentuk kesatuan yang utuh, selaras, serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity); (2) daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).
Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, menurut Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. Oleh karena itu, bahasa karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya nonsastra (Wellek dan Warren, 1989: 15). Kekhasan bahasa sastra adalah penuh ambiguitas dan memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan terkadang tidak rasional, asosiatif, konotatif, dan mengacu pada teks lain atau karya sastra yang lahir sebelumnya.
Bahasa sastra bukan sekedar referensial yang mengacu pada hal tertentu melainkan mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pengarangnya. Bahasa sastra adalah tanda, simbolisme kata-kata. Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika yang berfungsi untuk mencapai nilai estetik sastra.
Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Style membawa muatan makna tertentu. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis di samping maknanya yang netral (Sudjiman, 1995: 15-16). Istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir) menurut Chomsky (dalam Fowler, 1977: 6), identik dengan isi dan bentuk dalam style. Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan pengarang melalui gaya bahasanya.
Pemilihan struktur lahir merupakan teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk struktur lahir. Jadi, bentuk struktur lahir bergantung pada kreativitas dan kepribadian pengarang yang dipengaruhi oleh ideologi dan lingkungan sosial budayanya. Style Ahmad Tohari yang agraris, akrab dengan alam pedesaan, tentu berbeda dengan Ayu Utami yang metropolis.
Menurut Pradopo ( 2004: 8), gaya bahasa merupakan tanda yang menandai sesuatu. Medium sastra adalah bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama (first order semiotics). Dalam karya sastra gaya bahasa itu menjadi sistem tanda tingkat kedua (second order semiotics). Gaya bgagi Junus (1989: 187-188), adalah tanda yang mempunyai makna dan gaya bahasa itu menandai ideologi pengarang. Ada ideologi yang disampaikan pengarang jika ia menggunakan gaya tertentu dalam karya sastranya.
Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Corak sarana retorika tiap karya sastra sesuai dengan aliran, ideologi, konsepsi estetik, dan gaya bersastra pengarangnya. Oleh karena itu, demikian Junus (1989: xvii), stilistika, studi tentang gaya yang meliputi pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra, merupakan bagian penting bagi ilmu sastra sekaligus bagi studi linguistik.
Permasalahannya adalah bagaimana keunikan dan kekhasan bahasa figuratif yang mencakup majas dan idiom sebagai salah satu wujud stilistika RDP. Bagaimana fungsi dan tujuan pemanfaatan bahasa figuratif RDP sebagai sarana ekspresi pengarang dalam menuangkan gagasannya. Adapun tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan bahasa figuratif sebagai salah satu wujud stilistika RDP dan mengungkapkan fungsi dan tujuan pemanfaatan bahasa figuratif RDP sebagai ekspresi pengarang menuangkan gagasannya.
Style ‘gaya bahasa’ menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu (Leech & Short, 1984: 10). Tegasnya, style ialah performansi bahasa dalam karya sastra yang unik dan khas dengan memberdayakan segenap potensi bahasa dengan cara mengeksploitasi dan memanipulasinya untuk menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik. Bahasa sastra sebagai wujud style telah mengalami deotomatisasi dan defamiliarisasi guna menarik perhatian pembaca. Itulah foregrounding yang dilakukan sastrawan dengan melakukan eksplorasi, manipulasi, dan penyimpangan bahasa.
Adapun stilistika (stylistics) adalah ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Abrams, 1979: 165-167; Satoto, 1995: 36). Jadi, Stilistika adalah ilmu yang mengkaji style yakni wujud performansi bahasa dalam karya (sastra) melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif (figurative language) dan citraan.
Hubungan antara style ’gaya bahasa’ dengan ekspresi dan gagasan pengarang dilukiskan Aminuddin (1990: 77) dalam bagan berikut.

Figurative berasal dari bahasa Latin figura, yang berarti form, shape. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion. Istilah ini sejajar dengan pengertian metafora (Scott, 1980: 107). Menurut Hawkes (1978: 1), tuturan figuratif adalah “language which doesn’t mean what it says”, tuturan untuk menyatakan suatu makna dengan cara yang tidak biasa atau tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya. Tuturan figuratif atau sering disebut bahasa kias digunakan oleh sastrawan untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak langsung untuk mengungkapkan makna (Waluyo, 1991: 83). Hawkes (1978: 2) membedakan tuturan figuratif dengan bahasa literal. Jika tuturan figuratif mengatakan secara tidak langsung untuk mengungkapkan makna, maka tuturan literal menunjukkan makna secara langsung dengan kata-kata dalam pengertian baku.
Adanya tuturan figuratif (figurative language) menyebabkan karya sastra menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan angan (Pradopo, 1994: 62). Tuturan figuratif mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan lebih hidup. Dengan demikian, ada hubungan erat antara citraan dengan tuturan kias. Citraan pada dasarnya terefleksi melalui bahasa kias. Hawkes (1978: 2) menyatakan bahwa "inevitably, figurative language is usually descriptive, and the transference involved result in what seem to be "pictures" or ”images".
Menurut Middleton (dalam Lodge, 1969: 49), tuturan figuratif dalam aplikasinya dapat berwujud gaya bahasa yang sering dikatakan oleh para kritikus sastra sebagai uniqueness atau specialty pengarang sehingga gaya bahasa merupakan ciri khas pengarang. Meskipun tiap pengarang memiliki gaya sendiri dalam mengungkapkan pikiran, ada beberapa bentuk yang biasa dipergunakannya. Jenis-jenis bentuk itu dalam stilistika sering disebut sarana retorika (rethorical device).
Tuturan figuratif merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memberdayakan potensi bahasa dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (literal meaning) guna memperoleh efek estetis. Tuturan figuratif dalam penelitian ini mencakup majas dan idiom karena keduanya merupakan sarana sastra yang representatif dalam mendukung gagasan pengarang. Selain itu, keduanya banyak dimanfaatlkan oleh Tohari dalam RDP.
Majas terbagi menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rethorical figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat (Aminuddin, 1995: 249). Majas dalam kajian ini merujuk pada tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan.
Majas (figure of thought) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna tambahan yang tersirat. Jadi, majas merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan pemanfaatan bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan makna antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya, namun hubungan itu bersifat tidak langsung, atau paling tidak ia membutuhkan interpretasi pembaca. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam kesastraan merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan, yakni penyimpangan makna (Nurgiyantoro, 1998: 296-297).
Penggunaan majas mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya sastra. Majas yang digunakan secara tepat dapat menggiring ke arah interpretasi pembaca yang kaya dengan asosiasi, di samping dapat mendukung terciptanya suasana tertentu. Bahkan, penggunaan majas yang baru akan memberikan kesan kemurnian, kesegaran, dan mengejutkan, dan karenanya bahasa menjadi efektif.
Merujuk pandangan Scott (1980: 107) dan Pradopo (2004: 61-78) majas yang akan dikaji daam kajian RDP ini meliputi metafora, simile, personifikasi, metonimia, dan sinekdoke (pars pro toto dan totem pro parte). Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Metafora itu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau setaraf dengan hal lain, yang sesungguhnya tidaklah sama (Altenbernd dan Lewis, 1970: 15). Metafora dapat memberi kesegaran dalam berbahasa, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tak bernyawa, menjauhkan kebosanan karena ketunggalnadaan (monoton), dan mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh (Subroto, 1996: 37). Metafora merupakan bahasa figuratif yang paling mendasar dalam karya sastra, terlebih puisi (Cuddon, 1979: 275). Hawkes (1980: 1) menyatakan bahwa "metaphor is traditionally taken to be the most fundamental form of figurative language".
Simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya. Simile merupakan majas yang paling sederhana dan paling banyak digunakan dalam karya sastra (Pradopo, 2000: 62). Personifikasi mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia. Majas personifikasi membuat hidup lukisan, dan memberi kejelasan gambaran, memberi bayantgan angan secara konkret (Pradopo, 2000: 75).
Metonimi adalah penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dan Lewis, 1970: 21). Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu hal atau benda untuk hal atau benda itu sendiri disebut sinekdoki (Altenbernd dan Lewis, 1970: 22). Sinekdoki dapat dibagi menjadi dua yakni (1) pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan) dan (2) totum ro parte (keseluruhan untuk sebagian).
Adapun idiom Menurut idiom adalah pengungkapan bahasa yang bercorak khas baik karena tata bahasanya maupun karena mempunyai makna yang tidak dapat dijabarkan dari makna unsur-unsurnya (Sudjiman, 1984: 34). Jadi, idiom adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain. Misalnya: kambing hitam, kaki tangan, dan panjang tangan.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Penelitian kualitatif memiliki karakter analisis data dilakukan secara induktif dan makna menjadi perhatian utama (Bogdan & Biklen, 1984: 14). Penelitian ini tidak hanya mengkaji bagaimana stilistika yang dipakai pengarang dalam RDP, melainkan juga mengkaji mengapa dan untuk apa pengarang menggunakan stilistika demikian. Dari segi kajian stilistika, penelitian ini termasuk penelitian stilistika genetik (Pradopo, 2004: 14; Hartoko & Rahmanto, 1986: 138), yakni mengkaji stilistika salah satu karya sastra pengarang, dalam hal ini karya Ahmad Tohari yakni novel RDP.
Sesuai dengan eksistensi RDP sebagai karya sastra yang bermediumkan bahasa, data penelitian ini berwujud data lunak (soft data) yang berupa kata, ungkapan, kalimat, dan wacana dalam novel RDP dan informasi tentang pengarangnya, Tohari, beserta kondisi sosiokultural masyarakat pada dekade 1960-an. Adapun sumber data penelitian ini ada dua macam yakni pustaka dan informan.
Sumber data pustakanya adalah RDP yang mengandung data kebahasaan berupa bahasa figuratif sebagai salah satu wujud stilistika RDP. Novel RDP sekaligus merupakan sumber data primer yang mengandung bahasa figuratif. Pustaka lainnya adalah berbagai tulisan yang mengkaji stilistika RDP baik berupa buku, hasil penelitian, maupun artikel pada jurnal ilmiah yang menjadi sumber data sekunder. Adapun informan (informant) dalam penelitian ini adalah Ahmad Tohari dan para tokoh masyarakat di lingkungan Tohari. Informan lainnya adalah sejumlah akademisi, kritikus sastra, dan mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra (FS) Universitas Sebelas Maret dan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta yang dipandang memiliki kompetensi dalam pemahaman stilistika RDP.
Pengumpulan data ditempuh melalui pembacaan dan penghayatan sumber data utama yakni novel RDP dengan teknik analisis isi (content analysis) --meliputi teknik simak dan catat serta teknik pustaka--. Data juga dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan Focus Group Discussion ( FGD).
Analisis data bahasa figuratif RDP sebagai sarana sastra, dilaksanakan melalui metode pembacaan model Semiotik yakni pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffaterre, 1978: 5-6) serta metode berpikir induktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut konvensi atau struktur bahasa (pembacaan semiotik tingkat pertama). Adapun pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dengan memberikan interpretasi berdasarkan konvensi sastra (pembacaan semiotik tingkat kedua).
Dengan demikian, stilistika RDP dapat dipahami tidak saja dari arti kebahasaannya melainkan juga fungsi dan tujuan pemanfaatannya oleh pengarang yang memperlihatkan hubungan dinamik antara karya, pengarang, kondisi sosial budayanya, dan pembaca. Tegasnya penelitian stilistika RDP tidak hanya berhenti pada persoalan keindahan gaya bahasa, melainkan juga latar belakang, fungsi, tujuan pemanfaatannya sebagai sarana ekspresi pengarang dalam menuangkan gagasan pada teks sastra.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Mayoritas bahasa figuratif RDP merupakan hasil kreasi Tohari yang orisinal. Orisinalitas bahasa figuratif sebagai stilistika RDP mencerminkan individuasi Tohari yang tampak pada bentuk ekspresi, keselarasan bentuk dan isi (harmoni), kejernihan dan kedalaman tujuan yang berkaitan dengan intensitas bahasa.
Berikut disajikan analisis bahasa figuratif dalam RDP meliputi majas dan tuturan idiomatik.
1. Majas
Dalam RDP banyak pemanfaatan majas sebagai sarana retorika untuk mengungkapkan gagasan pengarang. Sebagai salah satu wujud stilistika RDP, majas dimanfaatkan secara produktif oleh Tohari dalam RDP. Artinya, majas dalam RDP banyak dimanfaatkan oleh Tohari untuk mengeskpresikan gagasan guna menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetis.
Berikut akan dianalisis satu persatu bentuk-bentuk majas sebagai stilistika RDP.
a. Metafora
Dalam RDP banyak ditemukan majas Metafora. Hal itu tidak terlepas dari fungsi Metafora sebagai sarana retorika yang mampu menghidupkan lukisan dan menyegarkan pengungkapan. Jelasnya, dengan Metafora pengungkapan maksud menjadi lebih mengesankan, lebih hidup, jelas, dan menarik.
Sebagai ilustrasi berikut dianalisis majas Metafora dalam RDP.
(1) Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau. (hlm. 13)

Data (1) merupakan contoh pemanfaatan bentuk metaforis yang indah dan mengesankan karena merupakan kreasi Tohari, belum pernah dipakai oleh pengarang lain dalam karyanya. Bentuk metaforis itu melukiskan keadaan Dukuh Paruk yang masih asri, ketika malam hari pada musim kemarau. Angin malam yang bertiup dilukiskan oleh Tohari terasa dingin seolah-olah menyapu bunga kopi yang selalu mekar pada musim kemarau.
Ditinjau dari segi sintaksis, metafora ”... dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau” termasuk jenis metafora predikatif. Dalam hal ini kata simbol atau kias pada bentuk metafora itu hanya terdapat pada predikat kalimat yakni kata ’menyapu’. Metafora pada data (1) dilihat dari segi aspek budaya termasuk jenis metafora universal yakni metafora yang memiliki medan semantik yang sama bagi mayoritas budaya di dunia, baik lambang kias maupun maknanya. Jika ditinjau dari lambang yang dipakai maka bentuk metaforis itu termasuk dalam kategori kosmos (cosmos) dalam model hierarki Haley.
Ditinjau dari makna majas secara sinkronis bentuk metaforis tersebut mengandung makna bahasa kontekstual yakni makna majasinya mempertimbangkan interpretasi pragmatik yang mungkin dapat diterima oleh pembaca sesuai dengan konteks atau lingkungan tertentu. Bentuk ’dingin menyapu harum bunga kopi’ merupakan ungkapan majas yang maknanya sesuai dengan konteks pembaca.
Dikaji dari segi makna majas secara diakronis, data (1) tergolong metafora berdaya berjenis inovatif yakni metafora yang masih hidup atau berdaya dan kata majasnya merupakan bentukan baru. Artinya, metafora tersebut merupakan kreasi Tohari.
Data berikut menunjukkan pemanfataan metafora inovatif kreasi Tohari.
(2) Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang. (halaman 14)

Metafora pada data (2) melukiskan keindahan dunia anak-anak di pedukuhan kecil yang serba gembira, bebas bermain, belum memiliki tanggung jawab keluarga, dan fisik masih prima. Dunia anak-anak merupakan fase kehidupan yang indah luar biasa dan tidak mungkin terulang lagi pada kehidupan seseorang. Banyak kenangan indah atau sedih yang tidak terlupakan. Tohari mengibaratkan dunia anak itu sebagai ’surga yang hanya sekali datang’. Demikian plastis pelukisan dunia anak-anak dengan metafora tersebut. Yang lebih mengesankan lagi adalah metafora itu dirangkai dengan gaya bahasa paralelisme di atasnya, ”Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang.” Seandainya diekspresikan dengan bahasa biasa misalnya, ”...masa kanak-kanak adalah masa yang sangat indah dan hanya sekali terjadi dalam hidup ini”, tentu tidak akan menarik. Bahasa biasa tidak mengesankan karena tidak unik, tidak ekspresif sehingga tidak memiliki daya pikat. Lebih memikat lagi metafora itu dipadukan dengan unsur permainan bunyi vokal /a/ dan konsonan /k/ serta /m/. asonansi dan aliterasi sehingga menimbulkan irama indah, eufoni dan kokofoni.
Ditinjau dari segi makna majas secara diakronis Metafora pada data (2) termasuk metafora jenis konvensional karena kata majasnya yakni ’surga’ sebagai simbol keindahan dan kesenangan sudah lazim dipakai dalam masyarakat. Dari segi makna majas sinkronis metafora di atas tergolong metafora jenis makna ilokusioner karena pengarang dan pembaca berbagi pengalaman dan pengetahuan bersama untuk mencapai sesuatu yang dimaksudkan.
Metafora data (2) termasuk jenis metafora universal jika dilihat dari aspek budaya karena kata majasnya tidak terikat oleh budaya bangsa tertentu dan mengandung makna yang dapat diterima oleh mayoritas budaya di dunia. Adapun dari segi sintaksis, metafora di atas termasuk jenis metafora nominatif karena simbol kiasnya terdapat pada nomina kalimat. Dalam model hierarki Haley, dari lambang yang digunakan, maka bentuk metaforis itu termasuk kategori kehidupan (living).
Data (3) juga merupakan pemanfaatan bentuk metaforis kreasi Tohari.
(3) Kelak Srintil bercerita padaku bahwa dia segera terjaga kembali ketika Dower membangunkannya dengan dengus napas lembu jantan. (hlm. 76)

Kepiawaian Tohari dalam menghidupkan lukisan memang sulit dicari tandingannya. Untuk melukiskan tokoh Dower, salah satu pemenang sayembara memperebutkan virginitas calon ronggeng Srintil dalam upacara bukak klambu, Tohari memanfaatkan ungkapan metaforis yang baru dan ekspresif. Dower yang dikuasai nafsu berahi diperbandingkan dengan lembu jantan dengan ungkapan metaforis: ”Dower membangunkannya dengan dengus napas lembu jantan.” Pelukisan keadaan Dower yang dikuasai nafsu hewani dengan ungkapan itu terasa tepat untuk lingkungan budaya Jawa, mengingat lembu jantan merupakan salah satu simbol kejantanan laki-laki. Oleh karena itu, ditinjau dari aspek budaya, bentuk metaforis itu merupakan metafora terikat budaya karena medan semantiknya baik lambang maupun maknanya terbatas pada satu budaya saja, dalam hal ini budaya Jawa. Dari lambang yang dipakai dan makna yang dimaksudkan metafora tersebut dalam hierarki Haley termasuk kategori bernyawa (animate).
Ditinjau dari segi makna majas secara sinkronis, bentuk metaforis itu termasuk metafora dengan makna budaya. Artinya, metafora itu mencerminkan budaya masyarakat bahasa tempat kata tersebut dimanfaatkan. Karena budaya masyarakat berbeda-beda maka kata yang sama (’dengus napas lembu jantan’) mungkin berbeda pula dari satu budaya ke budaya lainnya. Dari segi makna majas secara diakronis, bentuk metaforis itu merupakan metafora berdaya dengan kategori inovatif karena menggunakan kata-kata kreasi Tohari.
Dari analisis bentuk metaforis dalam RDP di atas dapat dikemukakan bahwa bentuk metaforis yang dimanfaatkan oleh Tohari dalam novel RDP beragam dan bervariasi baik dari segi sintaksis, budaya, maupun maknanya. Kesemuanya itu diciptakan untuk mencapai efek makna tertentu di samping ekspresif.
b. Simile
Seperti halnya Metafora, majas Simile ditemukan banyak sekali dalam RDP. Majas Simile merupakan sarana retorika yang paling sederhana karena membandingkan suatu hal dengan hal lain yang sama atau mirip artinya. Berikut beberapa data tentang majas Simile.
(4) Sesungguhnya gendang telinganya menangkap suara celoteh Srintil yang lucu menawan. Tetapi Santayib mendengarnya sebagai hiruk pikuk suara ribuan monyet di pekuburan Dukuh Paruk. (hlm. 28)

Data (4) merupakan majas Simile kreasi Tohari yang tidak pernah ditemukan dalam karya sastra lain. Majas Simile terlihat pada ’... suara celoteh Srintil yang lucu menawan’ bagi Santayib terdengar ‘sebagai hiruk pikuk suara ribuan monyet di pekuburan Dukuh Paruk’. Ada perbandingan antara ’suara celoteh Srintil yang lucu dan menawan’ dengan ’hiruk pikuk ribuan monyet’ yang dihubungan dengan kata ’sebagai’.
Data (5) merupakan majas Simile untuk melukiskan keremajaan Srintil.
(5) ”Dengar, Pak. Srintil masih segar seperti kecambah," sambung Nyai Kartareja sambil menyentuh dada Marsusi dengan lembut. (hlm. 121)

Pemilihan kata ’kecambah’ sebagai perbandingan dengan ’Srintil yang masih kecil dan segar’ tentu dilakukan bukan tanpa sengaja. Terdapat perbandingan yang terasa plastis antara ’Srintil yang masih remaja’ dengan ’kecambah’ yang segar. Kata ’kecambah’ dipilih mengingat kecambah memiliki makna khusus. Seperti Srintil yang masih remaja, kecambah adalah ’bibit kacang hijau yang baru tumbuh’ yang juga masih segar dan sangat disukai oleh warga masyarakat sebagai bahan sayur. Perbandingan ’gadis remaja’ dengan ’kecambah yang segar’ kiranya merupakan pasangan yang tepat.
c. Personifikasi
Dalam RDP banyak dijumpai majas Personifikasi. Benda-benda mati dilukiskan memiliki kemampuan dan keadaannya seperti manusia yang dapat bergerak, berhias, sakit, sengsara, dan tua. Berikut ilustrasinya.
(6) Selama ini aku mencintai Dukuh Paruk dengan cara membiarkannya lelap dengan mimpi cabul, mengigau dengan segala macam sumpah-serapah (hlm. 382)
(7) Sekelilingku adalah tanah airku yang kecil dan sengsara. Ditambah dengan nestapa yang sedang menimpa Srintil, Dukuh Paruk bertambah sakit. (hlm. 394)

Pada data (6) majas Personifikasi terlihat pada ’Dukuh Paruk’ yang ’lelap dengan mimpi cabul, mengigau dengan segala macam sumpah-serapah’. Dukuh Paruk dilukiskan dapat tidur lelap, mimpi cabul dan mengigau dengan sumpah-serapah seperti manusia. Demikian pula data (7), majas Personifikasi tampak pada ’tanah airku yang kecil dan sengsara’ dan ’Dukuh Paruk bertambah sakit’.
Majas Personifikasi juga dimanfaatkan Tohari ketika melukiskan suasana pagi hari di Dukuh Paruk. Data berikut ilustrasinya.
(8) Pagi-pagi halaman dan tanah pekarangan di Dukuh Paruk berhias mosaik dedaunan yang jatuh semalam. (hlm. 325)
(9) Awan-gemawan mengirimkan irama kecapi petikan jari Wirsiter dan Asmara Dahana yang bergetar bersih melalui pita suara Ciplak. (hlm. 360)

d. Majas Metonimia
Pada data (10) Tohari memanfaatkan majas Metonimia guna menggantikan nama suatu hal dengan nama lain. Hal itu dilakukan oleh Tohari agar pengungkapan suatu hal tersebut menjadi lebih ekspresif dan mengesankan. Data berikut ilustrasinya.
(10) Di sana, di dalam kurung kelambu yang tampak dari tempatku berdiri,
akan terjadi pemusnahan mustika yang selama ini amat kuhargai. (hlm. 53)
(11) Bajus mengantarkan si Rahang Persegi sampai ke kursinya, bertanya ini-itu,
lalu keluar ruangan dan terus melangkah ke halaman. (hlm. 367)

Kata ’mustika’ pada data (10) merupakan pengganti nama ’virginitas’ atau ’keperawanan’ calon ronggeng Srintil ketika akan melalui upacara sakral bukak-klambu sebagai persyaratan terakhir untuk menjadi ronggeng sejati. Demikian pula pada data (11), kata ’si Rahang Persegi’ merupakan pengganti nama Blengur, sang kontraktor besar yang akan memberi Bajus projek pekerjaan bangunan.
Pada data (12) majas Metonimia juga dimanfaatkan oleh Tohari ketika melukiskan keadaan Srintil yang telah kehilangan citra kemanusiaannya, gila. Srintil disebutnya dengan ’bekas mahkota Dukuh Paruk’. Dengan majas Metonimia itu terlihat pelukisan tentang sesuatu menjadi hidup dan mengesankan. Berikut ilustrtasi majas Metonimia dalam RDP.
(12) Dan pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu. (hlm. 386)

e. Majas Sinekdoki
Majas Sinekdoki terdiri atas pars pro toto (penyebutan sebagian untuk keseluruhan) dan totum pro parte (penyebutan keseluruhan untuk sebagian). Dalam RDP Tohari juga memanfaatkan kedua jenis majas Sinekdoki tersebut guna membuat pengungkapan gagasan menjadi lebih efektif dan ekspresif. Majas Sinekdoki pars pro toto terlihat pada pemanfaatan ’sekian puluh pasang mata’ pada data (13), ’hatiku bertembang’ pada data (14), dan ’di depan mata’ pada data (15), yang mewakili seseorang atau manusia.
(13) Mereka harus menghadapi sekian puluh pasang mata yang menggugat pertanggungjawaban atas nama kemanusiaan. (hlm. 243)
(14) Hatiku bertembang pada kesadaran jiwa yang amat dalam. (hlm. 383)
(15) Mereka juga mendengar lengkingan-lengkingan suatu puak yang sedang melihat dunia mereka punah tepat di depan mata. (hlm. 243)

Majas Sinekdoki totum pro parte juga dimanfaatkan oleh Tohari dalam mengungkapkan gagasannya. Perhatikan data-data berikut.
(16) Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. (hlm. 80)
(17) Pasar Dawuan menjadi tempat kabar menyebar dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut, dan seterusnya. (hlm. 81)

Kata ’Dukuh Paruk’ pada data (16) dan ’Pasar Dawuan’ pada data (17) merupakan bentuk majas Sinekdoki jenis totum pro parte.
Terlihat betapa Tohari demikian kreatif memanfaatkan berbagai majas untuk menghidupkan dan memperindah gagasannya. Dengan memanfaatkan sarana retorika berupa pemajasan bahasa RDP terkesan lebih hidup, intens, efektif, dan mengesankan. Hal itu dilakukan dalam rangka mencapai efek estetis.
Dari deskripsi majas dapat ditemukan bahwa majas dalam RDP didominasi oleh Metafora, disusul kemudian oleh Personifikasi, dan Simile. Majas Metafora yang dimanfaatkan oleh Tohari dalam novel RDP beragam dan bervariasi baik dari segi sintaksis, budaya, maupun maknanya. Adapun majas Metonimia sedikit, demikian pula Sinekdoki (pars pro toto dan totum pro parte). Pemajasan dimanfaatkan Tohari untuk memberi daya hidup, memperindah, dan mengefektifkan pengungkapan gagasan.
Frekuensi pemanfaatan majas dalam RDP dapat dilihat pada tabel berikut.
______________________________________________________________________
Jumlah Pemanfaatan Majas
No. Majas 50-100 101-200 201-300 301-400 401-500
______________________________________________________________________

1. Metafora 175
2. Simile 51
3. Personifikasi 126
4. Metonimia 17
5. Sinekdoki 22
______________________________________________________________________
Total: 391 data
(Sumber: Kumpulan Data Penelitian 4. Data Bahasa Figuratif, pada Lampiran 3)

Kelima majas di atas yakni Metafora, Simile, Personifikasi, Metonimia, dan Sinekdoki dalam RDP dimanfaatkan oleh Tohari sedemikian efektif. Segenap potensi bahasa diberdayakan secara optimal demi mencapai efek estetis. Dengan kata lain, berbagai jenis majas dalam RDP dimanfaatkan oleh Tohari untuk menghidupkan lukisan keadaan, peristiwa, kondisi dan situasi, perwatakan tokoh termasuk gejolak batin tokoh RDP agar pengungkapan gagasan lebih ekpresif dan efektif.

2. Tuturan Idiomatik
Berbeda dengan pemanfaatan majas yang memberikan kebebasan bagi Tohari untuk berkreasi dengan tuturan inovatif, tuturan idiomatik dalam RDP tidak sebanyak majas. Hal ini berkaitan dengan realitas bahwa tuturan idiomatik lazimnya memiliki struktur konvensional dengan diksi yang klise, meskipun dalam RDP Tohari menunjukkan keberhasilannya menciptakan tuturan idiomatik kreasi sendiri.
Pemanfaatan tuturan idiomatik dalam RDP tampaknya didasarkan pada beberapa alasan antara lain: (1) tuturan idomatik mampu mengekspresikan gagasan secara lebih efektif sehingga penuturan akan lebih ringkas; (2) tuturan idomatik mampu membangun intensitas makna yang dikandung dalam ekspresi bahasa sehingga dapat merepresentasikan gagasan secara lebih plastis; (3) tuturan idiomatik lebih memungkinkan untuk mencapai efek estetis daripada pemakaian bahasa biasa. Tuturan idiomatik dapat diungkapkan secara lebih eskpresif sehingga memiliki daya hidup dan segar; dan (4) tuturan idiomatik bersifat simbolis sehingga akan lebih mengesankan pembaca daripada pemakaian bahasa biasa.
Adapun tujuan pemanfataan tuturan idomatik dalam RDP untuk: (1) meningkatkan efektifitas penuturan sehingga pemakaian bahasa dapat lebih ringkas dan padat; (2) meningkatkan intensitas makna yang dituangkan dalam sarana bahasa; dan (3) mencapai efek estetis karena dengan tuturan idiomatik akan terkesan lebih plastis, hidup, dan mengesankan pembaca.
Berikut akan dikaji tuturan idiomatik dalam RDP yang dimanfaatkan oleh Tohari guna mengefektifkan sarana bahasa sekaligus mencapai intensitas dalam pengungkapan gagasan yang pada gilirannya akan mencapai efek estetis.
(18) Mereka sungguh tidak rela kalau anak asuhannya jatuh hati kepada Rasus atau laki-laki mana pun. (hlm. 115)
(19) ”... Laki-laki itu kukira tidak mau tahu bahwa Srintil sedang datang bulan. He-he-he!” (hlm. 126)
(20) ”Yang sampean maksud dengan kaum penindas?” ”Kaum imperialis, kapitalis, dan para kaki tangannya. Tak salah lagi!” (hlm. 183)

Data (18), (19), dan (20) menunjukkan pemanfaatan tuturan idiomatik yang menggunakan struktur dan diksi yang sudah klise. Tuturan idiomatik ’jatuh hati’ pada data (18) untuk menyatakan keadaan batin Srintil yang hatinya telah tercuri, jatuh cinta, atau kasmaran kepada Rasus atau laki-laki mana pun. Tuturan idiomatik ’datang bulan’ pada data (19) untuk menjelaskan banyaknya laki-laki hidung belang yang sering tidak mau tahu akan keadaan tokoh Srintil yang sedang mengalami haid atau menstruasi. Adapun bentuk ’kaki tangan’ pada data (20) dimaksudkan untuk menyatakan anak buah, anggota, bawahan atau orang-orang suruhan kaum imperialis dan kapitalis. Ketiga tuturan idiomatik itu adalah bentuk idiomatik konvensional yang sudah lazim digunakan oleh komunitas bahasa Indonesia sejak dulu hingga kini.
Tuturan idomatik itu dimanfaatkan Tohari lebih sebagai upaya mencapai efektivitas pengungkapan dalam mendukung intensitas makna. Hal ini dapat dipahami mengingat ketiga tuturan idomatik tersebut sudah dipahami oleh masyarakat umum. Dengan bentuk idiomatik itu maka gagasan yang ingin dikemukakan Tohari menjadi mudah ditangkap pembaca, di samping lebih menarik. Yang lebih penting lagi adalah dengan tuturan idiomatik itu kalimat menjadi lebih efektif dan ekspresif.
Pada data (21), (22), (23) tuturan idiomatik dimanfaatkan untuk melukiskan penokohan dalam RDP yang berkaitan dengan perilaku para tokoh ketika berhadapan dengan tokoh Srintil. Kali ini Tohari menciptakan idiom orisinal (baru). Berikut kutipannya.
(21) Berkali-kali Marsusi menelan ludah, tetapi Srintil tetap duduk menyamping, berpura-pura tidak tahu ada seekor buaya lapar di dekatnya. (hlm. 149)
(22) Seperti halnya Pak Simbar, Babah Pincang juga gatal tangan. Bukan pinggul yang digamitnya, melainkan pipinya. Kali ini pun Srintil tak berusaha menolak. Bangsat lagi! (hlm. 83).
(23) Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru seorang ronggeng. (hlm. 231)

Dari kajian tuturan idiomatik di atas dapat dikemukakan bahwa tuturan idiomatik dalam RDP dapat dibagi menjadi dua jenis yakni tuturan idiomatik klise dan orisinal kreasi Tohari. Tuturan idiomatik klise pada data (18), (19), dan (20) mengindikasikan bahwa Tohari menguasai bentuk-bentuk idiom lama yang efektif dari segi ekspresi dan makna. Adapun tuturan idiomatik orisinal pada data (21), (22), dan (23) menunjukkan bahwa Tohari adalah pengarang yang kreatif dalam pemberdayaan segenap potensi bahasa.
Berdasarkan analisis bahasa figuratif di atas dapat dikemukakan bahwa bahasa figuratif yang unik dan khas Tohari cukup dominan dalam RDP. Melalui bahasa figuratif maka stilistika RDP menjadi lebih hidup, ekspresif, dan sensual. Bahasa figuratif dalam RDP tampak dominan dimanfaatkan oleh Tohari.
Bahasa figuratif sebagai stilistika RDP berhasil menunjukkan jati diri Tohari sebagai sastrawan yang kaya wawasan dan fasih bercerita dengan ekspresi bahasa yang indah dan menarik. Bahasa figuratif RDP mampu mengekspresikan gagasan-gagasan pengarang secara plastis, segar, dan efektif sesuai dengan hakikat bahasa sastra yang konotatif dan asosiatif. Bahasa figuratif RDP yang kaya nuansa itu tidak terlepas dari latar belakang Tohari yang berprofesi sebagai wartawan dan pengalaman kuliah di tiga fakultas (Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Jenderal Soedirman serta Fakultas Ilmu Kedokteran di Universitas Ibnu Khaldun, Jakarta). Latar belakang Tohari yang dibesarkan di pedesaan dan akrab dengan budaya Jawa serta hidup dalam keluarga santri turut memperkaya stilistika RDP. Karena itu, stilistika RDP kaya nuansa intelektual, sarat muatan filosofis budaya Jawa, dan wawasan religius.

D. SIMPULAN
Dalam upaya mencapai intensitas bahasa sebagai sarana ekspresif guna mencapai efek estetis, Tohari memberdayakan segenap potensi bahasa dengan memanfaatkan bahasa figuratif. Oleh karena itu, bahasa figuratif merupakan sarana retorika yang sering dipilih Tohari dalam mengungkapkan pengalaman kejiwaan melalui proses pengalaman inderawi yang intensif ke dalam karya fiksinya.
Bahasa figuratif yang bersifat prismatis, memancarkan makna lebih dari satu dengan mengasosiasikan sesuatu dengan menghubungkannya dengan sesuatu yang lain, digunakan oleh Tohari untuk menciptakan pembayangan bagi pembaca. Adapun fungsi estetis bahasa figuratif dalam RDP adalah untuk memperjelas, memberikan daya hidup, menjadikan lukisan lebih ekspresif dan karya sastra menjadi lebih menarik.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press.

Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Karya sastra. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.

_______. 1995. Stilistika Pengantar dalam Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Altenbernd, Lynd and Lislie L. Lewis. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. London:
Collier-Macmillan Ltd.

Bogdan, Robert C. and Sari Knopp Biklen. 1984. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Cuddon, J.A. 1979. A Dictionary of Literary Term. Great Britain: W&J Mackay Limited.

Fowler, Roger. 1977. Linguistic and the Novel. London: Methuen & Co Ltd.

Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.

Hartoko, Dick & B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Junus, Umar. 1989. Stilistik: Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey N. & Michael H. Short. 1984. Style in Fiction: a Linguistics Introduction to English Fictional Prose. London: Longmann.

Lodge, David. 1967. Language of Fiction. London: Chatto and Windus.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______. 2004. "Stilistika". Makalah dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia dalam rangka PIBSI XXVI tanggal 4–5 Oktober 2004 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.

Satoto, Soediro. 1995. Stilistika. Surakarta: STSI Press.

Scott, A.F. 1980. Current Literary Term. A Concise Dictionary. London: The Macmilland Press.

Subroto, D. Edi. Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

_______. 1996. Semantik Leksikal I dan II. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Sudjiman, Panuti & Aart van Zoest (Ed.). 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.

Tohari, Ahmad 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. (Edisi Baru). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Waluyo, Herman J.. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan (Terjemahan Melani Budianto). Jakarta: Gramedia.
ooOoo

ABSTRAK

Tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan bahasa figuratif sebagai salah satu wujud stilistika Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan mengungkapkan fungsi dan tujuan pemanfaatannya sebagai ekspresi pengarang dalam mengemukakan gagasannya. Metode penelitiannya adalah kualitatif deskriptif yang mengedepankan interpretasi yang penuh nuansa. Analisis data dilakukan dengan metode berpikir induktif dengan menerapkan metode pembacaan model Semiotik yakni heuristik dan hermeneutik. Hasil kajian stilistika RDP menunjukkan bahwa bahasa figuratif RDP memiliki keunikan dan kekhasan sekaligus membuktikan kompetensi Tohari dalam pemberdayaan segenap potensi bahasa. Kekhasan bahasa figuratif RDP terlihat pada majas dan idiom yang khas Tohari. Bahasa figuratif dalam RDP didominasi oleh majas, di samping idiom, yang indah dan kaya variasi, serta memiliki daya ekspresif, asosiatif, dan estetis. Hal itu menunjukkan individuasi Tohari sebagai pengarang yang memiliki intelektualitas tinggi. Melalui kajian stilistika, diperoleh simpulan bahwa bahasa figuratif RDP memiliki daya ekspresi kuat sebagai media artikulasi gagasan pengarang yang tidak terlepas dari latar sosiohistorisnya.

Kata kunci: stilistika, bahasa figuratif RDP, majas dan idiom, estetis.






































BAHASA FIGURATIF NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI: KAJIAN STILISTIKA
Oleh Ali Imron A.M.
Pend. Bahasa & Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos 1 Surakarta 57102
Telpon (0271) 717832/ Ponsel: 081329107250 Posel: aliimron_almakruf@yahoo.com

ABSTRACT

The purpose of the study is to descripe figurative languge of the novel Ronggeng Dukuh Paruk’s (RDP) stylistics form and express the function and purpose of use as author’s expression to state his ideas. The research use qualitative descriptivemethod with head the interpretation full of meaning. Dta analysis is done by inductive thinking method by applying Semiotic reading method which are heuristic and hermeneutic. The result of RDP’s stylistic study shows that RDP’s figurative language has uniqueness and authenticity as well as proof of Tohari’s competence in using the full potency of language. The authenticity of RDP’s figurative language can be seen from Tohari’s style of majas and idiom of Tohari’s style. Figuratiove langiage on RDP is dominated by majas, beside idiom, which is beautiful and various, also full expressive, assosiative, and aesthetic power. This shows Tohari’s inviduation as an author who has high intellectuality. Through stylistic study, it is inferred that RDP’s figurative language has stong expression as articulation media of author’s idea which is not been far from his sociohistorical background.

Key words: stylistics, figurative language, Ronggeng Dukuh Paruk, majas and idiom, aesthetic.

A. PENDAHULUAN
Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari dipandang oleh para pengamat sastra sebagai salah satu fiksi Indonesia mutakhir yang memenuhi kriteria sastra literer dalam teori Hugh (dalam Aminuddin, 1990: 45). Kriteria itu adalah: (1) relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, imajinasi, dan rekaan yang membentuk kesatuan yang utuh, selaras, serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity); (2) daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).
Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, menurut Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. Oleh karena itu, bahasa karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya nonsastra (Wellek dan Warren, 1989: 15). Kekhasan bahasa sastra adalah penuh ambiguitas dan memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan terkadang tidak rasional, asosiatif, konotatif, dan mengacu pada teks lain atau karya sastra yang lahir sebelumnya.
Bahasa sastra bukan sekedar referensial yang mengacu pada hal tertentu melainkan mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pengarangnya. Bahasa sastra adalah tanda, simbolisme kata-kata. Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika yang berfungsi untuk mencapai nilai estetik sastra.
Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Style membawa muatan makna tertentu. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis di samping maknanya yang netral (Sudjiman, 1995: 15-16). Istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir) menurut Chomsky (dalam Fowler, 1977: 6), identik dengan isi dan bentuk dalam style. Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan pengarang melalui gaya bahasanya.
Pemilihan struktur lahir merupakan teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk struktur lahir. Jadi, bentuk struktur lahir bergantung pada kreativitas dan kepribadian pengarang yang dipengaruhi oleh ideologi dan lingkungan sosial budayanya. Style Ahmad Tohari yang agraris, akrab dengan alam pedesaan, tentu berbeda dengan Ayu Utami yang metropolis.
Menurut Pradopo ( 2004: 8), gaya bahasa merupakan tanda yang menandai sesuatu. Medium sastra adalah bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama (first order semiotics). Dalam karya sastra gaya bahasa itu menjadi sistem tanda tingkat kedua (second order semiotics). Gaya bgagi Junus (1989: 187-188), adalah tanda yang mempunyai makna dan gaya bahasa itu menandai ideologi pengarang. Ada ideologi yang disampaikan pengarang jika ia menggunakan gaya tertentu dalam karya sastranya.
Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Corak sarana retorika tiap karya sastra sesuai dengan aliran, ideologi, konsepsi estetik, dan gaya bersastra pengarangnya. Oleh karena itu, demikian Junus (1989: xvii), stilistika, studi tentang gaya yang meliputi pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra, merupakan bagian penting bagi ilmu sastra sekaligus bagi studi linguistik.
Permasalahannya adalah bagaimana keunikan dan kekhasan bahasa figuratif yang mencakup majas dan idiom sebagai salah satu wujud stilistika RDP. Bagaimana fungsi dan tujuan pemanfaatan bahasa figuratif RDP sebagai sarana ekspresi pengarang dalam menuangkan gagasannya. Adapun tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan bahasa figuratif sebagai salah satu wujud stilistika RDP dan mengungkapkan fungsi dan tujuan pemanfaatan bahasa figuratif RDP sebagai ekspresi pengarang menuangkan gagasannya.
Style ‘gaya bahasa’ menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu (Leech & Short, 1984: 10). Tegasnya, style ialah performansi bahasa dalam karya sastra yang unik dan khas dengan memberdayakan segenap potensi bahasa dengan cara mengeksploitasi dan memanipulasinya untuk menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik. Bahasa sastra sebagai wujud style telah mengalami deotomatisasi dan defamiliarisasi guna menarik perhatian pembaca. Itulah foregrounding yang dilakukan sastrawan dengan melakukan eksplorasi, manipulasi, dan penyimpangan bahasa.
Adapun stilistika (stylistics) adalah ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Abrams, 1979: 165-167; Satoto, 1995: 36). Jadi, Stilistika adalah ilmu yang mengkaji style yakni wujud performansi bahasa dalam karya (sastra) melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif (figurative language) dan citraan.
Hubungan antara style ’gaya bahasa’ dengan ekspresi dan gagasan pengarang dilukiskan Aminuddin (1990: 77) dalam bagan berikut.

Figurative berasal dari bahasa Latin figura, yang berarti form, shape. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion. Istilah ini sejajar dengan pengertian metafora (Scott, 1980: 107). Menurut Hawkes (1978: 1), tuturan figuratif adalah “language which doesn’t mean what it says”, tuturan untuk menyatakan suatu makna dengan cara yang tidak biasa atau tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya. Tuturan figuratif atau sering disebut bahasa kias digunakan oleh sastrawan untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak langsung untuk mengungkapkan makna (Waluyo, 1991: 83). Hawkes (1978: 2) membedakan tuturan figuratif dengan bahasa literal. Jika tuturan figuratif mengatakan secara tidak langsung untuk mengungkapkan makna, maka tuturan literal menunjukkan makna secara langsung dengan kata-kata dalam pengertian baku.
Adanya tuturan figuratif (figurative language) menyebabkan karya sastra menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan angan (Pradopo, 1994: 62). Tuturan figuratif mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan lebih hidup. Dengan demikian, ada hubungan erat antara citraan dengan tuturan kias. Citraan pada dasarnya terefleksi melalui bahasa kias. Hawkes (1978: 2) menyatakan bahwa "inevitably, figurative language is usually descriptive, and the transference involved result in what seem to be "pictures" or ”images".
Menurut Middleton (dalam Lodge, 1969: 49), tuturan figuratif dalam aplikasinya dapat berwujud gaya bahasa yang sering dikatakan oleh para kritikus sastra sebagai uniqueness atau specialty pengarang sehingga gaya bahasa merupakan ciri khas pengarang. Meskipun tiap pengarang memiliki gaya sendiri dalam mengungkapkan pikiran, ada beberapa bentuk yang biasa dipergunakannya. Jenis-jenis bentuk itu dalam stilistika sering disebut sarana retorika (rethorical device).
Tuturan figuratif merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memberdayakan potensi bahasa dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (literal meaning) guna memperoleh efek estetis. Tuturan figuratif dalam penelitian ini mencakup majas dan idiom karena keduanya merupakan sarana sastra yang representatif dalam mendukung gagasan pengarang. Selain itu, keduanya banyak dimanfaatlkan oleh Tohari dalam RDP.
Majas terbagi menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rethorical figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat (Aminuddin, 1995: 249). Majas dalam kajian ini merujuk pada tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan.
Majas (figure of thought) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna tambahan yang tersirat. Jadi, majas merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan pemanfaatan bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan makna antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya, namun hubungan itu bersifat tidak langsung, atau paling tidak ia membutuhkan interpretasi pembaca. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam kesastraan merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan, yakni penyimpangan makna (Nurgiyantoro, 1998: 296-297).
Penggunaan majas mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya sastra. Majas yang digunakan secara tepat dapat menggiring ke arah interpretasi pembaca yang kaya dengan asosiasi, di samping dapat mendukung terciptanya suasana tertentu. Bahkan, penggunaan majas yang baru akan memberikan kesan kemurnian, kesegaran, dan mengejutkan, dan karenanya bahasa menjadi efektif.
Merujuk pandangan Scott (1980: 107) dan Pradopo (2004: 61-78) majas yang akan dikaji daam kajian RDP ini meliputi metafora, simile, personifikasi, metonimia, dan sinekdoke (pars pro toto dan totem pro parte). Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Metafora itu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau setaraf dengan hal lain, yang sesungguhnya tidaklah sama (Altenbernd dan Lewis, 1970: 15). Metafora dapat memberi kesegaran dalam berbahasa, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tak bernyawa, menjauhkan kebosanan karena ketunggalnadaan (monoton), dan mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh (Subroto, 1996: 37). Metafora merupakan bahasa figuratif yang paling mendasar dalam karya sastra, terlebih puisi (Cuddon, 1979: 275). Hawkes (1980: 1) menyatakan bahwa "metaphor is traditionally taken to be the most fundamental form of figurative language".
Simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya. Simile merupakan majas yang paling sederhana dan paling banyak digunakan dalam karya sastra (Pradopo, 2000: 62). Personifikasi mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia. Majas personifikasi membuat hidup lukisan, dan memberi kejelasan gambaran, memberi bayantgan angan secara konkret (Pradopo, 2000: 75).
Metonimi adalah penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dan Lewis, 1970: 21). Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu hal atau benda untuk hal atau benda itu sendiri disebut sinekdoki (Altenbernd dan Lewis, 1970: 22). Sinekdoki dapat dibagi menjadi dua yakni (1) pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan) dan (2) totum ro parte (keseluruhan untuk sebagian).
Adapun idiom Menurut idiom adalah pengungkapan bahasa yang bercorak khas baik karena tata bahasanya maupun karena mempunyai makna yang tidak dapat dijabarkan dari makna unsur-unsurnya (Sudjiman, 1984: 34). Jadi, idiom adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain. Misalnya: kambing hitam, kaki tangan, dan panjang tangan.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Penelitian kualitatif memiliki karakter analisis data dilakukan secara induktif dan makna menjadi perhatian utama (Bogdan & Biklen, 1984: 14). Penelitian ini tidak hanya mengkaji bagaimana stilistika yang dipakai pengarang dalam RDP, melainkan juga mengkaji mengapa dan untuk apa pengarang menggunakan stilistika demikian. Dari segi kajian stilistika, penelitian ini termasuk penelitian stilistika genetik (Pradopo, 2004: 14; Hartoko & Rahmanto, 1986: 138), yakni mengkaji stilistika salah satu karya sastra pengarang, dalam hal ini karya Ahmad Tohari yakni novel RDP.
Sesuai dengan eksistensi RDP sebagai karya sastra yang bermediumkan bahasa, data penelitian ini berwujud data lunak (soft data) yang berupa kata, ungkapan, kalimat, dan wacana dalam novel RDP dan informasi tentang pengarangnya, Tohari, beserta kondisi sosiokultural masyarakat pada dekade 1960-an. Adapun sumber data penelitian ini ada dua macam yakni pustaka dan informan.
Sumber data pustakanya adalah RDP yang mengandung data kebahasaan berupa bahasa figuratif sebagai salah satu wujud stilistika RDP. Novel RDP sekaligus merupakan sumber data primer yang mengandung bahasa figuratif. Pustaka lainnya adalah berbagai tulisan yang mengkaji stilistika RDP baik berupa buku, hasil penelitian, maupun artikel pada jurnal ilmiah yang menjadi sumber data sekunder. Adapun informan (informant) dalam penelitian ini adalah Ahmad Tohari dan para tokoh masyarakat di lingkungan Tohari. Informan lainnya adalah sejumlah akademisi, kritikus sastra, dan mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra (FS) Universitas Sebelas Maret dan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta yang dipandang memiliki kompetensi dalam pemahaman stilistika RDP.
Pengumpulan data ditempuh melalui pembacaan dan penghayatan sumber data utama yakni novel RDP dengan teknik analisis isi (content analysis) --meliputi teknik simak dan catat serta teknik pustaka--. Data juga dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan Focus Group Discussion ( FGD).
Analisis data bahasa figuratif RDP sebagai sarana sastra, dilaksanakan melalui metode pembacaan model Semiotik yakni pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffaterre, 1978: 5-6) serta metode berpikir induktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut konvensi atau struktur bahasa (pembacaan semiotik tingkat pertama). Adapun pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dengan memberikan interpretasi berdasarkan konvensi sastra (pembacaan semiotik tingkat kedua).
Dengan demikian, stilistika RDP dapat dipahami tidak saja dari arti kebahasaannya melainkan juga fungsi dan tujuan pemanfaatannya oleh pengarang yang memperlihatkan hubungan dinamik antara karya, pengarang, kondisi sosial budayanya, dan pembaca. Tegasnya penelitian stilistika RDP tidak hanya berhenti pada persoalan keindahan gaya bahasa, melainkan juga latar belakang, fungsi, tujuan pemanfaatannya sebagai sarana ekspresi pengarang dalam menuangkan gagasan pada teks sastra.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Mayoritas bahasa figuratif RDP merupakan hasil kreasi Tohari yang orisinal. Orisinalitas bahasa figuratif sebagai stilistika RDP mencerminkan individuasi Tohari yang tampak pada bentuk ekspresi, keselarasan bentuk dan isi (harmoni), kejernihan dan kedalaman tujuan yang berkaitan dengan intensitas bahasa.
Berikut disajikan analisis bahasa figuratif dalam RDP meliputi majas dan tuturan idiomatik.
1. Majas
Dalam RDP banyak pemanfaatan majas sebagai sarana retorika untuk mengungkapkan gagasan pengarang. Sebagai salah satu wujud stilistika RDP, majas dimanfaatkan secara produktif oleh Tohari dalam RDP. Artinya, majas dalam RDP banyak dimanfaatkan oleh Tohari untuk mengeskpresikan gagasan guna menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetis.
Berikut akan dianalisis satu persatu bentuk-bentuk majas sebagai stilistika RDP.
a. Metafora
Dalam RDP banyak ditemukan majas Metafora. Hal itu tidak terlepas dari fungsi Metafora sebagai sarana retorika yang mampu menghidupkan lukisan dan menyegarkan pengungkapan. Jelasnya, dengan Metafora pengungkapan maksud menjadi lebih mengesankan, lebih hidup, jelas, dan menarik.
Sebagai ilustrasi berikut dianalisis majas Metafora dalam RDP.
(1) Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau. (hlm. 13)

Data (1) merupakan contoh pemanfaatan bentuk metaforis yang indah dan mengesankan karena merupakan kreasi Tohari, belum pernah dipakai oleh pengarang lain dalam karyanya. Bentuk metaforis itu melukiskan keadaan Dukuh Paruk yang masih asri, ketika malam hari pada musim kemarau. Angin malam yang bertiup dilukiskan oleh Tohari terasa dingin seolah-olah menyapu bunga kopi yang selalu mekar pada musim kemarau.
Ditinjau dari segi sintaksis, metafora ”... dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau” termasuk jenis metafora predikatif. Dalam hal ini kata simbol atau kias pada bentuk metafora itu hanya terdapat pada predikat kalimat yakni kata ’menyapu’. Metafora pada data (1) dilihat dari segi aspek budaya termasuk jenis metafora universal yakni metafora yang memiliki medan semantik yang sama bagi mayoritas budaya di dunia, baik lambang kias maupun maknanya. Jika ditinjau dari lambang yang dipakai maka bentuk metaforis itu termasuk dalam kategori kosmos (cosmos) dalam model hierarki Haley.
Ditinjau dari makna majas secara sinkronis bentuk metaforis tersebut mengandung makna bahasa kontekstual yakni makna majasinya mempertimbangkan interpretasi pragmatik yang mungkin dapat diterima oleh pembaca sesuai dengan konteks atau lingkungan tertentu. Bentuk ’dingin menyapu harum bunga kopi’ merupakan ungkapan majas yang maknanya sesuai dengan konteks pembaca.
Dikaji dari segi makna majas secara diakronis, data (1) tergolong metafora berdaya berjenis inovatif yakni metafora yang masih hidup atau berdaya dan kata majasnya merupakan bentukan baru. Artinya, metafora tersebut merupakan kreasi Tohari.
Data berikut menunjukkan pemanfataan metafora inovatif kreasi Tohari.
(2) Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang. (halaman 14)

Metafora pada data (2) melukiskan keindahan dunia anak-anak di pedukuhan kecil yang serba gembira, bebas bermain, belum memiliki tanggung jawab keluarga, dan fisik masih prima. Dunia anak-anak merupakan fase kehidupan yang indah luar biasa dan tidak mungkin terulang lagi pada kehidupan seseorang. Banyak kenangan indah atau sedih yang tidak terlupakan. Tohari mengibaratkan dunia anak itu sebagai ’surga yang hanya sekali datang’. Demikian plastis pelukisan dunia anak-anak dengan metafora tersebut. Yang lebih mengesankan lagi adalah metafora itu dirangkai dengan gaya bahasa paralelisme di atasnya, ”Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang.” Seandainya diekspresikan dengan bahasa biasa misalnya, ”...masa kanak-kanak adalah masa yang sangat indah dan hanya sekali terjadi dalam hidup ini”, tentu tidak akan menarik. Bahasa biasa tidak mengesankan karena tidak unik, tidak ekspresif sehingga tidak memiliki daya pikat. Lebih memikat lagi metafora itu dipadukan dengan unsur permainan bunyi vokal /a/ dan konsonan /k/ serta /m/. asonansi dan aliterasi sehingga menimbulkan irama indah, eufoni dan kokofoni.
Ditinjau dari segi makna majas secara diakronis Metafora pada data (2) termasuk metafora jenis konvensional karena kata majasnya yakni ’surga’ sebagai simbol keindahan dan kesenangan sudah lazim dipakai dalam masyarakat. Dari segi makna majas sinkronis metafora di atas tergolong metafora jenis makna ilokusioner karena pengarang dan pembaca berbagi pengalaman dan pengetahuan bersama untuk mencapai sesuatu yang dimaksudkan.
Metafora data (2) termasuk jenis metafora universal jika dilihat dari aspek budaya karena kata majasnya tidak terikat oleh budaya bangsa tertentu dan mengandung makna yang dapat diterima oleh mayoritas budaya di dunia. Adapun dari segi sintaksis, metafora di atas termasuk jenis metafora nominatif karena simbol kiasnya terdapat pada nomina kalimat. Dalam model hierarki Haley, dari lambang yang digunakan, maka bentuk metaforis itu termasuk kategori kehidupan (living).
Data (3) juga merupakan pemanfaatan bentuk metaforis kreasi Tohari.
(3) Kelak Srintil bercerita padaku bahwa dia segera terjaga kembali ketika Dower membangunkannya dengan dengus napas lembu jantan. (hlm. 76)

Kepiawaian Tohari dalam menghidupkan lukisan memang sulit dicari tandingannya. Untuk melukiskan tokoh Dower, salah satu pemenang sayembara memperebutkan virginitas calon ronggeng Srintil dalam upacara bukak klambu, Tohari memanfaatkan ungkapan metaforis yang baru dan ekspresif. Dower yang dikuasai nafsu berahi diperbandingkan dengan lembu jantan dengan ungkapan metaforis: ”Dower membangunkannya dengan dengus napas lembu jantan.” Pelukisan keadaan Dower yang dikuasai nafsu hewani dengan ungkapan itu terasa tepat untuk lingkungan budaya Jawa, mengingat lembu jantan merupakan salah satu simbol kejantanan laki-laki. Oleh karena itu, ditinjau dari aspek budaya, bentuk metaforis itu merupakan metafora terikat budaya karena medan semantiknya baik lambang maupun maknanya terbatas pada satu budaya saja, dalam hal ini budaya Jawa. Dari lambang yang dipakai dan makna yang dimaksudkan metafora tersebut dalam hierarki Haley termasuk kategori bernyawa (animate).
Ditinjau dari segi makna majas secara sinkronis, bentuk metaforis itu termasuk metafora dengan makna budaya. Artinya, metafora itu mencerminkan budaya masyarakat bahasa tempat kata tersebut dimanfaatkan. Karena budaya masyarakat berbeda-beda maka kata yang sama (’dengus napas lembu jantan’) mungkin berbeda pula dari satu budaya ke budaya lainnya. Dari segi makna majas secara diakronis, bentuk metaforis itu merupakan metafora berdaya dengan kategori inovatif karena menggunakan kata-kata kreasi Tohari.
Dari analisis bentuk metaforis dalam RDP di atas dapat dikemukakan bahwa bentuk metaforis yang dimanfaatkan oleh Tohari dalam novel RDP beragam dan bervariasi baik dari segi sintaksis, budaya, maupun maknanya. Kesemuanya itu diciptakan untuk mencapai efek makna tertentu di samping ekspresif.
b. Simile
Seperti halnya Metafora, majas Simile ditemukan banyak sekali dalam RDP. Majas Simile merupakan sarana retorika yang paling sederhana karena membandingkan suatu hal dengan hal lain yang sama atau mirip artinya. Berikut beberapa data tentang majas Simile.
(4) Sesungguhnya gendang telinganya menangkap suara celoteh Srintil yang lucu menawan. Tetapi Santayib mendengarnya sebagai hiruk pikuk suara ribuan monyet di pekuburan Dukuh Paruk. (hlm. 28)

Data (4) merupakan majas Simile kreasi Tohari yang tidak pernah ditemukan dalam karya sastra lain. Majas Simile terlihat pada ’... suara celoteh Srintil yang lucu menawan’ bagi Santayib terdengar ‘sebagai hiruk pikuk suara ribuan monyet di pekuburan Dukuh Paruk’. Ada perbandingan antara ’suara celoteh Srintil yang lucu dan menawan’ dengan ’hiruk pikuk ribuan monyet’ yang dihubungan dengan kata ’sebagai’.
Data (5) merupakan majas Simile untuk melukiskan keremajaan Srintil.
(5) ”Dengar, Pak. Srintil masih segar seperti kecambah," sambung Nyai Kartareja sambil menyentuh dada Marsusi dengan lembut. (hlm. 121)

Pemilihan kata ’kecambah’ sebagai perbandingan dengan ’Srintil yang masih kecil dan segar’ tentu dilakukan bukan tanpa sengaja. Terdapat perbandingan yang terasa plastis antara ’Srintil yang masih remaja’ dengan ’kecambah’ yang segar. Kata ’kecambah’ dipilih mengingat kecambah memiliki makna khusus. Seperti Srintil yang masih remaja, kecambah adalah ’bibit kacang hijau yang baru tumbuh’ yang juga masih segar dan sangat disukai oleh warga masyarakat sebagai bahan sayur. Perbandingan ’gadis remaja’ dengan ’kecambah yang segar’ kiranya merupakan pasangan yang tepat.
c. Personifikasi
Dalam RDP banyak dijumpai majas Personifikasi. Benda-benda mati dilukiskan memiliki kemampuan dan keadaannya seperti manusia yang dapat bergerak, berhias, sakit, sengsara, dan tua. Berikut ilustrasinya.
(6) Selama ini aku mencintai Dukuh Paruk dengan cara membiarkannya lelap dengan mimpi cabul, mengigau dengan segala macam sumpah-serapah (hlm. 382)
(7) Sekelilingku adalah tanah airku yang kecil dan sengsara. Ditambah dengan nestapa yang sedang menimpa Srintil, Dukuh Paruk bertambah sakit. (hlm. 394)

Pada data (6) majas Personifikasi terlihat pada ’Dukuh Paruk’ yang ’lelap dengan mimpi cabul, mengigau dengan segala macam sumpah-serapah’. Dukuh Paruk dilukiskan dapat tidur lelap, mimpi cabul dan mengigau dengan sumpah-serapah seperti manusia. Demikian pula data (7), majas Personifikasi tampak pada ’tanah airku yang kecil dan sengsara’ dan ’Dukuh Paruk bertambah sakit’.
Majas Personifikasi juga dimanfaatkan Tohari ketika melukiskan suasana pagi hari di Dukuh Paruk. Data berikut ilustrasinya.
(8) Pagi-pagi halaman dan tanah pekarangan di Dukuh Paruk berhias mosaik dedaunan yang jatuh semalam. (hlm. 325)
(9) Awan-gemawan mengirimkan irama kecapi petikan jari Wirsiter dan Asmara Dahana yang bergetar bersih melalui pita suara Ciplak. (hlm. 360)

d. Majas Metonimia
Pada data (10) Tohari memanfaatkan majas Metonimia guna menggantikan nama suatu hal dengan nama lain. Hal itu dilakukan oleh Tohari agar pengungkapan suatu hal tersebut menjadi lebih ekspresif dan mengesankan. Data berikut ilustrasinya.
(10) Di sana, di dalam kurung kelambu yang tampak dari tempatku berdiri,
akan terjadi pemusnahan mustika yang selama ini amat kuhargai. (hlm. 53)
(11) Bajus mengantarkan si Rahang Persegi sampai ke kursinya, bertanya ini-itu,
lalu keluar ruangan dan terus melangkah ke halaman. (hlm. 367)

Kata ’mustika’ pada data (10) merupakan pengganti nama ’virginitas’ atau ’keperawanan’ calon ronggeng Srintil ketika akan melalui upacara sakral bukak-klambu sebagai persyaratan terakhir untuk menjadi ronggeng sejati. Demikian pula pada data (11), kata ’si Rahang Persegi’ merupakan pengganti nama Blengur, sang kontraktor besar yang akan memberi Bajus projek pekerjaan bangunan.
Pada data (12) majas Metonimia juga dimanfaatkan oleh Tohari ketika melukiskan keadaan Srintil yang telah kehilangan citra kemanusiaannya, gila. Srintil disebutnya dengan ’bekas mahkota Dukuh Paruk’. Dengan majas Metonimia itu terlihat pelukisan tentang sesuatu menjadi hidup dan mengesankan. Berikut ilustrtasi majas Metonimia dalam RDP.
(12) Dan pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu. (hlm. 386)

e. Majas Sinekdoki
Majas Sinekdoki terdiri atas pars pro toto (penyebutan sebagian untuk keseluruhan) dan totum pro parte (penyebutan keseluruhan untuk sebagian). Dalam RDP Tohari juga memanfaatkan kedua jenis majas Sinekdoki tersebut guna membuat pengungkapan gagasan menjadi lebih efektif dan ekspresif. Majas Sinekdoki pars pro toto terlihat pada pemanfaatan ’sekian puluh pasang mata’ pada data (13), ’hatiku bertembang’ pada data (14), dan ’di depan mata’ pada data (15), yang mewakili seseorang atau manusia.
(13) Mereka harus menghadapi sekian puluh pasang mata yang menggugat pertanggungjawaban atas nama kemanusiaan. (hlm. 243)
(14) Hatiku bertembang pada kesadaran jiwa yang amat dalam. (hlm. 383)
(15) Mereka juga mendengar lengkingan-lengkingan suatu puak yang sedang melihat dunia mereka punah tepat di depan mata. (hlm. 243)

Majas Sinekdoki totum pro parte juga dimanfaatkan oleh Tohari dalam mengungkapkan gagasannya. Perhatikan data-data berikut.
(16) Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. (hlm. 80)
(17) Pasar Dawuan menjadi tempat kabar menyebar dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut, dan seterusnya. (hlm. 81)

Kata ’Dukuh Paruk’ pada data (16) dan ’Pasar Dawuan’ pada data (17) merupakan bentuk majas Sinekdoki jenis totum pro parte.
Terlihat betapa Tohari demikian kreatif memanfaatkan berbagai majas untuk menghidupkan dan memperindah gagasannya. Dengan memanfaatkan sarana retorika berupa pemajasan bahasa RDP terkesan lebih hidup, intens, efektif, dan mengesankan. Hal itu dilakukan dalam rangka mencapai efek estetis.
Dari deskripsi majas dapat ditemukan bahwa majas dalam RDP didominasi oleh Metafora, disusul kemudian oleh Personifikasi, dan Simile. Majas Metafora yang dimanfaatkan oleh Tohari dalam novel RDP beragam dan bervariasi baik dari segi sintaksis, budaya, maupun maknanya. Adapun majas Metonimia sedikit, demikian pula Sinekdoki (pars pro toto dan totum pro parte). Pemajasan dimanfaatkan Tohari untuk memberi daya hidup, memperindah, dan mengefektifkan pengungkapan gagasan.
Frekuensi pemanfaatan majas dalam RDP dapat dilihat pada tabel berikut.
______________________________________________________________________
Jumlah Pemanfaatan Majas
No. Majas 50-100 101-200 201-300 301-400 401-500
______________________________________________________________________

1. Metafora 175
2. Simile 51
3. Personifikasi 126
4. Metonimia 17
5. Sinekdoki 22
______________________________________________________________________
Total: 391 data
(Sumber: Kumpulan Data Penelitian 4. Data Bahasa Figuratif, pada Lampiran 3)

Kelima majas di atas yakni Metafora, Simile, Personifikasi, Metonimia, dan Sinekdoki dalam RDP dimanfaatkan oleh Tohari sedemikian efektif. Segenap potensi bahasa diberdayakan secara optimal demi mencapai efek estetis. Dengan kata lain, berbagai jenis majas dalam RDP dimanfaatkan oleh Tohari untuk menghidupkan lukisan keadaan, peristiwa, kondisi dan situasi, perwatakan tokoh termasuk gejolak batin tokoh RDP agar pengungkapan gagasan lebih ekpresif dan efektif.

2. Tuturan Idiomatik
Berbeda dengan pemanfaatan majas yang memberikan kebebasan bagi Tohari untuk berkreasi dengan tuturan inovatif, tuturan idiomatik dalam RDP tidak sebanyak majas. Hal ini berkaitan dengan realitas bahwa tuturan idiomatik lazimnya memiliki struktur konvensional dengan diksi yang klise, meskipun dalam RDP Tohari menunjukkan keberhasilannya menciptakan tuturan idiomatik kreasi sendiri.
Pemanfaatan tuturan idiomatik dalam RDP tampaknya didasarkan pada beberapa alasan antara lain: (1) tuturan idomatik mampu mengekspresikan gagasan secara lebih efektif sehingga penuturan akan lebih ringkas; (2) tuturan idomatik mampu membangun intensitas makna yang dikandung dalam ekspresi bahasa sehingga dapat merepresentasikan gagasan secara lebih plastis; (3) tuturan idiomatik lebih memungkinkan untuk mencapai efek estetis daripada pemakaian bahasa biasa. Tuturan idiomatik dapat diungkapkan secara lebih eskpresif sehingga memiliki daya hidup dan segar; dan (4) tuturan idiomatik bersifat simbolis sehingga akan lebih mengesankan pembaca daripada pemakaian bahasa biasa.
Adapun tujuan pemanfataan tuturan idomatik dalam RDP untuk: (1) meningkatkan efektifitas penuturan sehingga pemakaian bahasa dapat lebih ringkas dan padat; (2) meningkatkan intensitas makna yang dituangkan dalam sarana bahasa; dan (3) mencapai efek estetis karena dengan tuturan idiomatik akan terkesan lebih plastis, hidup, dan mengesankan pembaca.
Berikut akan dikaji tuturan idiomatik dalam RDP yang dimanfaatkan oleh Tohari guna mengefektifkan sarana bahasa sekaligus mencapai intensitas dalam pengungkapan gagasan yang pada gilirannya akan mencapai efek estetis.
(18) Mereka sungguh tidak rela kalau anak asuhannya jatuh hati kepada Rasus atau laki-laki mana pun. (hlm. 115)
(19) ”... Laki-laki itu kukira tidak mau tahu bahwa Srintil sedang datang bulan. He-he-he!” (hlm. 126)
(20) ”Yang sampean maksud dengan kaum penindas?” ”Kaum imperialis, kapitalis, dan para kaki tangannya. Tak salah lagi!” (hlm. 183)

Data (18), (19), dan (20) menunjukkan pemanfaatan tuturan idiomatik yang menggunakan struktur dan diksi yang sudah klise. Tuturan idiomatik ’jatuh hati’ pada data (18) untuk menyatakan keadaan batin Srintil yang hatinya telah tercuri, jatuh cinta, atau kasmaran kepada Rasus atau laki-laki mana pun. Tuturan idiomatik ’datang bulan’ pada data (19) untuk menjelaskan banyaknya laki-laki hidung belang yang sering tidak mau tahu akan keadaan tokoh Srintil yang sedang mengalami haid atau menstruasi. Adapun bentuk ’kaki tangan’ pada data (20) dimaksudkan untuk menyatakan anak buah, anggota, bawahan atau orang-orang suruhan kaum imperialis dan kapitalis. Ketiga tuturan idiomatik itu adalah bentuk idiomatik konvensional yang sudah lazim digunakan oleh komunitas bahasa Indonesia sejak dulu hingga kini.
Tuturan idomatik itu dimanfaatkan Tohari lebih sebagai upaya mencapai efektivitas pengungkapan dalam mendukung intensitas makna. Hal ini dapat dipahami mengingat ketiga tuturan idomatik tersebut sudah dipahami oleh masyarakat umum. Dengan bentuk idiomatik itu maka gagasan yang ingin dikemukakan Tohari menjadi mudah ditangkap pembaca, di samping lebih menarik. Yang lebih penting lagi adalah dengan tuturan idiomatik itu kalimat menjadi lebih efektif dan ekspresif.
Pada data (21), (22), (23) tuturan idiomatik dimanfaatkan untuk melukiskan penokohan dalam RDP yang berkaitan dengan perilaku para tokoh ketika berhadapan dengan tokoh Srintil. Kali ini Tohari menciptakan idiom orisinal (baru). Berikut kutipannya.
(21) Berkali-kali Marsusi menelan ludah, tetapi Srintil tetap duduk menyamping, berpura-pura tidak tahu ada seekor buaya lapar di dekatnya. (hlm. 149)
(22) Seperti halnya Pak Simbar, Babah Pincang juga gatal tangan. Bukan pinggul yang digamitnya, melainkan pipinya. Kali ini pun Srintil tak berusaha menolak. Bangsat lagi! (hlm. 83).
(23) Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru seorang ronggeng. (hlm. 231)

Dari kajian tuturan idiomatik di atas dapat dikemukakan bahwa tuturan idiomatik dalam RDP dapat dibagi menjadi dua jenis yakni tuturan idiomatik klise dan orisinal kreasi Tohari. Tuturan idiomatik klise pada data (18), (19), dan (20) mengindikasikan bahwa Tohari menguasai bentuk-bentuk idiom lama yang efektif dari segi ekspresi dan makna. Adapun tuturan idiomatik orisinal pada data (21), (22), dan (23) menunjukkan bahwa Tohari adalah pengarang yang kreatif dalam pemberdayaan segenap potensi bahasa.
Berdasarkan analisis bahasa figuratif di atas dapat dikemukakan bahwa bahasa figuratif yang unik dan khas Tohari cukup dominan dalam RDP. Melalui bahasa figuratif maka stilistika RDP menjadi lebih hidup, ekspresif, dan sensual. Bahasa figuratif dalam RDP tampak dominan dimanfaatkan oleh Tohari.
Bahasa figuratif sebagai stilistika RDP berhasil menunjukkan jati diri Tohari sebagai sastrawan yang kaya wawasan dan fasih bercerita dengan ekspresi bahasa yang indah dan menarik. Bahasa figuratif RDP mampu mengekspresikan gagasan-gagasan pengarang secara plastis, segar, dan efektif sesuai dengan hakikat bahasa sastra yang konotatif dan asosiatif. Bahasa figuratif RDP yang kaya nuansa itu tidak terlepas dari latar belakang Tohari yang berprofesi sebagai wartawan dan pengalaman kuliah di tiga fakultas (Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Jenderal Soedirman serta Fakultas Ilmu Kedokteran di Universitas Ibnu Khaldun, Jakarta). Latar belakang Tohari yang dibesarkan di pedesaan dan akrab dengan budaya Jawa serta hidup dalam keluarga santri turut memperkaya stilistika RDP. Karena itu, stilistika RDP kaya nuansa intelektual, sarat muatan filosofis budaya Jawa, dan wawasan religius.

D. SIMPULAN
Dalam upaya mencapai intensitas bahasa sebagai sarana ekspresif guna mencapai efek estetis, Tohari memberdayakan segenap potensi bahasa dengan memanfaatkan bahasa figuratif. Oleh karena itu, bahasa figuratif merupakan sarana retorika yang sering dipilih Tohari dalam mengungkapkan pengalaman kejiwaan melalui proses pengalaman inderawi yang intensif ke dalam karya fiksinya.
Bahasa figuratif yang bersifat prismatis, memancarkan makna lebih dari satu dengan mengasosiasikan sesuatu dengan menghubungkannya dengan sesuatu yang lain, digunakan oleh Tohari untuk menciptakan pembayangan bagi pembaca. Adapun fungsi estetis bahasa figuratif dalam RDP adalah untuk memperjelas, memberikan daya hidup, menjadikan lukisan lebih ekspresif dan karya sastra menjadi lebih menarik.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press.

Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Karya sastra. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.

_______. 1995. Stilistika Pengantar dalam Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Altenbernd, Lynd and Lislie L. Lewis. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. London:
Collier-Macmillan Ltd.

Bogdan, Robert C. and Sari Knopp Biklen. 1984. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Cuddon, J.A. 1979. A Dictionary of Literary Term. Great Britain: W&J Mackay Limited.

Fowler, Roger. 1977. Linguistic and the Novel. London: Methuen & Co Ltd.

Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.

Hartoko, Dick & B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Junus, Umar. 1989. Stilistik: Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey N. & Michael H. Short. 1984. Style in Fiction: a Linguistics Introduction to English Fictional Prose. London: Longmann.

Lodge, David. 1967. Language of Fiction. London: Chatto and Windus.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______. 2004. "Stilistika". Makalah dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia dalam rangka PIBSI XXVI tanggal 4–5 Oktober 2004 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.

Satoto, Soediro. 1995. Stilistika. Surakarta: STSI Press.

Scott, A.F. 1980. Current Literary Term. A Concise Dictionary. London: The Macmilland Press.

Subroto, D. Edi. Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

_______. 1996. Semantik Leksikal I dan II. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Sudjiman, Panuti & Aart van Zoest (Ed.). 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.

Tohari, Ahmad 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. (Edisi Baru). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Waluyo, Herman J.. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan (Terjemahan Melani Budianto). Jakarta: Gramedia.
ooOoo

ABSTRAK

Tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan bahasa figuratif sebagai salah satu wujud stilistika Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan mengungkapkan fungsi dan tujuan pemanfaatannya sebagai ekspresi pengarang dalam mengemukakan gagasannya. Metode penelitiannya adalah kualitatif deskriptif yang mengedepankan interpretasi yang penuh nuansa. Analisis data dilakukan dengan metode berpikir induktif dengan menerapkan metode pembacaan model Semiotik yakni heuristik dan hermeneutik. Hasil kajian stilistika RDP menunjukkan bahwa bahasa figuratif RDP memiliki keunikan dan kekhasan sekaligus membuktikan kompetensi Tohari dalam pemberdayaan segenap potensi bahasa. Kekhasan bahasa figuratif RDP terlihat pada majas dan idiom yang khas Tohari. Bahasa figuratif dalam RDP didominasi oleh majas, di samping idiom, yang indah dan kaya variasi, serta memiliki daya ekspresif, asosiatif, dan estetis. Hal itu menunjukkan individuasi Tohari sebagai pengarang yang memiliki intelektualitas tinggi. Melalui kajian stilistika, diperoleh simpulan bahwa bahasa figuratif RDP memiliki daya ekspresi kuat sebagai media artikulasi gagasan pengarang yang tidak terlepas dari latar sosiohistorisnya.

Kata kunci: stilistika, bahasa figuratif RDP, majas dan idiom, estetis.

1 komentar: