RESOLUSI KONFLIK ANTARETNIK DAN ANTARAGAMA: 
PERSPEKTIF IDEOLOGIS-KULTURAL
Oleh Ali Imron A.M.
PBSID FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACTION
 
Social conflict in Indonesia society recently often contain the political payload beside disappointment and feeling depressed. Some cause factor of incidence conflict of interethnics and interrelegion in Indonesia for example: (1) situated behind storey; level or collective grief of the communal group compared to by communal outher group; (2) exactly group identity; (3) degree of cohesion and group mobilization; and (4) control represive by dominant group.
  For the minimalisation and elimination   social conflict,   approach of represive or security is not   precise. Approach   cultural ideologis represent one of the its solution alternative, namely: (1) The importance of ability interpret and   communicating   religion teaching wisely,   (2) Sikap byword of religion leaders, (3) The importance of cultural integration of interetnics, (4) To manag of various difference become the potency in nation development.
 
Keyword: conflict of interethnics and interreligion, cause factor, solution, approach cultural 
       ideologis.
1. Pendahuluan
  Suatu realitas yang tak terbantahkan, bahwa tidak satu negara pun di dunia yang memiliki identitas nasional yang tung¬gal. Tidak ada negara yang dihuni hanya oleh satu suku bangsa. Negara mana pun di dunia sekarang selalu didukung oleh pluralitas penduduk dari segi etnik. Implikasi dari pluralitas etnik ini adalah lahirnya pluralitas dalam aspek lain, seperti budaya, bahasa, agama, bahkan kelas sosial dalam satu negara. Tak terke¬cuali Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan tersebar di Nusantara dan memiliki ratusan etnik.
  Di sisi lain, karakteristik pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya di dalam hal etnik dan agama. Di Indonesia terda¬pat tidak hanya puluhan etnis, melainkan ratusan etnis dengan bahasa dan budayanya masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda. Selain itu, berbagai etnik itu pada umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda, meskipun secara yuridis formal Indonesia menetapkan adanya lima agama yang diakui negara yakni: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Karena itu, semboyan Bhinneka Tunggal Ika terasa pas dengan kondisi bangsa Indonesia. 
  Kebhinnekaan bangsa Indonesia itu tentu saja merupakan nilai positif tetapi sebenarnya sekaligus menyimpan nilai negatif yang terkadang tak terhindarkan. Dengan keanekaragaman komponen bangsa Indonesia itu, di satu sisi kita dapat menghimpun dan mengembang¬kan berbagai potensi bangsa yang ada. Keanekaragaman budaya yang ada di tanah air misalnya, merupakan kekayaan yang tiada tara dan harus disyukuri. Namun, di sisi lain keanekaragaman tradisi dan agama, mudah sekali menimbulkan gesekan antarberbagai kelompok komunal, yang pada gilirannya akan dapat memunculkan kekerasan sosial.
  Lebih jauh, kebhinnekaan bangsa Indonesia itu ternyata sangat rentan terhadap tindak kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di samping antar kelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di Indonesia sering disebut dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Kekerasan itu sejak lama telah muncul di beberapa daerah di Indonesia. Hanya saja selama ini kekerasan itu tidak besar atau membesar dan tidak merember ke daerah lain. Namun, ketika bangsa Indonesia dilanda krisis moneter/ ekonomi sejak akhir 1997 hingga kini setelah gerakan reformasi --yang dimotori para mahasiswa dan intelektual--berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru dengan me-lengseringkeprabon-kan Presiden Soeharto, kekerasan itu mengemuka bahkan menggejala di berbagai daerah. Sedikit saja ada gesekan, maka mudah sekali timbul kerusuhan massal dan tindak kekerasan kolektif (anarkisme), yang mengakibatkan rakyat yang tidak berdo¬sa harus menderita karenanya. Kasus kerusuhan Tasikmalaya, Situ¬bondo (1997); Medan, Jakarta, Solo, Ketapang dan Kupang (1998); Bali (1999), Ambon, Maluku Utara (1999/ 2000; 2003/ 2004), Mataram (2000), dan Poso (2003-2006) merupakan contoh aktual yang masih segar dalam ingatan kita. Dan, sekaligus mengindikasikan betapa kekerasan sosial akhir-akhir ini begitu fenomenal melanda masyarakat kita, yang dulu dikenal religius dan berbudaya santun: halus budi bahasanya, berbudi pekerti luhur, ramah-tamah perangainya, dan sebagainya. 
  Sayang sekali bahwa karakteristik bangsa Indonesia yang disebut terakhir itu kini --setidak-tidaknya satu dekade terakhir -- tinggal kenangan. Identitas "bangsa religius dan berbudaya san¬tun" itu telah terkoyak dan ternodai oleh berbagai tindak kekera¬san sosial di berbagai daerah. Bahkan situasi di Ambon akibat konflik antara masyarakat yang beragama Kristen dengan yang beragama Islam hingga kini masih membara dan setiap saat dapat saja meledak. Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan dan kegelisahan di kalangan masyarakat Indonesia, lebih-lebih ketika masyarakat kita sedang berjuang mengatasi kesulitan hidup akibat krisis yang berkepanjangan sejak 1997 baik krisis politik, ekonomi, maupun moral. 
  Permasalahannya adalah faktor-faktor apa yang memicu mu¬nculnya konflik antar-etnik dan antar-agama? Bagaimana kita memanaj keberbedaan latar belakang bangsa Indonesia itu? Lalu, bagaimana model-model solusi untuk mengeliminasi faktor-faktor sensitif tersebut khususnya dalam relasi antar-etnik dan agama?
  Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas konflik antar-etnik dan antar-agama beserta solusinya secara mendetail. Mengin¬gat berbagai keterbatasan, maka tulisan ini baru merupakan kajian sekilas terhadap berbagai permasalahan yang dibatasi pada pende¬katan agama dan kultural. Sehingga, masih diperlukan kajian lanjut dan dialog panjang secara intens.
2. Konflik dan Komponennya
  Seperti halnya istilah lain, pengertian konflik beraneka ragam yang dikemukakan para pakar. Umumnya, perbedaan pengertian itu muncul sebagai akibat adanya perbedaan fokus atau penekanan. Coser (1956) misalnya, menekankan aspek perilaku konflik. Fokus terhadap perilaku konflik itu sangat populer di kalangan peneliti konflik dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan Boulding  (1962) lebih memfokuskan pada situasi yang melatari konflik, seperti persaingan dan ketidakselarasan (incompatibility). Lain lagi dengan definisi Kriesberg (1982) yang lebih menekankan pada keyakinan (belief) dengan anggapan bahwa konflik terjadi jika pihak-pihak meyakini tujuan mereka bertentangan satu dengan lainnya. Adapun Pruitt dan Rubin (1986) menekankan pada persepsi dan keyakinan mengenai ketidakselarasan kepentingan (seperti nilai dan kebutuhan) dan aspirasi (tujuan dan tolok ukur) (dalam Panggabean, 1998: 9).
  Beberapa definisi sekitar konflik di atas perlu diperhatikan mengingat masing-masing definisi itu menekankan dimensi tertentu dalam konflik. Dari empat definisi konflik di atas tercakup tiga komponen pokok konflik yang dapat dicermati, yakni: (1) Kondisi yang mendahului konflik, (2) Perilaku konflik, dan (3) Aspek-aspek kognetif dan afektif konflik.
  Ketiga komponen utama konflik tersebut selanjutnya juga penting diperhatikan dalam kerangka menganalisis konflik.  Dalam arti ketika kita menganalisis fenomena atau peristiwa konflik tertentu, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan misalnya:
  (1) Situasi apa yang melatari suatu konflik? Bagaimana situasi tersebut terbentuk di dalam masyarakat? Isu apa saja atau pokok persoalan apa yang menjadi sengketa?
  (2) Sikap dan persepsi apa yang dimiliki pihak-pihak yang berkonflik sehubungan dengan sehubungan dengan lawan? Bagaimana sikap dan persepsi itu terbentuk dn bertahan?
  (3) Perilaku konflik apa saja yang ditunjukkan oleh pihak-pihak yang bertikai? Lalu, strategi, taktik, atau alat apa yang diguna¬kan dalam perilaku konflik? (Panggabean, 1998: 8). 
  Berdasarkan ketiga komponen konflik di atas, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai konflik. Pema¬haman konflik tidak hanya menekankan pada satu komponen saja khususnya komponen perilaku sehingga komponen lain kurang memper¬oleh perhatian semestinya. Karena itu, beberapa pertanyaan sema¬cam dapat diajukan untuk keperluan analisis konflik, mulai dari konflik antarpribadi sampai internasional, antara lain: Apa sumber konflik?; Siapa pihak-pihak yang terlibat?; Apa pokok sengketa dan issue konflik?: Apa taktik yang dipakai pihak-pihak yang berkonflik?; Apa yang berubah dalam konflik seiring dengan waktu? Bagaimana konflik meluas sehingga melibatkan lebih banyak pihak, wilayah, dan issue konflik?; Apa saja peran pihak-pihak lain (seperti patron, penengah, sekutu, audiens, penonton) dalam 
konflik?; Apa hasil dan akibat yang ditimbulkan konflik?
  Adapun bentuk-bentuk perilaku konflik dapat berupa demon¬strasi, kerusuhan komunal, kerusuhan politik, pemogokan massal, dan lain-lain. 
3. Akar Munculnya Konflik
  Untuk memahami sebab-sebab munculnya konflik, lebih dulu perlu dikemukakan teorisasi tentang Ethno-nationalism (dalam P3PK-UGM dan Departemen Agama, 1997: 11). Para pendukung Ethno-nationalism terbagi dalam dua aliran. Pertama, para etno-nationalis yang beraliran "primordialis" mengemukakan argumen bahwa banyak gera¬kan politik --termasuk perilaku konflik-- berbasis suku yang menekankan nasionalisme etnik. Ini merupakan manifestasi dari tradisi kultural yang masih bertahan yang didasarkan pada perasaan identitas etnik primordial. Dengan demikian, motivasi utama perilaku konflik mereka adalah memelihara identitas kultural itu, sesuatu yang immaterial. Kedua, para teoritisi etno-nasionalis yang beraliran "instrumentalis" memahami issue  etnisitas itu sekadar sebagai an exrercise in boundary maintenance, dan bera¬sumsi bahwa gerakan komunal merupakan respons terhadap perlakuan pilih-kasih. Jadi, mereka melakukan gerakan dengan menggunakan simbol-simbol etnik dengan tujuan memberi tanggapan terhadap perlakuan yang tidak adil dari pihak lain; yang mungkin saja bersifat material. Penggunaan simbol-simbol etnik itu didasarkan pada alasan praktis yakni sarana efektif untuk menimbulkan dukun¬gan emosional.
  Adapun Charles Tilly (1978) menyatakan, bahwa tindak kekera¬san merupakan hasil kalkulasi para pemimpin yang memobilisasikan sumber daya kelompok untuk menanggapi peluang politik yang beru¬bah. Kekerasan dan perilaku konflik itu terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Pendeknya, tindak kekerasan dan perilaku konflik adalah hasil kalkulasi politik (dalam P3PK- UGM dan Departemen Agama, 1997: 14).
  Pandangan-pandangan   mengenai  penyebab  tindak  kekerasan  di  atas,  dapat   dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok teoritisi yang berpandangan bahwa tindak  kekera¬san dan perilaku konflik merupakan reaksi emosional terhadap ganguan dari luar.  Kedua, kelompok pendukung instrumentalis yang berpendapat bahwa tindak kekerasan dan/ atau  peri¬laku  konflik merupakan hasil dari kalkulasi strategis dan keputusan taktis (para pemimpin/  elit politik). Meminjam  istilah Susetyawan (1999: 5), bahwa "kerusuhan marak  akibat  pertentangan elit politik". Namun, pada prinsipnya, kedua pendapat di atas dalam  praktiknya  berhubungan erat. 
  Penelitian  mengenai  berbagai kelompok etnik dan komunal yang aktif  dalam  gerakan politik  menunjukkan,  bahwa  mobilisasi dan strategi mereka didasarkan  pada  interaksi  atara kedua  faktor  itu. "Kekecewaan akibat perlakuan pilih-kasih dan perasaan  identitas  kelompok merupakan  landasan  dasar bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan ang  dapat  diajukan para  pemimpin gerakan" (Gurr, dalam P3PK-UGM dan Departemen Agama, 1997: 12). Jika  kekecewaan masyarakat  tidak cukup parah dan identitas kelompok tidak cukup kuat, maka  para  pemimpin itu tidak memiliki bahan atau sarana untuk menanggapi ancaman atau peluang yang datang dari luar kelompok.  Sebaliknya,  jika kekecewaan itu mendalam  dan  meluas,  diimbangi  dengan identitas dan kepentingan kelompok yang kuat, maka tersedialah "massa frustrasi" yang cukup; tinggal menunggu kesempatan untuk membuatnya marah besar.
  Sejalan dengan pemikiran di atas, kekecewaan hanya akan menimbulkan tindak  kekera¬san pada  aras  komunitas  jika dilakukan mobilisasi atas konflik  yang  terjadi.  Mobilisasi  itu dapat berupa mendorong anggota kelompok atau masyarakat lainnya agar bersedia mengorban¬kan tenaga dan sumberdaya untuk melakukan tindakan kolektif demi kepentingan bersama.
  Bagaimana  dengan fenomena pemicu? Kondisi psikolois tidak secara langsung  menga-kibatkan timbulnya perilaku kekerasan kolektif. Hubungan itu dikualifikasi oleh adanya kejadi¬an  yang  berfungsi  sebagai pemicu. Pendeknya, massa yang kecewa berat  itu  perlu  pemicu. Selanjutnya,  karena  pemicu  itu  tidak dapat diasumsikan  sebagai  kejadian  yang  sekali-jadi, tetapi  mungkin  terjadi  sebagai  re1ntetan peristiwa, maka  untuk  dapat  menggugah  perhatian massa, pemicu itu perlu dimobilisasi.
  Hingga  di  sini kita dapat memahami bahwa tindakan kekerasan  kolektif  itu  berkaitan dengan kondisi psikologis, berujud kekecewaan masyarakat yang meluas, yang diletupkan  oleh kejadian pemicu.
  Dalam  konteks ini, Gurr (dalam P3PK-UGM dan Departemen Agama, 1997: 12), mengemukakan  empat faktor  yang  dipandangnya  menentukan intensitas kekecewaan dan  potensi  untuk  melakukan tindakan politik  sebagai jalan keluarnya. 
Pertama, seberapa jauh tingkat keterbelakangan  atau penderitaan  kolektif kelompok komunal tersebut dibanding  dengan  kelompok-kelompok  lain. Semakin  besar  perbedaan  kondisi antarkelompok itu semakin kuat alasan  untuk  kecewa  dan semakin  kokoh persepsi bahwa mereka memiliki kepetingan bersama untuk  melakukan  tinda¬kan kolektif. 
Kedua,  ketegasan identitas kelompok. Kekecewaan kelompok dan potensi  untuk  mengartikulasikan  kekecewaan  itu  secara politik bergantung pada  kekuatan   (silence) identitas kelompok  itu.  Identitas  kelompok biasanya sangat mencolok  pada  masyakat  komunal  yang merasa  terancam. 
Ketiga, derajat kohesi dan mobilisasi kelompok. Kohesi kelompok  terjamin jika ada  jaringan  komunikasi dan interaksi yang padat. Kohesi itu merosot  jika  kelompok  itu terpecah dalam beberapa gerakan dan organisasi politik. 
Keempat, kontrol represif oleh  kelom¬pok-kelompok dominan. Daya paksa yang diterapkan dengan tidak adil mendorong  munculnya kemarahan dan sikap selalu curiga.
  Melengkapi  pendapat  di  atas, Blau (dalam P3PK-UGM dan Departemen Agama, 1997: 14) mengemukakan  struktur  pemilahan  sosial (social  clevages) dalam masyarakat digambarkan dalam pemilahan sosial berdasarkan  parame¬ter agama, ras, suku, dan kelas sosial. Masyarakat diasumsikan dapat mengembangkan  konfi¬gurasi  pemilahan  sosial  yang  bersifat  consolidated  atau  intersected.  Consolidated  artinya pemilahan  sosial yang terjadi membuat warga masyarakat dari suku A umumnya  beragama  X, dan  memperoleh  nafkah  dari mata pencaharian perdagangan. Warga dari  suku  B   umumnya  beribadat  menurut  agama  Y dan bekerja sebagai petani;  sedangkan  kelompok  C  umumnya beragama  Z dan banyak yang menduduki jabatan birokrasi-pemerintahan. 
Adapun  konfigurasi intersected   adalah  pemilahan-sosial  itu  memungkinkan  warga masyarakat   berbagai   suku memeluk  agama  yang berbeda serta aktif mencari nafkah dalam berbagai  bidang  pekerjaan. Dalam  konfigurasi pertama, pemilahan yang eksklusif membuat hubungan  antar-suku  dengan mudah berubah menjadi antaragama dan antarkelas. Dalam konfigurasi kedua, pemilahan sosial itu  memungkinkan  pembauran  warga masyarakat dalam berbagai  dimensi  kehidupan:  suku, agama, dan kelas sosial.
  Berangkat  dari  uraian  di  atas,  mudah  dipahami  bahwa  kelompok-kelompok  dalam masyarakat  yang mengalami pemilaan sosial secara consolidated   cenderung  mengembangkan identitas  kelompk  yang  kuat  dan lebih mudah  menciptakan  kohesi  kelompok  yang  kokoh. Dalam kelompok seperti ini, kesadaran konflik cenderung tinggi. Sebaliknya dalam masyarakat intersected   kesadaran konflik itu lebih sulit dikembangkan, sehingga intensitas konflik  cende¬rung rendah. Pada gilirannya, kondisi struktural itu berkaitan dengan kondisi psikologis masya¬rakat.  Individu-individu dalam masyarakat dengan konfigurasi pemilahan sosial yang  consoli¬dated cenderung lebih mudah melakukan "subjektivikasi konflik" ketimbang warga  masyarakat dengan konfigurasi yang intersected. Para anggota masyarakat dengan intensitas konflik  tinggi cenderung  lebih  mudah  menerjemahkan konflik yang  menyangkut  kondisi  objektif  (konflik objektif) menjadi  konflik  yang  menyangkut  pribadi  (konflik  subjektif).  Misalnya,  konflik mengenai  persoalan ekonomi berkembang menjadi konflik mengenai agama  (kasus  kerusuhan Timor Timur 1996?).
  Selanjutnya  akan  dikemukakan peran agama sebagai variabel  independen  dari  tindak kekerasan  kolektif,  mengingat  akhir-akhir ini banyak kerusuhan di  Indonesia  diwarnai  atau melibatkan  simbol-simbol keagamaan. Minimal ada dua alasan mengapa dimensi agama  perlu ditekankan  dalam  pembahasan mengenai kerusuhan ataupun konflik sosial.  
  Pertama,  adanya indikasi  bahwa  modernisasi sosial-ekonomi di berbagai tempat  yang berpenduduk  mayoritas Muslim, justru mendorong peningkatan religiositas, bukan sekularisme. Walaupun peningkatan religiositas juga tercatat di kalangan pemeluk agama lain, namun yang terjadi pada umat  Islam sangat  mencolok.  Persoalannya adalah bahwa proses itu ternyata memuat potensi  yang  dapat mengganggu  keselarasan dalam hubungan antarumat beragama. Dalam masyarakat seperti  itu, misalnya, militansi cenderung meningkat, fondamentalisme berkembang, toleransi antar pemeluk agama menurun.
  Kedua,  adanya dugaan bahwa proses yang sama menghasilkan  pengenduran  hubungan antara  sebagian  pemeluk  agama  dengan  lembaga-lembaga  keagamaan  yang   melayaninya. Kemerosotan  lembaga-lembaga  otorita  lembaga agama semakin terasa  di  berbagai  kalangan umat  beragama.  Otoritas  para  pemimpin  lembaga  agama  terhadap  umat  yang  mengalami modernisasi-urbanisasi,  terutama lapisan usia muda, terasa mengendur. Di beberapa tempat  di Jawa demonstration effect yang diakibatkan oleh proses modernisasi membuat  hubungan  para kyai  dengan santri atau pengikutnya tidak seerat dulu. Hubungan antara santri  dengan  ulama, dalam pandangan pengikutnya sudah dikooptasi (coopted) oleh negara. Hal yang sama juga terjadi di  kalangan  agama  lain. Di dalam umat Kristiani hubungan antara jemaat  dengan  para pemimpin lembaga  agamanya  mengalami  perubahan ke arah yang semakin  merenggang.  Kohesi  yang merosot  di  kalangan  umat  beragama ini dikhawatirkan  akan  membuat  pengendalian  konflik antarumat beragama semakin sulit dilakukan (kasus kerusuhan Ambon dan Poso, misalnya).
  Di sisi lain kebijakan pembangunan yang berwujud dorongan untuk menciptakan pertum-buhan  ekonomi  secara cepat menurut jalan kapitalis ("akumulasi  kapital")  dengan  dukungan mekanisme  administrasi  publik  dan  kekuasaan  negara  (state-building)  telah   menimbulkan berbagai  dampak,  beberapa  di  antaranya bersifat negatif.  Salah  satunya  adalah  perubahan konfigurasi  pemilahan  sosial. Hubungan antara proses akumulasi  kapital  dengan  konfigurasi pemilahan  sosial itu diperumit oleh perubahan demografik yang juga terjadi akibat  antara  lain akumulasi  kapital  itu. 
  Tegasnya, perubahan komposisi etnik atau  perubahan  jumlah  warga masing-masing  etnik  dalam suatu wilayah, yang bisa terjadi karena beberapa  hal.  Salah  satu kemungkinan  penyebabnya  adalah  perubahan  demografis akibat  program  KB.  Di  wilayah  tertentu  yang  memiliki daya tarik ekonomi kuat terjadi migrasi.  Kaum  pendatang  umumnya lebih intensif dalam memanfaatkan akumulasi kapital. kibatnya, ketimpangan dapat memperbu¬ruk  konfigurasi pemilahan sosial ke arah penguatan konsolidasi identitas  etnik  masing-masing kelompok (kasus Timor Timur, 1996). 
  Proses  pembangunan nasional juga mempengaruhi kondisi religiositas warga  masyara¬kat. Pengaruh  itu dapat datang secara langsung melalui kebijakan  pemerintah  yang  memangdirancang  untuk menggalakkan kehidupan beragama (misal, via pendidikan) dan  tak  langsung (fasilitas peribadatan). Baik langsung maupun tak langsung, proses pembangunan telah mencip¬takan  kondisi yang mendorong peningkatan religiositas masyarakat. Namun proses yang  sama ternyata  juga  menumbuhkan militansi yang berlebihan. Proses pendidikan  agama  yang  lebih menekankan  upaya menegaskan keistimewaan identitas kelompok sendiri,  diduga  mendorong militansi itu.     
  Proses  sosial  yang berlangsung bersamaan dengan dinamika perubahan ekonomi  juga cenderung menghasilkan fenomena yang sama. Keberhasilan ekonomi satu kelompok umat beragama menimbulkan  keyakinan yang lebih besar akan kebenaran kelompoknya dan karenanya cende¬rung merendahkan  kelompok lain.  Di beberapa tempat peningkatan militansi ini  juga  mem-pengaruhi terjadinya  perubahan  konfigurasi  pemilahan  sosial  dari  yang  semua  intersected menjadi consolidated.
  Begitulah, dampak negatif dari proses pembangunan telah mendorong perubahan konfigurasi  pemilahan sosial yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan  kesadaran konflik dan perluasan frustrasi di kalangan masyarakat. Masyarakat yang warganya mengalami kondisi psikologis  seperti  itulah yang menyediakan "kain berminyak". Namun, kondisi  itu tidak akan menimbulkan  konflik  yang membakar jika tidak ada percikan api. Dan, percikan  api  itu tidak akan menimbulkan kobaran konflik yang membesar jika tidak dikobarkan melalui upaya mobi¬lisasi kesadaran konflik. Hubungan antara variabel frustrasi masyarakat dengan variabel  kesadaran  konflik,  pemicu  dan  mobilitas konflik itu saling  mempengaruhi;  dan  dinamika  pada tingkat  inilah  yang menentukan apakah berbagai variabel tadi  akan  betul-betul  menimbulkan perilaku konflik berupa kerusuhan dan anarkisme.     
  Jika  kita  cermati,  maka berbagai konflik yang terjadi  di  Indonesia  terutama  konflik antar-etnis  dan agama lebih disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya kompleks.  Meminjam  teori etno-nasionalis  mungkin  bermula  dari  konfigurasi  intersected  kemudian  berubah   menjadi consolidated yang membuka kesadaran konflik dan kemudian memungkinkan terjadinya kekerasan  kolektif.  Hal  itu  diperparah oleh adanya  kenyataan  pahit  yang  membuat  masyarakat Indonesia tertekan selama pemerintahan Orde Baru (1966-1998) yang represif.
  Dari kacamata budaya politik kita melihat bahwa berbagai tindak kerusuhan dan tinda¬kan anarkis yang muncul dalam masyarakat setidaknya akhir-akhir ini justru selah  disemangati oleh  api  reformasi  yang diterjemahkan secara membabi buta. Jadi,  terjadi  salah  interpretasi atau  destorsi makna reformasi. Selain itu terjadi pula euforia demokrasi di kalangan  masyara¬kat kita terutama kalangan bawah (grassroot) yang belum siap menerima kebebasan demokrasi, setelah selama lebih dari 30 tahun mengalami tekanan (Jw.: sumpek). Akibatnya, sedikit saja  ada percikan api,  maka  masyarakat  kita  yang sudah "basah  minyak"  cepat  sekali  terbakar  dan menghanguskan sendi-sendi budaya yang selama ini telah tertata.   
4. Solusi Mengeliminasi Konflik: Perspektif Ideologis-Kultural 
  Penanganan  terhadap  konflik dengan pendekatan represif ataupun  keamanan  (security approach)  tidaklah  tepat.  Bahkan pada masa-masa  mendatang  pendekatan  terhadap  konflik dengan  menggunakan senjata sama sekali tidak populer. Karena, di samping sering  membawa korban  jiwa,  juga  sering  tidak menyelesaikan  permasalahan.  Oleh  karena  itu,  diperlukan pendekatan-pendekatan  yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah dengan  memperhati¬kan issue yang melatari konflik. 
  Lebih  lanjut, pendekatan pemecahan masalah memperlakukan konflik sebagai  masalah dan bukan sebagai tindak kerusuhan dan kekerasan yang harus dibasmi, terlebih  memandang¬nya sebagai pemberontakan atau makar yang harus diberangus sampai ke  akar-akarnya,  tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Pendekatan konflik semestinya lebih  memfokus¬kan perhatian bukan hanya pada perilaku konflik melainkan juga rasa tidak puas, rasa diperlau¬kan  tidak  adil, dan seterusnya. Juga, memfokuskan pada kondisi  dan  situasi  yang  melatari konflik  yang  terjadi. Ringkasnya, pendekatan konflik harus  dilakukan  dengan  multidimensi atau dengan pendekatan holistik, diantaranya adalah dengan melihatnya dari perspektif  ideolo¬gis-kultural. 
  Adapun alternatif solusi untuk mengeliminasi konflik terutama antar-etnik dan agama di Indonesia dengan pendekatan ideologis-kultural antara lain:
  Pertama,  perlunya  kemampuan menginterpretasikan  dan  mengkomunikasikan  ajaran agama  dengan  arif.  Seperti  diketahui,  bahwa dimensi  penting  yang  terkandung  dalam ajaran agama adalah  sebuah  sistem  simbolik  yang membingkai  pemeluknya menjalin hubungan secarta vertikal sarat nuansa transendental dengan Tuhan (Sang Khalik),  yang kadar  dan  intensitas hubungan itu memiliki implikasi nyata pada  kehidupan  sosial.  Dimensi terpenting  dalam sistem simbolik semacam itu adalah ajaran hakikat hidup, yakni  pengetahuan tentang dari mana  manusia berasal dan ke  mana kelak manusia akan kembali.   
Kedua, perlunya sikap keteladanan para pemimpin  agama. Masyarakat Indonesia hingga saat ini masih dikenal paternalistik, yakni seringmudahmengikuti para tokoh atau pemimpinnya. Jika para pemimpin menunjukkan sikap yang lemah lembut dan menciptakan suasana yang sejuk dalam berinteraksi dengan kaum yang berbeda agama, niscaya umatnya pun akan mengikutinya demikian. Sebaliknya jika para pemimpin agama menunjukkan sikap antipati dan permusuhan dengan kaum yang berbeda agama, maka umat pun tinggal menuruti. Terlebih masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya yang masih memegang falsafah kepemimpinan kepamongan, yakni Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani (seorang pemimpin yang baik itu diharapkan: di depan dapat memberi contoh, di tengah/ lapangan mau bekerja secara langsung, dan di belakang dapat memberi motivasi), jelas peran keteladanan para tokoh dan/ atau pemimpin agama sangat besar.
  Jika  kita cermati, kehidupan beragama dan sikap religius merupakan salah satu  realitas budaya yang terdapat di seluruh Indonesia. Meskipun sikap religius itu tercermin pada sebagian besar  rakyat Indonesia, namun dalam keseharian sikap religius itu memperoleh  ekspresi  yang beraneka ragam. Adanya basis kehidupan beragama di Indonesia yang demikian tua dan  cukup berkembang,  memberikan  kemungkinan  yang  baik  bagi  rakyat  untuk  memperkokoh   dan memperluas  basis  itu  dalam  perkembangan selanjutnya.  Landasan  spiritual  itu  merupakan potensi kekuatan mental yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehing¬ga, hal itu menjadi modal utama dalam penciptaan suasana yang sejuk, damai, dan sejahtera. 
  Pertanyaan yang muncul kemudian: Mengapa rakyat Indonesia yang terkenal religius itu kini  mudah sekali melakukan tindak kekerasan (anarkisme) yang jelas bertentangan dengan  ajaran agama? Mengapa rakyat Indonesia yang umumnya taat dan kuat dalam kehidupan beragama tidak dapat mencerminkan  sikap  dan perilaku menyejukkan, cinta damai, berbudi  pekerti  luhur, bersatu dan rukun dengan orang lain, penuh cinta kasih antarsesama sesuai dengan ajaran agama mana pun? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak mudah ditemukan. 
  Ada banyak faktor yang menyebab¬kan  semua sikap dan tindakan yang bertentangan dengan agama itu, di antaranya: tidak  jarang perilaku  pemimpin  dan  penganut agama sendiri merusak arti dan  citra  agama.  Selain  itu, pandangan  yang  sempit  dan fanatisme buta menimbulkan tindakan saling  merusak  di  antara kalangan  agama,  yang  semuanya  turut menjatuhkan nilai agama  yang  suci  murni.  
  Tindak kekerasan  terlebih bunuh-membunuh antara kaum beragama, perilaku pemimpin agama  yang meminjam kekuasaan kolonial untuk memaksanakan agama kepada penduduk yang dianggapnya kosong agama, semuanya itu hakikatnya bertentangan dengan ajaran semua agama. Itu  semua terjadi karena  sikap  dan  perilaku  para pemimpin agama  yang  tidak  sesuai  dengan ajaran agamanya sendiri. Dan, itu pun terjadi di Indonesia, terlebih akhir-akhir ini, yang mengganggu dan merusak kehidupan beragama yang positif selama ini.  
  Jika  kehidupan  agama mampu mendorong terwujudnya sikap dan  perilaku  itu,  maka kita akan  memperoleh  rakyat  Indonesia  yang  bertakwa  kepada  Tuhan,  sekaligus  mampu mewujudkan kehidupan di dunia ini yang lebih indah, sejuk, damai, maju, dan sejahtera.Untuk itu, perlu dikembangkan pola agar para pemimpin agama di Indonesia dapat  mengambil ajaran-ajaran agama itu untuk menimbulkan sikap dan perilaku manusia Indonesia yang positif. Jadi, persoalannya  ada  pada para pemimpin agama. Sebab,  agama  dengan  ajaran-ajarannya yang bersumber pada Tuhan memberikan kemungkinan besar untuk penerapan  secara  positif, dan  tidak ada ajaran agama yang negatif. 
  Dengan kondisi rakyat Indonesia yang  religius,  lalu para  pemimpinan  agama pandai mengintepretasikan dan  mengkomunikasikan  ajaran  agama, pasti kita memiliki penduduk yang kuat spiritual dan mentalnya sehingga dapat menjadi potensi besar  guna mengantisipasi berbagai tantangan kehidupan termasuk dalam  menyikapi  berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupan kebangsaan.
  Ketiga,  perlunya pembauran budaya antar-etnis. Harus diakui bahwa relasi antara  etnis Cina   dengan  masyarakat  pribumi  memang masih  ditandai  dengan  kurangnya  itegrasi  dan absennya kesamaan nilai sosial dan kultural (Willmott, 1960: 17; Tan, 1963: 92). Sebenarnya masalah pembauran menyangkut integrasi semua warna negara keturunan asing ke dalam rakyat Indone¬sia. Namun, karena jumlah terbanyak warga keturunan asing adalah etnis Cina, maka masalah pembauran umumnya dan terutama dikaitkan dengan integrasi WNI etnis Cina. Selain itu,  juga pembauran  etnis  Cina adalah paling menghadapi kendala karena adanya  faktor-faktor  lain di luar  faktor ras. Misalnya, faktor ekonomi, faktor budaya, dan faktor agama. Pembauran  WNI etnis Arab tampaknya dipermudah oleh karena persamaan  agama  Islam,  sedangkan  etnbis  Eropa (biasanya  mereka  disebut   Indo-Eropa)  dengan mudah menjadi oang Indonesia jika sudah berniat demikian.
  Pembauran etnis Cina, demikian Suryohadiprojo (1987: 219), membawa beban historis yang memperberat  usaha  mereka  secara  psikologis untuk  berintegrasi  dengan  rakyat Indonesia. Beban  historis pertama adalah bahwa sejak dulu orang Cina menganggap dirinya  satu-satunya bangsa  yang  beradab, sedangkan orang lain adalah biadab (Barbarian).  Memang  kebudayaan Cina  adalah  kebudayaan  tertua  di dunia  --sampai-sampai  Nabi  Muhammad  Saw.  menyuruh umatnya  mencari  ilmu  hinggga ke Cina-- dan adanya  perasaan  demikian  dapat  dimengerti. Seperti  halnya orang Jepang yang menganggap dirinya paling beradab, atau orang  kulit  putih menganggap  dirinya paling beradab. Jadi, karena menilai dirinya paling beradab, maka  secara umum  berat  bagi  orang  Cina untuk berintegrasi dengan rakyat  lain,  terlebih  jika  rakyat  itu dipandangnya lebih rendah.
  Beban historis kedua adalah bahwa etnis Cina pada masa penjajahan diberikan tempat di atas rakyat pribumi oleh pihak penjajah. Jadi, di mata orang Cina pribumi berada di bawahnya. Jika hal  ini dikaitakan dengan beban pertama, maka lebih dapat dipahami lagi jika  etnis  Cina merasa dirinya  superior  terhadap pribumi. Terlebih lagi pada masa  penjajahan,  orang  Cina yang diberikan kesempatan menjadi golongan menengah di Indonesia dapat  memanfaatkan  itu dengan sebaik-baiknya  dan  membentuk kekuatan ekonomi dan bisnis  yang  tangguh  (hingga kini). Sebaliknya  pihak pribumi justru semakin dikebiri kemampuan ekonomi  dan  bisnisnya, sehingga makin  habis. Karenanya, perasaan superior etnis Cina diperkuat oleh  realitas  posisi ekonomi yang lebih kuat. 
  Dilihat  dari  sudut  ini maka tak mengherankan, bahwa mayoritas etnis  Cina  tidak  ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, kecuali sebagian kecil yang memiliki  pandan¬gan dan  keyakinan politik yang luas dan jangka jauh. Sebab, pada masa  penjajahan  Belanda, etnis Cina akibat dari posisi sosial dan ekonominya, sudah lebih dulumemperoleh  kesempatan memasuki sekolah-sekolah Belanda, termasuk perguruan tinggi, ketimbang anak orang  pribu¬mi. Sehingga, etnis Cina lebih dekat kepada pihak penjajah ketimbang kepada pribumi.  Demi¬kian pula ketika masa penjajahan Jepang, kaum profesioanal kebanyakan etnis Cina. Tentu saja ada  yang dekat  kepada  pribumi, tetapi itu langka. Dari sudut  sosial,  ekonomi,  dan  politik semua itu dapat dipahami.
  Persoalannya  timbul ketika Indonesia merdeka. Sebab, dengan begitu etnis Cina mengha-dapi  pilihan, apakah tetap tingal di Indonesia dan menjadi warga negara yang baik di dalam masyarakat  yang tadinya dianggapnya lebih rendah, atau meninggalkan Indonesia  kembali ke Cina atau ke Eropa. Mayoritas etnis Cina memilih tetap tinggal di Indonesia.
  Bagi  pihak  Indonesia  pilihan  etnis Cina untuk tetap tinggal  di  sini  diterima  dengan berbagai  perasaan. Bagi orang yang berpendidikan dan rasional, hal itu diterima dengan  baik. Sebab dengan begitu mayarakat Indoensia  tidak akan kehilangan golongan menengah yang pada masa kemerdekaan sangat sedikit, dan khususnya untuk perdagangan dikuasai oleh etnis Cina. Tetapi  bagi  kalangan Indonesia yang emosional (umumnya kalangan bawah),  berpikir  bahwa disangsikan kesetiaan etnis Cina kepada Indonesia. Bukankah mayoritas mereka tidak memihak Indonesia  dalam  menghadapi  Belanda?  Kekuasaan  ekonomi  mereka  justru   menjerat perkembangan bangsa Indonesia. Jika kaum emosional itu dapat mengerakkanperasaan  rakyat, maka  dapat  terjadi  huru-hara yang mengarah kepada penghancuran  milik  etnis  Cina  secara besar-besaran. Peristiwa geger  Cina  era  1980-an dan kerusuhan Mei 1998  di  Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Solo dan beberapa kota lain merupakan fakta aktual hal itu.
  Berangkat dari berbagai realitas itu, maka kini perlu dikembangkan pembauran budaya  di kalangan etnis Cina dengan rakyat Indonesia guna menuju integrasi nasional yang lebih  kokoh. Pembauran budaya dimaksud antara lain dalam bentuk:
  (1)  Adaptasi  dalam sikap dan perilaku dengan rakyat pribumi. Artinya,  perlu  dikem-bangkan sikap nJawani (jika di Jawa), misalnya dalam bergaul di tengah masyarakat,  termasuk dalam sopan santun (unggah-ungguh) dan toleransi (tepa selira). Jika orang Cina bertemu dengan orang Jawa, seyogyanya bersikap ramah-tamah, saling bertegur sapa, dan saling menghormati dengan saling menundukkan kepala atau membungkukkan badan, dan sebagainya. Hal-hal seperti itu akan menambah keakraban antarkedua etnis.
  (2)  Adaptasi dalam hal penamaan baik orang maupun lembaga/ perusahaan. Diusahakan dalam memberikan nama orang atau lembaga/ perusahaan  agar  lebih membumi Indonesia. 
  (3)  Beradaptasi  dalam  sistem dan pranata sosial  masyarakat  pribumi,  seperti  dalam melakukan upacara tradisi (bukan agama) seperti perkawinan, khitanan, ulang tahun, dan  lain-lain.
  (4) Tak kalah pentingnya adalah adaptasi dalam berbahasa yang nJawani (jika di Jawa), yang  lebih  mencerminkan  dialek.  Jika perlu  etnis  Cina  dapat  mengucapkan  istilah-istilah pergaulan  yang  mengakrabkan. Di lingkungan masyarakat Surabaya misalnya: arek, dancuk, sampeyan,  nyapa, gak  isa, wis mari;  sedangkan di Solo misalnya: nuwun sewu, matur nuwun, mangga, tindak, kondur, asem, dan sebagainya. 
 (5) Tak ketinggalan dalam berseni budaya pun etnis Cina perlu membaur dengan masyarakat pribumi. Alangkah  indahnya jika  kita  menyaksikan kethoprak/ wayang orang dengan para pemain orang  Cina.  Demikian  pula dalam ludruk, reog, jathilan, tari, dan lain-lain kita dapat menyaksikan orang-orang Cina ikut bermain di sana. Hal ini pernah dilakukan oleh para etnis Cina yang tergabung dalam Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) di Hotel dan Restoran Diamond Solo, beberapa waktu yang lalu (1999) yang asyik dalam permainan wayang orang. Kita menjadi terharu dan merasakan bahwa mereka, keturunan Cina tersebut bukan lagi jauh dari etnis Jawa melainkan rasanya sudah menjadi bersaudara betul (Jw.: nyedulur, nJawani). Sebaliknya orang-orang etnis Jawa dapat bergabung dalam permainan Barong Say yang asli Cina itu. Dengan bergabungnya orang-orang Jawa dengan Cina dalam permainan Barong Say itu, maka keakraban di antara kedua etnis tersebut sangat terasa, hingga antara keduanya tidak ada lagi jarak psikologis.  
  (6)  Hal-hal lain yang sifatnya mempribumi sehingga lebih mengakrabkan  dan  menim¬bulkan  ikatan moral dan emosional. Misalnya: dalam model/ arsitek rumah, busana  (terutama dalam acara tradisi/ budaya), dan lain-lain. 
  Namun  dari  semua  hal  itu, hakikat masalah  pembauran  etnis  Cina  adalah  masalah Indoensia  untuk meningkatkan kemampuannya. Andaikata orang-orang  Indonesia  mempunyai kemampuan  untuk  berfungsi  sebagai golongan menengah yang wajar,  kehadiran  etnis  Cina tidak menjadi persoalan yang menimbulkan kebencian dan kekhawatiran. Karena orang Indone¬sia umumya merasa begitu bergantung kepada etnis Cina, maka hal itu menimbulkan kekhawat¬iran.  Sedangkan  kebencian  timbul karena pada masa lampau ada sikap  superior  orang  etnis Cina, terlebih jika setelah hidup di Indonesia merdeka sikap itu masih dibawa-bawa terus.  Jika orang-orang  Indonesia mempunyai kemampuan yang memadai sehingga masyarakat kita  tidak bergantung  kepada etnis Cina, rasa khawatir itu akan holang dengan sendirinya. Terlebih  jika etnis Cina  mampu membuktikan kesetiaan mereka kepada Indonesia, seperti dalam  olah  raga yang selama ini menonjol.     Jika  orang  Indonesia  mempunyai kemampuan yang memadai,  etnis  Cina  pasti  akan melihat  dan menyadari hal itu. Dan, mereka tdak akan mengambil,sikap superior tanpa  meru¬gikan dirinya sendiri. Ini dapat dirasakan mereka yang pernah sekolaha dan kuliah bersama dan dapat menunjukkan  kualitas  pekerjaan yang tak kalah , bahkan melebihi  mereka.  Dan,  jika kemampuan orang Indonesia secara  umum  meningkat,  maka  pasti etnis Cina  merasa  menjadi  keharusan  baginya  untuk menyesuaikan  diri dengan pihak Indonesia, sehigga pada gilirannya mereka  benar-benar  akan membaur  dengan pribumi. Saat itulah masalah pembauran akan selesai. Jadi, kunci inti  dalam masalah  pembauran adalah usaha Indoensia untuk meningkatkan kemampuan rakyat  di  segala bidang  sehingga  menjadi  bangsa yang dihormati dan dihargai oleh  siapa  pun.  Termasuk  di dalamnya pembentukan golongan golongan menegah yang kuat.
  Dalam  kondisi demikian, maka pihak lain --termasuk etnis Cina-- yang  berkepentingan untuk  dapat  diterima  menjadi bagian dari bangsa Indonesia.  Kondisi  demikian  seperti  yang terjadi  di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Kanada. Bangsa-bangsa  lain  yang berimigrasi  ke  nagara-negara itu, seperti Cina, Vietnam, dan Jepang,  justru  berusaha  untuk dapat  didterima  dalam masyarakat yang didatangi. Hal ini dilakukan karena  pihak  pendatang menyadari  bahwa  pihak yang didatangi mempunyai kemampuan yang tinggi,  dan  karena  itu lebih baik menyesuaikan diri degan pihak yang didatangi. Sekalipoun mungkin dalam  perasaan pihak pendatang ada segi keunggulan dalam peradaban dibanding pihak yang didatangi.
  Terlepas  dari  semua iti, sebelum orang Indonesia mencapai tingkat  kemampuan  yang menimbulkan respek itu, haus diambil langkah-langkah agar masalah pembauran tidak merugi¬kan bangsa Indonesia. Realitasnya, sudah cukup banyak etnis Cina yang berusaha secara serius untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik dengan kesetiaan penuh kepada Indoensia, di samping mereka yang masih menunjukkan  keang¬kuhan.  
  Sayangnya,  mereka  yang  sudah menunjukkan niat  dan  sikap  baik sering  dirugikan karena adanya sikap apriori masyarakat pribumi. Artinya, mereka yang sudah berniat dan bersikap baik disamakan (digeneralisasikan) dengan mereka yang masih angkuh. Mereka yang angkuh tidak jarang menunjukkan kekuatannya melalui uang dan benda. Mereka memperlihatkan  sikap seakan-akan semua dapat dibeli dengan uangnya. Dan, memang menghadapi aparatur pemerin¬tah yang  masih serba lemah sikap demikian sangat efektif. Tetapi mereka yang  bersikap  baik dengan  demikian  menjadi  korban. Misalnya: mereka sering kesulitan  dalam  urusan  dengan pemerintahan (KTP, surat, dsb.), kecuali mereka mengeluarkan uang.
  Keempat, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia ntuk mampu memanaj berbagai perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik menjadi potensi. Perbedaan  pendapat, keyakinan atau agama, terlebih etnis, yang berimplikasi pada perbnedaan budaya  harus dipandang sebagai sesuatu yang  wajar,  bahkan  sebuah keharusan  dalam kerangka  mencari  kebenaran hakiki. Islam, misalnya, memandang  “perbedaan  adalah suatu  rahmat dalam mencari kebenaran”. Dalam Islam bahkan diajarkan bahwa Nabi Muhammad Saw.,  Rasul pembawa agama Islam, diutus sebagai rahmat untuk seluruh alam (Wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil ’aalamiin, yang artinya: “Tidaklah Aku (Allah) mengutusmu Muhammad kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam”). Tanpa adanya perbedaan pendapat  manusia  akan dapat  terjebak  dalam  kesalahan yang terus-menerus, dan tidak akan pernah maju, stagnan, karena tidak ada yang mengkritisi serta tidak timbul motivasi. Jadi,  budaya  kritik  harus  ditradisikan kepada  masyarakat  bahkan  anak-anak  dalam berbagai  kesempatan,  termasuk  di   sekolah. Dengan demikian kita akan terbiasa dalam menanggapi/ menyikapi keberbedaan di antara warga masyarakat. Dengan cara ini maka juga akan tercipta suasana demokratis di kalangan masyarakat kita yang multikultural dan multidimensi. 
5. Penutup
  Mengakhiri pembahasan resolusi konflik dalam perspektif ideologis-kultural ini, dapat dikemukakan  bahwa  sebenarnya  konflik yang sering terjadi di  Indonesiam  akhir-akhir ini sering mengandung muatan yang kompleks. Muatan politis agaknya  paling dominan, di samping masalah kekecewaan dan perasaan ditekan selama ini. Artinya, bermula  dari  konfigurasi  intersected kemudian  berubah   menjadi consolidated yang membuka kesadaran konflik dan memungkinkan terjadinya kekerasan  kolektif. Adapun dari kacamata budaya politik, berbagai tindak kerusuhan dan tinda¬kan anarkis akhir-akhir ini justru telah  disemangati oleh  api  reformasi  yang diterjemahkan secara membabi buta yang terwujud sebagai euforia demokrasi.   
Jika dirinci beberapa faktor penyebab timbulnya konflik antar-etnik dan agama di Indonesia itu antara lain: (1) seberapa jauh tingkat keterbelakangan  atau penderitaan  kolektif kelompok komunal tersebut dibanding  dengan  kelompok-kelompok  lain; (2) ketegasan identitas kelompok; (3) derajat kohesi dan mobilisasi kelompok; dan (4) kontrol represif oleh  kelom¬pok-kelompok dominan. 
  Beberapa alternatif solusinya, antara lain: (1) Perlunya  kemampuan menginterpretasikan dan  mengkomunikasikan  ajaran agama dengan arif; (2) Sikap keteladanan para pemimpin agama dalam berinteraksi denghan kaum agama lain. (3) Perlunya pembauran budaya antar-etnis. (3) Memanaj berbagai perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik menjadi potensi dalam pembangunan bangsa. 
  Jadi, untuk  meminimalisasi dan mengeliminasi  konflik sosial,  pendekatan represif atau keamanan tidaklah  tepat.  ini lebih diperlukan pendekatan pemecahan masalah, yang melihat konflik dari berbagai aspeknya, termasuk latar balakngnya, issue sentralnya, dan sebagainya.
  Pendekatan  ideologis-kultural merupakan salah satu alternatif yang dapat  dimanfaatkan guna  mengeliminasi  konflik  sosial  yang sering muncul selama  ini  terutama  konflik antar-etnis dan antar-agama di Indonesia  yang masyarakatnya memang multidimensi dan multikultural.
Daftar Pustaka
Mas'ud, Mochtar. 1998. "Memahami Kebangsaan". Makalah dalam Diskusi "Tantangan 
terhadap Integrasi bangsa: Studi Kasus Konflik Sosial dan Kerusuhan Massal", Program Pascasarjana UGM Yogyakarta, 1998. 
P3PK-UGM. 1997. "Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu". Laporan Penelitian 
P3PK-UGM dengan Departemen Agama RI, 1997.
Panggabean, Rizal. 1999. "Strategi Menyelesaikan Konflik Daerah". Makalah Diskusi, FISIP dan 
P3PK-UGM, Yogyakarta, 21 September 1999.
Susetyawan. 1998. "Kerusuhan Marak Akibat Pertentangan Elite Politik" dalam Solo Pos, Tanggal 
25 Januari 1999.
Suryohadiprojo, Sayidiman. 1987. Menghadapi Tantangan Masa Depan. Jakarta: Gramedia.
Tan Giok Lan. 1963. The Chines of Sukabumi: A Study of Social and Cultural Accomodation. 
Ithaca: Cornel University Southeast Asia Program.
Willmott, D.E. 1960. The Chinese of Semarang: A Changing Minority Commnunity in Indonesia. 
Ithaca: Cornel University Press.
ooOoo
RESOLUSI KONFLIK ANTARETNIK DAN ANTARAGAMA: 
PERSPEKTIF IDEOLOGIS-KULTURAL
Oleh Ali Imron Al-Ma’ruf
 
ABSTRAK
  Konflik sosial dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini sering mengandung muatan politis di samping kekecewaan dan perasaan tertekan. Beberapa faktor penyebab timbulnya konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia antara lain: (1) tingkat keterbelakangan atau penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibanding  dengan  kelompok lain; (2) ketegasan identitas kelompok; (3) derajat kohesi dan mobilisasi kelompok; dan (4) kontrol represif oleh  kelom¬pok-kelompok dominan. Untuk meminimalisasi dan mengeliminasi  konflik sosial,  pendekatan represif atau keamanan tidaklah  tepat. Pendekatan  ideologis-kultural merupakan salah satu alternatif solusinya, yakni: (1) Perlunya kemampuan menginterpretasikan dan  mengkomunikasikan  ajaran agama  dengan  arif (2) Sikap keteladanan para pemimpin agama. (3) Perlunya pembauran budaya antaretnis. (4) Memanaj berbagai perbedaan menjadi potensi dalam pembangunan bangsa. 
  
Kata kunci: konflik antar-etnis dan agama, faktor penyebab, solusi, pendekatan ideologis-kultural.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar