Senin, 25 April 2011

RESOLUSI KONFLIK ANTARETNIK DAN ANTARAGAMA:

RESOLUSI KONFLIK ANTARETNIK DAN ANTARAGAMA:
PERSPEKTIF IDEOLOGIS-KULTURAL
Oleh Ali Imron A.M.
PBSID FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

ABSTRACTION

Social conflict in Indonesia society recently often contain the political payload beside disappointment and feeling depressed. Some cause factor of incidence conflict of interethnics and interrelegion in Indonesia for example: (1) situated behind storey; level or collective grief of the communal group compared to by communal outher group; (2) exactly group identity; (3) degree of cohesion and group mobilization; and (4) control represive by dominant group.
For the minimalisation and elimination social conflict, approach of represive or security is not precise. Approach cultural ideologis represent one of the its solution alternative, namely: (1) The importance of ability interpret and communicating religion teaching wisely, (2) Sikap byword of religion leaders, (3) The importance of cultural integration of interetnics, (4) To manag of various difference become the potency in nation development.

Keyword: conflict of interethnics and interreligion, cause factor, solution, approach cultural
ideologis.

1. Pendahuluan
Suatu realitas yang tak terbantahkan, bahwa tidak satu negara pun di dunia yang memiliki identitas nasional yang tung¬gal. Tidak ada negara yang dihuni hanya oleh satu suku bangsa. Negara mana pun di dunia sekarang selalu didukung oleh pluralitas penduduk dari segi etnik. Implikasi dari pluralitas etnik ini adalah lahirnya pluralitas dalam aspek lain, seperti budaya, bahasa, agama, bahkan kelas sosial dalam satu negara. Tak terke¬cuali Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan tersebar di Nusantara dan memiliki ratusan etnik.
Di sisi lain, karakteristik pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya di dalam hal etnik dan agama. Di Indonesia terda¬pat tidak hanya puluhan etnis, melainkan ratusan etnis dengan bahasa dan budayanya masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda. Selain itu, berbagai etnik itu pada umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda, meskipun secara yuridis formal Indonesia menetapkan adanya lima agama yang diakui negara yakni: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Karena itu, semboyan Bhinneka Tunggal Ika terasa pas dengan kondisi bangsa Indonesia.
Kebhinnekaan bangsa Indonesia itu tentu saja merupakan nilai positif tetapi sebenarnya sekaligus menyimpan nilai negatif yang terkadang tak terhindarkan. Dengan keanekaragaman komponen bangsa Indonesia itu, di satu sisi kita dapat menghimpun dan mengembang¬kan berbagai potensi bangsa yang ada. Keanekaragaman budaya yang ada di tanah air misalnya, merupakan kekayaan yang tiada tara dan harus disyukuri. Namun, di sisi lain keanekaragaman tradisi dan agama, mudah sekali menimbulkan gesekan antarberbagai kelompok komunal, yang pada gilirannya akan dapat memunculkan kekerasan sosial.
Lebih jauh, kebhinnekaan bangsa Indonesia itu ternyata sangat rentan terhadap tindak kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di samping antar kelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di Indonesia sering disebut dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Kekerasan itu sejak lama telah muncul di beberapa daerah di Indonesia. Hanya saja selama ini kekerasan itu tidak besar atau membesar dan tidak merember ke daerah lain. Namun, ketika bangsa Indonesia dilanda krisis moneter/ ekonomi sejak akhir 1997 hingga kini setelah gerakan reformasi --yang dimotori para mahasiswa dan intelektual--berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru dengan me-lengseringkeprabon-kan Presiden Soeharto, kekerasan itu mengemuka bahkan menggejala di berbagai daerah. Sedikit saja ada gesekan, maka mudah sekali timbul kerusuhan massal dan tindak kekerasan kolektif (anarkisme), yang mengakibatkan rakyat yang tidak berdo¬sa harus menderita karenanya. Kasus kerusuhan Tasikmalaya, Situ¬bondo (1997); Medan, Jakarta, Solo, Ketapang dan Kupang (1998); Bali (1999), Ambon, Maluku Utara (1999/ 2000; 2003/ 2004), Mataram (2000), dan Poso (2003-2006) merupakan contoh aktual yang masih segar dalam ingatan kita. Dan, sekaligus mengindikasikan betapa kekerasan sosial akhir-akhir ini begitu fenomenal melanda masyarakat kita, yang dulu dikenal religius dan berbudaya santun: halus budi bahasanya, berbudi pekerti luhur, ramah-tamah perangainya, dan sebagainya.
Sayang sekali bahwa karakteristik bangsa Indonesia yang disebut terakhir itu kini --setidak-tidaknya satu dekade terakhir -- tinggal kenangan. Identitas "bangsa religius dan berbudaya san¬tun" itu telah terkoyak dan ternodai oleh berbagai tindak kekera¬san sosial di berbagai daerah. Bahkan situasi di Ambon akibat konflik antara masyarakat yang beragama Kristen dengan yang beragama Islam hingga kini masih membara dan setiap saat dapat saja meledak. Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan dan kegelisahan di kalangan masyarakat Indonesia, lebih-lebih ketika masyarakat kita sedang berjuang mengatasi kesulitan hidup akibat krisis yang berkepanjangan sejak 1997 baik krisis politik, ekonomi, maupun moral.
Permasalahannya adalah faktor-faktor apa yang memicu mu¬nculnya konflik antar-etnik dan antar-agama? Bagaimana kita memanaj keberbedaan latar belakang bangsa Indonesia itu? Lalu, bagaimana model-model solusi untuk mengeliminasi faktor-faktor sensitif tersebut khususnya dalam relasi antar-etnik dan agama?
Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas konflik antar-etnik dan antar-agama beserta solusinya secara mendetail. Mengin¬gat berbagai keterbatasan, maka tulisan ini baru merupakan kajian sekilas terhadap berbagai permasalahan yang dibatasi pada pende¬katan agama dan kultural. Sehingga, masih diperlukan kajian lanjut dan dialog panjang secara intens.

2. Konflik dan Komponennya
Seperti halnya istilah lain, pengertian konflik beraneka ragam yang dikemukakan para pakar. Umumnya, perbedaan pengertian itu muncul sebagai akibat adanya perbedaan fokus atau penekanan. Coser (1956) misalnya, menekankan aspek perilaku konflik. Fokus terhadap perilaku konflik itu sangat populer di kalangan peneliti konflik dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan Boulding (1962) lebih memfokuskan pada situasi yang melatari konflik, seperti persaingan dan ketidakselarasan (incompatibility). Lain lagi dengan definisi Kriesberg (1982) yang lebih menekankan pada keyakinan (belief) dengan anggapan bahwa konflik terjadi jika pihak-pihak meyakini tujuan mereka bertentangan satu dengan lainnya. Adapun Pruitt dan Rubin (1986) menekankan pada persepsi dan keyakinan mengenai ketidakselarasan kepentingan (seperti nilai dan kebutuhan) dan aspirasi (tujuan dan tolok ukur) (dalam Panggabean, 1998: 9).
Beberapa definisi sekitar konflik di atas perlu diperhatikan mengingat masing-masing definisi itu menekankan dimensi tertentu dalam konflik. Dari empat definisi konflik di atas tercakup tiga komponen pokok konflik yang dapat dicermati, yakni: (1) Kondisi yang mendahului konflik, (2) Perilaku konflik, dan (3) Aspek-aspek kognetif dan afektif konflik.
Ketiga komponen utama konflik tersebut selanjutnya juga penting diperhatikan dalam kerangka menganalisis konflik. Dalam arti ketika kita menganalisis fenomena atau peristiwa konflik tertentu, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan misalnya:
(1) Situasi apa yang melatari suatu konflik? Bagaimana situasi tersebut terbentuk di dalam masyarakat? Isu apa saja atau pokok persoalan apa yang menjadi sengketa?
(2) Sikap dan persepsi apa yang dimiliki pihak-pihak yang berkonflik sehubungan dengan sehubungan dengan lawan? Bagaimana sikap dan persepsi itu terbentuk dn bertahan?
(3) Perilaku konflik apa saja yang ditunjukkan oleh pihak-pihak yang bertikai? Lalu, strategi, taktik, atau alat apa yang diguna¬kan dalam perilaku konflik? (Panggabean, 1998: 8).
Berdasarkan ketiga komponen konflik di atas, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai konflik. Pema¬haman konflik tidak hanya menekankan pada satu komponen saja khususnya komponen perilaku sehingga komponen lain kurang memper¬oleh perhatian semestinya. Karena itu, beberapa pertanyaan sema¬cam dapat diajukan untuk keperluan analisis konflik, mulai dari konflik antarpribadi sampai internasional, antara lain: Apa sumber konflik?; Siapa pihak-pihak yang terlibat?; Apa pokok sengketa dan issue konflik?: Apa taktik yang dipakai pihak-pihak yang berkonflik?; Apa yang berubah dalam konflik seiring dengan waktu? Bagaimana konflik meluas sehingga melibatkan lebih banyak pihak, wilayah, dan issue konflik?; Apa saja peran pihak-pihak lain (seperti patron, penengah, sekutu, audiens, penonton) dalam 
konflik?; Apa hasil dan akibat yang ditimbulkan konflik?
Adapun bentuk-bentuk perilaku konflik dapat berupa demon¬strasi, kerusuhan komunal, kerusuhan politik, pemogokan massal, dan lain-lain.

3. Akar Munculnya Konflik
Untuk memahami sebab-sebab munculnya konflik, lebih dulu perlu dikemukakan teorisasi tentang Ethno-nationalism (dalam P3PK-UGM dan Departemen Agama, 1997: 11). Para pendukung Ethno-nationalism terbagi dalam dua aliran. Pertama, para etno-nationalis yang beraliran "primordialis" mengemukakan argumen bahwa banyak gera¬kan politik --termasuk perilaku konflik-- berbasis suku yang menekankan nasionalisme etnik. Ini merupakan manifestasi dari tradisi kultural yang masih bertahan yang didasarkan pada perasaan identitas etnik primordial. Dengan demikian, motivasi utama perilaku konflik mereka adalah memelihara identitas kultural itu, sesuatu yang immaterial. Kedua, para teoritisi etno-nasionalis yang beraliran "instrumentalis" memahami issue etnisitas itu sekadar sebagai an exrercise in boundary maintenance, dan bera¬sumsi bahwa gerakan komunal merupakan respons terhadap perlakuan pilih-kasih. Jadi, mereka melakukan gerakan dengan menggunakan simbol-simbol etnik dengan tujuan memberi tanggapan terhadap perlakuan yang tidak adil dari pihak lain; yang mungkin saja bersifat material. Penggunaan simbol-simbol etnik itu didasarkan pada alasan praktis yakni sarana efektif untuk menimbulkan dukun¬gan emosional.
Adapun Charles Tilly (1978) menyatakan, bahwa tindak kekera¬san merupakan hasil kalkulasi para pemimpin yang memobilisasikan sumber daya kelompok untuk menanggapi peluang politik yang beru¬bah. Kekerasan dan perilaku konflik itu terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Pendeknya, tindak kekerasan dan perilaku konflik adalah hasil kalkulasi politik (dalam P3PK- UGM dan Departemen Agama, 1997: 14).
Pandangan-pandangan mengenai penyebab tindak kekerasan di atas, dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok teoritisi yang berpandangan bahwa tindak kekera¬san dan perilaku konflik merupakan reaksi emosional terhadap ganguan dari luar. Kedua, kelompok pendukung instrumentalis yang berpendapat bahwa tindak kekerasan dan/ atau peri¬laku konflik merupakan hasil dari kalkulasi strategis dan keputusan taktis (para pemimpin/ elit politik). Meminjam istilah Susetyawan (1999: 5), bahwa "kerusuhan marak akibat pertentangan elit politik". Namun, pada prinsipnya, kedua pendapat di atas dalam praktiknya berhubungan erat.
Penelitian mengenai berbagai kelompok etnik dan komunal yang aktif dalam gerakan politik menunjukkan, bahwa mobilisasi dan strategi mereka didasarkan pada interaksi atara kedua faktor itu. "Kekecewaan akibat perlakuan pilih-kasih dan perasaan identitas kelompok merupakan landasan dasar bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan ang dapat diajukan para pemimpin gerakan" (Gurr, dalam P3PK-UGM dan Departemen Agama, 1997: 12). Jika kekecewaan masyarakat tidak cukup parah dan identitas kelompok tidak cukup kuat, maka para pemimpin itu tidak memiliki bahan atau sarana untuk menanggapi ancaman atau peluang yang datang dari luar kelompok. Sebaliknya, jika kekecewaan itu mendalam dan meluas, diimbangi dengan identitas dan kepentingan kelompok yang kuat, maka tersedialah "massa frustrasi" yang cukup; tinggal menunggu kesempatan untuk membuatnya marah besar.
Sejalan dengan pemikiran di atas, kekecewaan hanya akan menimbulkan tindak kekera¬san pada aras komunitas jika dilakukan mobilisasi atas konflik yang terjadi. Mobilisasi itu dapat berupa mendorong anggota kelompok atau masyarakat lainnya agar bersedia mengorban¬kan tenaga dan sumberdaya untuk melakukan tindakan kolektif demi kepentingan bersama.
Bagaimana dengan fenomena pemicu? Kondisi psikolois tidak secara langsung menga-kibatkan timbulnya perilaku kekerasan kolektif. Hubungan itu dikualifikasi oleh adanya kejadi¬an yang berfungsi sebagai pemicu. Pendeknya, massa yang kecewa berat itu perlu pemicu. Selanjutnya, karena pemicu itu tidak dapat diasumsikan sebagai kejadian yang sekali-jadi, tetapi mungkin terjadi sebagai re1ntetan peristiwa, maka untuk dapat menggugah perhatian massa, pemicu itu perlu dimobilisasi.
Hingga di sini kita dapat memahami bahwa tindakan kekerasan kolektif itu berkaitan dengan kondisi psikologis, berujud kekecewaan masyarakat yang meluas, yang diletupkan oleh kejadian pemicu.
Dalam konteks ini, Gurr (dalam P3PK-UGM dan Departemen Agama, 1997: 12), mengemukakan empat faktor yang dipandangnya menentukan intensitas kekecewaan dan potensi untuk melakukan tindakan politik sebagai jalan keluarnya.
Pertama, seberapa jauh tingkat keterbelakangan atau penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibanding dengan kelompok-kelompok lain. Semakin besar perbedaan kondisi antarkelompok itu semakin kuat alasan untuk kecewa dan semakin kokoh persepsi bahwa mereka memiliki kepetingan bersama untuk melakukan tinda¬kan kolektif.
Kedua, ketegasan identitas kelompok. Kekecewaan kelompok dan potensi untuk mengartikulasikan kekecewaan itu secara politik bergantung pada kekuatan (silence) identitas kelompok itu. Identitas kelompok biasanya sangat mencolok pada masyakat komunal yang merasa terancam.
Ketiga, derajat kohesi dan mobilisasi kelompok. Kohesi kelompok terjamin jika ada jaringan komunikasi dan interaksi yang padat. Kohesi itu merosot jika kelompok itu terpecah dalam beberapa gerakan dan organisasi politik.
Keempat, kontrol represif oleh kelom¬pok-kelompok dominan. Daya paksa yang diterapkan dengan tidak adil mendorong munculnya kemarahan dan sikap selalu curiga.
Melengkapi pendapat di atas, Blau (dalam P3PK-UGM dan Departemen Agama, 1997: 14) mengemukakan struktur pemilahan sosial (social clevages) dalam masyarakat digambarkan dalam pemilahan sosial berdasarkan parame¬ter agama, ras, suku, dan kelas sosial. Masyarakat diasumsikan dapat mengembangkan konfi¬gurasi pemilahan sosial yang bersifat consolidated atau intersected. Consolidated artinya pemilahan sosial yang terjadi membuat warga masyarakat dari suku A umumnya beragama X, dan memperoleh nafkah dari mata pencaharian perdagangan. Warga dari suku B umumnya beribadat menurut agama Y dan bekerja sebagai petani; sedangkan kelompok C umumnya beragama Z dan banyak yang menduduki jabatan birokrasi-pemerintahan.
Adapun konfigurasi intersected adalah pemilahan-sosial itu memungkinkan warga masyarakat berbagai suku memeluk agama yang berbeda serta aktif mencari nafkah dalam berbagai bidang pekerjaan. Dalam konfigurasi pertama, pemilahan yang eksklusif membuat hubungan antar-suku dengan mudah berubah menjadi antaragama dan antarkelas. Dalam konfigurasi kedua, pemilahan sosial itu memungkinkan pembauran warga masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan: suku, agama, dan kelas sosial.
Berangkat dari uraian di atas, mudah dipahami bahwa kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mengalami pemilaan sosial secara consolidated cenderung mengembangkan identitas kelompk yang kuat dan lebih mudah menciptakan kohesi kelompok yang kokoh. Dalam kelompok seperti ini, kesadaran konflik cenderung tinggi. Sebaliknya dalam masyarakat intersected kesadaran konflik itu lebih sulit dikembangkan, sehingga intensitas konflik cende¬rung rendah. Pada gilirannya, kondisi struktural itu berkaitan dengan kondisi psikologis masya¬rakat. Individu-individu dalam masyarakat dengan konfigurasi pemilahan sosial yang consoli¬dated cenderung lebih mudah melakukan "subjektivikasi konflik" ketimbang warga masyarakat dengan konfigurasi yang intersected. Para anggota masyarakat dengan intensitas konflik tinggi cenderung lebih mudah menerjemahkan konflik yang menyangkut kondisi objektif (konflik objektif) menjadi konflik yang menyangkut pribadi (konflik subjektif). Misalnya, konflik mengenai persoalan ekonomi berkembang menjadi konflik mengenai agama (kasus kerusuhan Timor Timur 1996?).
Selanjutnya akan dikemukakan peran agama sebagai variabel independen dari tindak kekerasan kolektif, mengingat akhir-akhir ini banyak kerusuhan di Indonesia diwarnai atau melibatkan simbol-simbol keagamaan. Minimal ada dua alasan mengapa dimensi agama perlu ditekankan dalam pembahasan mengenai kerusuhan ataupun konflik sosial.
Pertama, adanya indikasi bahwa modernisasi sosial-ekonomi di berbagai tempat yang berpenduduk mayoritas Muslim, justru mendorong peningkatan religiositas, bukan sekularisme. Walaupun peningkatan religiositas juga tercatat di kalangan pemeluk agama lain, namun yang terjadi pada umat Islam sangat mencolok. Persoalannya adalah bahwa proses itu ternyata memuat potensi yang dapat mengganggu keselarasan dalam hubungan antarumat beragama. Dalam masyarakat seperti itu, misalnya, militansi cenderung meningkat, fondamentalisme berkembang, toleransi antar pemeluk agama menurun.
Kedua, adanya dugaan bahwa proses yang sama menghasilkan pengenduran hubungan antara sebagian pemeluk agama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang melayaninya. Kemerosotan lembaga-lembaga otorita lembaga agama semakin terasa di berbagai kalangan umat beragama. Otoritas para pemimpin lembaga agama terhadap umat yang mengalami modernisasi-urbanisasi, terutama lapisan usia muda, terasa mengendur. Di beberapa tempat di Jawa demonstration effect yang diakibatkan oleh proses modernisasi membuat hubungan para kyai dengan santri atau pengikutnya tidak seerat dulu. Hubungan antara santri dengan ulama, dalam pandangan pengikutnya sudah dikooptasi (coopted) oleh negara. Hal yang sama juga terjadi di kalangan agama lain. Di dalam umat Kristiani hubungan antara jemaat dengan para pemimpin lembaga agamanya mengalami perubahan ke arah yang semakin merenggang. Kohesi yang merosot di kalangan umat beragama ini dikhawatirkan akan membuat pengendalian konflik antarumat beragama semakin sulit dilakukan (kasus kerusuhan Ambon dan Poso, misalnya).
Di sisi lain kebijakan pembangunan yang berwujud dorongan untuk menciptakan pertum-buhan ekonomi secara cepat menurut jalan kapitalis ("akumulasi kapital") dengan dukungan mekanisme administrasi publik dan kekuasaan negara (state-building) telah menimbulkan berbagai dampak, beberapa di antaranya bersifat negatif. Salah satunya adalah perubahan konfigurasi pemilahan sosial. Hubungan antara proses akumulasi kapital dengan konfigurasi pemilahan sosial itu diperumit oleh perubahan demografik yang juga terjadi akibat antara lain akumulasi kapital itu.
Tegasnya, perubahan komposisi etnik atau perubahan jumlah warga masing-masing etnik dalam suatu wilayah, yang bisa terjadi karena beberapa hal. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah perubahan demografis akibat program KB. Di wilayah tertentu yang memiliki daya tarik ekonomi kuat terjadi migrasi. Kaum pendatang umumnya lebih intensif dalam memanfaatkan akumulasi kapital. kibatnya, ketimpangan dapat memperbu¬ruk konfigurasi pemilahan sosial ke arah penguatan konsolidasi identitas etnik masing-masing kelompok (kasus Timor Timur, 1996).
Proses pembangunan nasional juga mempengaruhi kondisi religiositas warga masyara¬kat. Pengaruh itu dapat datang secara langsung melalui kebijakan pemerintah yang memangdirancang untuk menggalakkan kehidupan beragama (misal, via pendidikan) dan tak langsung (fasilitas peribadatan). Baik langsung maupun tak langsung, proses pembangunan telah mencip¬takan kondisi yang mendorong peningkatan religiositas masyarakat. Namun proses yang sama ternyata juga menumbuhkan militansi yang berlebihan. Proses pendidikan agama yang lebih menekankan upaya menegaskan keistimewaan identitas kelompok sendiri, diduga mendorong militansi itu.
Proses sosial yang berlangsung bersamaan dengan dinamika perubahan ekonomi juga cenderung menghasilkan fenomena yang sama. Keberhasilan ekonomi satu kelompok umat beragama menimbulkan keyakinan yang lebih besar akan kebenaran kelompoknya dan karenanya cende¬rung merendahkan kelompok lain. Di beberapa tempat peningkatan militansi ini juga mem-pengaruhi terjadinya perubahan konfigurasi pemilahan sosial dari yang semua intersected menjadi consolidated.
Begitulah, dampak negatif dari proses pembangunan telah mendorong perubahan konfigurasi pemilahan sosial yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan kesadaran konflik dan perluasan frustrasi di kalangan masyarakat. Masyarakat yang warganya mengalami kondisi psikologis seperti itulah yang menyediakan "kain berminyak". Namun, kondisi itu tidak akan menimbulkan konflik yang membakar jika tidak ada percikan api. Dan, percikan api itu tidak akan menimbulkan kobaran konflik yang membesar jika tidak dikobarkan melalui upaya mobi¬lisasi kesadaran konflik. Hubungan antara variabel frustrasi masyarakat dengan variabel kesadaran konflik, pemicu dan mobilitas konflik itu saling mempengaruhi; dan dinamika pada tingkat inilah yang menentukan apakah berbagai variabel tadi akan betul-betul menimbulkan perilaku konflik berupa kerusuhan dan anarkisme.
Jika kita cermati, maka berbagai konflik yang terjadi di Indonesia terutama konflik antar-etnis dan agama lebih disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya kompleks. Meminjam teori etno-nasionalis mungkin bermula dari konfigurasi intersected kemudian berubah menjadi consolidated yang membuka kesadaran konflik dan kemudian memungkinkan terjadinya kekerasan kolektif. Hal itu diperparah oleh adanya kenyataan pahit yang membuat masyarakat Indonesia tertekan selama pemerintahan Orde Baru (1966-1998) yang represif.
Dari kacamata budaya politik kita melihat bahwa berbagai tindak kerusuhan dan tinda¬kan anarkis yang muncul dalam masyarakat setidaknya akhir-akhir ini justru selah disemangati oleh api reformasi yang diterjemahkan secara membabi buta. Jadi, terjadi salah interpretasi atau destorsi makna reformasi. Selain itu terjadi pula euforia demokrasi di kalangan masyara¬kat kita terutama kalangan bawah (grassroot) yang belum siap menerima kebebasan demokrasi, setelah selama lebih dari 30 tahun mengalami tekanan (Jw.: sumpek). Akibatnya, sedikit saja ada percikan api, maka masyarakat kita yang sudah "basah minyak" cepat sekali terbakar dan menghanguskan sendi-sendi budaya yang selama ini telah tertata.

4. Solusi Mengeliminasi Konflik: Perspektif Ideologis-Kultural
Penanganan terhadap konflik dengan pendekatan represif ataupun keamanan (security approach) tidaklah tepat. Bahkan pada masa-masa mendatang pendekatan terhadap konflik dengan menggunakan senjata sama sekali tidak populer. Karena, di samping sering membawa korban jiwa, juga sering tidak menyelesaikan permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah dengan memperhati¬kan issue yang melatari konflik.
Lebih lanjut, pendekatan pemecahan masalah memperlakukan konflik sebagai masalah dan bukan sebagai tindak kerusuhan dan kekerasan yang harus dibasmi, terlebih memandang¬nya sebagai pemberontakan atau makar yang harus diberangus sampai ke akar-akarnya, tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Pendekatan konflik semestinya lebih memfokus¬kan perhatian bukan hanya pada perilaku konflik melainkan juga rasa tidak puas, rasa diperlau¬kan tidak adil, dan seterusnya. Juga, memfokuskan pada kondisi dan situasi yang melatari konflik yang terjadi. Ringkasnya, pendekatan konflik harus dilakukan dengan multidimensi atau dengan pendekatan holistik, diantaranya adalah dengan melihatnya dari perspektif ideolo¬gis-kultural.
Adapun alternatif solusi untuk mengeliminasi konflik terutama antar-etnik dan agama di Indonesia dengan pendekatan ideologis-kultural antara lain:
Pertama, perlunya kemampuan menginterpretasikan dan mengkomunikasikan ajaran agama dengan arif. Seperti diketahui, bahwa dimensi penting yang terkandung dalam ajaran agama adalah sebuah sistem simbolik yang membingkai pemeluknya menjalin hubungan secarta vertikal sarat nuansa transendental dengan Tuhan (Sang Khalik), yang kadar dan intensitas hubungan itu memiliki implikasi nyata pada kehidupan sosial. Dimensi terpenting dalam sistem simbolik semacam itu adalah ajaran hakikat hidup, yakni pengetahuan tentang dari mana manusia berasal dan ke mana kelak manusia akan kembali.
Kedua, perlunya sikap keteladanan para pemimpin agama. Masyarakat Indonesia hingga saat ini masih dikenal paternalistik, yakni seringmudahmengikuti para tokoh atau pemimpinnya. Jika para pemimpin menunjukkan sikap yang lemah lembut dan menciptakan suasana yang sejuk dalam berinteraksi dengan kaum yang berbeda agama, niscaya umatnya pun akan mengikutinya demikian. Sebaliknya jika para pemimpin agama menunjukkan sikap antipati dan permusuhan dengan kaum yang berbeda agama, maka umat pun tinggal menuruti. Terlebih masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya yang masih memegang falsafah kepemimpinan kepamongan, yakni Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani (seorang pemimpin yang baik itu diharapkan: di depan dapat memberi contoh, di tengah/ lapangan mau bekerja secara langsung, dan di belakang dapat memberi motivasi), jelas peran keteladanan para tokoh dan/ atau pemimpin agama sangat besar.
Jika kita cermati, kehidupan beragama dan sikap religius merupakan salah satu realitas budaya yang terdapat di seluruh Indonesia. Meskipun sikap religius itu tercermin pada sebagian besar rakyat Indonesia, namun dalam keseharian sikap religius itu memperoleh ekspresi yang beraneka ragam. Adanya basis kehidupan beragama di Indonesia yang demikian tua dan cukup berkembang, memberikan kemungkinan yang baik bagi rakyat untuk memperkokoh dan memperluas basis itu dalam perkembangan selanjutnya. Landasan spiritual itu merupakan potensi kekuatan mental yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehing¬ga, hal itu menjadi modal utama dalam penciptaan suasana yang sejuk, damai, dan sejahtera.
Pertanyaan yang muncul kemudian: Mengapa rakyat Indonesia yang terkenal religius itu kini mudah sekali melakukan tindak kekerasan (anarkisme) yang jelas bertentangan dengan ajaran agama? Mengapa rakyat Indonesia yang umumnya taat dan kuat dalam kehidupan beragama tidak dapat mencerminkan sikap dan perilaku menyejukkan, cinta damai, berbudi pekerti luhur, bersatu dan rukun dengan orang lain, penuh cinta kasih antarsesama sesuai dengan ajaran agama mana pun? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak mudah ditemukan.
Ada banyak faktor yang menyebab¬kan semua sikap dan tindakan yang bertentangan dengan agama itu, di antaranya: tidak jarang perilaku pemimpin dan penganut agama sendiri merusak arti dan citra agama. Selain itu, pandangan yang sempit dan fanatisme buta menimbulkan tindakan saling merusak di antara kalangan agama, yang semuanya turut menjatuhkan nilai agama yang suci murni.
Tindak kekerasan terlebih bunuh-membunuh antara kaum beragama, perilaku pemimpin agama yang meminjam kekuasaan kolonial untuk memaksanakan agama kepada penduduk yang dianggapnya kosong agama, semuanya itu hakikatnya bertentangan dengan ajaran semua agama. Itu semua terjadi karena sikap dan perilaku para pemimpin agama yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya sendiri. Dan, itu pun terjadi di Indonesia, terlebih akhir-akhir ini, yang mengganggu dan merusak kehidupan beragama yang positif selama ini.
Jika kehidupan agama mampu mendorong terwujudnya sikap dan perilaku itu, maka kita akan memperoleh rakyat Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan, sekaligus mampu mewujudkan kehidupan di dunia ini yang lebih indah, sejuk, damai, maju, dan sejahtera.Untuk itu, perlu dikembangkan pola agar para pemimpin agama di Indonesia dapat mengambil ajaran-ajaran agama itu untuk menimbulkan sikap dan perilaku manusia Indonesia yang positif. Jadi, persoalannya ada pada para pemimpin agama. Sebab, agama dengan ajaran-ajarannya yang bersumber pada Tuhan memberikan kemungkinan besar untuk penerapan secara positif, dan tidak ada ajaran agama yang negatif.
Dengan kondisi rakyat Indonesia yang religius, lalu para pemimpinan agama pandai mengintepretasikan dan mengkomunikasikan ajaran agama, pasti kita memiliki penduduk yang kuat spiritual dan mentalnya sehingga dapat menjadi potensi besar guna mengantisipasi berbagai tantangan kehidupan termasuk dalam menyikapi berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupan kebangsaan.
Ketiga, perlunya pembauran budaya antar-etnis. Harus diakui bahwa relasi antara etnis Cina dengan masyarakat pribumi memang masih ditandai dengan kurangnya itegrasi dan absennya kesamaan nilai sosial dan kultural (Willmott, 1960: 17; Tan, 1963: 92). Sebenarnya masalah pembauran menyangkut integrasi semua warna negara keturunan asing ke dalam rakyat Indone¬sia. Namun, karena jumlah terbanyak warga keturunan asing adalah etnis Cina, maka masalah pembauran umumnya dan terutama dikaitkan dengan integrasi WNI etnis Cina. Selain itu, juga pembauran etnis Cina adalah paling menghadapi kendala karena adanya faktor-faktor lain di luar faktor ras. Misalnya, faktor ekonomi, faktor budaya, dan faktor agama. Pembauran WNI etnis Arab tampaknya dipermudah oleh karena persamaan agama Islam, sedangkan etnbis Eropa (biasanya mereka disebut Indo-Eropa) dengan mudah menjadi oang Indonesia jika sudah berniat demikian.
Pembauran etnis Cina, demikian Suryohadiprojo (1987: 219), membawa beban historis yang memperberat usaha mereka secara psikologis untuk berintegrasi dengan rakyat Indonesia. Beban historis pertama adalah bahwa sejak dulu orang Cina menganggap dirinya satu-satunya bangsa yang beradab, sedangkan orang lain adalah biadab (Barbarian). Memang kebudayaan Cina adalah kebudayaan tertua di dunia --sampai-sampai Nabi Muhammad Saw. menyuruh umatnya mencari ilmu hinggga ke Cina-- dan adanya perasaan demikian dapat dimengerti. Seperti halnya orang Jepang yang menganggap dirinya paling beradab, atau orang kulit putih menganggap dirinya paling beradab. Jadi, karena menilai dirinya paling beradab, maka secara umum berat bagi orang Cina untuk berintegrasi dengan rakyat lain, terlebih jika rakyat itu dipandangnya lebih rendah.
Beban historis kedua adalah bahwa etnis Cina pada masa penjajahan diberikan tempat di atas rakyat pribumi oleh pihak penjajah. Jadi, di mata orang Cina pribumi berada di bawahnya. Jika hal ini dikaitakan dengan beban pertama, maka lebih dapat dipahami lagi jika etnis Cina merasa dirinya superior terhadap pribumi. Terlebih lagi pada masa penjajahan, orang Cina yang diberikan kesempatan menjadi golongan menengah di Indonesia dapat memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya dan membentuk kekuatan ekonomi dan bisnis yang tangguh (hingga kini). Sebaliknya pihak pribumi justru semakin dikebiri kemampuan ekonomi dan bisnisnya, sehingga makin habis. Karenanya, perasaan superior etnis Cina diperkuat oleh realitas posisi ekonomi yang lebih kuat.
Dilihat dari sudut ini maka tak mengherankan, bahwa mayoritas etnis Cina tidak ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, kecuali sebagian kecil yang memiliki pandan¬gan dan keyakinan politik yang luas dan jangka jauh. Sebab, pada masa penjajahan Belanda, etnis Cina akibat dari posisi sosial dan ekonominya, sudah lebih dulumemperoleh kesempatan memasuki sekolah-sekolah Belanda, termasuk perguruan tinggi, ketimbang anak orang pribu¬mi. Sehingga, etnis Cina lebih dekat kepada pihak penjajah ketimbang kepada pribumi. Demi¬kian pula ketika masa penjajahan Jepang, kaum profesioanal kebanyakan etnis Cina. Tentu saja ada yang dekat kepada pribumi, tetapi itu langka. Dari sudut sosial, ekonomi, dan politik semua itu dapat dipahami.
Persoalannya timbul ketika Indonesia merdeka. Sebab, dengan begitu etnis Cina mengha-dapi pilihan, apakah tetap tingal di Indonesia dan menjadi warga negara yang baik di dalam masyarakat yang tadinya dianggapnya lebih rendah, atau meninggalkan Indonesia kembali ke Cina atau ke Eropa. Mayoritas etnis Cina memilih tetap tinggal di Indonesia.
Bagi pihak Indonesia pilihan etnis Cina untuk tetap tinggal di sini diterima dengan berbagai perasaan. Bagi orang yang berpendidikan dan rasional, hal itu diterima dengan baik. Sebab dengan begitu mayarakat Indoensia tidak akan kehilangan golongan menengah yang pada masa kemerdekaan sangat sedikit, dan khususnya untuk perdagangan dikuasai oleh etnis Cina. Tetapi bagi kalangan Indonesia yang emosional (umumnya kalangan bawah), berpikir bahwa disangsikan kesetiaan etnis Cina kepada Indonesia. Bukankah mayoritas mereka tidak memihak Indonesia dalam menghadapi Belanda? Kekuasaan ekonomi mereka justru menjerat perkembangan bangsa Indonesia. Jika kaum emosional itu dapat mengerakkanperasaan rakyat, maka dapat terjadi huru-hara yang mengarah kepada penghancuran milik etnis Cina secara besar-besaran. Peristiwa geger Cina era 1980-an dan kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Solo dan beberapa kota lain merupakan fakta aktual hal itu.
Berangkat dari berbagai realitas itu, maka kini perlu dikembangkan pembauran budaya di kalangan etnis Cina dengan rakyat Indonesia guna menuju integrasi nasional yang lebih kokoh. Pembauran budaya dimaksud antara lain dalam bentuk:
(1) Adaptasi dalam sikap dan perilaku dengan rakyat pribumi. Artinya, perlu dikem-bangkan sikap nJawani (jika di Jawa), misalnya dalam bergaul di tengah masyarakat, termasuk dalam sopan santun (unggah-ungguh) dan toleransi (tepa selira). Jika orang Cina bertemu dengan orang Jawa, seyogyanya bersikap ramah-tamah, saling bertegur sapa, dan saling menghormati dengan saling menundukkan kepala atau membungkukkan badan, dan sebagainya. Hal-hal seperti itu akan menambah keakraban antarkedua etnis.
(2) Adaptasi dalam hal penamaan baik orang maupun lembaga/ perusahaan. Diusahakan dalam memberikan nama orang atau lembaga/ perusahaan agar lebih membumi Indonesia.
(3) Beradaptasi dalam sistem dan pranata sosial masyarakat pribumi, seperti dalam melakukan upacara tradisi (bukan agama) seperti perkawinan, khitanan, ulang tahun, dan lain-lain.
(4) Tak kalah pentingnya adalah adaptasi dalam berbahasa yang nJawani (jika di Jawa), yang lebih mencerminkan dialek. Jika perlu etnis Cina dapat mengucapkan istilah-istilah pergaulan yang mengakrabkan. Di lingkungan masyarakat Surabaya misalnya: arek, dancuk, sampeyan, nyapa, gak isa, wis mari; sedangkan di Solo misalnya: nuwun sewu, matur nuwun, mangga, tindak, kondur, asem, dan sebagainya.
(5) Tak ketinggalan dalam berseni budaya pun etnis Cina perlu membaur dengan masyarakat pribumi. Alangkah indahnya jika kita menyaksikan kethoprak/ wayang orang dengan para pemain orang Cina. Demikian pula dalam ludruk, reog, jathilan, tari, dan lain-lain kita dapat menyaksikan orang-orang Cina ikut bermain di sana. Hal ini pernah dilakukan oleh para etnis Cina yang tergabung dalam Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) di Hotel dan Restoran Diamond Solo, beberapa waktu yang lalu (1999) yang asyik dalam permainan wayang orang. Kita menjadi terharu dan merasakan bahwa mereka, keturunan Cina tersebut bukan lagi jauh dari etnis Jawa melainkan rasanya sudah menjadi bersaudara betul (Jw.: nyedulur, nJawani). Sebaliknya orang-orang etnis Jawa dapat bergabung dalam permainan Barong Say yang asli Cina itu. Dengan bergabungnya orang-orang Jawa dengan Cina dalam permainan Barong Say itu, maka keakraban di antara kedua etnis tersebut sangat terasa, hingga antara keduanya tidak ada lagi jarak psikologis.
(6) Hal-hal lain yang sifatnya mempribumi sehingga lebih mengakrabkan dan menim¬bulkan ikatan moral dan emosional. Misalnya: dalam model/ arsitek rumah, busana (terutama dalam acara tradisi/ budaya), dan lain-lain.
Namun dari semua hal itu, hakikat masalah pembauran etnis Cina adalah masalah Indoensia untuk meningkatkan kemampuannya. Andaikata orang-orang Indonesia mempunyai kemampuan untuk berfungsi sebagai golongan menengah yang wajar, kehadiran etnis Cina tidak menjadi persoalan yang menimbulkan kebencian dan kekhawatiran. Karena orang Indone¬sia umumya merasa begitu bergantung kepada etnis Cina, maka hal itu menimbulkan kekhawat¬iran. Sedangkan kebencian timbul karena pada masa lampau ada sikap superior orang etnis Cina, terlebih jika setelah hidup di Indonesia merdeka sikap itu masih dibawa-bawa terus. Jika orang-orang Indonesia mempunyai kemampuan yang memadai sehingga masyarakat kita tidak bergantung kepada etnis Cina, rasa khawatir itu akan holang dengan sendirinya. Terlebih jika etnis Cina mampu membuktikan kesetiaan mereka kepada Indonesia, seperti dalam olah raga yang selama ini menonjol. Jika orang Indonesia mempunyai kemampuan yang memadai, etnis Cina pasti akan melihat dan menyadari hal itu. Dan, mereka tdak akan mengambil,sikap superior tanpa meru¬gikan dirinya sendiri. Ini dapat dirasakan mereka yang pernah sekolaha dan kuliah bersama dan dapat menunjukkan kualitas pekerjaan yang tak kalah , bahkan melebihi mereka. Dan, jika kemampuan orang Indonesia secara umum meningkat, maka pasti etnis Cina merasa menjadi keharusan baginya untuk menyesuaikan diri dengan pihak Indonesia, sehigga pada gilirannya mereka benar-benar akan membaur dengan pribumi. Saat itulah masalah pembauran akan selesai. Jadi, kunci inti dalam masalah pembauran adalah usaha Indoensia untuk meningkatkan kemampuan rakyat di segala bidang sehingga menjadi bangsa yang dihormati dan dihargai oleh siapa pun. Termasuk di dalamnya pembentukan golongan golongan menegah yang kuat.
Dalam kondisi demikian, maka pihak lain --termasuk etnis Cina-- yang berkepentingan untuk dapat diterima menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Kondisi demikian seperti yang terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Kanada. Bangsa-bangsa lain yang berimigrasi ke nagara-negara itu, seperti Cina, Vietnam, dan Jepang, justru berusaha untuk dapat didterima dalam masyarakat yang didatangi. Hal ini dilakukan karena pihak pendatang menyadari bahwa pihak yang didatangi mempunyai kemampuan yang tinggi, dan karena itu lebih baik menyesuaikan diri degan pihak yang didatangi. Sekalipoun mungkin dalam perasaan pihak pendatang ada segi keunggulan dalam peradaban dibanding pihak yang didatangi.
Terlepas dari semua iti, sebelum orang Indonesia mencapai tingkat kemampuan yang menimbulkan respek itu, haus diambil langkah-langkah agar masalah pembauran tidak merugi¬kan bangsa Indonesia. Realitasnya, sudah cukup banyak etnis Cina yang berusaha secara serius untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik dengan kesetiaan penuh kepada Indoensia, di samping mereka yang masih menunjukkan keang¬kuhan.
Sayangnya, mereka yang sudah menunjukkan niat dan sikap baik sering dirugikan karena adanya sikap apriori masyarakat pribumi. Artinya, mereka yang sudah berniat dan bersikap baik disamakan (digeneralisasikan) dengan mereka yang masih angkuh. Mereka yang angkuh tidak jarang menunjukkan kekuatannya melalui uang dan benda. Mereka memperlihatkan sikap seakan-akan semua dapat dibeli dengan uangnya. Dan, memang menghadapi aparatur pemerin¬tah yang masih serba lemah sikap demikian sangat efektif. Tetapi mereka yang bersikap baik dengan demikian menjadi korban. Misalnya: mereka sering kesulitan dalam urusan dengan pemerintahan (KTP, surat, dsb.), kecuali mereka mengeluarkan uang.
Keempat, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia ntuk mampu memanaj berbagai perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik menjadi potensi. Perbedaan pendapat, keyakinan atau agama, terlebih etnis, yang berimplikasi pada perbnedaan budaya harus dipandang sebagai sesuatu yang wajar, bahkan sebuah keharusan dalam kerangka mencari kebenaran hakiki. Islam, misalnya, memandang “perbedaan adalah suatu rahmat dalam mencari kebenaran”. Dalam Islam bahkan diajarkan bahwa Nabi Muhammad Saw., Rasul pembawa agama Islam, diutus sebagai rahmat untuk seluruh alam (Wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil ’aalamiin, yang artinya: “Tidaklah Aku (Allah) mengutusmu Muhammad kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam”). Tanpa adanya perbedaan pendapat manusia akan dapat terjebak dalam kesalahan yang terus-menerus, dan tidak akan pernah maju, stagnan, karena tidak ada yang mengkritisi serta tidak timbul motivasi. Jadi, budaya kritik harus ditradisikan kepada masyarakat bahkan anak-anak dalam berbagai kesempatan, termasuk di sekolah. Dengan demikian kita akan terbiasa dalam menanggapi/ menyikapi keberbedaan di antara warga masyarakat. Dengan cara ini maka juga akan tercipta suasana demokratis di kalangan masyarakat kita yang multikultural dan multidimensi.

5. Penutup
Mengakhiri pembahasan resolusi konflik dalam perspektif ideologis-kultural ini, dapat dikemukakan bahwa sebenarnya konflik yang sering terjadi di Indonesiam akhir-akhir ini sering mengandung muatan yang kompleks. Muatan politis agaknya paling dominan, di samping masalah kekecewaan dan perasaan ditekan selama ini. Artinya, bermula dari konfigurasi intersected kemudian berubah menjadi consolidated yang membuka kesadaran konflik dan memungkinkan terjadinya kekerasan kolektif. Adapun dari kacamata budaya politik, berbagai tindak kerusuhan dan tinda¬kan anarkis akhir-akhir ini justru telah disemangati oleh api reformasi yang diterjemahkan secara membabi buta yang terwujud sebagai euforia demokrasi.
Jika dirinci beberapa faktor penyebab timbulnya konflik antar-etnik dan agama di Indonesia itu antara lain: (1) seberapa jauh tingkat keterbelakangan atau penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibanding dengan kelompok-kelompok lain; (2) ketegasan identitas kelompok; (3) derajat kohesi dan mobilisasi kelompok; dan (4) kontrol represif oleh kelom¬pok-kelompok dominan.
Beberapa alternatif solusinya, antara lain: (1) Perlunya kemampuan menginterpretasikan dan mengkomunikasikan ajaran agama dengan arif; (2) Sikap keteladanan para pemimpin agama dalam berinteraksi denghan kaum agama lain. (3) Perlunya pembauran budaya antar-etnis. (3) Memanaj berbagai perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik menjadi potensi dalam pembangunan bangsa.
Jadi, untuk meminimalisasi dan mengeliminasi konflik sosial, pendekatan represif atau keamanan tidaklah tepat. ini lebih diperlukan pendekatan pemecahan masalah, yang melihat konflik dari berbagai aspeknya, termasuk latar balakngnya, issue sentralnya, dan sebagainya.
Pendekatan ideologis-kultural merupakan salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan guna mengeliminasi konflik sosial yang sering muncul selama ini terutama konflik antar-etnis dan antar-agama di Indonesia yang masyarakatnya memang multidimensi dan multikultural.




Daftar Pustaka

Mas'ud, Mochtar. 1998. "Memahami Kebangsaan". Makalah dalam Diskusi "Tantangan
terhadap Integrasi bangsa: Studi Kasus Konflik Sosial dan Kerusuhan Massal", Program Pascasarjana UGM Yogyakarta, 1998.

P3PK-UGM. 1997. "Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu". Laporan Penelitian
P3PK-UGM dengan Departemen Agama RI, 1997.

Panggabean, Rizal. 1999. "Strategi Menyelesaikan Konflik Daerah". Makalah Diskusi, FISIP dan
P3PK-UGM, Yogyakarta, 21 September 1999.

Susetyawan. 1998. "Kerusuhan Marak Akibat Pertentangan Elite Politik" dalam Solo Pos, Tanggal
25 Januari 1999.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1987. Menghadapi Tantangan Masa Depan. Jakarta: Gramedia.

Tan Giok Lan. 1963. The Chines of Sukabumi: A Study of Social and Cultural Accomodation.
Ithaca: Cornel University Southeast Asia Program.

Willmott, D.E. 1960. The Chinese of Semarang: A Changing Minority Commnunity in Indonesia.
Ithaca: Cornel University Press.

ooOoo





















RESOLUSI KONFLIK ANTARETNIK DAN ANTARAGAMA:
PERSPEKTIF IDEOLOGIS-KULTURAL
Oleh Ali Imron Al-Ma’ruf


ABSTRAK

Konflik sosial dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini sering mengandung muatan politis di samping kekecewaan dan perasaan tertekan. Beberapa faktor penyebab timbulnya konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia antara lain: (1) tingkat keterbelakangan atau penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibanding dengan kelompok lain; (2) ketegasan identitas kelompok; (3) derajat kohesi dan mobilisasi kelompok; dan (4) kontrol represif oleh kelom¬pok-kelompok dominan. Untuk meminimalisasi dan mengeliminasi konflik sosial, pendekatan represif atau keamanan tidaklah tepat. Pendekatan ideologis-kultural merupakan salah satu alternatif solusinya, yakni: (1) Perlunya kemampuan menginterpretasikan dan mengkomunikasikan ajaran agama dengan arif (2) Sikap keteladanan para pemimpin agama. (3) Perlunya pembauran budaya antaretnis. (4) Memanaj berbagai perbedaan menjadi potensi dalam pembangunan bangsa.

Kata kunci: konflik antar-etnis dan agama, faktor penyebab, solusi, pendekatan ideologis-kultural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar