Senin, 25 April 2011

PERAN KERATON DALAM PENGEMBANGAN ISLAM: MOZAIK BUDAYA JAWA-ISLAM WARISAN KERATON

Ali Imron A-Ma’ruf
Pend. Bahasa, Sastra Indonesia & Daerah FKIP Univ. Muhammadiyah Surakarta/ Mahasiswa S3 Linguistik/ Program Doktor Universitas Sebelas Maret

1. Pendahuluan
Perkembangan Islam di Indonesia saat ini dan Jawa pada khususnya tidak dapat dilepaskan dari eksistensi kerajaan dinasti Mataram. Bahkan, dapat ditarik ke belakang lagi yakni sejak kerajaan Demak Bintoro pada abad XV. Hal ini tentu berkaitan dengan peran kraton pada masa itu sebagai pusat kekuasaan politik sekaligus pusat kebudayaan. Dapat dikatakan, kratonlah yang merupakan institusi dalam memperlancar dan memperluas penyebaran Islam ketika itu melalui kebijakan-kebijakan raja dengan segenap ‘punggawa’, pejabatnya.
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia mencatat bahwa para Wali –kependekan dari Waliyullah, yang populer dengan sebutan Wali Songo-- menjadi pilar utama dalam penyebaran agama Islam di masyarakat. Dengan mendapat dukungan dan legitimasi dari raja dan para ‘punggawa’ (pejabat) kerajaan –yang lebih dulu masuk Islam-- mereka dapat bergerak leluasa dalam melaksanakan dakwah kepada warga masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pada masa-masa pemerintahan kerajaan Islam pertama di Jawa sejak Demak Bintoro, Pajang hingga dinasti Mataram, duet Umara’ dan Ulama’ yakni raja dan wali benar-benar merupakan pasangan yang harmonis (partnership) dalam penyebaran Islam.
Dakwah penyebaran Islam dilakukan melalui dua pendekatan utama yakni pendekatan strukutral dan kultural sekaligus. Pendekatan struktural dilakukan dengan mengislamkan lebih dulu raja dan kerabatnya dan hal itu telah berhasil sejak zaman pemerintahan kerajaan Demak Bintoro dan terus berlanjut hingga pada pemerintahan dinasti Mataram termasuk kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat (selanjutnya disebut Surakarta). Selanjutnya, melihat kondisi masyarakat objek dakwah yang mayoritas sudah memeluk agama Hindu dan Budha serta animisme dan dinamisme, maka para wali menggunakan pendekatan kultural. Pendekatan kultural dilakukan dengan melalui seni budaya masyarakat yang hidup pada masa itu. Di antaranya melalui pementasan wayang kulit (purwa) dengan cara mengadopsi cerita

_______________
*) Disajikan dalam Seminar Nasional “Peran Karaton dalam Pengembangan Islam” kerja sama PP Muhammadiyah dengan Karaton Kasunanan Surakarta pada tanggal 17 Januari 2007 di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
wayang Mahabharata dan Ramayana dari India yang telah digubah sedemikian rupa sehingga bernuansa Islami. Demikian pula melalui sastra gendhing, seni musik gamelan yang tembang atau syairnya digubah berunsurkan ajaran Islam. Oleh karena itu, tanpa menimbulkan gejolak berarti atau konflik horisontal antarumat beragama kala itu, mereka ‘berhasil’ melakukan Islamisasi di tanah Jawa.
Sejalan dengan itu, peran keraton Surakarta sebagai dinasti Mataram dalam pengembangan budaya di Indonesia menarik untuk dikaji. Keraton Surakarta, seperti tiga kerajaan dinasti Mataram lainnya yakni Kasultanan Yogyakarta, Pakualaman Yogyakarta, dan Pura Mangkunegaran Surakarta, membangun kekuatannya dengan tiga sentra aktivitas yakni kraton, masjid, dan pasar. Ketiga kekuatan tersebut saling berintegrasi satu dengan lainnya sehingga mampu menjadi pilar utama kejayaan sebuah kerajaan (baca: negara).
Dakwah pengembangan Islam di Jawa yang dipelopori oleh para wali dengan mendapat legitimasi kerajaan, membuahkan hasil yang luar biasa. Alhasil, Islam kemudian berkembang menjadi ‘agama rakyat’. Dalam konteks ini Grunebaum (1983: 21-39), mengajukan tesis mengenai hubungan Islam sebagai lapisan peradaban universal berkoeksistensi dengan peradaban lokal sehingga melahirkan pola Islam kultural yang beraneka ragam dan spesifik dalam ikatan benang merah ketauhidan. Teori tersebut kemudian mendapat apresiasi dari beberapa antropolog dan sosiolog sehingga dijadikan model kajian tersendiri yang oleh Redfield (1982: 68-70) pola Islam kultural itu dikategorikan sebagai paduan tradisi besar dengan tradisi kecil melalui proses yang bertingkat, yakni berawal dari konflik, koeksistensi, dan interaksi kultural. Redfield menyatakan bahwa Dar al-Islam pola umum Islam sebagai tradisi besar sedangkan tradisi kecil adalah penangkapan arus bawah rakyat.
Dalam mengkaji peran keraton sebagai pusat aktivitas politik dan budaya pada zamannya terdapat dua orientasi utama yakni politik dan sosiokultural. Namun, sebenarnya masalah politik dan sosiokultural itu tidaklah bersifat statis melainkan terbentuk dalam berbagai bentuk konfidensi keagamaan terhadap proses sosial yang berlangsung dalam kurun sejarah. Peran kraton dalam pengembangan politik dan budaya Islam di Indonesia sesungguhnya bukan terbentuk secara ahistori melainkan bergantung pada artikulasi sosiologis yang bersifat kontekstual.
Berpijak pada realitas sejarah dan pemikiran di atas, maka tulisan ini mencoba mengkaji eksistensi kraton dalam pengembangan budaya Islam di Indonesia baik pada masa dulu maupun masa sekarang. Mengingat berbagai keterbatasan, maka tulisan ini tidak berpretensi untuk mengkaji peran kraton dalam pengembangan Islam secara mendetail dan mendalam melainkan lebih sebagai upaya untuk merenungkan kembali peran kraton dalam pengembangan budaya Jawa-slam. Hal ini penting mengingat mozaik budaya Jawa-Islam klasik tidak sedikit mengandung nilai filosofis tinggi yang besar manfaatnya bagi generasi muda masa kini.
Permasalahannya adalah bagaimana peran kraton dalam pengembangan budaya Islam sebagai pusat kekuasaan politik dan budaya? Mozaik budaya Jawa-Islam warisan kraton apa saja yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan zaman global?

2. Peran Keraton dalam Pengembangan Budaya Jawa-Islam
Kebudayaan kerajaan dibangun dengan strategi konvergensi antara ajaran Islam dengan kebudayaan Jawa. Kerangka bangun sosial didasarkan pada keseimbangan interdependensi antara tiga sentra aktivitas sosial, yakni kraton (istana), masjid, dan pasar di lingkungan kraton dinasti Mataram. Ketiga kekuatan itu bertemu dalam modus penyatuan nilai-nilai Islam yang universal dengan budaya Jawa yang bersifat lokal. Istana/ kraton adalah pusat aktivitas kekuasaan dan politik; masjid merupakan pusat aktivitas keagamaan Islam; dan pasar merupakan sentra aktivitas ekonomi. Ketiga kekuatan tersebut saling berintegrasi satu dengan lainnya sehingga mampu menjadfi pilar utama kejayaan sebuah negara atau kerajaan. Oleh karena itu, peran kraton dalam pengembangan budaya juga tidak dapat dilepaskan dari fungsi dan peran ketiga sentra aktivitas sosial tersebut.
Ruh atau esensi agama Islam telah menjadi dasar kekuatan dalam membangun pemerintahan dan pranata sosial kemasyarakatan. Pranata kehidupan diwujudkan melalui tatanan sosial budaya yang memadukan tradisi agung Islam dengan tradisi local Jawa. Karena itu, masjid bukan sekedar untuk menjalankan shalat dan membaca al-Quran, melainkan juga sebagai pusat latihan olah kanuragan. Demikian pula pendapa keratin juga digunakan sebagai tempat untuk berdzikir, membaca al-Quran, mengkaji ajaran Islam, di samping arena pagelaran seni budaya.
Di pihak lain, sejarah perkembanghan Islam di Indonesia mencatat bahwa keberhasilan dan kelancaran dakwah penyebaran agama Islam di Jawa tidak terlepas dari peran para Wali dengan dukungan dan legitimasi dari raja dan para punggawanya. Wali dan raja yang merupakan simbol Ulama’ dan Umara’ pada zaman kerajaan merupakan duet hebat dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Kerajaan Demak Bintorolah –kerajaan Islam pertama di Indonesia-- yang membuka jalan pertama atas penyebaran agama Islam oleh para Wali yang mendapat legitimasi raja. Hal itu sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw.: “Ada dua golongan dalam suatu negara yang amat penting, jika dua golongan itu baik maka baiklah negara itu dan jika dua golongan itu jelek maka hancurlah Negara itu. Dua golongan itu adalah Ulama’ dan Umara’”.
Adalah sebuah realitas bahwa diterapkannya pendekatan struktural dan kultural merupaka kunci sukses dakwah penyebaran Islam di Jawa. Pendekatan struktural dilakukan dengan mengislamkan lebih dulu raja dan kerabatnya itu telah berhasil sejak zaman pemerintahan kerajaan Demak Bintoro dan terus berlanjut hingga pada pemerintahan dinasti Mataram. Selanjutnya, melihat kondisi masyarakat objek dakwah yang mayoritas sudah memeluk agama Hindu dan Budha serta animisme dan dinamisme, maka para wali menggunakan pendekatan kultural yakni melalui seni budaya masyarakat yang hidup pada masa itu. Di antaranya melalui pementasan wayang kulit (purwa) dengan cara mengadopsi cerita wayang Mahabharata dan Ramayana dari India yang digubah menjadi bernuansa Islami.
Harus disadari bahwa keberhasilan penyebaran Islam itu tidak akan terwujud dengan mulus jika tidak ada good will dan political will dari raja dan punggawa kerajaan. Para Wali pada zaman itu menjadi partner ship bagi raja dalam menjalankan roda pemerintahan. Bahkan, dapat dikatakan kebijakan dan keputusan kraton senantiasa dikonsultasikan oleh raja kepada Wali. Dengan demikian, secara politis penyebaran Islam memperoleh legitimasi dari pengauasa kerajaan.
Sejalan dengan itu, Islam juga berkembang dengan graduasi konversi keagamaan melalui perkawinan dan penetrasi elit sosial (Schrieke, 1957: 230-267). Adanya perkawinan antara para bangsawan kraton dan antar para punggawa kerajaan yang memiliki pengaruh kuat di dalam kehidupan rakyat, mempermudah penyuebaran Islam di tengah masyarakat tanpa adanya gejolak sosial.
Berkat kepiawaian para Wali dalam menerapkan strategi dakwah yang cerdas yakni dengan pendekatan kultural, Islam juga berkembang melalui paduan ideosinkretik Islam dengan mistisisme pra-Islam yang metafisis dengan dukungan sikap toleransi masyarakat yang menolak keterbukaan konflik doktrinal keagamaan secara serius. Proses dialogis yang ketat ketika Islam disebarkan ke daerah Jawa oleh para Wali dengan legitimasi dari kraton telah menimbulkan dinamika historis baik pada saat berkembangnya Islamisasi maupun ketika terjadi domestikasi Islam dalam masyarakat (lihat Arifin, 1990: 3).
Proses domestikasi Islam melahirkan pemikiran-pemikiran sistesis yang mempertemukan pandangan Islam dengan nilai-nilai kultur Jawa. Terjadilah Jawanisasi ajaran Islam sehingga pemikiran-pemikiran keagamaan disatukan ke dalam
dasar-dasar spiritualitas kebudayaan. Gelar raja, karya sastra, dan simbol-simbol arsitektur memberi kekuatan terhadap bentuk sistesisme Islam dengan kultur Jawa.
Raja Mataram sejak awal menyadari akan kedudukannya sebagai satria-pinandhita sekaligus ratu-pinandhita. Sebagai ratu-sinatriya ia bergelar Senapati Ing Ngalaga dan sebagai ratu-pinandhita ia bergelar Ngabdur-Rahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah. Demikianlah sebagai simbol pusat magis-mitis dan peran besarnya dalam pengembangan Islam, maka para raja Mataram dan keturunannya memiliki gelar sebagai Sayyidin Panatagama Kalipatullah (dari kata khalifatullah fil ardhi yang berarti “wakil Allah di bumi”). Adalah Hamangku Rat IV (1719-1724) yang pertama kali memakai gelar “Prabu Hamangku Rat Senapati Ing Ngalaga Ngabdu’ Rahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah”. Gelar itu menunjukkan kekuasaan raja yang mencakup dunia kasar dengan dunia halus, dunia materi dengan dunia spiritual sekaligus.
Seperti terjadi di berbagai kerajaan, perselisihan internal kraton mengundang intervensi pemerintah kolonial dalam kerajaan. Adanya intervensi pemerintah kolonial yang semakin jauh dalam kerajaan, maka kekuasaan politik raja menurun. Untuk memperteguh kewibawaan raja yang sedang mengalami krisis dan untuk mensosialisasikan nilai-nilai moral, etika, filsafat, dan agama sesuai dengan kebijakan raja, maka melalui para pujangga, kraton yang menjadi pusat kekuatan politik dan budaya Islam, melahirkan berbagai karya sastra. Karya sastra kraton ini mencoba memadukan substansi sufisme Islam dengan cerita rakyat seperti terlihat dalam Serat Dewaruci atau Bima Suci.
Dampak dari partisipasi aktif raja membangun sastra Jawa itu besar sekali dalam pengembangan sastra Jawa di tengah masyarakat. Masyarakat yang sebagian masih mempercayai raja sebagai tokoh sentral yang serba magis dan mistis, memandang serat-serat karya para raja sebagai pedoman yang harus diikuti. Bahkan, secara fisik naskah miliknya dipandang sebagai benda pusaka yang memiliki tuah. Masa bergairahnya kembali karya sastra Jawa yang kebanyakan bernuansa religius itu oleh Pigeaud (1967: 7) disebut sebagai Renaissance of Java Literature, kebangkitan kembali sastra Jawa.

3. Mozaik Budaya Jawa-Islam Warisan Keraton
Dalam menjalankan fungsi sebagai pusat aktivitas budaya, maka kraton telah menjadikan karya sastra Jawa-Islam sebagai media yang cukup efektif untuk mensosialisasikan nilai-nilai moral/ budi pekerti, agama, mistik, dan filsafat. Kayam (1997: 1) menyatakan bahwa karya sastra Jawa (zaman klasik) memiliki nilai pengabdian yang tinggi dibandingkan dengan unsur komersial yang terkandung di dalamnya. Nilai pengabdian itu tampak menonjol karena hampir semua karya sastra ditulis terutama untuk mendukung citra pemerintahan (kerajaan) pada saat itu, terutama karya sastra yang ditulis oleh para pujangga kraton. Bahkan, meminjam istilah Geertz, Kayam melanjutkan bahwa pada umumnya system kerajaan Islam-Jawa pada waktu itu disebut sebagai negara panggung (theatre state).
Tradisi sastra Jawa pada awal abad ke-18 bernuansa sastra yang ekspresif, yang merupakan refleksi atas realitas yang ada. Fenomena demikian, menurut Simuh (1998: 16) tanpa kecuali juga terjadi pada sastra Jawa sebagai cerminan dari kondisi masyarakat Jawa (terutama latar belakang penulisnya sendiri) yang memang dikatakan memiliki komitmen tinggi terhadap aspek religiusitas. Namun ada hal yang menarik yakni timbulnya semacam pergulatan antara sastra Jawa dan nilai Islam yang kemudian melahirkan dua jenis sastra yakni sastra pesantren dan sastra kejawen (Simuh, 1998: 25). Ternyata hegemoni kraton masih terasa kenthal pada ciri karya sastra abad itu. Terbukti dengan adanya kecenderungan di kalangan pujangga yang terlalu mengabdikan diri kepada kraton dengan cara saling berlomba membuat karya sastra dengan muatan yang terlalu meninggikan asal-usul raja, termasuk nenek moyang raja.
Di pihak lain, sastra Jawa-Islam yang diciptakan oleh pujangga kraton masih sangat berbau Islam-tradisional (dalam konteks sejarah pada masa itu) karena pada hakikatnya muatannya lebih banyak tentang ajaran Islam yang lebih sering ditafsirkan sebagai manunggaling kawula-gusti yang sangat mistis dan sinkretis (Hindu-Jawa-Islam) (Fananie, 2000: 134). Hal ini kemudian menjadi dasar dari dimensi sikap hidup masyarakat. Sikap hidup itu adalah bahwa mengabdi (kepada) raja sama dengan mengabdi (kepada) Tuhan karena raja adalah pengganti Nabi, dan Nabi adalah pengganti Hyang Agung (Tuhan), raja dan Nabi seakan-akan Hyang Agung yang tampak Hal ini tersurat dalam bait ‘pada’ ke-30 puisi ‘tembang’ Megatruh dari Serat Centhini berikut.
sang ratu gentyaning nabi,
nabi gentyaning Hyang Agung,
ratu nabi prasasat ing,
Hyang Agung kang kadulon.

Bahkan, pada masa kejayaan Mataram dengan rajanya Sultan Agung, beliau dipandang sebagai raja besar yang adil, pemurah, sakti, dan shalih, sampai-sampai dikisahkan setiap Jumat menjalankan shalat di Mekkah. Babad Tanah Jawi (BTJ) mengisahkan sebagai berikut.
Kacarios kala panjenenganipun sang prabu punika, negeri Matawis sakelangkung gemah raharja, misuwur, yen ratu ageng ambek adil paramarta, mungkuli sang rama swargi. Balanipun sami ajrih-asih. Dene jejulukipun Kanjeng Sultan Agung Prabu Pandhita Nyakra-Kusuma, sarta misiwur sakelangkung sekti. Ing saben dinten Jumungah sang prabu asring sembahyang dateng ing Mekah (dalam Sudibyo, 2000: 196).

Dikisahkan pada masa baginda itu, negeri Mataram begitu makmur, termasyhur. Baginda adalah raja besar berwatak adil dan pemurah melebihi almarhum ayahnya. Bala tentaranya segan dan menaruh hormat kepada baginda. Baginda bergelar Kanjeng Sultan Agung Prabu Pandhita Nyakra-Kusuma, serta dikenal sangat sakti. Setiap hari Jumat baginda sering melaksanakan shalat di Mekah.

Tampak sekali bahwa BTJ demikian tinggi mengangkat Sultan Agung sebagai raja yang hebat dan sakti serta yang terpenting adalah penggambaran mengenai ketaatan raja dalam menjalankan shalat bahkan sampai di Mekah pada tiap hari Jumat. Terlepas dari hal itu benar atau salah, yang pasti bahwa raja dilukiskan sebagai satria-pinandhita guna memperkuat simbol magis-mitis.
Sultan Agung juga dikenal menulis sastra gendhing, sejenis sastra yang mengandung lagu). Dalam karya sastra gendhing tesebut dikemukakan perlunya keturunan Mataram untuk mempelajari bahasa dan lagu karena dengan mendalami bahasa akan dapat membaca karya-karya sastra yang isinya banyak menfaatnya bagi kehidupan manusia, seperti ajaran agama, moral, budi pekerti, dan filsafat. Karena sastra bersumber pada ajaran luhur, maka orang yang tidak memahamai isi karya sastra dilukiskan tidak paham pula cara beribadah yang baik. Bahkan, diensi Tasawuf terasa kenthal dalam sastra gendhing. Bagi seorang Muslim, segala perbuatan harus didasarkan pada syariat. Hakikat tanpa syariat batal dan syariat tanpa hakikat akan hampa. Perhatikan bagian sastra gendhing berikut.
Pramila gendhing yen bubrah, gugur sembahemring widdhi, batal wisesaning salat, tanpa gawe ulah gendhing, dene ran tembang gendhing, tukireng swara linuhung, amuja asmaning Dzat, swara saking osik wadiosik mulya wentaring cipta surasa (Serat Sastra Gendhing pupuh 1 pada 11)

Karya sastra di lingkungan kraton Surakarta muncul dan semarak ketika terjadi persaingan di bidang sastra sebagai alat untuk meneguhkan kewibawaan raja dengan kraton Kasultanan Yogyakarta. Pakubuwana III kemudian menulis Serat Wiwaha Jarwa, Pakubuwana IV menulis Serat Wulangreh dan Serat Wulangsunu. Para pujangga kraton seperti Yasadipura I dan Yasadipura II menyalin beberapa karya sastra Jawa kuna yang berkaitan dengan pendidikan moral dan mistik.
Kraton Kasunanan Surakarta dalam pengembangan budaya dan pendidikan Islam juga menciptakan puisi-puisi atau tembang-tembang serta gendhing-gendhing yang kemudian dijadikan sebagai media pendidikan moral Islam bagi rakyat.
Demikian pula Pura Mangkunegaran tak kalah komitmennya terhadap kebudayaan Jawa-Islam. Mangkunegara IV misalnya tidak menginginkan sistem kebudayaan Islam masyarakat Jawa saat itu tercemari oleh kebudayaan bangsa asing yang sekuler. Dalam Serat Wedatama yang terkenal terkandung dimensi religius yang berupa nasihat-nasihat mengenai ajaran agama Islam. Dalam Wedatama dikemukakan pentingnya warga masyarakat berpegang teguh kepada agama. Berikut kutipan bagian dari Wedatama.
Mingkar mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji.

Dengan menjauhkan diri dari sifat menetingkan diri sendiri karena ingin mendapatkan kepuasan dari hasil mendidik anak. Isi pendidikan itu perlu digubah dalam kidung (syair/ puisi) yang menarik, digubah dengan bahasa yang halus dan indah agar budi pekerti yang berlandaskan ilmu yang tinggi yang diterapkan di tanah Jawa dapat dilaksana sebaik-baiknya karena budi pekerti pekerti menurut petunjuk agama tersebut telah menjadi pegangan raja.


Poerbatjaraka (1952: 133) menyatakan bahwa pembangunan kepustakaan Jawa pada masa kerajaan Surakarta awal dimulai pada masa pemerintahan Pakubuwana III. Pembangunan kepustakaan itu menyangkut dua kegiatan yakni membangun dan membuat serat-serat baru. Membangun adalah menyalin serat-serat sastra kuna ke dalam bentuk macapat. Hal itu dilakukan karena bahasa Jawa Kawi yang digunakan dalam karya sastra Jawa kuna tidak banyak lagi dipahami oleh orang Jawa sehingga perlu didsalin ke dalam bahasa Jawa baru.
Pembangunan kepustakaan Jawa pada masa tersebut menghasilkan banyak karya sastra Jawa kuna yang ditulis kembali dalam bahasa Jawa baru oleh Yasadipura I dan Yasadipura II. Kedua pujangga kraton Surakarta itulah yang berjasa dalam pembangunan kepustakaan Jawa. Keduanya tidak hanya menyalin, melainkan juga menciptaklan yang baru, antara lain: Serat Bratayudha, Panitisastra, Dewa Ruci, Serat Menak, Serat Ambia, Tajussalatin, Cebolek, dan Babad Giyanti. Adapun karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra, Dharmasunya, Bratasunu, Centhini, dan Serat Sasanasunu.
Dunia sastra Jawa makin semarak dengan lahirnya karya sastra dari tangan pujangga kraton Surakarta, Ranggawarsita (cucu Yasadipura II) antara lain: Serat Kalatidha, Sabdatama, Sabdajati, Sabdapranawa, dan Jaka Lodhang.
Serat Sabdapranawa yang terdiri atas 22 pada (bait) merupakan kritik terhadap demokrasi dalam perubahan kebudayaan masyarakat Jawa abad ke-19. Karena itu, perubahan demikian dikatakan sebagai dikatakan sebagai zaman edan. Ranggawarsita melakukan kritik tajam terhadap praktik-praktik aji mumpung dan korupsi serta besarnya intervensi pemerintahan kolonial terhadap pemerintahan Kasunanan Surakarta. Berikut lukisannya dalam Dandanggula pada 2.
Den anedya amituhu maring gaibing Hyang, jroning jaman edan iku wis dadi karsane, Gusti Hyang Maha Agung, anggung maneh atising kapti, tata tataning, gesang kataliwar mawut, ruwetw saya andodro, dipun saur nyenyudro ardaning budi, ulah titising sedya.

Jokolodhang juga merupakan karya kritik terhadap perubahan pemerintahan yang mengabaikan peran intelektual dan berkembangnya pelacuran intelektual di lingkungan kerajaan Jawa. Hal ini dapat dilihat pada Sinom pada 5 berikut.
Wong alun pulasan, njaba putih njero kuning ngulama mangsah maksiyat, madat, madon, minum, main, kaji-kaji ambanting, dulban kethu putih mamparung wadon, nir wadonira prabawa salaka rukun, kabeh-kabeh mung marana tingalira.

Karya Ranggawarsita yang sangat popular adalah Serat Kalatidha. Serat ini juga karya kritik yang sangat tajam atas kebijaksanaan pemerintahan dan perilaku birokrasi yang tidak berdasar pada aturan-aturan kerajaan yang berlaku. Hal ini terlukis dalam Sekar Sinom pada 7 berikut.
Amenangi jaman edan nora atahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, dilallah karsa Allah, begja begjane kang lali, luwih behja kang eling lan waspada (dalam Arifin, 1999: 3-4).

Turut sertanya para raja yang didukung para pujangga kraton dalam mengembangkan sastra Jawa tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat pada waktu itu. Ketika terjadi krisis politik, ekonomi, dan moral para raja dan pujangga tergerak untuk menegakkan kembali nilai-nilai budaya tradisi yang pernah diajarkan oleh nenek moyang, yang bergeser akibat penetrasi budaya asing (Barat). Peran utama dalam politik dan ekonomi yang makin merosot dan terdesak oleh kekuasaan kolonial menyebabkan raja mengalihkan kekuasaannya di bidang sastra dan budaya melalui karya sastra Jawa. Dengan karya sastra, raja membangun kembali kewibawaannya sehingga kerajaan lebih banyak berperan sebagai pusat budaya dan sastra daripada menjadi pusat politik kekuasaan.
Sejalan dengan itu, seperti dinyatakan oleh Kuntowijoyo (1987: 127), bahwa karya sastra merupakan sebuah simbol verbal yang mempunyai peran sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan tentang sesuatu. Karena itu, isi dari karya sastra kraton tidak tertutup kemungkinan bagi pengarangnya untuk memasukkan gagasan-gagasan pribadi ke dalam karyanya. Dalam konteks ini, dilihat dari isi dan muatannya, karya sastra Jawa pada seputar abad XVIII-XIX juga dipengaruhi oleh kondisi sosial yang ada, terutama adanya pengurangan hegemoni kerajaan dan tingginya semangat religius yang memang menjadi mainstream dan ciri khas masyarakat Jawa pada umumnya (lihat Suhandjati Sukri & Sofwan, 2001: 24).
Dampak dari partisipasi aktif raja membangun sastra Jawa itu besar sekali dalam pengembangan sastra Jawa di tengah masyarakat. Masyarakat yang sebagian masih mempercayai raja sebagai tokoh sentral yang serba magis dan mistis, memandang serat-serat karya para raja sebagai pedoman yang harus diikuti. Bahkan, secara fisik naskah miliknya dipandang sebagai benda pusaka yang memiliki tuah. Masa bangkitnya kembali karya sastra Jawa yang kebanyakan bernuansa areligoius itu oleh Pigeaud (1967: 7) disebut sebagai Renaissance of Java Literature, kebangkitan kembali sastra Jawa.

4. Jejak Budaya Jawa-Islam pada Masa Kini
Masa terus bergulir dan zaman terus berubah. Demikian pula dengan peran dan eksistensi kraton pada masa-masa awal (abad XVIII-XIX) yang demikian besar dalam pengembangan budaya Islam. Perubahan peran kraton dalam pengembangan budaya Islam terlihat sangat drastis sejak masa-masa awal kemerdekaan. Dalam hal ini ketika kraton kehilangan kekuasaan politiknya dengan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Selain semakin minipisnya pandangan magis-mitis raja dan kraton sebagai pusat kegiatan politik dan budaya, juga semakin mencairnya budaya keraton di tengah masyarakat. Lebih-lebih ketika masyarakat terutama generasi muda semakin tinggi pendidikannya, maka pandangan magis-mitis bagi warga masyarakat terhadap keraton dan segala yang berkaitan dngannya semakin pudar.
Jika ditelusuri masih ada jejak budaya Jawa-Islam pada masyarakat. Hanya saja mungkin sudah sangat jauh berbeda fungsinya. Budaya Jawa-Islam warisan keraton tersebar dalam masyarakat dalam berbagai genre, baik sastra, seni musik, pertunjukan, moral, sikap hidup, dan bahasa. Lahirnya banyak karya sastra Jawa-Islam tidak sulit dilakukan oleh keraton yang memiliki banyak pujangga yang setia. Mereka siap mengabdikan dirinya untuk berkaya guna mendukung kehendak raja. Termasuk di dalamnya ketika keraton ingin meneguhkan kewibawaan raja melalui berbagai karya budaya.
Adapun berbagai budaya Jawa-Islam warisan keraton tersebut kini dapat dirunut jejaknya dalam naskah klasik karya para pujangga keraton, kesenian, ritual magis, benda-benda, dan arsitektur keraton. Beberapa bentuknya antara lain.
Pertama, karya sastra Jawa yang bernuansa Islam karya para raja dan pujangga keraton. Sebut saja misalnya: Babad Tanah Jawi (BTJ) dan sastra gendhing pada pemerintahan Sultan Agung di Mataram; dari tangan Pakubuwana IV misalnya lahir Serat Wulangreh yang amat masyhur. Ada juga karya sastra yang mengalami transformasi dari cerita lain seperti Mahabharata dan Ramayana dari India yang digubah dengan nuansa Islam, misalnya: dari para pujangga keraton Surakarta, Yasadipura I dan Yasadipura II lahir antara lain: Serat Bratayudha, Dewa Ruci; Serat Menak, Serat Ambia, Tajussalatin. Adapun karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra, Dharmasunya, Bratasunu, Centhini, dan Serat Sasanasunu. Dunia sastra Jawa makin semarak dengan lahirnya karya sastra dari tangan Ranggawarsita (cucu Yasadipura II) antara lain: Serat Kalatidha, Sabdatama, Sabdajati, Sabdapranawa, dan Jaka Lodhang. Mangkunegara IV melahirkan Serat Wedatama yang juga sngat masyhur yang berisi piwulang ‘nasihat/ ajaran’ yang bernuansa religius.
Kedua, seni musik gamelan atau gendhing-gendhing yang syairnya digubah berunsurkan ajaran Islam. Musik Jawa dengan seperangkat gamelan tersebut hingga kini masih banyak disukai oleh masyarakat. Ritual Sekaten yang hingga kini masih diminati masyarakat antara lain karena menyuguhkan musik dengan gamelan keratin dengantembang-tembang bernafaskan Islam dalam rangka memperinagati kelahiran Nabi Besar Muhammad saw..
Ketiga, proses Islamisasi di tanah Jawa juga dilakukan melalui dakwah kultural/ budaya antara lain dengan musik Laras Madya. Jenis musik ini adalah semacam kelompok musik dengan instrumen berupa kendhang dan rebana besar untuk mengiringi lagu/ syair bahasa Jawa yang berisi ajaran Islam seperti: Mijil, Dandang Gula, Sinom, dan sebagainya.
Keempat, upacara ritual kirab pusaka keraton dengan mengelilingi keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran yang dilaksanakan pada momentum hari besar Islam malam tanggal 1 Muharam (Jawa: Syura dari kata ‘Asyura berarti sepuluh, maksudnya tanggal sepuluh Muharam). Meskipun berbau sinkretis Hindu-Jawa-Islam, sebenarnya ritual itu mengandung maksud untuk memperingati Tahun Baru Hijriyah, tanggal 1 Muharam yang penting bagi umat Islam.
Kelima, upacara ritual keagamaan yang masih sangat diminati masyarakat yakni Upacara Garebeg. Garebeg dilaksanakan pada tiga momentum yakni: (1) pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.; (2) pada bakda (hari raya) Syawal/ Syawalan; dan (3) pada bakda Besar (Idul Adha).
Keenam, ritual keagamaan yang masih memiliki daya tarik luar biasa adalah upacara ritual Sekaten (Syahadatain/ dua syahadat: kesaksian Tauhid dan Rasul; sumber lain dari kata Sekati, sebuah perangkat gamelan keraton). Sekaten merupakan perpaduan antara kegiatan dakwah dan kesenian/ budaya. Perangkat gamelan sekaten dan gendhing-gendhing Sekaten yang indah menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk datang sehingga dapat dimanfaatkan untuk berdakwah.
Ketujuh, cerita wayang yang berasal dari India seperti Mahabharata dan Ramayana dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bernuansa Islami. Dalam hal ini para Wali memiliki andil besar dalam menggubah cerita wayang itu. Wayang kulit gubahan wali dimanfaatkan oleh untuk media dakwah kultural. Dengan pendekatan kultural itu, maka tidak terjadi konflik horizontal antar-pemeluk agama.
Kedelapan, munculnya istilah-istilah kebahasaan dan perkataan yang sebenarnya berasal dari ajaran Islam atau minimal bernuansa Islam dalam kehidupan masyarakat. Misal: lailah dari kata la Ilaha illa-llah yang berarti tidak ada Tuhan selain Allah; dilalah (dari kata dzillullah fil ‘alam yang berarti kekuasaan Allah di alam raya; semelah dari kata Bismillah yang berarti dengan nama Allah; wala-wala kuwato dari kata la haula wala quwwata illa billahi yang berarti tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah; ngudubillah dari kata a’udzubillah yang berarti aku mohon dijauhkan oleh Allah dari… syetan yang terkutuk, dan masih banyak lagi.
Kesembilan, munculnya ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa yang sebenarnya bersumber dari ajaran Islam. Misal: “Akan datang zaman edan, siapa yang tidak edan tidak akan kebagian, tetapi seberuntungnya orang yang lupa masih berbahagia orang yang ingat kepada Tuhan dan waspada”. Ungkapan dalam Serat Kalathida karya Ranggawarsita ini mengingatkan kita pada ayat al-Quran: ala bidzikrillahi tathmainnul quluub (ingatlah bahwa dengan ingat (dzikir) kepada Alah hati akan menjadi tenteram bahagia). Ungkapan suradira jayaningrat lebur dening pangastuti dalam Sertat Witaradya masih karya Ranggawarsita, boleh jadi merupakan transformasi dari ayat al-Quran: jaa-al haqqa wazahaqal baatil (jika telah datang kebenaran maka kebatilan akan hancur). Demikian juga ajaran moral, budi pekerti, akhlak yang tinggi dalam masyarakat yang bersumber dari ajaran Islam. Misalnya: dalam Serat Wedatama karya Mangkunegara IV terdapat baris: sinuba sinukerta, mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, yang berarti: “digubah dengan bahasa yang halus dan indah, agar (tercapai) budi pekerti yang berlandaskan ilmu yang tinggi… ”. Ungkapan ini berkaitan dengan sabda Rasulullah “Sebaik-baik orang Mukmin adalah yang terbaik akhlaknya” dan ayat al-Quran: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu dalam beberapa tingkatan.” Masih banyak sekali ungkapan semacam yang dapat digali dalam kehidupan masyarakat.

5. Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dikemukakan simpulan bahwa peran dan eksistensi kraton dalam pengembangan budaya Islam pada masa lalu demikian besar. Melalui karya sastra dan naskah klasik, kesenian, upacara ritual, dan budaya keagamaan Islam lainnya, kraton memiliki peran besar dalam pengembangan Islam di tanah air khususnya di tanah Jawa.
Budaya Jawa-Islam banyak mengandung kearifan lokal (local genius) yang berkaitan dengan ajaran moral/ budi pekerti, filsafat, mistik, dan agama Islam yang terkadang sulit ditemukan dalam karya budaya lain. Ibarat mozaik-mozaik yang teramat indah, kearifan lokal yang tertutup oleh debu-debu zaman itu mesti disibak dan diungkapkan. Dimensi budaya Jawa-Islam tersebut hingga kini masih banyak teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat meskipun tidak disadari lagi oleh masyarakat bahwa hal itu sebenarnya adalah warisan budaya keraton. Jejak budaya keraton itu dapat dirunut dalam pranata sosial masyarakat.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, maka peran dan eksistensi kraton pada zaman global tentu saja juga berubah. Perkembangan kehidupan global yang menuntut serba realistis, logis, dan ilmiah, menyebabkan berbagai karya budaya kraton yang dulu dipandang magis-mitis mengalami degradasi fungsional.
Berbagai forum pengkajian ilmiah merupakan salah satu media untuk melakukan revitalisasi nilai-nilai adiluhung budaya Jawa-Islam kraton, di samping penelitian ilmiah terhadap naskah sastra Jawa klasik, kesenian, ritual magis-mitis, benda-benda dan bangunan-bangunan keraton dengan gaya arsitektur khas yang diyakini memiliki nilai filosofis tinggi.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat pada perguruan tinggi atau institusi sejenis dapat memelopori diadakannya berbagai kajian ilmiah guna menyibak dan mengungkapkan mozaik-mozaik budaya Jawa-Islam keraton yang terpendam di antara debu-debu zaman. Hasil penelitian ilmiah tersebut sangat bermanfaat bagi generasi penerus yang sebagain besar tidak lagi mengenal khasanah budaya keraton tersebut untuk diambil hikmahnya bagi kehidupan.

Daftar Pustaka
Arifin, M.T. 1990. “Antara Politik dan Sosiokultural”. Makalah dalam Diskusi LPPM
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta:
Yayasan Untuk Indonesia.
Fananie, M. Zainuddin. 2000. Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif KGPAA
Mangkunegoro I. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Grunebaum, Gustave E. von. 1983. Islam Kesatuan dalam Keragaman. Jakarta: Yayasan
Perkhidmatan.

Kayam, Umar. 1997. “Kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Modern sebagai Kesusastraan
Pengabdian” dalam Jawa Majalah Ilmiah dan Kebudayaan Vol. 1. Yogyakarta:
Lembaga Studi Jawa.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Pigeaud, Theodore G. Th. 1967. Literature of Java. Vol. 1 The Hague Martinus Nijhoff.

Poerbatjaraka. 1952. Kepustakaan Jawi. Jakarta-Amsterdam: Djambatan.

Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Rajawali.

Schrieke, B.J.O. 1957. Indonesian Sociological Studies. Selected Writings of B. Schrieke Part
Two. The Hague and Bandung: W. van Hoeven Ltd.

Simuh. 1998. “Kesusastraan Melayu dan Kejawen di Indonesia” dalam Ahmad Tohari dkk.
Sastra dan Budaya Indonesia Islam Nusantara: Dialektika Antarsistem Nilai.
Yogyakarta: SMF Adab IAIN Sunan Kalijaga.

Sudewa, Alex. 1995. Dari Kartasura ke Surakarta. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.

Suhandjati Sukri, Sri dan Sofwan, Ridin. 2001. Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi
Jawa. Yogyakarta: Media Gama.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar