oleh Ali Imron Al-Ma’ruf
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 
FKIP Universitras Muhammadiyah Surakarta 
1. Prawacana
Dinamika  suatu bangsa tampak dalam usaha-usaha  pembangunan yang sedang dijalankannya. Usaha-usaha pembangunan yang  implisit di  dalamnya  modernisasi, dikatakan berhasil  manakala  tercapai kemajuan  yang dapat kita rasakan dalam kehidupan  bangsa,  bukan saja  dalam  taraf kehidupan ekonomi masyarakat  meningkat,  pola komunikasi dan jaringan informasi yang serba canggih,  stabilitas nasional  yang mantap, melainkan juga terlaksananya  pengembangan kehidupan  budaya yang semakin membuka perspektif melalui  pendidikan dan ilmu pengetahuan.
  Sejalan  dengan itu, jika kita ingin  memperbaiki  pemahaman kita  tentang suatu situasi modern, apa pun situasi  modern  itu, maka  telaah kita harus juga mencakup tidak saja teknologi,  ilmu ekonomi,  ilmu  politik, masalah organisasi sosial,  tetapi  juga masalah kebutuhan, kemampuan, dan sifat-sifat manusia dan  masyarakatnya (Morison, 1986).
 Tulisan ini berangkat dari beberapa asumsi, yakni (1)  bahwa ilmu-ilmu Humaniora (selanjutnya disingkat IIH) menduduki  tempat yang sentral dalam proses pembangunan, (2) kebanayakan penyimpangan-penyimpangan yang terlihat di dalam pembangunan bermula  dari pengabaian terhadap IIH, dan (3) dalam zaman serba teknologi  ini telaah-telaah  di  bidang kemanusiaan  menjadi  semakin  penting, bukan sebaliknya.   
  Hingga  saat  ini  masih terpancang  anggapan  klise,  bahwa bidang-bidang akademis yang dipandang mampu menopang  pembangunan adalah  ilmu-ilmu "keras" (meminjam istilah  Soedjatmoko,  1986), yang  memiliki bentuk-bentuk penerapan teknologis dan  ilmu sosial  yang mampu melahirkan implikasi-implikasi  langsung  bagi perumusan  kebijakan  seperti  ilmu ekonomi,  ilmu  politik,  dan sosiologi. Sebaliknya ilmu-ilmu filsafat, etika, sejarah,  bahasa dan sastra yang tercakup dalam ilmu-ilmu Humaniora sering  dipan- dang sebagai ilmu-ilmu yang "mewah". Artinya, ilmu-ilmu  tersebut merupakan  sesuatu  yang perlu diketahui,  tetapi  tidak  terlalu penting,  tidak merupakan kebutuhan  dasar  masyarakat.  Padahal pandangan demikian bertentangan dengan realitas yang ada.
 Pengembangan  IIH  sebagai cultural  engineering  masyarakat berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat (Kuntowijoyo,  1987). Kemampuan untuk memupuk  dan  mengembangkan rasa  empati, toleransi, dan membuat penilaian etis --yang  dapat diperoleh melalui studi tentang IIH-- merupakan modal utama  yang sama sekali tidak dapat diabaikan dalam pembangunan.
  Realitas  menunjukkan,  bahwa pembangunan  telah  melahirkan pula  sejumlah  persoalan  seperti perubahan  nilai  dan  pilihan nilai.  Sebagian persoalan ini timbul sebagai akibat dari  terputusnya  gaya  hidup tertentu untuk digantikan dengan  gaya  hidup baru yang sama sekali berbeda karakternya --sebuah diskontinuitas yang  merupakan  pelengkap  yang nyaris  tak  terhindarkan  dalam proses pembangunan--. Adapun sebagian masalah lain muncul sebagai efek dari ketimpangan yang makin meningkat antarberbagai golongan masyarakat.  Ada semacam perasaan kecemburuan sosial  yang  telah tersebar  cukup  luas, bahwa pembangunan telah  mendorong  banyak 
manusia  melampiaskan  sifat-sifat  negatifnya.  Sebab,   melalui pengutamaan  kemakmuran, materialisme dan konsumerisme sampai  di luar batas kewajaran, manusia didorong untuk mengikuti ketamakannya.  Dan  konsekuensinya,  meminjam  istilah  Huntington  (dalam Saidi, 1984) ialah makin merajalelanya kecemburuan sosial  akibat makin  menyuburnya korupsi, manipulasi, kolusi,  dan  sejenisnya, yang merupakan "anak kandung" modernisasi. Dalam konteks ini  IIH diperlukan dalam mewujudkan pembangunan yang lebih manusiawi.    
  Sementara itu, kita sedang menuju suatu masa depan yang  tak dapat  diramalkan.  Kita harus mampu  menghadapinya  tanpa  harus kehilangan  arah atau bahkan menjadi terasing,  tanpa  kehilangan rasa  sopan santun kita, identitas kita, rasionalitas  kita,  dan sumber-sumber  inspirasi kita. Dalam konteks inilah agaknya  IIH, seperti  dikatakan  Bennet (dalam Moglen,  1984),  membantu  kita dalam penyusunan kerangka moral imajinatif untuk tindakan kita.
  Permasalahannya kini adalah, bagaimana  relevansi  ilmu-ilmu Humaniora  dengan pembangunan? Dapatkah ilmu-ilmu Humaniora  membantu memanusiawikan pembangunan? Mungkinkah integrasi  ilmu-ilmu Humaniora  dengan ilmu pengetahuan alam (IPA),  teknologi,  ilmu-ilmu  sosial  IIS), dan perumusan kebijakan? Inilah  antara  lain permasalahan yang perlu dijawab.
2. Ilmu-ilmu Humaniora, Pengembangan Empati, Toleransi, dan Penilaian Etis 
  Ilmu-ilmu Humaniora (IIH) berintikan filsafat, etika, estetika,  sejarah,  bahasa dan  sastra.  Ilmu-ilmu  lain yang lazim  pula  dianggap  sebagai bagian dari IIH adalah ilmu perbandingan agama, ilmu hukum,  ilmu purbakala,  serta sejarah dan kritik seni. Ilmu-ilmu  ini  secara kolektif merupakan suatu kerangka sekaligus kosakata bagi telaah-telaah  mengenai  nilai-nilai kemanusiaan,  kebutuhan,  aspirasi, juga  kemampuan  dan kelemahan manusia  seperti  terungkap  dalam kebudayaannya. Mempelajari IIH akan membantu kita menangkap makna yang terkandung dalam pengalaman-pengalaman kita, dan  memberikan cara-cara  memahami segenap jenis kegiatan kemasyarakatan,  serta maksud  yang  terkandung dalam kegiatan-kegiatan  tersebut,  baik  kegiatan masyarakat kita sendiri maupun masyarakat lain. 
  Guna memahami sifat-sifat dan kompetensi manusia  diperlukan suatu  cara berpikir yang lebih jauh jangkauannya ketimbang  yang dimungkinkan  oleh metode-metode eksperimental dan analitis  yang lazim  digunakan IPA dan ilmu sosial. Kebutuhan manusia,  ambisi, aspirasi,  frustrasi, dan sejenisnya  merupakan  realitas yang  tak terpahami melalui observasi-observasi  empiris  semata-mata. Hal tersebut merupakan realitas yang tidak dapat disederhanakan, direduksikan menjadi persamaan-persamaan tanpa  kehilangan maknanya. Semua itu hanya dapat dicapai melalui upaya yang berupa proyeksi  imajinatif  --suatu kemampuan yang hanya  dapat  diraih melalui studi IIH--.    
  Ketika  kita membaca karya sastra (hikayat,  puisi,  cerpen, novel,  dan drama) atau karya sejarah, secara otomatis kita  akan menerobos lingkungan ruang dan waktu yang ada di sekitar kita. Karya-karya fiksi dan puisi besar yang kita beri predikat "karya literer” adalah karya-karya yang berhasil membangunkan manusia atas rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya-karya termaksud. Karya sastra itu membuat kita mampu memahami segenap perjuangan tokoh-tokoh yang dilukiskannya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. Kita mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh dalam karya sastra yang kita baca sehingga kita dapat berkaca siapa sejatinya diri kita. Dengan membaca karya sastra dalam bentuk novel, cerpen, drama, dan puisi, kita turut menghayati segenap kebahagiaan dan kesedihan yang dialami tokoh-tokoh kita. Dalam proses penghayatan itu dunia kita diperluas, menembus batas-batas duniawi yang ada di sekitar kita.
  Kemampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita ke  dalam pengalaman  orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya  persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Ini merupakan  permulaan  dari  kemampuan untuk mengembangkan empati,  dan toleransi. Secara  luas  empat1i adalah kemampuan  untuk  mengidentifikasikan diri  secara  penuh  dengan orang lain, dan  melalui  proses  ini memahami  pula orang lain. Kemampuan inilah yang  mengikat  orang tua  dengan anaknya, dengan sesama tetangga, dengan sesama  warga negara, dan seterusnya. Empati merupakan landasan paling esensial bagi  proses pembinaan bangsa. Adaputoleransi adalah  kemampuan untuk menerima dan mengakui keabsahan suatu perbedaan, dan dengan demikian  toleransi  menjadi landasan mendasar  bagi  terciptanya hubungan damai, baik intern bangsa maupun antara bangsa-bangsa.    
  Selama ini IIH mengalami semacam kehidupan yang tertekan  di dalam sistem pendidikan kita. Bahkan kehadirannya telah  "digusur ke daerah pinggiran" oleh anggapan tentang adanya keharusan untuk terlebih dulu mengupayakan kemajuan dalam bidang iptek, dan  baru sesudah itu diusahakan langkah-langkah untuk memajukan  ilmu-ilmu sosial yang bercorak instrumental. Padahal sebenarnya IIH, pertama  merupakan  perangkat ilmu yang memiliki kegunaan,  dan  kedua bahwa bagaimanapun nilai kegiatan belajar tidak seharusnya ditentukan berdasarkan besar-kecilnya fungsi instrumental bidang  ilmu yang ditekuni. Dalam hal ini argumen pertama perlu lebih ditekankan,  yakni bahwa IIH melaksanakan fungsi-fungsi  tertentu  dalam proses  pendidikan  keseluruhan warga negara,  yang  jangkauannya lebih mendalam dan mendasar.
  Fungsi lain yang dapat dikembangkan melalui studi IIH adalah kemampaun untuk mengembangkan kebiasaan dan perangkat intelektual yang  dapat menopang pelaksanaan analisis, penilaian, dan  kritik secara  mandiri. Kemampuan jenis terakhir ini akan terasa  sangat penting  ketika kita berhadapan dengan persoalan moralitas,  baik moralitas  sosial  (public  morality)  maupun  moralitas  pribadi (private morality). 
  Bersama-sama  dengan  kesenian, IIH mencakup  suatu  kawasan yang  paling  manusiawi dalam kehidupan manusia. Dalam  hal  ini, suatu  kawasan pemikiran yang secara esensial menyentuh  masalah-masalah cinta-kasih, kehormatan, ambisi, rasa iri, rasa  berdosa, keberanian,  kebebasan, keadilan, dan kelurusan moral. Semua  itu merupakan persoalan-persoalan inti bagi penggalangan motivasi dan keberhasilan usaha, dan karena itu merupakan  persoalan-persoalan pokok bagi pembangunan. Persoalan-persoalan itu di luar jangkauan IPA  dan  ilmu sosial. Pertanyaannya  kemudian,  bagaimana   kita dapat memahami proses-proses perubahan sosial dalam era transformasi  budaya yang kini sedang berlangsung, jika kita tidak  mampu memahami kekuatan-kekuatan dasar ini, yang telah membuat  manusia bertingkah laku seperti yang kita saksikan selama ini? Di sinilahkehadiran IIH dapat kita gunakan sebagai jendela untuk  mengintip manusia dengan segenap kompetensi, sifat, dan karakternya.
3. Kesadaran atas Identitas Nasional 
  Melalui studi mengenai sejarah, khazanah sastra dan filsafat yang dimiliki suatu bangsa dalam konteks kultural, IIH memberikan kesadaran tentang perspektif sejarah yang terbentang di  hadapannya,  kesadaran tentang identitas kultural yang melekat  padanya, kesadaran tentang pandangan-pandangan dunia tertentu, dan  nilai-nilai tertentu yang menjadi karakter bangsa itu.
  Kebudayaan Indonesia bersifat bhinneka, yang merupakan  perpaduan  atau  tegangan  antara kebudayaan   nasional  modern  dan budaya  tradisi/ daerah, dan masih dalam proses  pertumbuhan  dan perkembangan. Adanya tekanan pengaruh internal dan eksternal yang cukup kuat, membuat budaya-budaya daerah mengalami berbagai  per- ubahan. Hubungan antara kebudayaan nasional dan budaya daerah ini berubah terus-menerus, karena kedua pihak selalu berusaha menanggapi  setiap tekanan yang dihadapinya, termasuk  gempuran  budaya asing dalam era globalisasi dan transformasi sosial budaya ini.
  Dalam  konteks itu, kebudayaan terselenggara secara  niscaya dan  organik, merespon perubahan senegeri dan sejagad. Dan  lebih dari  itu,  tak ada determinan tunggal dalam  sejarah  kebudayaan mana  pun. Tidak ada wakil-wakil resmi kebudayaan Indonesia.  Dengan  demikian tidak perlu terjadi dikotomi  kebudayaan  nasional dan  kebudayaan  daerah. Bahkan menurut  Dewanto  (1991),  setiap orang  atau kelompok masyarakat secara potensial adalah  pencipta kebudayaan. Hasil evolusi itu adalah bukti daya hidup  kebudayaan kita sekaligus bukti makin tak terhindarnya pengaruh mondial.
  Berkat  perpaduan berbagai kebudayaan  tersebut,  kebudayaan Indonesia  selalu dinamis. Segenap kebudayaan itu hidup dan  berfungsi dalam konteks situasi internasional yang sedang  mengalami perubahan yang serba cepat. Untuk itu, perlu kita pelajari bersama, bagaimana caranya memperlakukan kebhinekaan budaya ini  sebagai  suatu  sumber  daya, dan bukan  sebaliknya  sebagai  kendala terhadap pembangunan nasional.
  Kekayaan  budaya daerah harus kita angkat ke  permukaan  dan kita sajikan secara terbuka, agar dipelajari oleh seluruh bangsa. Salah  satu implikasi prinsip ini ialah bahwa karya-karya  sastra klasik  daerah harus kita terjemahkan ke dalam  bahasa  Indonesia dan  juga ke dalam bahasa daerah lain. Hal ini mengharuskan  kita melakukan studi yang serius tentangnya dan melaksanakan  langkah-langkah  pemugaran yang cukup sistematis  terhadap  bahasa-bahasa dan  sastra daerah, kesenian daerah, di samping  keharusan  untuk melakukan  penelitian mendalam mengenai  sejarah-sejarah  daerah. 
  Untuk  itu,  keterpaduan  dan kepekatan  kultural  yang  bersifat pluralistik  dan/au multikultural akan  dapat dicapai  melalui  program  nasionalisasi budaya-budaya daerah, bukan program homogenisasi terhadap budaya-budaya  daerah itu, yang hanya akan menghasilkan  suatu  kesatuan yang bersifat hambar dan serba artifisial. Dengan demikian slogan Bhinneka Tunggal Ika  benar-benar kita laksanakan.    Artinya, kebudayaan nasional jangan sekali-kali kita pandang sebagai  ancaman terhadap budaya-budaya daerah  kita.  Kebudayaan nasional  sebaiknya  kita pandang sebagai jawaban  kolektif  atas perubahan-perubahan  yang  sedang terjadi di  sekitar  kita,  dan sebagai bidang pertemuan kita dengan modernitas.
4. Relevansi Ilmu-ilmu Humaniora dalam Pembangunan Nasional        
  Dalam konteks pembangunan bangsa, IIH berperan dalam  membahas  persoalan-persolan  besar yang terdapat  di  sekitar  proses perubahan  sosial. Siapa sebenarnya kita ini, nilai-nilai  apakah yang  kita letakkan pada jenjang tertinggi dalam kehidupan  kita, 
dari  mana  datangnya  nilai-nilai dan aspirasi  kita,  apa  yang menjadi  sumber  kreativitas  dan ketahanan  kita,  apakah  jalur pembangunan  yang kita jalani selama ini sesuai dengan  cita-cita yang  kita dambakan? Untuk menjawab dengan tepat  sederet  pertanyaan ini diperlukan bantuan IIH. 
  Studi mengenai kebudayaan kita melalui IIH dapat menyadarkan kita akan kelemahan-kelemahan kita. Misalnya, apa sebenarnya akar dari  pola  hubungan patron-client, pola  hubungan  kawula-gusti yang  tersebar  demikian luas di Nusantara? Mengapa  bangsa  kita begitu  mudah dan lama dijajah oleh bangsa lain?  Sebenarnya  apakah akar  persoalan yang menyebabkan masyarakat Madura  begitu  sulit menerima  industrialisasi di daerahnya itu? Mengapa  pula  wanita Indonesia --terlebih Jawa-- lebih terkesan tugasnya selalu berkisar di antara dapur,  sumur, dan kasur, atau fungsinya seputar masak, macak, lan manak? Analisis mengenai masa lampau  tentu  bukan untuk bernostalgia atau penyesalan, melainkan lebih sebagai suatu cara untuk belajar menghadapai masa depan.
  Di  antara sumber yang telah melahirkan  perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan kompleks, kebanyakan berupa kekuatan-kekuatan  global,  yang secara keseluruhan  tidak  tercakup  oleh kebudayaan  mana pun, dan tidak terbatas oleh bangsa atau  negara mana  pun. Akibatnya, dampak yang  ditimbulkan  kekuatan-kekuatan global itu pun tak terelakkan oleh masyarakat dan kebudayaan mana pun. Benarlah apa yang dikatakan Dewanto (1991), bahwa kebudayaan terselenggara  secara  niscaya dan  organik,  merespon  perubahan senegeri  dan sejagad, tak ada determinan tunggal  dalam  sejarah kebudayaan yang mana pun. Perubahan sosial yang berlangsung serba cepat itu sering menimbulkan kebingungan, keterasingan, dan dalam beberapa  hal  juga menimbulkan reaksi, karena  masyarakat  tidak memahami kondisi yang berkembang.  
  Seperti bangsa lain yang sedang berkembang, pertanyaan pokok yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana caranya hidup di tengah realitas perubahan-perubahan yang serba cepat ini tanpa harus kehilangan kesadaran tentang identitas kita?  Jawaban atas pertanyaan ini akan ditemukan melalui proses perenungan  dan dialog terus-menerus mengenai makna segenap pengalaman kita.       
  Penggarapan  yang  bercorak  kesarjaaan  atas  bidang-bidang filsafat, etika, estetika, sejarah, bahasa dan sastra, serta  cabang  lain IIH merupakan bagian yang sangat  menentukan  sifatnya terhadap integritas kebudayaan kita. Namun bagaimanapun  integritas kultural harus sanggup hidup berdampingan dengan  keterbukaan terhadap  rangsangan-rangsangan yang datang dari luar.  Jika  kemampuan ini tidak kita miliki, maka stagnasi dan degradasi  tidak mustahil akan terjadi dalam kebudayaan kita. Untuk mempertahankan keseimbanagn  antara  integritas dan keterbukaan  itu  diperlukan tekad  mantap, percaya diri, daya khayal kreatif,  dan  kemampuan mengadakan inovasi-inovasi selaras dengan tanda-tanda zaman.
  Usaha-usaha  pembangunan memang telah mencapai  keberhasilan dalam  berbagai  bidang. Akan tetapi  dimensi  kemanusiaan  dalam pembangunan itu sering diabaikan. Pengabaian ini terkadang menimbulkan  akibat-akibat  yang sangat destruktif  terhadap  kualitas hidup manusia, identitas diri dan citra tentang makna hidup.
  Menurut  teori  pembangunan pada masa lampau,  para  perumus kebijakan  menentukan ke arah mana proses pembangunan,  sedangkan para pakar berkewajiban menyediakan segenap sarana yang  diperlukan sehingga pembangunan dapat mencapai sasaran. Kini kita  melihat,  bahwa upaya pembangunan yang bersifat linier  dan  bergerak 
dari  atas ke bawah ( top down ) itu sering  menimbulkan  kesalahan besar,  dan biasanya hanya dapat berlangsung  dengan  pengorbanan yang  cukup  tinggi, yakni hilangnya  nilai-nilai  dan  lenyapnya kesejahteraan bagi kaum miskin dan terbelakang, kelompok  minoritas,  dan  sebagainya. Perlu diingatkan,  bahwa  kemampuan  untuk memupuk  dan  mengembangkan rasa empati, toleransi,  dan  membuat penilaian etis --kemampuan yang dapat dicapai melalui studi IIH-- merupakan  modal utama yang sama sekali tidak dapat kita  abaikan dalam pembangunan. 
  Pembangunan  yang mengutamakan kemakmuran  materialisme  dan konsumerisme  sampai di luar batas-batas kewajaran  manusia  yang terdorong  oleh ketamakannya, mengakibatkan  makin  merajalelanya korupsi, manipulasi, kolusi, dan sejenisnya, yang merupakan "anak kandung  modernisasi"  (Huntington, dalam Saidi,  1984)  sehingga kecemburuan sosial makin meluas.
  Pertanyaannya, bagaimana peran IIH dalam menciptakan pembangunan  yang  lebih manusiawi? Hingga kini kontribusi  yang  mampu diberikan IIH belum sepadan dengan potensi yang dimilikinya.  Hal ini  disebabkan  antara lain, pertama, adanya  fragmentansi  yang berlebihan  yang terjadi di kalangan IIH yang mengakibatkan  timbulnya  disiplin-disiplin  yang terkotak-kotak,  sehingga  sangat sulit  untuk  menangkap  perspektif  dari  kehidupan  kebudayaan. Kedua,  IIH  seperti yang diajarkan di semua  jenjang  pendidikan kita,  terlalu dini atau tergesa-gesa memperkenalkan  karya-karya klasik dari kebudayaan asing. 
  Memang penting memahami kebudayaan lain. Namun tanpa memahami lebih dulu karya-karya adiluhung kebudayaan sendiri, maka akan sulit  untuk menanamkan dan mengembangkan rasa percaya  diri  dan rasa bangga yang menjadi sumber kreativitas. Tak dapat disangkal, bahwa  telah terjadi pemiskinan kultural selama ini, setiap  kali khazanah budaya pribumi seperti dongeng, pelipur lara,  nyanyian, permainan  tradisi,  ketrampilan verbal,  dan  semacamnya  secara ekstrem  digantikan  dengan suatu perangkat  budaya  impor,  yang berupa  butir-butir acara yang telah  distandardisasikan.  Contoh ekstrem  hal  ini  adalah makin derasnya  gempuran  budaya  asing melalui  beberapa  TV swasta yang 80%  tayangan  acaranya  adalah produk  asing.  Padahal menurut beberapa pengamat hal  itu  hanya akan  mempersubur  sikap peniruan yang menyedihkan  dari  produk-produk asing terutama film-film Barat yang membahayakan  integritas kebudayaan Indonesia (Alfian, 1986). 
  Tak  salah jika Bernet menganggap TV sebagai agama baru  masyarakat industri/ modern. Bahkan TV telah menggeser  agama-agama konvensional, karena khutbah-khutbahnya lebih didengar dan disaksikan oleh jamaah yang jauh lebih besar jumlahnya ketimbang agama mana  pun (dalam Rachmat, 1992). Rumah ibadahnya pun  jauh  lebih 
tersebar di segala pelosok persada, ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan. Boleh jadi hal itu lebih menggetarkan hati dan   menyentuh  emosi  serta mempengaruhi bawah sadar  kita  ketimbang ibadah agama-agama konvensional (Imron A.M., 1993).
  Ketiga,  dalam sistem pendidikan kita IIH  telah  membiarkan diri  terasing dari persoalan-persoalan sosial dan  politik  yang sedang  menggelegar --yang memperkuat kesan "menara gading"  bagi IIH--  sehingga masyarakat mulai menyangsikan relevansi IIH  bagi pembangunan.  Dalam konteks ini perlu diingatkan, bahwa  mempelajari karya-karya sastra misalnya, bukanlah suatu aktivitas  estetis semata-mata. Masalah yang lebih penting adalah belajar  memahami  maknanya,  pesan-pesan sastrawan yang  diungkapkan  melalui pelukisan-pelukisan  tentang  suatu  dilema  kemanusiaan,  agama, 
moral  atau tatanan sosial (misal hikayat-hikayat, novel  Kemarau karya A.A. Navis, dan  Keluarga Permana  karya Ramadhan K.H., puisi "Nyanyian  Angsa"  karya  Rendra,  dan  sebagainya).  Karya-karya fiksi,  lazimnya  merupakan media yang jauh lebih  efektif  untuk menuturkan masalah-masalah moral secara gamblang ketimbang  laporan-laporan  jurnalistik,  uraian ilmu-ilmu sosial,  atau  bahkan pendidikan moral oleh guru di kelas sekalipun.
  Soedjatmoko  (1986) dalam sebuah pidatonya di  depan  sidang para  pakar ilmu-ilmu sosial Asia menyatakan, bahwa  kini  sangat dibutuhkan  hubungan  yang  lebih erat  antara  ilmu-ilmu  sosial dengan  IIH. Sudah saatnya ilmu-ilmu sosial memberilan  perhatian lebih  besar kepada sistem konseptual pribumi yang ada  di  Asia, dari  keyakinan-keyakinan religius atau filosofis  yang  bersifat formal  sampai  ke struktur linguistik yang  bekerja  di  lapisan bawah  sadar kejiwaan manusia. Misalnya, mengenai  cara  memahami makna  hidup,  cukup  kaya dapat  ditemukan  dalam  cerita-cerita mitologi kita, dalam karya-karya besar puisi, hikayat, novel atau drama, dalam struktur bahasa-bahasa, dan juga dalam sistem-sistem hukum  tradisional  kita. Dalam penulisan  aksara  Jawa  terdapat prinsip  jika "dipangku mati" misalnya, hal ini  tentu  mempunyai relevansi kuat dengan kebudayaan Jawa. 
  Berbagai jenjang tentang makna ini harus dipahami, dipadukan diartikulasikan oleh para sarjana IIH, dan hasilnya lalu disebarluaskan serta dipergunakan di kalangan IIS, para pakar  teknologi dan perencana. Dengan cara ini proses pembangunan dapat  diharapkan berlangsung senafas dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.  Agar dapat melaksanakan tugas ini, IIH  harus  meningkatkan kemampuannya  untuk mengenali, memahami, dan mengurai  persoalan-persoalan masa kini, terutama masalah-masalah moral yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomis, dan teknologis.
  Berangkat dari realitas itu, maka selayaknya IIH mendapatkan tempat di perguruan tinggi, sehingga para lulusannya menjadi peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam mengamalkan keahlian  atau profesinya.  Pengintegrasian  IIH dengan  pendidikan  akan  dapat membantu tumbuhnya kemampuan untuk mengembangkan imajinasi sosial dan kultural, juga kemampuan memberikan penilaian kritis.  Dengan demikian  pengintegrasian itu dapat merupakan langkah cukup  penting ke arah pemanusiawian pembangunan.
5. Integrasi IIH dengan IPA, Teknologi, dan Penyusunan Kebijakan  
  Makin  besar peran teknologi dalam kehidupan manusia,  makin besar  pula keharusan bagi IIH untuk saling bersapa,  berhubungan dengan  IPA, teknologi, dan dengan penyusunan  kebijakan.  Setiap teknologi  baru melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang  harus dijawab  sendiri oleh masyarakat sesuai dengan jiwa dan  semangat yang  hidup dalam dirinya. Tanpa memanfaatkan  kemampuan  pribumi untuk  melakukan penalaran secara moral, kemungkinan  yang  lebih terbuka  adalah evolusi masyarakat kita akan lebih dibentuk  oleh kekuatan-kekuatan eksternal, dan bukan oleh dorongan naluri serta aspirasi-aspirasi internal yang hidup dalam diri sendiri. Akibatnya  kita  akan  menjadi makhluk-makhluk  yang  secara  spiritual terasing dari buminya sendiri.
  Memang selama ini selalu dikatakan bahwa tujuan  pembangunan adalah  untuk  memperkuat bangsa dan  mengembangkan  sumber  daya manusianya. Namun realitas menunjukkan betapa mudahnya pembangunan  kehilangan karakter manusiawinya, karena  kecenderungan  yang berlebihan  untuk mengedepankan pemikiran  tentang  faktor-faktor ekonomis,  pemaksaan  keahlian yang  sempit  untuk  menyelesaikan masalah-masalah  yang kompleks, dan tidak adanya kesediaan  untuk menghargai  serta memperhatikan penilaian-penilaian  kritis  dari orang-orang bukan spesialis. Pembangunan bergantung kepada kemampuan untuk membebaskan dan menyalurkan kekuatan-kekuatan  kreatif yang  terdapat pada suatu bangsa. Ketergantungan yang  berlebihan kepada  teknik, yang sedikit pun tidak tahu-menahu tentang  semangat dan nilai-nilai yang hidup dalam kebudayaan, akan  melumpuhkan inisiatif dan kreativitas yang ada dalam masyarakat.
6. Ilmu-ilmu Humaniora di Perguruan Tinggi
  Kini  kita  telaah  bagaimana IIH  diajarkan  di  lingkungan pendidikan,  terutama di universitas/ PT kita. Tujuan  pendidikan di bidang IIH adalah untuk memberikan kepada mahasiswa beberapa pengetahuan dan kemampuan yang secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut: (1) pengetahuan yang lengkap dan mendasar tentang kebudayaan Indonesia yang mencakup pengetahuan tentang kebudayaan nasional, kebudayaan daerah sendiri, dan beberapa kebudayaan daerah lain, (2) pengetahuan tentang sejarah Indonesia dan keterkaitannya dengan sejarah dunia, (3) pengetahuan dan penguasaan yang efektif terhadap bahasa Indonesia lisan dan tertulis, dan paling sedikit penguasaan atas satu bahasa daerah, (4) penguasaan terhadap paling sedikit satu bahasa asing, dan pengetahuan tentang kebudayaan yang mempergunakan bahasa asing tersebut, (5) kemampuan untuk menikmati, menghayati, dan memahami (apresiasi) kehidupan kesenian, serta kemampuan untuk memberikan pendapat yang cerdas dan terdidik  tentang kesenian, (6) kemampuan untuk menguraikan dan memperkirakan drajat kepentingan masalah-masalah etis, moral, kebijakan umum, dan masalah nilai, terutama nilai-nilai yang berhubungan dengan IPA dan teknologi, dan (7) kemampuan untuk menyusun kritik dan berdiskusi (berdebat) secara bertanggung jawab. Masih banyak pengetahuan dan kemampuan lain yang dapat dimasukkan dalam tujuan pendidikan di bidang IIH, namun sudah implisit di dalamnya (lihat Soedjatmoko, 1986).
  Di Indonesia, IIH dalam beberapa hal sudah mencapai kemajuan yang berarti. Di bidang sejarah nasional misalnya, telah tercapai kemajuan  yang besar dalam penyusunan  paradigma-paradigma  dasar bagi pengembangan sejarah nasional yang benar-benar  berlandaskan pandangan dari negara dan kebudayaan kita sendiri. Namun dibutuhkan  pula untuk mengembangkan studi tentang sejarah  iptek,  baik ilmu pengetahuan Cina dan Islam maupun Barat. Upaya yang sistematis di bidang penelitian sejarah akan memberikan pemahaman  lebih dalam tentang situasi masa kini, dan merupakan sumbangan terhadap khazanah  bahan-bahan  pengajaran yang relevan.  
  Diperlukan pula kebijakan bahasa yang tegas dan mantap  agar dapat mendorong pengembangan bahasa Indonesia secara lebih  cepat lagi, tidak saja sebagai bahasa yang digunakan masyarakat semakin luas,  tetapi juga mampu menjadi bahasa untuk  komunikasi  ilmiah yang  representatif. Untuk yang terakhir ini adalah langkah  yang sangat  penting untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas  kemampuan menerjemahkan karya-karya ilmiah utama.  
  Program  untuk meningkatkan kemampuan menulis  dalam  bahasa Indonesia  perlu digalakkan lebih efektif, tidak hanya pada  jam-jam kuliah, tetapi setiap staf pengajar harus turut pula memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk itu. Latihan menulis makalah harus merupakan aktivitas rutin (latihan ini mendorong kita untuk berpikir kritis, jernih, mempertajam ketrampilan analisis dan menyajikan argumen). Merangsang tumbuh berkembangnya kemampuan berdiskusi merupakan pula hal yang sangat penting. Hal ini terutama karena kita sebagai bangsa dalam budaya yang mengutamakan penghindaran konflik, dalam realitas harus bertahan terhadap kebudayaan-kebudayaan lain yang memiliki kegigihan verbal yang tinggi dalam mendesakkan pandangan-pandangannya.
  Tak kalah pentingnya adalah kegiatan-kegiatan untuk  memupuk bahasa-bahasa  daerah,  sastra daerah  dan  telah-telaah  tentang sejarah daerah, merupakan program penting guna memelihara  kebhinnekaan kita, yang merupakan modal tak ternilai bagi bangsa  Indonesia.  Demikian pula mestinya pada cabang-cabang lain  dari  IIH 
dan bidang kesenian. 
  Dengan cara itu, suatu saat akan dapat kita saksikan  tumbuh berkembangnya  pusat-pusat studi budaya daerah, yang  akan  mampu memajukan  budaya daerah masing-masing tanpa membuatnya  terjebak oleh semangat kedaerahan (etnisisme) yang Bahasa dan budaya Sunda tidak  hanya dipelajari oleh orang Sunda, begitu pun  sebaliknya. Tidak mustahil, bahwa putra-putri kita di tiap daerah mempelajari --dan  pada  akhirnya  juga mengajarkan--  sastra,  sejarah,  dan kesenian  daerah  lain. Dengan demikian suatu saat,  akan  banyak putra  Sumba yang mencuat namanya sebagai pakar tentang  filsafat Jawa dan penggubah geguritan dan gending Jawa, atau sebaliknya.
  Peningkatan pengetahuan kita mengenai bahasa dan  kebudayaan negara-negara  asing yang diprediksikan memiliki  pengaruh  besar terhadap masa depan bangsa kita, perlu kita tingkatkan. Kurangnya penguasaan  bahasa-bahasa  Barat suatu saat  mungkin  harus  kita bayar  mahal, baik dengan merosotnya kemampuan kita  bersaing  di percaturan internasional maupun tersendat-sendatnya proses pengayaan kultural dalam masyarakat kita. 
  Perlu  dikemukakan,  bahwa  studi  filsafat  yang  dilakukan secara ilmiah merupakan hal yang masih muda sejarahnya di Indonesia. Pada universitas yang menyelenggarakan perkuliahan filsafat, program perkuliahan sering terbatas pada filsafat-filsafat  Barat saja,  dan membiarkan tradisi-tradisi filsafat yang  hidup  dalam kebudayaan dan agama-agama kita terbengkelai tanpa tersentuh oleh penggarapan ilmiah yang sungguh-sungguh. Padahal banyak pandangan hidup  yang  tersimpul dalam  bahasa-bahasa,  adat-istiadat,  dan berbagai sistem tata cara atau upacara kita. Semua itu  merupakan sumber daya yang penting bagi terlaksananya suatu perenungan diri secara  kolektif  dan untuk evolusi selanjutnya  dari  kebudayaan kita.  Berbagai pandangan hidup itu jika secara sistematis  dimasukkan  dalam  jalur utama materi perkuliahan IIH  --antara  lain lewat  Ilmu  Budaya  Dasar dan Filsafat--  akan  merupakan  modal penting yang mampu memperkaya khazanah kita dalam menyambut  masa depan secara adaptif dan antisipatif. 
7. Purna Wacana
  Ilmu-ilmu  Humaniora, berkat kemampuannya untuk  menumbuhkan pemahaman  tentang  diri kita sebagai bangsa,  dan  juga  tentang perjalanan  yang telah kita tempuh bersama untuk  menjadi  bangsa Indonesia  sekarang ini, merupakan kekuatan yang  dapat  membantu terpupuknya  kesadaran yang cerah pandang mengenai identitas  nasional. Identitas ini berubah dan berkembang terus-menerus  mengikuti pola-pola reseptif yang kita berikan terhadap perubahan dan tantangan yang kita hadapi. 
  Modernisasi tidak seharusnya dipertentangkan dengan tradisi, dan  tidak  perlu ada dikotomi kebudayaan nasional  dengan  kebudayaan  daerah. Modernisasi yang otentik, yang tidak menjurus  ke lenyapnya identitas diri, harga diri dan kreativitas, hanya dapat dicapai manakala tradisi diakui sebagai suatu kekuatan dan sumber daya  yang  besar artinya. Di sinilah agaknya  signifikansi  dari kemampuan  yang besar dalam ilmu-ilmu Humaniora bagi negara  berkembang.  Kemampuan  ini bukan suatu kemewahan  malainkan  justru suatu tenaga dalam, kemampuan batin  yang mutlak diperlukan untuk menilai, bahwa bangsa kita sedang bergerak maju menuju masyarakat yang memang kita cita-citakan.
  Berangkat dari konklusi inilah agaknya maka setiap universitas besar di samping memiliki sejumlah fakultas MIPA,  Teknologi, dan  Ilmu Sosial, juga memiliki fakultas Sastra dan  Budaya  yang mengembangkan Ilmu-ilmu Humaniora, atau setidaknya memiliki Pusat Studi  Kebudayaan.  Dan  yang penting,  sudah  saatnya  dilakukan rekonseptualisasi  pada  materi  mata kuliah  Ilmu  Budaya  Dasar (IBD)  yang selama ini masih terkesan sempit (bahkan banyak  yang tergusur untuk mata kuliah lain). Dengan demikian integrasi  IPA, teknologi, ilmu sosial, dan IIH niscaya akan dapat tercapai.  Dan manakala  hubungan  yang lebih erat antara berbagai  bidang  ilmu tersebut dengan penyusunan kebijakan telah terangkum, maka  tidak mustahil  pembangunan  bangsa  kita akan  membuahkan  hasil  yang sesuai  dengan cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia  yang  telah diletakkan oleh para pendiri negara Indonesia 50 tahun yang lalu.
Pustaka Acuan
Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: UI 
Press.
A.M., Ali Imron. 1993. "Revolusi Televisi: Imperialisme Budaya Masyarakat Modern". 
Makalah pada Seminar Nasional tentang "Era Televisi Swasta di Indonesia" Fak. Psikologi UMS, 30 Oktober 1993.
Dewanto, Nirwan. 1991. "Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991" dalam Prisma No. 
  10 Tahun XX, Oktober 1991.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Moglen, Helene. 1984. "Erosion in the Humanities" dalam Jurnal Change, Vol. 16 No. 
  7, Oktober 1984.
Rachmat, Djalaluddin. 1992. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan 
  Muslim.  Bandung: Mizan. 
Saidi, Ridwan. 1984. Moralitas dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Soedjatmoko. 1986. "Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Masalah Pembangunan". Makalah 
dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IV, Jakarta, 8-12 September 1986. 
. 
                                                        
__________________
   *) Disampaikan dalam Upacara Wisuda Sarjana Universitas  Muhammadiyah Surakarta tanggal 12 Agustus 1995 di GOR UMS.
        Fajar Indah A/ 37 Ska.
                                                             15 Agustus 1995
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar