Senin, 25 April 2011

SIGNIFIKANSI ILMU-ILMU HUMANIORA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA

oleh Ali Imron Al-Ma’ruf
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Universitras Muhammadiyah Surakarta

1. Prawacana
Dinamika suatu bangsa tampak dalam usaha-usaha pembangunan yang sedang dijalankannya. Usaha-usaha pembangunan yang implisit di dalamnya modernisasi, dikatakan berhasil manakala tercapai kemajuan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan bangsa, bukan saja dalam taraf kehidupan ekonomi masyarakat meningkat, pola komunikasi dan jaringan informasi yang serba canggih, stabilitas nasional yang mantap, melainkan juga terlaksananya pengembangan kehidupan budaya yang semakin membuka perspektif melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Sejalan dengan itu, jika kita ingin memperbaiki pemahaman kita tentang suatu situasi modern, apa pun situasi modern itu, maka telaah kita harus juga mencakup tidak saja teknologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, masalah organisasi sosial, tetapi juga masalah kebutuhan, kemampuan, dan sifat-sifat manusia dan masyarakatnya (Morison, 1986).
Tulisan ini berangkat dari beberapa asumsi, yakni (1) bahwa ilmu-ilmu Humaniora (selanjutnya disingkat IIH) menduduki tempat yang sentral dalam proses pembangunan, (2) kebanayakan penyimpangan-penyimpangan yang terlihat di dalam pembangunan bermula dari pengabaian terhadap IIH, dan (3) dalam zaman serba teknologi ini telaah-telaah di bidang kemanusiaan menjadi semakin penting, bukan sebaliknya.
Hingga saat ini masih terpancang anggapan klise, bahwa bidang-bidang akademis yang dipandang mampu menopang pembangunan adalah ilmu-ilmu "keras" (meminjam istilah Soedjatmoko, 1986), yang memiliki bentuk-bentuk penerapan teknologis dan ilmu sosial yang mampu melahirkan implikasi-implikasi langsung bagi perumusan kebijakan seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, dan sosiologi. Sebaliknya ilmu-ilmu filsafat, etika, sejarah, bahasa dan sastra yang tercakup dalam ilmu-ilmu Humaniora sering dipan- dang sebagai ilmu-ilmu yang "mewah". Artinya, ilmu-ilmu tersebut merupakan sesuatu yang perlu diketahui, tetapi tidak terlalu penting, tidak merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Padahal pandangan demikian bertentangan dengan realitas yang ada.
Pengembangan IIH sebagai cultural engineering masyarakat berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat (Kuntowijoyo, 1987). Kemampuan untuk memupuk dan mengembangkan rasa empati, toleransi, dan membuat penilaian etis --yang dapat diperoleh melalui studi tentang IIH-- merupakan modal utama yang sama sekali tidak dapat diabaikan dalam pembangunan.
Realitas menunjukkan, bahwa pembangunan telah melahirkan pula sejumlah persoalan seperti perubahan nilai dan pilihan nilai. Sebagian persoalan ini timbul sebagai akibat dari terputusnya gaya hidup tertentu untuk digantikan dengan gaya hidup baru yang sama sekali berbeda karakternya --sebuah diskontinuitas yang merupakan pelengkap yang nyaris tak terhindarkan dalam proses pembangunan--. Adapun sebagian masalah lain muncul sebagai efek dari ketimpangan yang makin meningkat antarberbagai golongan masyarakat. Ada semacam perasaan kecemburuan sosial yang telah tersebar cukup luas, bahwa pembangunan telah mendorong banyak
manusia melampiaskan sifat-sifat negatifnya. Sebab, melalui pengutamaan kemakmuran, materialisme dan konsumerisme sampai di luar batas kewajaran, manusia didorong untuk mengikuti ketamakannya. Dan konsekuensinya, meminjam istilah Huntington (dalam Saidi, 1984) ialah makin merajalelanya kecemburuan sosial akibat makin menyuburnya korupsi, manipulasi, kolusi, dan sejenisnya, yang merupakan "anak kandung" modernisasi. Dalam konteks ini IIH diperlukan dalam mewujudkan pembangunan yang lebih manusiawi.
Sementara itu, kita sedang menuju suatu masa depan yang tak dapat diramalkan. Kita harus mampu menghadapinya tanpa harus kehilangan arah atau bahkan menjadi terasing, tanpa kehilangan rasa sopan santun kita, identitas kita, rasionalitas kita, dan sumber-sumber inspirasi kita. Dalam konteks inilah agaknya IIH, seperti dikatakan Bennet (dalam Moglen, 1984), membantu kita dalam penyusunan kerangka moral imajinatif untuk tindakan kita.
Permasalahannya kini adalah, bagaimana relevansi ilmu-ilmu Humaniora dengan pembangunan? Dapatkah ilmu-ilmu Humaniora membantu memanusiawikan pembangunan? Mungkinkah integrasi ilmu-ilmu Humaniora dengan ilmu pengetahuan alam (IPA), teknologi, ilmu-ilmu sosial IIS), dan perumusan kebijakan? Inilah antara lain permasalahan yang perlu dijawab.

2. Ilmu-ilmu Humaniora, Pengembangan Empati, Toleransi, dan Penilaian Etis
Ilmu-ilmu Humaniora (IIH) berintikan filsafat, etika, estetika, sejarah, bahasa dan sastra. Ilmu-ilmu lain yang lazim pula dianggap sebagai bagian dari IIH adalah ilmu perbandingan agama, ilmu hukum, ilmu purbakala, serta sejarah dan kritik seni. Ilmu-ilmu ini secara kolektif merupakan suatu kerangka sekaligus kosakata bagi telaah-telaah mengenai nilai-nilai kemanusiaan, kebutuhan, aspirasi, juga kemampuan dan kelemahan manusia seperti terungkap dalam kebudayaannya. Mempelajari IIH akan membantu kita menangkap makna yang terkandung dalam pengalaman-pengalaman kita, dan memberikan cara-cara memahami segenap jenis kegiatan kemasyarakatan, serta maksud yang terkandung dalam kegiatan-kegiatan tersebut, baik kegiatan masyarakat kita sendiri maupun masyarakat lain.
Guna memahami sifat-sifat dan kompetensi manusia diperlukan suatu cara berpikir yang lebih jauh jangkauannya ketimbang yang dimungkinkan oleh metode-metode eksperimental dan analitis yang lazim digunakan IPA dan ilmu sosial. Kebutuhan manusia, ambisi, aspirasi, frustrasi, dan sejenisnya merupakan realitas yang tak terpahami melalui observasi-observasi empiris semata-mata. Hal tersebut merupakan realitas yang tidak dapat disederhanakan, direduksikan menjadi persamaan-persamaan tanpa kehilangan maknanya. Semua itu hanya dapat dicapai melalui upaya yang berupa proyeksi imajinatif --suatu kemampuan yang hanya dapat diraih melalui studi IIH--.
Ketika kita membaca karya sastra (hikayat, puisi, cerpen, novel, dan drama) atau karya sejarah, secara otomatis kita akan menerobos lingkungan ruang dan waktu yang ada di sekitar kita. Karya-karya fiksi dan puisi besar yang kita beri predikat "karya literer” adalah karya-karya yang berhasil membangunkan manusia atas rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya-karya termaksud. Karya sastra itu membuat kita mampu memahami segenap perjuangan tokoh-tokoh yang dilukiskannya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. Kita mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh dalam karya sastra yang kita baca sehingga kita dapat berkaca siapa sejatinya diri kita. Dengan membaca karya sastra dalam bentuk novel, cerpen, drama, dan puisi, kita turut menghayati segenap kebahagiaan dan kesedihan yang dialami tokoh-tokoh kita. Dalam proses penghayatan itu dunia kita diperluas, menembus batas-batas duniawi yang ada di sekitar kita.
Kemampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita ke dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Ini merupakan permulaan dari kemampuan untuk mengembangkan empati, dan toleransi. Secara luas empat1i adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan diri secara penuh dengan orang lain, dan melalui proses ini memahami pula orang lain. Kemampuan inilah yang mengikat orang tua dengan anaknya, dengan sesama tetangga, dengan sesama warga negara, dan seterusnya. Empati merupakan landasan paling esensial bagi proses pembinaan bangsa. Adaputoleransi adalah kemampuan untuk menerima dan mengakui keabsahan suatu perbedaan, dan dengan demikian toleransi menjadi landasan mendasar bagi terciptanya hubungan damai, baik intern bangsa maupun antara bangsa-bangsa.
Selama ini IIH mengalami semacam kehidupan yang tertekan di dalam sistem pendidikan kita. Bahkan kehadirannya telah "digusur ke daerah pinggiran" oleh anggapan tentang adanya keharusan untuk terlebih dulu mengupayakan kemajuan dalam bidang iptek, dan baru sesudah itu diusahakan langkah-langkah untuk memajukan ilmu-ilmu sosial yang bercorak instrumental. Padahal sebenarnya IIH, pertama merupakan perangkat ilmu yang memiliki kegunaan, dan kedua bahwa bagaimanapun nilai kegiatan belajar tidak seharusnya ditentukan berdasarkan besar-kecilnya fungsi instrumental bidang ilmu yang ditekuni. Dalam hal ini argumen pertama perlu lebih ditekankan, yakni bahwa IIH melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dalam proses pendidikan keseluruhan warga negara, yang jangkauannya lebih mendalam dan mendasar.
Fungsi lain yang dapat dikembangkan melalui studi IIH adalah kemampaun untuk mengembangkan kebiasaan dan perangkat intelektual yang dapat menopang pelaksanaan analisis, penilaian, dan kritik secara mandiri. Kemampuan jenis terakhir ini akan terasa sangat penting ketika kita berhadapan dengan persoalan moralitas, baik moralitas sosial (public morality) maupun moralitas pribadi (private morality).
Bersama-sama dengan kesenian, IIH mencakup suatu kawasan yang paling manusiawi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, suatu kawasan pemikiran yang secara esensial menyentuh masalah-masalah cinta-kasih, kehormatan, ambisi, rasa iri, rasa berdosa, keberanian, kebebasan, keadilan, dan kelurusan moral. Semua itu merupakan persoalan-persoalan inti bagi penggalangan motivasi dan keberhasilan usaha, dan karena itu merupakan persoalan-persoalan pokok bagi pembangunan. Persoalan-persoalan itu di luar jangkauan IPA dan ilmu sosial. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita dapat memahami proses-proses perubahan sosial dalam era transformasi budaya yang kini sedang berlangsung, jika kita tidak mampu memahami kekuatan-kekuatan dasar ini, yang telah membuat manusia bertingkah laku seperti yang kita saksikan selama ini? Di sinilahkehadiran IIH dapat kita gunakan sebagai jendela untuk mengintip manusia dengan segenap kompetensi, sifat, dan karakternya.

3. Kesadaran atas Identitas Nasional
Melalui studi mengenai sejarah, khazanah sastra dan filsafat yang dimiliki suatu bangsa dalam konteks kultural, IIH memberikan kesadaran tentang perspektif sejarah yang terbentang di hadapannya, kesadaran tentang identitas kultural yang melekat padanya, kesadaran tentang pandangan-pandangan dunia tertentu, dan nilai-nilai tertentu yang menjadi karakter bangsa itu.
Kebudayaan Indonesia bersifat bhinneka, yang merupakan perpaduan atau tegangan antara kebudayaan nasional modern dan budaya tradisi/ daerah, dan masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Adanya tekanan pengaruh internal dan eksternal yang cukup kuat, membuat budaya-budaya daerah mengalami berbagai per- ubahan. Hubungan antara kebudayaan nasional dan budaya daerah ini berubah terus-menerus, karena kedua pihak selalu berusaha menanggapi setiap tekanan yang dihadapinya, termasuk gempuran budaya asing dalam era globalisasi dan transformasi sosial budaya ini.
Dalam konteks itu, kebudayaan terselenggara secara niscaya dan organik, merespon perubahan senegeri dan sejagad. Dan lebih dari itu, tak ada determinan tunggal dalam sejarah kebudayaan mana pun. Tidak ada wakil-wakil resmi kebudayaan Indonesia. Dengan demikian tidak perlu terjadi dikotomi kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah. Bahkan menurut Dewanto (1991), setiap orang atau kelompok masyarakat secara potensial adalah pencipta kebudayaan. Hasil evolusi itu adalah bukti daya hidup kebudayaan kita sekaligus bukti makin tak terhindarnya pengaruh mondial.
Berkat perpaduan berbagai kebudayaan tersebut, kebudayaan Indonesia selalu dinamis. Segenap kebudayaan itu hidup dan berfungsi dalam konteks situasi internasional yang sedang mengalami perubahan yang serba cepat. Untuk itu, perlu kita pelajari bersama, bagaimana caranya memperlakukan kebhinekaan budaya ini sebagai suatu sumber daya, dan bukan sebaliknya sebagai kendala terhadap pembangunan nasional.
Kekayaan budaya daerah harus kita angkat ke permukaan dan kita sajikan secara terbuka, agar dipelajari oleh seluruh bangsa. Salah satu implikasi prinsip ini ialah bahwa karya-karya sastra klasik daerah harus kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan juga ke dalam bahasa daerah lain. Hal ini mengharuskan kita melakukan studi yang serius tentangnya dan melaksanakan langkah-langkah pemugaran yang cukup sistematis terhadap bahasa-bahasa dan sastra daerah, kesenian daerah, di samping keharusan untuk melakukan penelitian mendalam mengenai sejarah-sejarah daerah.
Untuk itu, keterpaduan dan kepekatan kultural yang bersifat pluralistik dan/au multikultural akan dapat dicapai melalui program nasionalisasi budaya-budaya daerah, bukan program homogenisasi terhadap budaya-budaya daerah itu, yang hanya akan menghasilkan suatu kesatuan yang bersifat hambar dan serba artifisial. Dengan demikian slogan Bhinneka Tunggal Ika benar-benar kita laksanakan. Artinya, kebudayaan nasional jangan sekali-kali kita pandang sebagai ancaman terhadap budaya-budaya daerah kita. Kebudayaan nasional sebaiknya kita pandang sebagai jawaban kolektif atas perubahan-perubahan yang sedang terjadi di sekitar kita, dan sebagai bidang pertemuan kita dengan modernitas.

4. Relevansi Ilmu-ilmu Humaniora dalam Pembangunan Nasional
Dalam konteks pembangunan bangsa, IIH berperan dalam membahas persoalan-persolan besar yang terdapat di sekitar proses perubahan sosial. Siapa sebenarnya kita ini, nilai-nilai apakah yang kita letakkan pada jenjang tertinggi dalam kehidupan kita,
dari mana datangnya nilai-nilai dan aspirasi kita, apa yang menjadi sumber kreativitas dan ketahanan kita, apakah jalur pembangunan yang kita jalani selama ini sesuai dengan cita-cita yang kita dambakan? Untuk menjawab dengan tepat sederet pertanyaan ini diperlukan bantuan IIH.
Studi mengenai kebudayaan kita melalui IIH dapat menyadarkan kita akan kelemahan-kelemahan kita. Misalnya, apa sebenarnya akar dari pola hubungan patron-client, pola hubungan kawula-gusti yang tersebar demikian luas di Nusantara? Mengapa bangsa kita begitu mudah dan lama dijajah oleh bangsa lain? Sebenarnya apakah akar persoalan yang menyebabkan masyarakat Madura begitu sulit menerima industrialisasi di daerahnya itu? Mengapa pula wanita Indonesia --terlebih Jawa-- lebih terkesan tugasnya selalu berkisar di antara dapur, sumur, dan kasur, atau fungsinya seputar masak, macak, lan manak? Analisis mengenai masa lampau tentu bukan untuk bernostalgia atau penyesalan, melainkan lebih sebagai suatu cara untuk belajar menghadapai masa depan.
Di antara sumber yang telah melahirkan perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan kompleks, kebanyakan berupa kekuatan-kekuatan global, yang secara keseluruhan tidak tercakup oleh kebudayaan mana pun, dan tidak terbatas oleh bangsa atau negara mana pun. Akibatnya, dampak yang ditimbulkan kekuatan-kekuatan global itu pun tak terelakkan oleh masyarakat dan kebudayaan mana pun. Benarlah apa yang dikatakan Dewanto (1991), bahwa kebudayaan terselenggara secara niscaya dan organik, merespon perubahan senegeri dan sejagad, tak ada determinan tunggal dalam sejarah kebudayaan yang mana pun. Perubahan sosial yang berlangsung serba cepat itu sering menimbulkan kebingungan, keterasingan, dan dalam beberapa hal juga menimbulkan reaksi, karena masyarakat tidak memahami kondisi yang berkembang.
Seperti bangsa lain yang sedang berkembang, pertanyaan pokok yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana caranya hidup di tengah realitas perubahan-perubahan yang serba cepat ini tanpa harus kehilangan kesadaran tentang identitas kita? Jawaban atas pertanyaan ini akan ditemukan melalui proses perenungan dan dialog terus-menerus mengenai makna segenap pengalaman kita.
Penggarapan yang bercorak kesarjaaan atas bidang-bidang filsafat, etika, estetika, sejarah, bahasa dan sastra, serta cabang lain IIH merupakan bagian yang sangat menentukan sifatnya terhadap integritas kebudayaan kita. Namun bagaimanapun integritas kultural harus sanggup hidup berdampingan dengan keterbukaan terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Jika kemampuan ini tidak kita miliki, maka stagnasi dan degradasi tidak mustahil akan terjadi dalam kebudayaan kita. Untuk mempertahankan keseimbanagn antara integritas dan keterbukaan itu diperlukan tekad mantap, percaya diri, daya khayal kreatif, dan kemampuan mengadakan inovasi-inovasi selaras dengan tanda-tanda zaman.

Usaha-usaha pembangunan memang telah mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang. Akan tetapi dimensi kemanusiaan dalam pembangunan itu sering diabaikan. Pengabaian ini terkadang menimbulkan akibat-akibat yang sangat destruktif terhadap kualitas hidup manusia, identitas diri dan citra tentang makna hidup.
Menurut teori pembangunan pada masa lampau, para perumus kebijakan menentukan ke arah mana proses pembangunan, sedangkan para pakar berkewajiban menyediakan segenap sarana yang diperlukan sehingga pembangunan dapat mencapai sasaran. Kini kita melihat, bahwa upaya pembangunan yang bersifat linier dan bergerak
dari atas ke bawah ( top down ) itu sering menimbulkan kesalahan besar, dan biasanya hanya dapat berlangsung dengan pengorbanan yang cukup tinggi, yakni hilangnya nilai-nilai dan lenyapnya kesejahteraan bagi kaum miskin dan terbelakang, kelompok minoritas, dan sebagainya. Perlu diingatkan, bahwa kemampuan untuk memupuk dan mengembangkan rasa empati, toleransi, dan membuat penilaian etis --kemampuan yang dapat dicapai melalui studi IIH-- merupakan modal utama yang sama sekali tidak dapat kita abaikan dalam pembangunan.
Pembangunan yang mengutamakan kemakmuran materialisme dan konsumerisme sampai di luar batas-batas kewajaran manusia yang terdorong oleh ketamakannya, mengakibatkan makin merajalelanya korupsi, manipulasi, kolusi, dan sejenisnya, yang merupakan "anak kandung modernisasi" (Huntington, dalam Saidi, 1984) sehingga kecemburuan sosial makin meluas.
Pertanyaannya, bagaimana peran IIH dalam menciptakan pembangunan yang lebih manusiawi? Hingga kini kontribusi yang mampu diberikan IIH belum sepadan dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini disebabkan antara lain, pertama, adanya fragmentansi yang berlebihan yang terjadi di kalangan IIH yang mengakibatkan timbulnya disiplin-disiplin yang terkotak-kotak, sehingga sangat sulit untuk menangkap perspektif dari kehidupan kebudayaan. Kedua, IIH seperti yang diajarkan di semua jenjang pendidikan kita, terlalu dini atau tergesa-gesa memperkenalkan karya-karya klasik dari kebudayaan asing.
Memang penting memahami kebudayaan lain. Namun tanpa memahami lebih dulu karya-karya adiluhung kebudayaan sendiri, maka akan sulit untuk menanamkan dan mengembangkan rasa percaya diri dan rasa bangga yang menjadi sumber kreativitas. Tak dapat disangkal, bahwa telah terjadi pemiskinan kultural selama ini, setiap kali khazanah budaya pribumi seperti dongeng, pelipur lara, nyanyian, permainan tradisi, ketrampilan verbal, dan semacamnya secara ekstrem digantikan dengan suatu perangkat budaya impor, yang berupa butir-butir acara yang telah distandardisasikan. Contoh ekstrem hal ini adalah makin derasnya gempuran budaya asing melalui beberapa TV swasta yang 80% tayangan acaranya adalah produk asing. Padahal menurut beberapa pengamat hal itu hanya akan mempersubur sikap peniruan yang menyedihkan dari produk-produk asing terutama film-film Barat yang membahayakan integritas kebudayaan Indonesia (Alfian, 1986).
Tak salah jika Bernet menganggap TV sebagai agama baru masyarakat industri/ modern. Bahkan TV telah menggeser agama-agama konvensional, karena khutbah-khutbahnya lebih didengar dan disaksikan oleh jamaah yang jauh lebih besar jumlahnya ketimbang agama mana pun (dalam Rachmat, 1992). Rumah ibadahnya pun jauh lebih
tersebar di segala pelosok persada, ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan. Boleh jadi hal itu lebih menggetarkan hati dan menyentuh emosi serta mempengaruhi bawah sadar kita ketimbang ibadah agama-agama konvensional (Imron A.M., 1993).
Ketiga, dalam sistem pendidikan kita IIH telah membiarkan diri terasing dari persoalan-persoalan sosial dan politik yang sedang menggelegar --yang memperkuat kesan "menara gading" bagi IIH-- sehingga masyarakat mulai menyangsikan relevansi IIH bagi pembangunan. Dalam konteks ini perlu diingatkan, bahwa mempelajari karya-karya sastra misalnya, bukanlah suatu aktivitas estetis semata-mata. Masalah yang lebih penting adalah belajar memahami maknanya, pesan-pesan sastrawan yang diungkapkan melalui pelukisan-pelukisan tentang suatu dilema kemanusiaan, agama,
moral atau tatanan sosial (misal hikayat-hikayat, novel Kemarau karya A.A. Navis, dan Keluarga Permana karya Ramadhan K.H., puisi "Nyanyian Angsa" karya Rendra, dan sebagainya). Karya-karya fiksi, lazimnya merupakan media yang jauh lebih efektif untuk menuturkan masalah-masalah moral secara gamblang ketimbang laporan-laporan jurnalistik, uraian ilmu-ilmu sosial, atau bahkan pendidikan moral oleh guru di kelas sekalipun.
Soedjatmoko (1986) dalam sebuah pidatonya di depan sidang para pakar ilmu-ilmu sosial Asia menyatakan, bahwa kini sangat dibutuhkan hubungan yang lebih erat antara ilmu-ilmu sosial dengan IIH. Sudah saatnya ilmu-ilmu sosial memberilan perhatian lebih besar kepada sistem konseptual pribumi yang ada di Asia, dari keyakinan-keyakinan religius atau filosofis yang bersifat formal sampai ke struktur linguistik yang bekerja di lapisan bawah sadar kejiwaan manusia. Misalnya, mengenai cara memahami makna hidup, cukup kaya dapat ditemukan dalam cerita-cerita mitologi kita, dalam karya-karya besar puisi, hikayat, novel atau drama, dalam struktur bahasa-bahasa, dan juga dalam sistem-sistem hukum tradisional kita. Dalam penulisan aksara Jawa terdapat prinsip jika "dipangku mati" misalnya, hal ini tentu mempunyai relevansi kuat dengan kebudayaan Jawa.
Berbagai jenjang tentang makna ini harus dipahami, dipadukan diartikulasikan oleh para sarjana IIH, dan hasilnya lalu disebarluaskan serta dipergunakan di kalangan IIS, para pakar teknologi dan perencana. Dengan cara ini proses pembangunan dapat diharapkan berlangsung senafas dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Agar dapat melaksanakan tugas ini, IIH harus meningkatkan kemampuannya untuk mengenali, memahami, dan mengurai persoalan-persoalan masa kini, terutama masalah-masalah moral yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomis, dan teknologis.
Berangkat dari realitas itu, maka selayaknya IIH mendapatkan tempat di perguruan tinggi, sehingga para lulusannya menjadi peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam mengamalkan keahlian atau profesinya. Pengintegrasian IIH dengan pendidikan akan dapat membantu tumbuhnya kemampuan untuk mengembangkan imajinasi sosial dan kultural, juga kemampuan memberikan penilaian kritis. Dengan demikian pengintegrasian itu dapat merupakan langkah cukup penting ke arah pemanusiawian pembangunan.

5. Integrasi IIH dengan IPA, Teknologi, dan Penyusunan Kebijakan
Makin besar peran teknologi dalam kehidupan manusia, makin besar pula keharusan bagi IIH untuk saling bersapa, berhubungan dengan IPA, teknologi, dan dengan penyusunan kebijakan. Setiap teknologi baru melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang harus dijawab sendiri oleh masyarakat sesuai dengan jiwa dan semangat yang hidup dalam dirinya. Tanpa memanfaatkan kemampuan pribumi untuk melakukan penalaran secara moral, kemungkinan yang lebih terbuka adalah evolusi masyarakat kita akan lebih dibentuk oleh kekuatan-kekuatan eksternal, dan bukan oleh dorongan naluri serta aspirasi-aspirasi internal yang hidup dalam diri sendiri. Akibatnya kita akan menjadi makhluk-makhluk yang secara spiritual terasing dari buminya sendiri.
Memang selama ini selalu dikatakan bahwa tujuan pembangunan adalah untuk memperkuat bangsa dan mengembangkan sumber daya manusianya. Namun realitas menunjukkan betapa mudahnya pembangunan kehilangan karakter manusiawinya, karena kecenderungan yang berlebihan untuk mengedepankan pemikiran tentang faktor-faktor ekonomis, pemaksaan keahlian yang sempit untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks, dan tidak adanya kesediaan untuk menghargai serta memperhatikan penilaian-penilaian kritis dari orang-orang bukan spesialis. Pembangunan bergantung kepada kemampuan untuk membebaskan dan menyalurkan kekuatan-kekuatan kreatif yang terdapat pada suatu bangsa. Ketergantungan yang berlebihan kepada teknik, yang sedikit pun tidak tahu-menahu tentang semangat dan nilai-nilai yang hidup dalam kebudayaan, akan melumpuhkan inisiatif dan kreativitas yang ada dalam masyarakat.

6. Ilmu-ilmu Humaniora di Perguruan Tinggi
Kini kita telaah bagaimana IIH diajarkan di lingkungan pendidikan, terutama di universitas/ PT kita. Tujuan pendidikan di bidang IIH adalah untuk memberikan kepada mahasiswa beberapa pengetahuan dan kemampuan yang secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut: (1) pengetahuan yang lengkap dan mendasar tentang kebudayaan Indonesia yang mencakup pengetahuan tentang kebudayaan nasional, kebudayaan daerah sendiri, dan beberapa kebudayaan daerah lain, (2) pengetahuan tentang sejarah Indonesia dan keterkaitannya dengan sejarah dunia, (3) pengetahuan dan penguasaan yang efektif terhadap bahasa Indonesia lisan dan tertulis, dan paling sedikit penguasaan atas satu bahasa daerah, (4) penguasaan terhadap paling sedikit satu bahasa asing, dan pengetahuan tentang kebudayaan yang mempergunakan bahasa asing tersebut, (5) kemampuan untuk menikmati, menghayati, dan memahami (apresiasi) kehidupan kesenian, serta kemampuan untuk memberikan pendapat yang cerdas dan terdidik tentang kesenian, (6) kemampuan untuk menguraikan dan memperkirakan drajat kepentingan masalah-masalah etis, moral, kebijakan umum, dan masalah nilai, terutama nilai-nilai yang berhubungan dengan IPA dan teknologi, dan (7) kemampuan untuk menyusun kritik dan berdiskusi (berdebat) secara bertanggung jawab. Masih banyak pengetahuan dan kemampuan lain yang dapat dimasukkan dalam tujuan pendidikan di bidang IIH, namun sudah implisit di dalamnya (lihat Soedjatmoko, 1986).
Di Indonesia, IIH dalam beberapa hal sudah mencapai kemajuan yang berarti. Di bidang sejarah nasional misalnya, telah tercapai kemajuan yang besar dalam penyusunan paradigma-paradigma dasar bagi pengembangan sejarah nasional yang benar-benar berlandaskan pandangan dari negara dan kebudayaan kita sendiri. Namun dibutuhkan pula untuk mengembangkan studi tentang sejarah iptek, baik ilmu pengetahuan Cina dan Islam maupun Barat. Upaya yang sistematis di bidang penelitian sejarah akan memberikan pemahaman lebih dalam tentang situasi masa kini, dan merupakan sumbangan terhadap khazanah bahan-bahan pengajaran yang relevan.
Diperlukan pula kebijakan bahasa yang tegas dan mantap agar dapat mendorong pengembangan bahasa Indonesia secara lebih cepat lagi, tidak saja sebagai bahasa yang digunakan masyarakat semakin luas, tetapi juga mampu menjadi bahasa untuk komunikasi ilmiah yang representatif. Untuk yang terakhir ini adalah langkah yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kemampuan menerjemahkan karya-karya ilmiah utama.
Program untuk meningkatkan kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia perlu digalakkan lebih efektif, tidak hanya pada jam-jam kuliah, tetapi setiap staf pengajar harus turut pula memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk itu. Latihan menulis makalah harus merupakan aktivitas rutin (latihan ini mendorong kita untuk berpikir kritis, jernih, mempertajam ketrampilan analisis dan menyajikan argumen). Merangsang tumbuh berkembangnya kemampuan berdiskusi merupakan pula hal yang sangat penting. Hal ini terutama karena kita sebagai bangsa dalam budaya yang mengutamakan penghindaran konflik, dalam realitas harus bertahan terhadap kebudayaan-kebudayaan lain yang memiliki kegigihan verbal yang tinggi dalam mendesakkan pandangan-pandangannya.
Tak kalah pentingnya adalah kegiatan-kegiatan untuk memupuk bahasa-bahasa daerah, sastra daerah dan telah-telaah tentang sejarah daerah, merupakan program penting guna memelihara kebhinnekaan kita, yang merupakan modal tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Demikian pula mestinya pada cabang-cabang lain dari IIH 
dan bidang kesenian.
Dengan cara itu, suatu saat akan dapat kita saksikan tumbuh berkembangnya pusat-pusat studi budaya daerah, yang akan mampu memajukan budaya daerah masing-masing tanpa membuatnya terjebak oleh semangat kedaerahan (etnisisme) yang Bahasa dan budaya Sunda tidak hanya dipelajari oleh orang Sunda, begitu pun sebaliknya. Tidak mustahil, bahwa putra-putri kita di tiap daerah mempelajari --dan pada akhirnya juga mengajarkan-- sastra, sejarah, dan kesenian daerah lain. Dengan demikian suatu saat, akan banyak putra Sumba yang mencuat namanya sebagai pakar tentang filsafat Jawa dan penggubah geguritan dan gending Jawa, atau sebaliknya.
Peningkatan pengetahuan kita mengenai bahasa dan kebudayaan negara-negara asing yang diprediksikan memiliki pengaruh besar terhadap masa depan bangsa kita, perlu kita tingkatkan. Kurangnya penguasaan bahasa-bahasa Barat suatu saat mungkin harus kita bayar mahal, baik dengan merosotnya kemampuan kita bersaing di percaturan internasional maupun tersendat-sendatnya proses pengayaan kultural dalam masyarakat kita.
Perlu dikemukakan, bahwa studi filsafat yang dilakukan secara ilmiah merupakan hal yang masih muda sejarahnya di Indonesia. Pada universitas yang menyelenggarakan perkuliahan filsafat, program perkuliahan sering terbatas pada filsafat-filsafat Barat saja, dan membiarkan tradisi-tradisi filsafat yang hidup dalam kebudayaan dan agama-agama kita terbengkelai tanpa tersentuh oleh penggarapan ilmiah yang sungguh-sungguh. Padahal banyak pandangan hidup yang tersimpul dalam bahasa-bahasa, adat-istiadat, dan berbagai sistem tata cara atau upacara kita. Semua itu merupakan sumber daya yang penting bagi terlaksananya suatu perenungan diri secara kolektif dan untuk evolusi selanjutnya dari kebudayaan kita. Berbagai pandangan hidup itu jika secara sistematis dimasukkan dalam jalur utama materi perkuliahan IIH --antara lain lewat Ilmu Budaya Dasar dan Filsafat-- akan merupakan modal penting yang mampu memperkaya khazanah kita dalam menyambut masa depan secara adaptif dan antisipatif.

7. Purna Wacana
Ilmu-ilmu Humaniora, berkat kemampuannya untuk menumbuhkan pemahaman tentang diri kita sebagai bangsa, dan juga tentang perjalanan yang telah kita tempuh bersama untuk menjadi bangsa Indonesia sekarang ini, merupakan kekuatan yang dapat membantu terpupuknya kesadaran yang cerah pandang mengenai identitas nasional. Identitas ini berubah dan berkembang terus-menerus mengikuti pola-pola reseptif yang kita berikan terhadap perubahan dan tantangan yang kita hadapi.
Modernisasi tidak seharusnya dipertentangkan dengan tradisi, dan tidak perlu ada dikotomi kebudayaan nasional dengan kebudayaan daerah. Modernisasi yang otentik, yang tidak menjurus ke lenyapnya identitas diri, harga diri dan kreativitas, hanya dapat dicapai manakala tradisi diakui sebagai suatu kekuatan dan sumber daya yang besar artinya. Di sinilah agaknya signifikansi dari kemampuan yang besar dalam ilmu-ilmu Humaniora bagi negara berkembang. Kemampuan ini bukan suatu kemewahan malainkan justru suatu tenaga dalam, kemampuan batin yang mutlak diperlukan untuk menilai, bahwa bangsa kita sedang bergerak maju menuju masyarakat yang memang kita cita-citakan.
Berangkat dari konklusi inilah agaknya maka setiap universitas besar di samping memiliki sejumlah fakultas MIPA, Teknologi, dan Ilmu Sosial, juga memiliki fakultas Sastra dan Budaya yang mengembangkan Ilmu-ilmu Humaniora, atau setidaknya memiliki Pusat Studi Kebudayaan. Dan yang penting, sudah saatnya dilakukan rekonseptualisasi pada materi mata kuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD) yang selama ini masih terkesan sempit (bahkan banyak yang tergusur untuk mata kuliah lain). Dengan demikian integrasi IPA, teknologi, ilmu sosial, dan IIH niscaya akan dapat tercapai. Dan manakala hubungan yang lebih erat antara berbagai bidang ilmu tersebut dengan penyusunan kebijakan telah terangkum, maka tidak mustahil pembangunan bangsa kita akan membuahkan hasil yang sesuai dengan cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia yang telah diletakkan oleh para pendiri negara Indonesia 50 tahun yang lalu.

Pustaka Acuan

Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: UI
Press.

A.M., Ali Imron. 1993. "Revolusi Televisi: Imperialisme Budaya Masyarakat Modern".
Makalah pada Seminar Nasional tentang "Era Televisi Swasta di Indonesia" Fak. Psikologi UMS, 30 Oktober 1993.

Dewanto, Nirwan. 1991. "Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991" dalam Prisma No.
10 Tahun XX, Oktober 1991.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Moglen, Helene. 1984. "Erosion in the Humanities" dalam Jurnal Change, Vol. 16 No.
7, Oktober 1984.

Rachmat, Djalaluddin. 1992. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan
Muslim. Bandung: Mizan.

Saidi, Ridwan. 1984. Moralitas dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Soedjatmoko. 1986. "Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Masalah Pembangunan". Makalah
dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IV, Jakarta, 8-12 September 1986.
.

__________________
*) Disampaikan dalam Upacara Wisuda Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta tanggal 12 Agustus 1995 di GOR UMS.


Fajar Indah A/ 37 Ska.
15 Agustus 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar