Senin, 25 April 2011

FENOMENA GERAKAN "KARTINI" KONTEMPORER: dari Konsesi ke Profesionalisasi

Ali Imron Al-Ma’ruf

1. Prawacana
Diakui atau tidak, di balik keberhasilan gerakan dan kepemimpinan wanita di berbagai bidang kehidupan, ternyata masih tersimpan mitos wanita sebagai manusia kelas dua (the second sex) di dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya masyakat Indonesia yang masih banyak berpandangan bahwa wanita merupakan sosok manusia kelas dua, tetapi juga di berbagai negara terutama negara berkembang. Hal ini tak lepas dari pandangan sosio-kultural yang membedakan wanita dengan pria.
Secara universal, wanita memang berbeda dengan pria. Perbedaan itu tidak saja tampak dalam biologis yang terjelma dalam jenis kelamin, tetapi juga dalam hal lain yang lebih dikenal dengan gender. Wanita sering dikatakan sebagai sosok makhluk yang lembut, indah, tidak asertif, tidak agresif, dan cenderung mengalah. Sedangkan pria sering ditampilkan sebagai sosok manusia yang besar, kokoh, asertif, agresif, dan dominan.
Perbedaan pria-wanita itu membawa implikasi yang jauh dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam bidang politik, demokrasi, dan kepemimpinan. Permasalahannya kini adalah
bagaimana pola gerakan dan kepemimpinan wanita Indonesia kontemporer, dan bagaimana agar gerakan kaum wanita mampu men¬gangkat eksistensinya secara mandiri?

2. Mencari Akar Inferioritas Wanita
Meskipun terdapat banyak konsep yang baik mengenai wanita, namun dalam praktiknya hanya ada satu kenyataan hidup di masyarakat, yakni wanita berada di bawah dominasi pria. Dan, mau tak mau, keadaan ini telah berarti segalanya bagi wanita dalam sejarah kebudayaan manusia. Sejarah manusia, baik yang sakral (yang diambil dari kitab-kitab suci atau mitos) maupun yang sekular (yang disusun secara ilmiah) senantiasa menunjukkan sebagai sejarah pria. Dari perspektif sejarah, jelas pria dan wanita tidak setara.
Dikotomi pria-wanita juga tercermin dalam pengkotakan "pekerjaan pria dan pekerjaan wanita" yang lebih dikenal dengan pembagian kerja secara seksual. Jelas perbedaan pria-wanita tidak saja ditentukan faktor biologis (tampak pada jenis kelamin) melainkan juga faktor sosial budaya (tercer¬min dalam jender).
Jender memang tidak bersifat universal, tetapi hierarki gender dapat dikatakan universal. Berbagai studi lintas budaya menunjukkan, bahwa wanita selalu berada dalam posisi subordinatif. Karena subordinatif wanita tidak dapat dije¬laskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka timbullah konsep gender. Dan, sampai saat ini belum ada satu pun teori yang dianggap mampu menerangkan akar subordinasi wanita dengan memuaskan.
Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hierarki gender menurut Gailey (1987), ada empat kelompok yakni: (1) Teori adaptasi awal, yang berpandangan bahwa adaptasi awal manusia merupakan dasar pembagian kerja secara seksual, sekalighus menjadi dasar subordinasi wanita di bawah pria, (2) Teori teknik-lingkungan, yang menyatakan bahwa upaya
untuk mengontrol pertumbuhan penduduk sudah menjadi persoalan sejak zaman dulu. Subordinasi wanita dalam konteks ini berakar pada peran reproduktifnya, (3) Teori sosiobiologi, yang menjelaskan bahwa dominasi pria muncul sebagai akibat seleksi alam, dalam hal ini berkaitan dengan ketahanan tubuh, dan (4) Teori struktural, yang menyuatakan bahwa wanita mempunyai status yang lebih rendah dibanding pria, sekaligus otoritas yang lebih sedikit daripada pria. Karena, wanita berhubungan dengan arena domestik, sedangkan pria lebih terlibat dalam arena publik. Pembagian bidang kehidu¬pan menjadi arena publik dan domestik ini dianggap univer¬sal. Dasar pembagian ini adalah tanggung jawab wanita dalam proses kehamilan dan perawatan anak. Dengan demikian status relatif wanita bergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik dan partisipasi pria dalam arena publik. Teori struktural berargumentasi, bahwa subordinasi wanita itu bersifat kultural, yang berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender.
Sementara itu, seperti kebudayaan lain, kebudayaan Indonesia --terlebih Jawa-menempatkan wanita sebagai the second sex ataupun instrumen bagi pria. Hal itu tercermin dalam ungkapan-ungkapan proverbial yang sangat mengagungkan pria. Istilah Wanita: artinya wani ditata, sehingga kebanya¬kan wanita Jawa (tradisional) bersikap nerima, termasuk terhadap sikap dan perlakuan pria terhadapnya. Juga lingkup gerakan wanita dipandang berkisar ”dari dapur ke sumur, dari sumur ke kasur, dari kasur ke dapur”, dan begitu seterusnya. Ini berarti wanita dianggap sekadar menjadi pelayan pria dari memasak, menyajikannya di meja makan, hingga menemani¬nya di tempat tidur (lihat Ali Imron A.M., 1995).
Lebih ekstrem lagi adalah ungkapan yang menyatakan ”wanita itu swarga nunut neraka katut (atas pria/ suami), yang berarti kebahagiaan dan/ atau penderitaan wanita sangat bergantung pada pria/ suami. Itu semua mencerminkan betapa wanita dianggap tidak mempunyai peran dalam kehidupan. Wanita sekadar "suplemen" bagi pria, tidak memiliki eksistensi nyata dan kemandirian sama sekali.
Wanita mengalami Cinderella Complex, atau sindrom manusia kelas dua. Ironisnya wanita seakan dibenarkan masya¬rakat jika dia cukup mengharap pertolongan pria dalam meng-hadapi tantangan. Akibatnya, wanita tidak akan dapat berper¬an banyak sebagai agen perubahan sosial yang mampu menentu¬kan jalannya sejarah, bahkan menjadi manusia yang tertindas oleh sejarah. Manusia yang mampu "menyejarah" demikian memerlukan tantangan besar agar dapat berkarya besar. Dan, syarat terpenting untuk itu adalah adanya kemandirian, meski bukan berarti hidup soliter.
Cinderella Complex yang menimpa wanita kelas menengah ke atas akan menimbulkan kemandulan kreativitas. Sedangkan wanita kelas bawah, tidak cukup keberanian untuk menentang diskriminasi yang dialaminya. Karena itu, tantangan utama wanita sebelum ia menjadi agen perubahan sosial adalah kondisi psikologis dalam dirinya selain sistem patriarkis
dalam masyarakat yang sangat tidak kondusif dalam mengangkat eksistensi dan kemandirian wanita.
Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang dikenal religius dan mayoritas beragama Islam, maka ajaran Islam (Qur'an S. An-Nisa': 34): Arrijalu qawwamuna 'ala an-Nisa' yang berarti "Pria itu pemimpin bagi wanita" yang ditafsirkan secara sempit juga turut mempengaruhi pandangan masyara¬kat terhadap eksistensi wanita yang berada di bawah pria. Hal ini mudah dipahami bilamana kita memahami kultur masya¬rakat Indonesia yang religius, yang menempatkan ajaran agama sebagai landasan hukum dan tradisi kehidupannya. Hukum dan tradisi yang terformulasikan dalam pola hidup berakar pada ajaran agama, seperti tercermin dalam ungkapan yang populer di masyarakat (Minang, misalnya): Hukum basendi adat, adat basendi syara', syara' basendi Kitabullah. Artinya, ”hukum berlandaskan adat, adat berlandaskan agama, dan agama ber¬landaskan Al-Quran".
Padahal jika dicermati, mestinya kata qawwamuna itu bukan diartikan seperti lazimnya kebanyakan penafsiran orang selama ini, yakni pria sebagai pemimpin atau pengatur wani¬ta. Kata qawwamu merupakan terminologi ekonomis, dan bukan bilogis. Ia lebih diartikan sebagai pencari nafkah, bukan pemimpin (lihat pandangan Riffaat Hassan dalam Wajidi, 1995). Lebih-lebih jika dicermati ayat berikutnya, Arrijalu qawwamuna 'ala an-Nisa' bima fadh-dhalallahu ba'dhahum 'ala ba'dhin wabima anfaqu min amwalihim. Artinya, "Pria itu pemimpin bagi wanita karena Allah telah memberikan kelebihan pada yang satu dari yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari hartanya." Kalimat "Allah telah memberikan kelebihan pada satu dari yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari hartanya", kiranya jelas menunjukkan (dapat ditafsir¬kan) bahwa pria dan wanita masing-masing memiliki kelebihan dan keduanya saling melengkapi. Jadi, dalam Islam pria dan wanita tidak bersifat hierarkis atau struktural melainkan bersifat fungsional.
Pemahaman ini akan lebih tegas lagi jika kita kaitakan dengan ayat Al-Quran yang lain: Hunna libasul lahum waantum libasul lahunna. Artinya, "Mereka (wanita) itu pakaian kamu sekalian (pria), dan kamu sekalian (pria) merupakan pakaian bagi mereka (wanita).” Jelas, keduanya --pria dan wanita-- saling melengkapi dan setaraf, tidak subordinatif. Dapat pula ditambahkan betapa banyak ayat al-Quran yang menyatakan bahwa "Apabila kamu sekalian beramal shalih, baik pria maupun wanita, maka Allah akan memberikan pahala dan surga bagi mereka." Juga ayat yang menyatakan, "Yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik taqwanya".
Ada juga ayat yang menyatakan bahwa "Seorang pria tidak akan menerima hasil suatu pekerjaan kecuali atas usahanya sen¬diri, demikian pula wanita tidak akan menerima hasil suatu
pekerjaan kecuali atas usahanya". Ayat-ayat itu jelas mene¬gaskan, bahwa siapa yang lebih bertaqwa --baik pria maupun wanita-- maka itulah manusia yang paling mulia di hadapan Allah. Sekaligus ayat ini juga menyejajarkan pria dan wanita dalam kedudukan yang sama di mata Allah, hanya bobot ketaq¬waanlah yang membuat mereka berbeda. Tidak ada pembedaan pria dengan wanita.
Hal lain yang membuat pandangan kultural bahwa wanita itu sekadar pelengkap pria adalah dongeng tentang Siti Hawa yang terjelma dari tulang rusuk Adam. Cerita ini jelas bukan bersumber dari al-Quran (sebab tidak ada satu ayat pun yang menyatakan demikian), melainkan dari kitab-kitab kuna agama Kristen dan Yahudi serta Hadits-hadits --yang tentu saja masih perlu diteliti validitasnya (keshahihannya)--. Berdasarkan asumsi bahwa hanya al-Quran satu-satunya kitab yang memiliki otori¬tas sebagai sumber yang tak terbantahkan, maka jelaslah bahwa tidak satu sumber pun yang valid yang menyatakan adanya subordinasi wanita dari pria.
Dengan demikian, sebenarnya adanya pandangan atau mitos bahwa wanita itu hanya suplemen atau subordinasi dari pria selama ini merupakan "penyelewengan sejarah" tentang wanita. Karena itu, andaikata tidak ada penyelewengan sejarah itu mungkin tak perlu ada gerakan emanspasi wanita. Tegasnya, yang diperlukan kini adalah "pelurusan sejarah tentang wanita".

3. Pemberontakan Kebudayaan
Situasi kebudayaan dengan semangat subordinatif wanita demikian sangat dominan hingga pertengahan abad XX. Kondisi itu harus berakhir dengan datangnya kebudayaan modern. Ketika para kawula muda Jawa terpelajar mendirikan Budi Utomo (BU), maka yang terjadi sesungguhnya adalah pemberontakan kebudayaan. Pemberontakan itu sangat penting artinya dalam sejarah Indonesia, karena ia menjadi tonggak bangkitnya nasionalisme (Indonesia) dan sekaligus mundurnya kebu¬dayaan Jawa. Cara berpikir modern yang berbeda dengan yang diajarkan tradisi masyarakat saat itu, adalah landasan pemberontakan itu.
Fenomena yang menarik adalah bahwa sebelumnya telah terjadi pemberontakan kebudayaan serupa dengan skala lebih kecil, yang dilakukan seorang gadis yang berpikiran amat maju pada zamannya, justru dari dalam salah satu benteng kebudayaan Jawa saat itu: kamar pingitan dalem kabupaten Jepara. Pemberontakan gadis Kartini itu menjadi lebih ber¬makna karena ia mewakili kaum wanita yang menjadi manusia kedua dalam kebudayaannya. Meski tidak ada hubungan langsung antara BU dengan Kartini, keduanya melihat kebudayaan dalam perspektif baru yang sama, yang lebih banyak mengandalkan dan menghargai rasionalitas dan kemampuan pribadi manusia.
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa posisi Kartini sebagai perintis pemberontakan kebudayaan dilakukan¬nya secara committed. Boleh jadi ia kebetulan seorang wanita yang memberontak terhadap dominasi pria, namun tidak kebetu¬lan bahwa itu semua karena ia berpikiran maju dan rasional. Karena itu, tidak kebetulan pula jika Kartini menjadi femin¬is pertama, dalam arti secara sadar dan argumentatif menen¬tang "penjajahan" terhadap wanita. Secara kongkret, apa yang dilakukan Kartini mungkin tidak banyak, namun tak pelak lagi ia menjadi simbol dalam politik wanita dan demokratisasi di Indonesia.

4. Gerakan Kartini Kontemporer: Dari Konsesi ke Profesionalisasi
Tanpa bermaksud mengklaim bahwa kondisi sekarang berkat perjuangan Kartini, kedudukan wanita di Indonesia kini kurang lebih sama dengan yang dicita-citakan Kartini. Wanita Indonesia sekarang sudah merdeka secara politis dan retorik. Secara formal wanita diakui sama dengan pria, diberi kesem¬patan yang sama, dan tidak ada penolakan terhadap sesuatu (jabatan misalnya) dengan alasan seseorang adalah wanita. Merdeka secara politis, karena realitanya (pada tingkat sosiologis pria tetap mendonimasi kehidupan), jika dalam suatu persaingan wanita kalah dengan pria, hal itu karena kekalahan objektif, bukan dipolitisasi.
Sejalan dengan itu, maka yang terjadi dalam gerakan kepemimpinan wanita adalah profesionalisasi, bukan konsesi. Ketika sedikit banyak pria tergeser dalam beberapa posisi, maka yang terjadi adalah pergantian pihak yang tidak mampu oleh yang mampu. Perubahan ini telah dapat diterima karena alasan rasional, yakni tidak terjadi atas dasar asumsi ideologis, tetapi atas dasar pertimbangan daya guna yang lebih besar. Dengan kata lain, atas dasar pertimbangan profesional, dan bukan konsesi politik.
Guna lebih meningkatkan peran kepemimpinan wanita dan gerakan wanita pada umumnya, maka agaknya perlu dilakukan gerakan Kartini kotemporer. Gerakan ini tidak hanya bertu¬juan menghilangkan diskriminasi terselubung terhadap wanita Indonesia (hal ini sudah berlalu), tetapi lebih dari itu gerakan ini haruslah memberantas beberapa ideologi yang menjadi sumber dari persepsi yang mempersulit wanita Indone¬sia untuk mengembangkan diri mereka sebagai manusia mandiri, bukan suplemen kehidupan pria. Karena, kemandirian adalah kunci utama menuju eksistensi wanita setara dengan pria.
Di samping itu, agaknya perlu pula dikembangkan budaya tandingan (counter culture) untuk melawan budaya militer dan budaya konsumtif yang sedang menjadi arus utama. Bentuk dari
budaya tandingan tersebut, meminjam istilah Hafidz (1995) adalah otonomi dan karakteristik feminin. Otonomi berarti kemampuan untuk mengatakan "tidak" terhadap keinginan pihak lain yang bermaksud mendominasi atau memaksakan kekuasaan¬nya. Karakteristik feminin diartikan sebagai sifat antikekerasan, memelihara, menumbuhkan, menyayangi, intuitif, kreatif, dsb. sebagai lawan dari karakteristik maskulin (rasional, keras, merusak, menaklukkan, persaingan, mengejar keuntungan, dsb.) yang saat ini dominan.

5. Retrukturisasi Organisasi: Mereduksi Dikotomi Wanita-Pria
Dalam hal gerakan dan kepemimpinan wanita di Indonesia, tampaknya gerakan mereka masih diwarnai sikap ideologis dan dihadapi oleh pihak luar yakni pria, dengan sikap sama. Dalam konteks itulah, agaknya kemajuan kaum wanita di Indo¬nesia masih cenderung bersifat konsensional atau ideologis. Wanita masih banyak diberi karena pertimbangan politis dan ideologi, bukan karena kemampuan mereka. Konsesi pada akhir¬nya akan mengecewakan, karena tidak mengubah posisi keter¬gantungan wanita pada pria.
Contoh menarik kedudukan konsensional yang diberikan atas dasar pemikiran ideologis adalah apa yang terjadi pada organisasi IMMAWATI-anggota IMM wanita dan KOHATI-anggota HMI wanita. Begitu pun AISYIAH yang mendampingi Muhammadi¬yah dan Muslimat yang menjadi underbow Nahdhatul Ulama (NU). Hal ini mencerminkan adanya "kompleks identitas". Artinya, setelah wanita relatif bebas bergerak, gerakan wanita cenderung menunjukkan identitas dirinya sebagai organisasi wanita, sekadar untuk membedakan diri dari pria. Di satu pihak wanita dihargai dengan diberi wadah tersen¬diri, namun di lain pihak mereka sebenarnya mengurung diri sehingga tidak akan pernah sama dengan anggota pria.
Dikotomi demikian memang memberi kesempatan kepuasan psikologis, karena dengan begitu wanita dapat menunjukkan arti penting eksistensinya. Namun hal ini sekaligus mengundang bahaya yakni wanita terperangkap dalam kemasan formali¬tas atau retorika politik. Wanita dipandang setara dengan pria hanya karena telah memiliki organisasi, padahal sesung-guhnya organisasi wanita yang eksklusif justru menunjukkan ketidaksetaraan wanita dengan pria. Jika kemerdekaan wanita berhenti pada tingkat formalitas politik, maka yang terjadi adalah manipulasi, atau kemerdekaan tanpa substansi. Tegas¬nya, penonjolan identitas ini justru merupakan pengakuan inferioritas wanita di hadapan pria, karena dalam praktik sehari-hari (secara sosiologis, bukan politis) wanita masih dianggap kelas dua. Dalam keadaan demikian, wanita meminta keistimewaan dan mendapat perlindungan dari pria. Pengusaha atau sarjana wanita tidak pernah menonjolkan prestasi mereka lebih besar daripada kenyataan bahwa mereka adalah wanita.
Jika kondisi itu dipertahankan maka sangat sulit untuk menciptakan tokoh pemimpin wanita yang mampu berkompetisi dengan pemimpin pria. Karena, anggota wanita dihargai karena kewanitaannya, bukan kemampuannya. Ini jelas merupakan pembagian ayang sexist , yang memang sangat mendasar tetapi sekaligus naif karena hanya memperhatikan jenis kelamin manusia. Untuk itu, organisasi besar semacam Muhammadiyah, HMI, dan IMM yang tentunya berorientasi pada intelektual dan profesional, kiranya pembagian seksis itu perlu dikaji ulang, karena sudah tidak relevan lagi.
Kemerdekaan politis itu belum menyelesaikan segala persoalan hubungan pria-wanita. Meminjam retorika populer, maka tugas utama wanita Indonesia sekarang adalah mengisi kemerdekaan politik yang telah dicapai, dengan meningkatkan kualitas intelektual dan kemampuan, bukan lagi emansipasi. Sebab, sekali lagi emansipasi itu sudah tidak relevan lagi. Jadi, yang diperlukan sekarang adalah bagaimana kaum wanita mengejar ketertinggalannya dari pria dari berbagai aspek agar kemerdekaan politik yang telah dicapai itu dapat benar-benar menjadi realitas, bukan sekedar mitos.
Sesungguhnya kini telah berlaku suatu kompromi antara pria-wanita. Kompromi itu menampung kepentingan mereka bersama --dan ini sulit untuk dibantah-- yang dalam bahasa kebudayaan yakni untuk mencapai kebahagiaan. Untuk itulah wanita harus membuat kesepakatan dan transaksi dengan pria.
Transaksi ini harus terjadi, karena feminisme radikal yang menjauhkan wanita dari pria tidak (atau belum) dapat diteri¬ma di Indonesia. Karena itu, wanita harus maju bersama dengan pria yang --mau tak mau-- dominan. Wanita sebagai pendamping pria inilah yang kemudian oleh pemerintah dijadi¬kan "Ideologi nasional resmi" untuk menangani politik wani¬ta. Munculnya Menteri Negara Urusan Peranan Wanita mudah dipahami dari kacamata ini.

6. Kepemimpinan Wanita, Prospek dan Tantangannya
Pada masa Orde Baru kepemimpinan wanita dengan segala organisasi dan gerakannya, justru dianggap kehilangan peran dan signifikansinya dalam pergulatan menentukan arah trans-formasi sosial budaya yang tengah berlangsung dalam masyara¬kat kita. Selain kondisi politik masa Orde Baru yang cende¬rung menghindari daya kritis dan inovatif mereka, secara internal kepemimpinan wanita juga mengalami masalah. Pada organisasi-organisasi tua dan aktivisnya, perasaan telah menyelesaikan tugas akhirnya menjadikan mereka merasa sudah waktunya pensiun. Jika organisasinya tidak bubar dan masih melakukan berbagai aktivitas, pada intinya perhatian mereka banyak terfokus pada romantisme masa lalu dengan mengelus dan mengagumi keberhasilan perjuangannya. Mereka sibuk membongkar pasang pasal-pasal hak kewanitaan dalam perkawi¬nan, kegiatan khas kewanitaan, seolah-olah zaman tidak bergerak dan permasalahan yang dihadapi kepemimpinan wanita masih sama dengan abad XIX atau sebelumnya.
Masyarakat kita sekarang sedang mengalami suatu proses perubahan yang sangat cepat menuju masyarakat industri. Proses itu telah memunculkan modal besar sebagai kekuatan baru, di samping birokrasi dan militer. Ketiga kekuatandominan itulah, yang dengan uang, kekuasaan, dan kekuatan, saat ini menentukan hampir segala aspek kehidupan dalam masyarakat. Kecenderungan utama masyarakat industri adalah komoditasi, termasuk komoditasi manusia. Dengan bantuan teknologi yang maju pesat, kekuatan-kekuatan dominan telah menjadi mayoritas masyarakat sebagai komoditi yang lemah posisinya dan konsumen yang pasif.
Mayoritas wanita, karena kondisi dan kapasitasnya yang cenderung lebih tertinggal dibanding pria dalam banyak faktor penting, telah menjadi pihak yang paling rentan sebagai komoditi. Masalah TKW, buruh wanita di sektor industri, dan para pekerja seks di industri pariwisata, adalah wajah bopeng dari permasalahan wanita dewasa ini. Dalam peran sebagai konsumen, wanita juga menduduki posisi penting sebagai objek utama. Iklan-iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik adalah contoh yang tidak berlebihan dalam konteks ini.

7. Purna Wacana
Mengakhiri pembicaraan ini, perlu dikemukakan bahwa pada dasarnya fenomena gerakan wanita Indonesia kini mengalami pergeseran. Gerakan wanita kontemporer menunjukkan perubahan yakni dari konsesi (dulu) ke profesionalisasi (kini). Hanya permasalahannya, seberapa jauh wanita mampu memanfaatkan peluang itu dengan memiliki kemampuan untuk berkompetisi dengan pria. Jika ternyata wanita kalah bersa¬ing sehingga posisi kepemimpinan diduduki pria, maka bukan berarti kepemimpinan wanita belum diakui, melainkan tak lebih dari kemampuannya yang masih kalah dengan pria.
Kemandirian wanita, baik dalam sikap maupun dalam memenuhi kebutuhan sendiri, merupakan modal paling penting dalam mewujudkan gersakan dan kepemimpinan wanita Indonesia yang prospektif. Untuk itu, mau tak mau wanita harus mampu berkompetisi dengan pria dengan meningkatkan kualitas diri baik dalam intelektual, organisasi, kepemimpinan maupun kemampuan lain, jika tak ingin wanita dianggap kelas dua. Karena, pada gilirannnya, --dan kini sudah tampak-- kepemim¬pian wanita tidak lagi konsensional atau bersifat politis melainkan profesional. Untuk itu, agaknya sudah saatnya dilakukan reformasi dan restrukturisasi pada organisasi-organisasi sema¬cam Muhammadiyah, HMI, IMM, NU, dan sebagainya yang masih --langsung atau tidak langsung-- membuat dikotomi pria-wanita. Akan lebih baik jika tidak ada Aisyiah, KOHATI, atau IMMAWATI. Sebab dengan demikian tokoh pemimpin wanita akan berkompetisi dengan pria dalam satu organisasi dan akan dapat membuktikan dirinya mampu menjadi mitra pria, bukan lagi sekadar suplemen pria. Atau, wanita bukan sekadar sebagai pelengkap penderita? Bagaimana para Kartini muda?

Daftar Pustaka

A.M., Ali Imron. 1995. "Signifikansi Ilmu-ilmu Humaniora dalam Pembangunan Bangsa:
Perspektif 50 Tahun Indonesia Merdeka". Orasi Ilmiah dalam Upacara Wisuda Sarjana Univ. Muhammadiyah Surakarta, tanggal 12 Agustus 1995.

Gailey, Christine Ward. 1987. "Evolutionary Perspectives on Gender Jierarchy" dalam Beth B.
Hess dan Myra Marx Ferree, eds. Analyzing Gender, a Handbook of Social Science
Research. Sage Publications, Inc.
Hafidz, Wardah. 1995. "Sumbangan Gerakan Perempuan dalam Proses Demokratisasi Masyarakat
Indonesia" dalam Fauzi Ridjal dkk. (Ed.). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Hatta.

Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.

Fajar Indah (A/37) Ska.
03 April 2007
ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar