Ali Imron Al-Ma’ruf
 
1. Prawacana
Diakui  atau tidak, di balik keberhasilan  gerakan  dan kepemimpinan  wanita di berbagai bidang kehidupan,  ternyata masih tersimpan mitos wanita sebagai manusia kelas dua  (the second  sex)  di  dalam kehidupan  masyarakat.  Tidak  hanya masyakat  Indonesia  yang masih  banyak  berpandangan  bahwa wanita  merupakan  sosok manusia kelas dua, tetapi  juga  di berbagai  negara  terutama negara berkembang.  Hal  ini  tak lepas  dari pandangan sosio-kultural yang membedakan  wanita dengan pria. 
  Secara  universal, wanita memang berbeda  dengan  pria. Perbedaan itu tidak saja tampak dalam biologis yang terjelma dalam  jenis kelamin, tetapi juga dalam hal lain yang  lebih dikenal dengan gender. Wanita sering dikatakan sebagai sosok makhluk  yang lembut, indah, tidak asertif,  tidak  agresif, dan  cenderung mengalah. Sedangkan pria  sering  ditampilkan sebagai  sosok manusia yang besar, kokoh, asertif,  agresif, dan dominan. 
  Perbedaan  pria-wanita itu membawa implikasi yang  jauh dalam  kehidupan  sosial.  Termasuk  dalam  bidang  politik, demokrasi,  dan  kepemimpinan. Permasalahannya  kini  adalah 
bagaimana  pola  gerakan dan kepemimpinan  wanita  Indonesia kontemporer,  dan bagaimana agar gerakan kaum wanita  mampu  men¬gangkat eksistensinya secara mandiri?
2. Mencari Akar Inferioritas Wanita
Meskipun  terdapat  banyak konsep  yang  baik  mengenai wanita,  namun  dalam praktiknya hanya ada  satu  kenyataan hidup di masyarakat, yakni  wanita  berada di bawah dominasi pria. Dan,  mau  tak mau,  keadaan ini telah berarti segalanya bagi wanita  dalam sejarah  kebudayaan  manusia.  Sejarah  manusia,  baik  yang sakral  (yang  diambil  dari kitab-kitab  suci  atau  mitos) maupun yang sekular (yang disusun secara ilmiah)  senantiasa menunjukkan  sebagai sejarah pria. Dari perspektif  sejarah, jelas pria dan wanita tidak setara.
  Dikotomi  pria-wanita juga tercermin dalam  pengkotakan "pekerjaan  pria  dan pekerjaan wanita" yang  lebih  dikenal dengan pembagian kerja secara seksual. Jelas perbedaan pria-wanita  tidak saja ditentukan faktor biologis  (tampak  pada jenis kelamin) melainkan juga faktor sosial budaya  (tercer¬min dalam jender).    
  Jender memang tidak bersifat universal, tetapi hierarki gender  dapat  dikatakan universal.  Berbagai  studi  lintas budaya menunjukkan, bahwa wanita selalu berada dalam  posisi subordinatif.  Karena subordinatif wanita tidak dapat  dije¬laskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka timbullah konsep gender.  Dan, sampai saat ini belum ada satu pun teori  yang dianggap  mampu menerangkan akar subordinasi  wanita  dengan memuaskan. 
  Teori  yang  dikembangkan  untuk  menjelaskan  hierarki gender menurut Gailey (1987), ada empat kelompok yakni:  (1) Teori  adaptasi awal, yang berpandangan bahwa adaptasi  awal manusia  merupakan  dasar pembagian  kerja  secara  seksual, sekalighus  menjadi dasar subordinasi wanita di bawah  pria, (2)  Teori  teknik-lingkungan, yang menyatakan  bahwa  upaya 
untuk mengontrol pertumbuhan penduduk sudah menjadi persoalan  sejak zaman dulu. Subordinasi wanita dalam  konteks  ini berakar  pada peran reproduktifnya, (3) Teori  sosiobiologi, yang  menjelaskan bahwa dominasi pria muncul sebagai  akibat seleksi  alam,  dalam  hal ini  berkaitan  dengan  ketahanan tubuh,  dan  (4) Teori struktural, yang  menyuatakan   bahwa wanita  mempunyai status yang lebih rendah  dibanding  pria, sekaligus otoritas yang lebih sedikit daripada pria. Karena, wanita  berhubungan  dengan arena domestik,  sedangkan  pria lebih terlibat dalam arena publik. Pembagian bidang  kehidu¬pan  menjadi arena publik dan domestik ini dianggap  univer¬sal. Dasar pembagian ini adalah tanggung jawab wanita  dalam proses kehamilan dan perawatan anak. Dengan demikian  status relatif  wanita bergantung pada derajat keterlibatan  mereka dalam arena publik dan partisipasi pria dalam arena  publik. Teori  struktural berargumentasi, bahwa  subordinasi  wanita itu  bersifat  kultural, yang berakar pada  pembagian  kerja berdasarkan gender.
  Sementara  itu,  seperti  kebudayaan  lain,  kebudayaan Indonesia  --terlebih Jawa-menempatkan wanita sebagai  the second  sex ataupun instrumen bagi pria. Hal  itu  tercermin dalam ungkapan-ungkapan proverbial yang sangat  mengagungkan pria. Istilah Wanita: artinya wani ditata, sehingga kebanya¬kan  wanita  Jawa (tradisional)  bersikap nerima,  termasuk terhadap sikap dan perlakuan pria terhadapnya. Juga  lingkup gerakan wanita dipandang berkisar ”dari dapur ke sumur,  dari sumur ke kasur, dari kasur ke dapur”, dan begitu  seterusnya. Ini  berarti  wanita dianggap sekadar menjadi  pelayan  pria dari memasak, menyajikannya di meja makan, hingga  menemani¬nya  di  tempat tidur  (lihat Ali Imron A.M.,  1995).  
  Lebih ekstrem  lagi  adalah ungkapan yang  menyatakan  ”wanita  itu swarga  nunut neraka katut (atas pria/ suami), yang  berarti kebahagiaan  dan/ atau penderitaan wanita sangat  bergantung pada  pria/  suami.  Itu semua  mencerminkan  betapa  wanita dianggap  tidak  mempunyai  peran  dalam  kehidupan.  Wanita sekadar  "suplemen"  bagi pria,  tidak  memiliki  eksistensi nyata dan kemandirian sama sekali.
  Wanita  mengalami  Cinderella  Complex,  atau   sindrom manusia kelas dua. Ironisnya wanita seakan dibenarkan masya¬rakat jika dia cukup mengharap pertolongan pria dalam  meng-hadapi tantangan. Akibatnya, wanita tidak akan dapat berper¬an banyak sebagai agen perubahan sosial yang mampu  menentu¬kan jalannya sejarah, bahkan menjadi manusia yang  tertindas oleh  sejarah.  Manusia  yang  mampu  "menyejarah"  demikian memerlukan  tantangan besar agar dapat berkarya besar.  Dan, syarat terpenting untuk itu adalah adanya kemandirian, meski bukan berarti hidup soliter.
  Cinderella  Complex yang menimpa wanita kelas  menengah ke  atas akan menimbulkan kemandulan kreativitas.  Sedangkan wanita  kelas bawah, tidak cukup keberanian untuk  menentang diskriminasi  yang dialaminya. Karena itu,  tantangan  utama wanita  sebelum  ia  menjadi agen  perubahan  sosial  adalah kondisi  psikologis dalam dirinya selain  sistem  patriarkis 
dalam masyarakat yang sangat tidak kondusif dalam mengangkat eksistensi dan kemandirian wanita.   
  Dalam  kebudayaan  masyarakat  Indonesia  yang  dikenal religius  dan  mayoritas beragama Islam, maka  ajaran  Islam (Qur'an  S. An-Nisa': 34): Arrijalu qawwamuna 'ala  an-Nisa' yang berarti "Pria itu pemimpin bagi wanita" yang  ditafsirkan secara sempit juga turut mempengaruhi pandangan masyara¬kat  terhadap eksistensi wanita yang berada di  bawah  pria. Hal ini mudah dipahami bilamana kita memahami kultur  masya¬rakat Indonesia yang religius, yang menempatkan ajaran agama sebagai  landasan hukum dan tradisi kehidupannya. Hukum  dan tradisi  yang terformulasikan dalam pola hidup berakar  pada ajaran agama, seperti tercermin dalam ungkapan yang  populer di  masyarakat (Minang, misalnya): Hukum basendi adat,  adat basendi  syara', syara' basendi Kitabullah.  Artinya,  ”hukum berlandaskan  adat, adat berlandaskan agama, dan agama  ber¬landaskan Al-Quran".
  Padahal  jika  dicermati, mestinya kata  qawwamuna  itu bukan diartikan seperti lazimnya kebanyakan penafsiran orang selama ini, yakni pria sebagai pemimpin atau pengatur  wani¬ta. Kata qawwamu merupakan terminologi ekonomis, dan bukan bilogis. Ia  lebih diartikan sebagai pencari nafkah,  bukan  pemimpin (lihat pandangan Riffaat Hassan dalam Wajidi, 1995).  Lebih-lebih  jika  dicermati ayat berikutnya,  Arrijalu  qawwamuna 'ala  an-Nisa' bima fadh-dhalallahu ba'dhahum  'ala  ba'dhin wabima  anfaqu  min amwalihim. Artinya, "Pria  itu  pemimpin bagi  wanita  karena Allah telah memberikan  kelebihan  pada yang  satu dari yang lain, dan karena mereka memberi  nafkah dari  hartanya." Kalimat "Allah telah  memberikan  kelebihan pada  satu dari yang lain, dan karena mereka memberi  nafkah dari  hartanya", kiranya jelas menunjukkan (dapat  ditafsir¬kan) bahwa pria dan wanita masing-masing memiliki  kelebihan dan  keduanya saling melengkapi. Jadi, dalam Islam pria  dan wanita  tidak bersifat hierarkis atau  struktural  melainkan bersifat fungsional. 
  Pemahaman ini akan lebih tegas lagi jika kita  kaitakan dengan ayat Al-Quran yang lain: Hunna libasul lahum  waantum libasul lahunna. Artinya, "Mereka (wanita) itu pakaian  kamu sekalian (pria), dan kamu sekalian (pria) merupakan  pakaian bagi  mereka (wanita).” Jelas, keduanya --pria  dan  wanita-- saling  melengkapi  dan setaraf, tidak  subordinatif.  Dapat pula ditambahkan betapa banyak ayat al-Quran yang menyatakan bahwa  "Apabila  kamu  sekalian beramal  shalih,  baik  pria maupun  wanita, maka Allah akan memberikan pahala dan  surga bagi  mereka." Juga ayat yang menyatakan, "Yang paling  baik di  antara kamu sekalian adalah yang paling baik  taqwanya". 
  Ada juga ayat yang menyatakan bahwa "Seorang pria tidak akan menerima  hasil suatu pekerjaan kecuali atas  usahanya  sen¬diri,  demikian pula wanita tidak akan menerima hasil  suatu 
pekerjaan kecuali atas usahanya". Ayat-ayat itu jelas  mene¬gaskan,  bahwa siapa yang lebih bertaqwa --baik pria  maupun wanita--  maka itulah manusia yang paling mulia  di  hadapan Allah. Sekaligus ayat ini juga menyejajarkan pria dan wanita dalam kedudukan yang sama di mata Allah, hanya bobot  ketaq¬waanlah  yang  membuat mereka berbeda. Tidak  ada  pembedaan pria dengan wanita.
  Hal  lain yang membuat pandangan kultural bahwa  wanita itu sekadar pelengkap pria adalah dongeng tentang Siti  Hawa yang terjelma dari tulang rusuk Adam. Cerita ini jelas bukan bersumber dari al-Quran (sebab tidak ada satu ayat pun  yang menyatakan demikian), melainkan dari kitab-kitab kuna  agama Kristen dan Yahudi serta Hadits-hadits --yang tentu saja masih perlu diteliti validitasnya (keshahihannya)--. Berdasarkan  asumsi bahwa hanya al-Quran satu-satunya kitab yang memiliki otori¬tas  sebagai  sumber yang tak  terbantahkan,  maka  jelaslah bahwa  tidak satu  sumber pun yang  valid  yang  menyatakan adanya subordinasi wanita dari pria.
  Dengan demikian, sebenarnya adanya pandangan atau mitos bahwa  wanita itu hanya suplemen atau subordinasi dari  pria selama ini merupakan "penyelewengan sejarah" tentang wanita. Karena  itu, andaikata tidak ada penyelewengan  sejarah  itu mungkin  tak perlu ada gerakan emanspasi  wanita.  Tegasnya, yang  diperlukan  kini  adalah  "pelurusan  sejarah  tentang wanita". 
3. Pemberontakan Kebudayaan
  Situasi kebudayaan dengan semangat subordinatif  wanita demikian sangat dominan hingga pertengahan abad XX.  Kondisi itu  harus  berakhir  dengan  datangnya  kebudayaan  modern. Ketika  para  kawula muda Jawa  terpelajar  mendirikan  Budi Utomo (BU), maka yang terjadi sesungguhnya adalah  pemberontakan  kebudayaan. Pemberontakan itu sangat penting  artinya dalam sejarah Indonesia, karena ia menjadi tonggak  bangkitnya  nasionalisme (Indonesia) dan sekaligus mundurnya  kebu¬dayaan  Jawa. Cara berpikir modern yang berbeda dengan  yang diajarkan  tradisi  masyarakat  saat  itu,  adalah  landasan pemberontakan itu.
  Fenomena  yang  menarik adalah bahwa  sebelumnya  telah terjadi  pemberontakan kebudayaan serupa dengan skala  lebih kecil,  yang  dilakukan seorang gadis yang  berpikiran  amat maju  pada  zamannya, justru dari dalam salah  satu  benteng kebudayaan  Jawa  saat itu: kamar pingitan  dalem  kabupaten Jepara.  Pemberontakan gadis Kartini itu menjadi lebih  ber¬makna  karena ia mewakili kaum wanita yang  menjadi  manusia kedua dalam kebudayaannya. Meski tidak ada hubungan langsung antara BU dengan Kartini, keduanya melihat kebudayaan  dalam perspektif  baru yang sama, yang lebih  banyak  mengandalkan dan menghargai rasionalitas dan kemampuan pribadi manusia.
  Hal  yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa  posisi Kartini sebagai perintis pemberontakan kebudayaan dilakukan¬nya secara committed. Boleh jadi ia kebetulan seorang wanita yang memberontak terhadap dominasi pria, namun tidak kebetu¬lan bahwa itu semua karena ia berpikiran maju dan  rasional. Karena itu, tidak kebetulan pula jika Kartini menjadi femin¬is pertama, dalam arti secara sadar dan argumentatif  menen¬tang "penjajahan" terhadap wanita. Secara kongkret, apa yang dilakukan Kartini mungkin tidak banyak, namun tak pelak lagi ia menjadi simbol dalam politik wanita dan demokratisasi  di Indonesia.
4. Gerakan Kartini Kontemporer: Dari Konsesi ke Profesionalisasi
  Tanpa bermaksud mengklaim bahwa kondisi sekarang berkat perjuangan  Kartini,  kedudukan  wanita  di  Indonesia  kini kurang lebih sama dengan yang dicita-citakan Kartini. Wanita Indonesia sekarang sudah merdeka secara politis dan retorik. Secara formal wanita diakui sama dengan pria, diberi  kesem¬patan  yang sama, dan tidak ada penolakan  terhadap  sesuatu (jabatan  misalnya) dengan alasan seseorang  adalah  wanita. Merdeka  secara  politis, karena  realitanya  (pada  tingkat sosiologis  pria  tetap mendonimasi kehidupan),  jika  dalam suatu  persaingan wanita kalah dengan pria, hal  itu  karena kekalahan objektif, bukan dipolitisasi. 
  Sejalan  dengan  itu, maka yang terjadi  dalam  gerakan kepemimpinan wanita adalah profesionalisasi, bukan  konsesi. Ketika  sedikit banyak pria tergeser dalam beberapa  posisi, maka  yang terjadi adalah pergantian pihak yang tidak  mampu oleh  yang mampu. Perubahan ini telah dapat diterima  karena alasan  rasional,  yakni  tidak terjadi  atas  dasar  asumsi ideologis,  tetapi  atas dasar pertimbangan daya  guna  yang lebih  besar.  Dengan  kata lain,  atas  dasar  pertimbangan profesional, dan bukan konsesi politik.
  Guna  lebih meningkatkan peran kepemimpinan wanita  dan gerakan  wanita pada umumnya, maka agaknya  perlu  dilakukan gerakan  Kartini kotemporer. Gerakan ini tidak hanya bertu¬juan menghilangkan diskriminasi terselubung terhadap  wanita Indonesia  (hal  ini sudah berlalu), tetapi lebih  dari  itu gerakan  ini  haruslah memberantas  beberapa  ideologi  yang menjadi sumber dari persepsi yang mempersulit wanita Indone¬sia untuk mengembangkan diri mereka sebagai manusia mandiri, bukan  suplemen kehidupan pria. Karena,  kemandirian  adalah kunci utama menuju eksistensi wanita setara dengan pria. 
  Di samping itu, agaknya perlu pula dikembangkan  budaya tandingan (counter culture) untuk melawan budaya militer dan budaya konsumtif yang sedang menjadi arus utama. Bentuk dari 
budaya  tandingan tersebut, meminjam istilah  Hafidz  (1995) adalah  otonomi dan karakteristik feminin.  Otonomi  berarti kemampuan untuk mengatakan "tidak" terhadap keinginan  pihak lain  yang bermaksud mendominasi atau memaksakan  kekuasaan¬nya.  Karakteristik  feminin diartikan  sebagai  sifat  antikekerasan,  memelihara, menumbuhkan,  menyayangi,  intuitif, kreatif,  dsb.  sebagai lawan  dari  karakteristik  maskulin (rasional, keras, merusak, menaklukkan, persaingan, mengejar keuntungan, dsb.) yang saat ini dominan.
5. Retrukturisasi Organisasi: Mereduksi Dikotomi Wanita-Pria 
  Dalam hal gerakan dan kepemimpinan wanita di Indonesia, tampaknya gerakan mereka masih diwarnai sikap ideologis  dan dihadapi  oleh  pihak luar yakni pria,  dengan  sikap  sama. Dalam konteks itulah, agaknya kemajuan kaum wanita di  Indo¬nesia masih cenderung bersifat konsensional atau  ideologis. Wanita  masih banyak diberi karena pertimbangan politis  dan ideologi, bukan karena kemampuan mereka. Konsesi pada akhir¬nya  akan mengecewakan, karena tidak mengubah posisi  keter¬gantungan wanita pada pria.
  Contoh  menarik kedudukan konsensional  yang  diberikan atas dasar pemikiran ideologis adalah apa yang terjadi  pada organisasi  IMMAWATI-anggota IMM wanita  dan  KOHATI-anggota HMI  wanita. Begitu pun AISYIAH yang mendampingi  Muhammadi¬yah dan Muslimat yang menjadi underbow Nahdhatul Ulama (NU).  Hal  ini  mencerminkan  adanya  "kompleks identitas". Artinya,  setelah  wanita relatif  bebas  bergerak,  gerakan wanita  cenderung menunjukkan  identitas  dirinya   sebagai organisasi wanita, sekadar untuk membedakan diri dari pria. Di  satu pihak wanita dihargai dengan diberi  wadah  tersen¬diri,  namun di lain pihak mereka sebenarnya mengurung  diri  sehingga tidak akan pernah sama dengan anggota pria. 
  Dikotomi demikian memang memberi kesempatan  kepuasan psikologis,  karena dengan begitu wanita  dapat  menunjukkan arti penting eksistensinya. Namun hal ini sekaligus  mengundang bahaya yakni wanita terperangkap dalam kemasan formali¬tas  atau retorika politik. Wanita dipandang  setara  dengan pria hanya karena telah memiliki organisasi, padahal sesung-guhnya  organisasi wanita yang eksklusif justru  menunjukkan ketidaksetaraan wanita dengan pria. Jika kemerdekaan  wanita berhenti pada tingkat formalitas politik, maka yang  terjadi adalah manipulasi, atau kemerdekaan tanpa substansi.  Tegas¬nya,  penonjolan  identitas ini justru  merupakan  pengakuan inferioritas  wanita di hadapan pria, karena  dalam  praktik sehari-hari (secara sosiologis, bukan politis) wanita  masih dianggap  kelas dua. Dalam keadaan demikian, wanita  meminta keistimewaan dan mendapat perlindungan dari pria.  Pengusaha atau sarjana wanita tidak pernah menonjolkan prestasi mereka lebih besar daripada kenyataan bahwa mereka adalah wanita.   
  Jika kondisi itu dipertahankan maka sangat sulit  untuk menciptakan  tokoh pemimpin wanita yang  mampu  berkompetisi dengan pemimpin pria. Karena, anggota wanita dihargai karena kewanitaannya,  bukan  kemampuannya.  Ini  jelas   merupakan pembagian  ayang  sexist , yang memang sangat mendasar  tetapi sekaligus  naif  karena hanya  memperhatikan  jenis  kelamin manusia.  Untuk itu, organisasi besar semacam  Muhammadiyah, HMI, dan IMM yang tentunya berorientasi pada intelektual dan profesional,  kiranya  pembagian  seksis  itu  perlu  dikaji ulang, karena sudah tidak relevan lagi.
  Kemerdekaan  politis  itu  belum  menyelesaikan  segala persoalan  hubungan pria-wanita. Meminjam retorika  populer, maka  tugas utama wanita Indonesia sekarang  adalah  mengisi kemerdekaan politik yang telah dicapai, dengan  meningkatkan kualitas  intelektual dan kemampuan, bukan lagi  emansipasi. Sebab, sekali lagi emansipasi itu sudah tidak relevan  lagi. Jadi, yang diperlukan sekarang adalah bagaimana kaum  wanita mengejar  ketertinggalannya  dari pria dari  berbagai  aspek agar kemerdekaan politik yang telah dicapai itu dapat benar-benar menjadi realitas, bukan sekedar mitos.  
  Sesungguhnya  kini telah berlaku suatu kompromi  antara pria-wanita.  Kompromi  itu  menampung  kepentingan   mereka bersama  --dan ini sulit untuk dibantah-- yang dalam  bahasa kebudayaan  yakni untuk mencapai kebahagiaan.  Untuk  itulah wanita harus membuat kesepakatan dan transaksi dengan  pria. 
  Transaksi  ini harus terjadi, karena feminisme radikal  yang menjauhkan wanita dari pria tidak (atau belum) dapat diteri¬ma  di  Indonesia.  Karena itu, wanita  harus  maju  bersama dengan  pria  yang --mau tak mau-- dominan.  Wanita  sebagai pendamping pria inilah yang kemudian oleh pemerintah dijadi¬kan "Ideologi nasional resmi" untuk menangani politik  wani¬ta.  Munculnya  Menteri Negara Urusan Peranan  Wanita  mudah dipahami dari kacamata ini.
6. Kepemimpinan Wanita, Prospek dan Tantangannya
  Pada  masa Orde Baru kepemimpinan wanita dengan  segala organisasi dan gerakannya, justru dianggap kehilangan  peran dan signifikansinya dalam pergulatan menentukan arah  trans-formasi sosial budaya yang tengah berlangsung dalam masyara¬kat kita. Selain kondisi politik masa Orde Baru yang  cende¬rung  menghindari  daya kritis dan inovatif  mereka,  secara internal  kepemimpinan wanita juga mengalami  masalah.  Pada organisasi-organisasi  tua  dan aktivisnya,  perasaan  telah menyelesaikan tugas akhirnya menjadikan mereka merasa  sudah waktunya  pensiun. Jika organisasinya tidak bubar dan  masih melakukan berbagai aktivitas, pada intinya perhatian  mereka banyak  terfokus pada romantisme masa lalu  dengan  mengelus dan  mengagumi  keberhasilan  perjuangannya.  Mereka   sibuk membongkar pasang pasal-pasal hak kewanitaan dalam  perkawi¬nan,  kegiatan  khas  kewanitaan,  seolah-olah  zaman  tidak bergerak dan permasalahan yang dihadapi kepemimpinan  wanita masih sama dengan abad XIX atau sebelumnya.
  Masyarakat kita sekarang sedang mengalami suatu  proses perubahan  yang  sangat cepat menuju  masyarakat  industri. Proses  itu telah memunculkan modal besar  sebagai  kekuatan baru, di  samping birokrasi dan  militer.  Ketiga  kekuatandominan  itulah, yang dengan uang, kekuasaan, dan  kekuatan, saat  ini  menentukan hampir segala  aspek  kehidupan  dalam masyarakat. Kecenderungan utama masyarakat industri  adalah komoditasi,  termasuk  komoditasi  manusia. Dengan  bantuan teknologi  yang maju pesat, kekuatan-kekuatan dominan  telah menjadi  mayoritas masyarakat sebagai komoditi  yang  lemah posisinya dan konsumen yang pasif. 
  Mayoritas wanita, karena kondisi  dan  kapasitasnya yang cenderung  lebih  tertinggal dibanding  pria dalam banyak faktor penting,  telah  menjadi pihak  yang  paling rentan sebagai komoditi.  Masalah  TKW, buruh  wanita di sektor industri, dan para pekerja  seks  di industri pariwisata, adalah wajah bopeng dari  permasalahan wanita dewasa ini. Dalam peran sebagai konsumen, wanita juga menduduki posisi penting sebagai objek utama. Iklan-iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik adalah contoh yang tidak berlebihan dalam konteks ini.
7. Purna Wacana
  Mengakhiri  pembicaraan  ini, perlu  dikemukakan  bahwa pada dasarnya fenomena gerakan wanita Indonesia kini  mengalami  pergeseran.  Gerakan  wanita  kontemporer  menunjukkan perubahan  yakni  dari konsesi  (dulu)  ke  profesionalisasi (kini).  Hanya permasalahannya, seberapa jauh  wanita  mampu memanfaatkan  peluang  itu dengan memiliki  kemampuan  untuk berkompetisi dengan pria. Jika ternyata wanita kalah  bersa¬ing  sehingga posisi kepemimpinan diduduki pria, maka  bukan berarti  kepemimpinan  wanita belum  diakui,  melainkan  tak lebih dari kemampuannya yang masih kalah dengan pria. 
  Kemandirian  wanita,  baik  dalam  sikap  maupun  dalam memenuhi  kebutuhan sendiri, merupakan modal paling  penting dalam mewujudkan gersakan dan kepemimpinan wanita  Indonesia yang  prospektif. Untuk itu, mau tak mau wanita harus  mampu berkompetisi  dengan pria dengan meningkatkan kualitas  diri baik  dalam  intelektual,  organisasi,  kepemimpinan  maupun kemampuan  lain, jika tak ingin wanita dianggap  kelas  dua. Karena, pada gilirannnya, --dan kini sudah tampak-- kepemim¬pian  wanita tidak lagi konsensional atau  bersifat  politis melainkan profesional.    Untuk itu, agaknya sudah saatnya dilakukan reformasi dan restrukturisasi pada organisasi-organisasi  sema¬cam  Muhammadiyah,  HMI,  IMM,  NU, dan  sebagainya  yang  masih --langsung  atau  tidak langsung--  membuat  dikotomi  pria-wanita. Akan lebih baik jika tidak ada Aisyiah, KOHATI, atau IMMAWATI.  Sebab dengan demikian tokoh pemimpin wanita  akan berkompetisi  dengan  pria dalam satu  organisasi  dan  akan dapat  membuktikan dirinya mampu menjadi mitra  pria,  bukan lagi  sekadar  suplemen  pria. Atau,  wanita  bukan  sekadar sebagai pelengkap penderita? Bagaimana para Kartini muda? 
Daftar Pustaka
A.M., Ali Imron. 1995. "Signifikansi Ilmu-ilmu Humaniora dalam Pembangunan Bangsa: 
Perspektif 50 Tahun Indonesia Merdeka". Orasi Ilmiah dalam Upacara Wisuda Sarjana Univ. Muhammadiyah Surakarta, tanggal 12 Agustus 1995.
Gailey, Christine Ward. 1987. "Evolutionary Perspectives on Gender Jierarchy" dalam Beth B. 
  Hess dan Myra Marx Ferree, eds. Analyzing Gender, a Handbook of Social Science 
Research. Sage Publications, Inc. 
Hafidz, Wardah. 1995. "Sumbangan Gerakan Perempuan dalam Proses Demokratisasi Masyarakat 
Indonesia" dalam Fauzi Ridjal dkk. (Ed.). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Hatta.
Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.
                                            Fajar Indah (A/37) Ska.
                                                      03 April 2007
ooOoo
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar