Minggu, 24 April 2011

DEKONSTRUKSI CITRA KEPEREMPUANAN DALAM SASTRA: DARI BUDAYA LOKAL HINGGA GLOBAL

DEKONSTRUKSI CITRA KEPEREMPUANAN DALAM SASTRA:
DARI BUDAYA LOKAL HINGGA GLOBAL
Oleh Ali Imron A-Ma’ruf
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP& Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Abstrak
Sosok perempuan dalam karya sastra Indonesia tampil dengan pluralitas budaya dan makna yang kaya nuansa, sejalan dengan mencuatnya issu jender dan makin eksisnya kaum perempuan. Dengan pendekatan kritik sastra feminis ideologis, ditemukan bahwa masalah jender telah disoroti para sastrawan kita, sejak zaman Balai Pustaka (1920-an) dan memuncak pada akhir abad XX lewat Saman (Ayu Utami, 1998).
Berdasarkan analisis literer dapat dikemukakan, bahwa citra keperempuanan dalam sastra Indonesia dapat diklasifikasi menjadi empat: (1) Ingin merombak sistem hubungan laki-laki dan perempuan agar harmonis dan bebas dalam menentukan pilihan hati seperti dalam Sitti Nurbaya pada masa Balai Pustaka; (2) Memprotes ketidakadilan jender dan menuntut kebebasan dalam melakukan aktivitas di sektor publik yang diwakili Layar Terkembang dan Belenggu pada masa Pujangga Baru; (3) Menggugat ketidakadilan jender dalam budaya lokal (Jawa) yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, yang diwakili Sri Sumarah, Pengakuan Pariyem, dan Ronggeng Dukuh Paruk pada dekade 1970 hingga 1980-an; dan (4) Suara keperempuanan global yang mendekonstruksi kemudian merekonstruksi nilai-nilai tradisi dunia perempuan, yang disuarakan antara lain oleh kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia dan Saman pada akhir abad XX.

Kata kunci: Dekonstruksi, sastra feminis, citra keperempuanan, budaya lokal dan global.

1. Pendahuluan
Kajian perempuan di bidang sastra akhir-akhir ini mulai mengemuka, seiring dengan semakin mencuatnya issu jender. Hal ini dapat dipahami sejalan dengan makin maraknya studi tentang perempuan di berbagai kalangan. Terlebih pada institusi perguruan tinggi, kajian perempuan demikian kuat terbukti dengan berdirinya berbagai Pusat Studi Wanita (PSW) yang kini lebih populer dengan Pusat Kajian Jender (PKJ).
Menguatnya issu jender berdampak luas terhadap timbulnya kesadaran di kalangan para pemerhati sastra, bahwa kaum perempuan yang sejak lama sering tersisih, termarginalisasi dalam kehidupan masyarakat, terjadi pula dalam dunia sastra. Karya-karya pengarang wanita jarang mendapatkan tempat yang ‘berwibawa’ di kalangan sastrawan sezamannya. Padahal karya-karya mereka sebenarnya juga tidak kalah pentingnya dibanding dengan karya pengarang pria. Selain itu, sosok wanita dalam karya sastra juga sering ditampilkan sebagai manusia kelas dua.
Demikian pula –dengan beberapa pengecualian misalnya yang dilakukan oleh Korrie Layun Rampan (1991; 1997), Tuti Heraty (1998), dan Sugihastuti (2002)—masih jarang kritikus sastra mengkaji secara khusus karya-karya perempuan, suara-suara mereka, pikiran, perasaan, dan jeritan serta ideologi mereka yang selama ini tersubordinasi kaum laki-laki. Benarlah pandangan Djajanegara (2000: 17-18), bahwa baik kanon sastra tradisional maupun pandangan tentang manusia dalam karya sastra pada umumnya mencerminkan ketimpangan yang meminggirkan peran kaum perempuan. Sehingga, ideologi jender dalam sastra terkesampingkan atau kurang diperhatikan oleh para kritikus sastra dunia kaum laki-laki.
Sejalan dengan itu, jika dicermati sebenarnya prasangka jender telah lama diungkapkan oleh para sastrawan setidak-tidaknya mulai zaman Balai Pustaka. Bahkan, jika ditarik mundur, prasangka jender telah muncul pada karya-karya sastra klasik. Meskipun istilah prasangka jender belum populer bahkan belum ada pada zaman Balai Pustaka (dekade 1920-an), namun beberapa sastrawan telah memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap prasangka jender. Demikian pula, pada zaman Pujangga Baru, prasangka jender terasa lebih menguat dan mencapai puncaknya pada dekade 1990-an.
Paparan di atas menunjukkan, bahwa sosok perempuan dalam karya sastra Indonesia tampil dengan pluralitas budaya dan makna yang kaya nuansa. Sejalan dengan mencuatnya issu jender dan eksisnya kaum wanita pada abad XXI seperti diprediksikan oleh futurolog Naisbitt & Aburdence (1990: 201-225), citra dan stereotip perempuan dalam sastra Indonesia pun mengalami dinamika yang luar biasa unik dan menarik. Unik, karena citra keperempuanan berperspektif jender dalam sastra itu terlihat sangat variatif dari segi ideologisnya. Menarik, karena dunia keperempuanan dalam karya sastra justru digugat dengan keberanian luar biasa dan blak-blakan oleh pengarang wanita.
Dalam kajian sastra Indonesia, studi tentang perempuan makin banyak dilakukan dengan diterapkannya kritik sastra feminis yang mula-mula berkembang di Amerika pada beberapa dekade yang lalu. Kritik sastra feminis yang merupakan wujud gugatan dari kaum perempuan atas termarginalisasinya para pengarang wanita, kini semakian memperoleh tempatnya. Demikian pula, dalam kajian dekonstruksi citra keperempuanan dalam sastra Indonesia ini, kritik sasrtra feminis dipakai sebagai pisau analisisnya.
Permasalahannya adalah bagaimana dinamika prasangka jender dalam sastra Indonesia. Lalu, bagaimana citra perempuan dalam sastra Indonesia dalam perspektif jender, dan bagaimana tipologi suara pengarang laki-laki dan perempuan dalam menyoroti sosok perempuan?

2. Pendekatan Kritik Sastra Feminis dan Dekonstruksi
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respons atas berkembangnya feminisme di berbagai negara. Feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, yang meliputi semua aspek kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya (Djajanegara, 2000: 16). Jika perempuan sederajat dengan laki-laki, maka mereka memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri, seperti halnya kaum laki-laki selama ini. Jadi, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri (Sugihastuti, 2002: 61).
Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, ataupun upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 1996: 78-79). Feminisme merupakan teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan (Goefe, 1986: 837).
Dengan kata lain, gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menunju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan. Adapun sasaran feminisme bukan sekedar masalah jender, melainkan masalah ‘kemanusiaan’ atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
Dalam kajian sastra, feminisme terformulasi dalam kritik sastra feminis, yakni kajian sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini ada anggapan bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi
dan horison harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter, 1985: 3). Kritik sastra feminis bertolak pada permasalahan pokok, yakni anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi dan pemaknaan karya sastra.
Dalam kritik sastra feminis, pengritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, bahwa ada jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan pula pada pengarang, pembaca, perwatakan, dan faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang.
Jiwa analisis kritik sastra feminis adalah analisis jender. Dalam analisis jender, kritikus harus dapat membedakan konsep jender dengan seks (jenis kelamin). Jender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui proses panjang Jadi, jender merupakan kontruksi sosio-kultural yang pada dasarnya merupakan interprertasi kultural atas perbedaan jenis kelamin (Fakih, 1996: 7-8). Misalnya, bahwa wanita itu dikenal lemah lembut, cantik, sering mengedepankan perasaan (emosional), pemalu, setia, dan keibuan. Sedangkan pria dianggap kuat, gagah, sering mengedepankan akal (rasional), agresif, tidak setia, jantan dan perkasa. Jadi, jender menurut Oakley (dalam Fakih,1996: 71-72) merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan biologis dan kodrat Tuhan. Oleh karena itu, seperti pandangan Gailey (dalam Hess dan Ferree, 1987: 30), bahwa dari kacamata sosiologis, jender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dari kelas ke kelas. Walaupun demikian, ada dua elemen jender yang bersifat universal, yakni: (1) Jender tidak identik dengan jenis kelamin, dan (2) Jender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat.
Adapun jenis kelamin lebih mengacu pada aspek biologis atau kodrati manusia pemberian dari Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dengan perempuan dan tidak berubah secara universal dan sepanjang zaman. Misalnya: perempuan dapat hamil, melahirkan, lalu menyusui anaknya, sedangkan laki-laki tidak dapat melakaukan tiga hal tersebut (Fakih, 1996: 71-72).
Ada banyak ragam kritik sastra feminis, antara lain: (1) kritik ideologis, (2) kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita, (3) kritik sastra sosial atau Marxis, (4) kritik sastra feminis-psikoanalitik, (5) kritik sastra feminis-lesbian, (6) kritik sastra feminis-ras (etnik). Sesuai dengan tujuan kajian ini dan mengingat berbagai keterbatasan, yang akan diterapkan dalam kajian ini adalah kritik sastra feminis ideologis, yang dapat disejajarkan dengan konsep Culler (1975: 43-63) tentang reading as woman. Konsep ini kiranya dapat diterapkan dalam membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang andosentris atau ptariarkal, yang hingga sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra di berbagai negara.
Kritik ideologis melibatkan pembaca wanita dan menyoroti citra dan stereotipe wanita dalam karya sastra (Djajanegara: 17-19), namun dapat saja kritik ideologis dilakukan oleh pembaca pria. Dalam hal ini, kajian akan memusatkan perhatiannya pada citra dan stereotipe wanita dalam karya sastra Indonesia dari zaman Balai Pustaka (1920-an) sampai dengan zaman global (Angkatan 2000).
Dalam teks sastra, mungkin saja pengarang wanita sering menciptakan tokoh-tokoh wanita dengan stereotipe yang memenuhi atau tidak memenuhi norma masyarakat patriarkal. Namun, dalam karya-karya pengarang pria dapat juga menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai feminis. Misalnya, tokoh wanita dilukiskan aktif dalam kehidupan masyarakat, cerdas, intelek, progresif, berani, lincah, dan mandiri.
Sebagai karya sastra, novel sebagai sebuah cerita jika dipertentangkan dengan alur mengacu pada peristiwa-peristiwa dalam urutan yang kronologis. Pengertian ini sejalan dengan pengertian diegesis. Dalam teori semiotik, cerita atau diagesis ini merupakan sebuah produk yang dihasilkan oleh pembaca dengan berlandasrkan pada tanda-tanda yang terdapat di dalam teks meskipun tidak pernah dapat sepenuhnya dikendalkan oleh tanda-tanda tersebut (Budiman, 1999: 15).
Seperti halnya mimesis, diegesis merupakan aspek-aspek dari tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa mimesis adalah hal-hal yang ditunjukkan atau diperagakan, sedangkan diegesis adalah hal-hal yang dikisahkan atau dilaporkan. Jadi, diegesis adalah sebuah sekuens tindakan-tiondakan atau peristiwa-peristiwa di dalam teks naratif yang dapat dipahami oleh pembaca (Budiman, 1999: 24).
Selain kritik sastra feminis, dalam kajian ini juga diterapkan teori dekonstruksi yakni sebuah metode pembacaan teks secara teliti, dengan menginterogasi teks, merusaknya melalui pertahanannya, dan mencari oposisi biner yang tertulis dalam teks (Sarup, 1993: 50). Adapun oposisi biner mengacu pada suatu pasangan kata-kata yang saling beroposisi antara satu dengan lainnya yang bersifat hirarkis yang hirarkisnya itu bersifat kondisional. Dikatakan kondisional karena dalam pandangan post-strukturalisme bahasa dipandang sebagai tidak stabil, dapat berubah-ubah setiap saat. Berbeda halnya dengan oposisi biner dalam strukturalisme yang oposisi-oposisinya dibayangkan bersifat tetap dan setara.
Dalam praktiknya, dekonstruksi meliputi pembalikan dan pemindahan (Sarup, 1993: 51). Dalam langkah pembalikan, oposisi-oposisi hirarkis dirobohkan. Dalam fase berikutnya, pembalikan ini harus dipindahkan, istilah lainnya ‘di bawah penghapusan’ (sous rature). Teks yang dibaca secara dekonstruksi akan terlihat acuannya melampaui dirinya sendiri, referen itu pada akhirnya dapat menjadi teks lain. Seperti halnya tanda hanya dapat mengacu pada tanda-tanda lain, teks juga hanya dapat mengacu pada teks lain, penyebab suatu jaringan yang dapat dikembangkan untuk waktu yang tidak terbatas, suatu intertekstualitas (Sarup, 1993: 52; Pujiharto, 2001: 7).
Setelah dilakukan pembacaan secara teliti, di dalam berbagai karya sastra Indonesia ditemukan oposisi-oposisi biner seperti: oposisi antara judul dan cerita; oposisi antara fiksi dan fakta; oposisi antara fiksi dan sains, oposisi antara karya sastra satu dengan lainnya, dan lain-lain. Sesuai dengan tujuan kajian ini, dalam tulisan ini hanya akan dikaji oposisi antara karya sastra satu dengan karya sastra lainnya.

3. Dekonstruksi Citra Keperempuanan dalam Sastra Indonesia
Melalui analisis literer dengan menggunakan pendekatan kritik sastra feminis ideologis dan teori dekonstruksi di atas, maka ditemukan bahwa nuansa jender telah lama disoroti oleh para sastrawan kita, setidak-tidaknya dimulai pada dekade 1920-an yakni pada zaman Balai Pustaka dengan novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Seperti diketahui bahwa novel Sitti Nurbaya mengungkapkan masalah pertentangan adat antara kaum tua dengan kaum muda serta masalah kekerasan dan penindasan atas orang-orang tidak berdaya. Masalah-masalah tersebut saling bergayut satu dengan lainnya dan jika ditinjau dengan perspektif feminisme, maka hal itu menyaran pada masalah bernuansa jender dan sekaligus mendorong timbulnya emansipasi kaum perempuan.
Pada masyarakat zaman Sitti Nurbaya (1920-an) yang patrilineal, yang dipandang sebagai kodrat perempuan –selain mengandung dan menyusui anak-- adalah tugas mengurus rumah tangga (seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan dan menata keindahan rumah, dan lain-lain), mengasuh anak (merawat, membesarkan, dan mendidik), dan melayani (kebutuhan) suami termasuk kebutuhan seks (hlm. 204; lihat pula Sugihastuti dalam Sumjati (Ed.), 2001: 250-256). Dalam bahasa populer aktivitas perempuan seperti itu hanyalah pada sektor domestik yang aktivitasnya berkutat ‘dari dapur ke sumur, dari sumur ke kasur’, dan begitu seterusnya. Dalam budaya Jawa tugas atau aktivitas perempuan domestik itu terkenal dengan ungkapan masak, macak, lan manak (‘memasak, berdandan/ berhias diri, dan melahirkan anak’). Dalam Sitti Nurbaya, perempuan tidak boleh bekerja di sektor publik (di luar rumah). Sebaliknya laki-laki tidak dibenarkan turut campur tangan dalam pekerjasan domestik (di dalam rumah tangga), sebab laki-laki memiliki aktivitas dan tugas di sektor publik.
Sitti Nurbaya menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki baik di dalam maupun di luar rumah. Di rumah ia terpaksa melayani laki-laki yang tidak dicintainya, Datuk Maringgih (hlm. 145). Di luar rumah ia menjadi korban pelecehan seksual oleh awak kapal dan korban fitnah bekas suaminya (hlm. 180-182). Kekerasan seksual yang dilakukan oleh Datuk Maringgih dan awak kapal merupakan kekerasan akibat superioritas laki-laki atas perempuan. Berbagai tindak pelecehan seksual dan perkosaan terjadi, seperti tercermin dalam karya sastra menurut Diarsi (1992: 62) karena adanya anggapan bahwa identitas dan seksualitas perempuan terletak pada pihak yang harus dikuasai, ditundukkan, dan diperdayakan.
Sitti Nurabaya merupakan tokoh profeminis yang memprotes ketidakadilan jender yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat kita. Meskipun ide keperempuanannya tidak radikal, Sitti Nurbaya telah mampu membangkitkan semangat jender bagi kaum perempuan yang tertindas pada zamannya. Tokoh Sitti Nurbaya, meskipun menjadi korban kekerasan laki-laki, dilukiskan telah tampil sebagai simbol perempuan yang ingin membenahi sistem hubungan laki-laki dan perempuan sebagaimana mestinya. Misalnya, kebebasan kaum perempuan dalam memilih tambatan hati, memilih jodoh dan/ atau menentukan calon suami, hak perempuan untuk melakukan aktivitas di luar rumah (sektor publik), dan lain-lain.
Citra perempuan dalam sastra Indonesia semakin berkembang dinamis pada periode Pujangga Baru (1930-an) ketika St. Takdir Alisyahbana menulis novel Layar Terkembang. Novel ini berupaya mendekonstruksi tokoh Sitti Nurbaya yang ditampilkan Marah Rusli sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan oleh kekuatan di sekelilingnya. Sitti Nurbaya merupakan tokoh korban kekerasan kaum laki-laki.
Dalam novel Layar Terkembang Tutik menyuarakan kaum perempuan yang mencoba menyejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki dalam aktivitas di sektor publik, meskipun masih terbatasi oleh hegemoni laki-laki. Tutik ditampilkan sebagai sosok perempuan yang terpelajar (intelek), mahasiswa yang aktif dalam berbagai perjuangan untuk membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan, keterpasungan, dan keberbedaan haknya dengan laki-laki. Dia bergabung dalam organisasi perjuangan atau gerakan Putri Sedar yang berusaha memperjuangkan persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki dengan berbagai aktivitasnya (hlm. 137-138).
Layar Terkembang karya pengarang laki-laki (Alisyahbana) telah berhasil mengangkat sosok perempuan yang mengangkat panji-panji jender, yang berwawasan jauh ke depan. Sampai-sampai oleh para kritikus (misalnya Rampan, 1983: 28-29; Damono, dalam Djajanegera, 2000: xi; Sugihastuti, 2001: 232), Tuti dalam novel tersebut dinyatakan sebagai perempuan yang sikap dan cara hidupnya ‘menembus batas’ pada zamannya ketika ia hidup.
Gagasan keperempuanan yang progresif dalam novel Layar Terkembang itu kemudian didekonstruksi oleh Armijn Pane dengan romannya Belenggu. Di sini Tini, seperti halnya Tuti dalam Layar Terkembang, ditampilkan sebagai tokoh perempuan dengan membawa panji-panji jender dan sama sekali tidak terhegemoni oleh laki-laki. Ia mampu tampil membawa diri sebagai sosok perempuan yang sama sekali di luar bayangan kaum perempuan pada zaman itu.
Dengan kata lain, Tini dalam novel Belenggu memutarbalikkan citra perempuan pada zaman itu. Jika Tono, suaminya, banyak kegiatan dan bekerja di luar rumah dengan profesinya sebagai dokter, Tini pun banyak melakukan aktivitas di bidang sosial dengan memimpin organisasi sosial kemasyarakatan (hlm. 148-152; 154-156). Suatu keberanian yang luar biasa dari seorang Armijn Pane pada zamannya. Sehingga, dalam konteks ini Damono (dalam Djajanegera, 2000: xi) menyebut tokoh Tini dalam Belenggu, demikian juga Sitti Nurbaya dalam Sitti Nurbaya, Tuti dalam Layar Terkembang, sebagai “perempuan-perempuan perkasa” (meminjam istilah Hartoyo Andangdjaja dalam sebuah sajaknya) yang berpikiran maju, jauh lebih maju daripada tokoh-tokoh laki-laki di sekitar mereka, yang berusaha menjawab berbagai persoalan yang muncul sebagai akibat dari apa yang kemudian kita kenal sebagai modernisasi.
Belenggu –dan sebenarnya juga Layar Terkembang—menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang menghadapi dan menjawab persoalan-persoalan universal tentang hubungan antarmanusia baik sebagai warga masyarakat maupun sebagai individu. Tokoh-tokoh perempuan tersebut mengedepankan upaya ‘pembebasan’ kaum perempuan dari intervensi masalah adat, tradisi, agama, moral, dan konvensi-konvensi lainnya. Tokoh-tokoh perempuan itu ditampilkan sebagai pribadi manusia secara utuh menurut eksistensi asasinya tanpa kehilangan kodratnya untuk memilih dan melakukan sesuatu yang disukainya. Sehingga, tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini terasa inkonvensional pada zamannya. Bahkan, masyarakat belum siap menerima tokoh-tokoh perempuan dengan pribadi ‘jati diri’ semacam itu.
Karya sastra yang ‘mendendangkan’ suara perempuan kemudian tidak terdengar begitu lantang dan mengalami kelesuan pada zaman Angkatan 1945. Hal ini agaknya sebagai akibat situasi sosial politik pada masa itu dengan pecahnya revolusi kemerdekaan. Sehingga, karya-karya sastra Indonesia yang lahir pada zaman itu banyak mengangkat nuansa-nuansa sosial politik yang sedang berkembang pada masa itu.
Baru pada tahun 1975 terbitlah Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam yang menyoroti sosok perempuan Jawa yang “sumarah”, bekti (berbakti) dan setia kepada suami (alm.), sabar, serba pasrah atas apa yang terjadi dalam dirinya. Namun, akhirnya Sri, tokoh cerita ini, ‘memberontak’ juga terhadap kemapanan moral wanita dan etika sosial –terlebih moral dan budaya masyarakat Jawa waktu itu--, ketika bertemu dengan pemuda pelanggannya. Pemuda atau tepatnya laki-laki muda yang tampan, bertubuh kuat, dan berperangai halus, telah meruntuhkan benteng pertahanannya sebagai wanita Jawa sejati yang ‘sumarah’ (hlm. 95-100).
Sri, ditampilkan sebagai perempuan Jawa yang semula memiliki kepribadian sebagaimana layaknya perempuan Jawa sejati, akhirnya ‘memberontak’ dan ‘menerjang’ pagar-pagar adat dan moral wanita Jawa yang selama itu digenggamnya sebagai falsafah dan pegangan hidup. Umar Kayam telah berhasil menampilkan sosok wanita Jawa yang akhirnya toh harus menemui kenyataan bahwa dirinya tidak mampu melawan panggilan hati dan suara-suara dari dalam yang bersifat manusiawi, meskipun harus menerjang moral dan adat Jawa, terlebih agama. Dia ‘menyerah’ kepada seorang pemuda tampan yang priyayi dan penuh gelora belia.
Senada dengan Sri Sumarah, pada tahun 1981 muncullah Pengakuan Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, sebuah prosa liris karya Linus Suryadi AG. Dalam karya ini, tokoh Pariyem, seperti subjudulnya, ditampilkan sebagai wanita pembantu rumah tangga yang mencerminkan sosok wanita yang benar-benar memiliki kepribadian wanita Jawa yang menjadi abdi dalem keluarga bangsawan Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarto yang terhormat. Lugu, kurang terpelajar, sederhana, patuh, setia mengabdi, namun memiliki kepribadian yang cukup menarik justru karena keluguannya itu, di samping tubuhnya yang sintal dan wajah yang menarik.
Dalam Pengakuan Pariyem (1981), dilukiskan ia pasrah terhadap kemauan Den Baguse, pemuda belia, anak sulung majikannya, ketika pemuda belia yang belum pengalaman itu sering merayunya, bahkan kemudian menggaulinya (hlm. 135-139). Dengan suka rela dia melayani gairah Den Baguse dan dia pun menikmatinya. Namun, terkadang dia yang mengambil inisiatif dengan menggoda Den Baguse, jika dia merasa gatal ketagihan (hlm. 140-143).
Di balik kepasrahan dan kerelaan Iyem kepada Den Baguse, sebenarnya Iyem yang kelihatannya tak berdaya itu ‘memberontak’ kemapanan adat dan moral sosialnya. Iyem, dengan pengaruh dan bantuan Sokidi Kliwon, kekasihnya, yang sudah membawa nilai-nilai hidup Metropolitan telah ditampilkan oleh Linus Suryadi A.G. sebagai wanita Jawa yang berani melawan arus adat dan tradisi masyarakatnya, yang memegang teguh susila. Bahkan, Iyem merupakan simbol wanita Jawa lugu dan tidak terpelajar namun memiliki pengalaman yang cukup ‘canggih’ dalam hal hubungan seks dan mampu ‘menaklukkan’ Den Baguse (hlm. 76-78).
Selain babu yang lugu dan tidak terpelajar, Iyem juga dilukiskan sudah pintar dalam masalah hubungan seks. Hal ini untuk ‘mengolok-olok’ dan ‘mencibir’ para bangsawan yang dipandang sebagai ‘lelaki mata keranjang, lelaki hidung belang, asal bathuk klimis dimakan’, tanpa pandang siapa pun “dilahapnya”, namun sama sekali ‘tidak berpengalaman’ dalam masalah seks (hlm. 136-138). Tokoh Iyem dengan sinis ‘menggugat’ dan menjungkirbalikkan nilai-nilai kehormatan keluarga bangsawan (Ngayogyakarta dan lain-lain) yang semestinya terpandang sebagai priyayi terhormat, termasuk dalam hal moral dan susila (hubungan seks).
Ternyata Pariyem yang kelihatannya tidak berdaya itu juga ‘memprotes’ perlakuan majikannya itu dengan cara ‘menyerahkan keperawanannya’ lebih dulu kepada Mas Sokidi Kliwon, ‘dhemenan’ atau pacarnya, sebelum kepada anak majikannya itu (hlm. 65-70), dan anak majikannya yang priyayi dan terpelajar itu tidak mengetahuinya. Penyerahan keperawanannya kepada Kliwon dan beberapa kali perselingkuhan ‘dhemenan’-nya dengan Kliwon dapat dipandang sebagai bentuk “pemberontakan” Iyem terhadap kekuatan hegemoni laki-laki yang menjadi anak majikannya.
Dalam karyanya ini, secara gamblang Linus Suryadi menyoroti ketidakadilan jender sekaligus dunia batin seorang wanita Jawa, yang pada masa sekarang masih ‘tersisa’ di sebagian masyarakat Jawa. Tidak jauh berbeda dengan dua karya itu (Sri Sumarah, 1975 dan Pengakuen Pariyem, 1981), novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1983; 2003) karya Ahmad Tohari (Catatan buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala) juga menggugat bias jender dalam budaya keperempuanan dalam balutan budaya lokal. Jika Iyem menyerahkan ‘keperawanannya’ kepada Kliwon pacar ‘dhemenannya’ atau teman berselingkuhnya sebelum digauli Den Baguse, maka Srintil menyerahkan ‘keperawanannya’ kepada Rasus sang pacar, laki-laki yang dicintainya, sebelum Srintil harus mengikuti upacara ‘bukak klambu’ (membuka klambu). ‘Bukak klambu’ merupakan sebuah upacara ritual untuk melelang dan memperebutkan ‘keperawanan’ sang calon ronggeng (Srintil) dengan sejumlah uang dan untuk mengukuhkan dirinya sebagai seorang ronggeng.
Sebagai ronggeng, tokoh Srintil tampil sebagai perempuan yang berani memberontak terhadap tradisi dunia ronggeng Dukuh Paruk. Meskipun dalam tradisi, seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikatkan diri dengan seorang lelaki, ternyata Srintil tak dapat melupakan Rasus, kekasih pujaannya. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Srintil tidak dapat menerima keadaan ini dan memberontak dengan caranya sendiri. Dia tegar dan berani melangkahi ketentuan-ketentuan yang telah lama mengakar dalam dunia peronggengan, terutama dalam masalah hubungan antara seorang ronggeng dengan dukunnya. Srintil terjkadang berani menolak perintah sang dukun (yang juga berperan sebagai mucikarinya), jika dia tidak berkehendak untuk menjalaninya, baik untuk naik pentas maupun dalam melayani laki-laki yang diterima sang dukun. Srirntil tampil sebagai sebuah simbol pemberontakan tradisi: hubungan ronggeng dengan dukunnya.
Ketika menjelang usia dua puluh, kesejatian diri Srintil mulai teguh. Dia bermartabat, tidak lapar seperti kebanyakan orang Dukuh Paruk, dan menampik laki-laki yang tidak disukainya. Hal ini merupakan sesuatu di luar tradisi dunia peronggengan, sebab tradisi di dunia peronggengan memandang ronggeng sebagai ‘milik bersama’ siapa pun lelaki yang sanggup membayarnya. Inilah masalah yang diberontak oleh Srintil dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Sebuah dekonstruksi suara keperempuanan yang sungguh berani pada masyarakat lingkungannya pada zamannya.
Baik tokoh Sri dalam Sri Sumarah, Iyem dalam Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa maupun Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk, kesemuanya mengusung panji-panji jender. Meskipun panji-panji jender diangkat dengan halus, namun terasa tajam mengiris, terkadang sinis, bahkan ironis.
Citra perempuan Indonesia dalam sastra kemudian meningkat tajam pada kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia yang disunting oleh Rampan (1997). Pada kumpulan puisi karya tiga puluh wanita penyair ini terlihat sekali gagasan penyetaraan jender seperti terlihat dalam “Aku Hadir” karya Abidah El-Khalieqy, dalam “Perjalanan Para Lelaki” karya Oka Rusmini, dan lain-lain. Perhatikan sajak “Aku Hadir” karya Abidah El-Khalieqy berikut:
Aku perempuan yang menyeberangi zaman
Membara tanganku mengenggam pusaka, suara diam
Menyaksikan pertempuran memperanakkan tahta
Raja-raja memecahkan wajah, silsilah kekuasaan

Aku perempuan yang merakit titian
Menabur lahar berapi di bukit sunyi
membentangklan impiandi ladang-ladang mati
musik gelisah dari kerak bumi

Aku perempuan yang hadir dan mengalir
membawa kemudi
panji matahari
Aku perempuan yang kembali
Dan berkemas pergi

Suara keperempuanan menukik sangat tajam pada novel fenomenal Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami seiring dengan era reformasi di Indonesia. Pada Saman, Ayu Utami lewat tokoh-tokoh ceritanya seperti Cok, Yasmin, Sakuntala, dan Laila, secara blak-blakan memprotes perlakuan deskriminatif atas kaum perempuan baik dalam hubungan lelaki dan perempuan maupun dalam masalah seks. Pandangan stereotip yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki digugatnya. Bahkan, gugatan ‘lantang’ itu sering dipandang ‘menembus batas’ etika Timur atau dianggap kebablasan oleh sebagian orang. Sepenggal cerita dari Saman karya Ayu Utami berikut memperlihatkan hal itu.
Tubuhku menari. Sebab menari adalah eksplorasi yang tak habis-habis dengan kulit dan tulang-tulangku, yang dengannya aku rasakan perih, ngilu, gigil, juga nyaman. . Dan kelak ajal. Tubuhku menari. Ia menuruti bukan nafsu melainkan gairah. Yang sublim. Libinal. Labirin (hlm. 115-116).

Di sini dikota ini, malam hari ia mengikatku pada tempat tidur dan memberi aku dua pelajaran pertamaku tentang cinta. Inilah wejangannya. Pertama, hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang memngejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika aku dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit (hlm. 120-121).

Dibandingkan dengan karya-karya sastra Indonesia sebelumnya, Saman dapart dikatakan mendekonstruksi terhadap karya sastra yang ada selama ini dalam menampilkan bias jender, mendobrak dominasi lelaki atas perempuan. Terlebih pada Larung karya lanjutannya, nuansa feminisme global terasa sekali mendominasi cerita. Justru melalui tokoh-tokoh perempuannya yakni Cok, Sakuntala, Yasmin, dan Laila, masalah seks yang selama ini dalam masyarakat “seolah-olah” menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka –bahkan dalam karya sastra sekali pun--, dalam Larung diperbincangkan dengan bebas, gamblang, dan lugas, tanpa terkesan seronok dengan eksploitasi bahasa yang luar biasa memikat.
Bagaimanapun, Saman (1998) kemudian disusul Larung (2001) karya Ayu Tami dapat dikatakan sebagai karya sastra Indonesia pertama yang paling berani dalam mendobrak tradisi keperempuanan Indonesia dan menggugat secara blak-blakan bias jender. Bahkan, Saman dan Larung mungkin tidak berlebihan jika dikatakan juga mendobrak gaya bercerita yang demikian lugas, terbuka, dan gamblang, tanpa kehilangan ‘keperempuanannya’. Inilah barangkali dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi yang dilakukan pengarang atas keperempuanan pada era global. Perempuan era global memperlihatkan adanya kebebasan dalam menyuarakan aspirasi dan keinginannya serta mengekpresikan gejolak hati dari sisi manusiawinya yang paling asasi, meski terkadang terasa ‘kebablasan’ atau ‘menembus batas etika’ bagi sang penjaga etika dan budaya, terlebih nilai agama.

4. Empati Pengarang dalam Menyoroti Keperempuanan dalam Sastra
Perhatian pengarang baik laki-laki maupun perempuan terhadap masalah keperempuanan dalam karya sastranya didorong oleh perasaan cinta dan empati yang besar terhadap dunia keperempuanan Indonesia yang sejak dulu –setidak-tidaknya sejak zaman Balai Pustaka-- hingga kini perempuan masih menjadi subordinat laki-laki. Namun dapat pula hal itu karena didorong oleh perasaan prihatin bahkan marah akan dunia keperempuanan yang masih termarghinalisasi dibanding dunia laki-laki. Realitas kehidupan masyarakat yang tidak terbantahkan hingga kini tampaknya masih demikian adanya. Yang pasti, seiring dengan perkembangan nilai-nilai kehidupan yang sejak dulu masih berpihak kepada dunia laki-laki, kaum perempuan belum banyak berkesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Oleh karena itu, pada masa-masa awal pengarang laki-laki lebih banyak daripada pengarang perempuan. Mulai dekade 1970-an –sebagai hasil kemerdekaan Republik Indonesia pasca 1950-an dan kaum perempuan mulai bebas mengenyam pendidikan—mulai bermunculan pengarang-pengarang perempuan yang berkiprah dalam mencipta karya sastra.
Dari segi pengarang, pada masa-masa awal pertumbuhan sastra Indonesia, terlihat bahwa justru pengarang prialah yang banyak menyuarakan keperempuanan seperti tampak pada Marah Rusli (Sitti Nurbaya, 1920-an), St. Takdir Alisyahbana (Layar Terkembang, 1930-an), Armijn Pane (Belenggu, 1930-an), kemudian Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk, 1975), Linus Suryadi A.G. (PengakuanPariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, 1981), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1981; Lintang Kemukus Dini Hari, 1983; dan Jentera Bianglala, 1984). Memang ada beberapa pengarang wanita pada dekade 1970-an yang juga menyoroti keperempuanan, namun jumlahnya relatif sedikit. Misalnya: Nh. Dini dalam Pada Sebuah Kapal, Keberangkatan, La Barka (1977), Marga T. dalam Karmila (1977), kemudian Aryanti dalam Selembut Bunga (1978), dan Mariane Katoppo dalam Raumanen (1978), dan karena keterbatasan masih banyak pengarang perempuan yang belum terseleksi dalam tulisan ini.
Pada dekade 1990-an muncul Cerpenis Wanita (1991), Wanita Penyair Indonesia (1997), Abidah el Khalieqy dengan Ibuku Laut Berkobar (puisi, 1997), Oka Rusmini dengan Monolog Pohon (puisi, 1997), dan novel Tarian Bumi (2000), novelis Ayu Utami dalam Saman (1998), dan Larung (2001), dan lain-lain. Rampan (2000), menyebut Ayu Utami sebagai salah satu pelopor Angkatan 2000 Sastrawan Indonesia yang sangat penting karena karyanya yang fenomenal dan ‘berani menembus batas’.

5. Penutup
Berdasarkan analisis di atas dapat dikemukakan, bahwa citra keperempuanan dalam sastra Indonesia setidak-tidaknya dapat diklasifikasi menjadi empat macam sebagai berikut: (1) Ingin merombak sistem hubungan laki-laki dan perempuan agar harmonis, dalam menentukan pilihan hati seperti dalam Sitti Nurbaya pada zaman Balai Pustaka; (2) Memprotes ketidakadilan jender dalam melakukan aktivitas di sektor publik seperti yang diwakili Layar Terkembang dan Belenggu pada zaman Pujangga Baru; (3) Menggugat ketidakadilan jender dalam budaya lokal (dalam kajian ini Jawa) yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, yang diwakili oleh Sri Sumarah, Pengakuan Pariyem, dan Ronggeng Dukuh Paruk beserta triloginya pada dekade 1970 hingga 1980-an; dan (4) Suara keperempuanan global yang mendekontsruksi deskriminasi perempuan dengan laki-laki dan merupakan rekonstruksi atas nilai-nilai tradisi dunia perempuan, yang diwakili oleh kumpulan puisi, Wanita Penyair Indonesia, Saman dan Larung pada akhir dekade 1990-an (Angkatan 2000).
Dari segi pengarangnya, terlihat bahwa justru sastrawan prialah yang banyak menyuarakan keperempuanan seperti tampak pada Marah Rusli, St. Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, kemudian Umar Kayam, Linus Suryadi, dan Ahmad Tohari. Baru pada dekade 1990-an muncul Abidah el Khalieqy dan kawan-kawan (tiga puluh wanita penyair Indonesia) dan novelis Ayu Utami.
Dari nuansa keperempuanan yang digarap, pengarang pria banyak menyoroti ketidakadilan jender terutama dalam sistem hubungan laki-laki dan perempuan, lalu kebebasan beraktivitas dalam sektor publik, nilai budaya lokal yang sangat deskriminatif atas perempuan. Adapun pengarang wanita selain menyoroti bias jender dalam hubungan laki-laki dan perempuan, juga ‘keberanian’ luar biasa dalam menggugat, mendekonstruksi dan merekonstruksi dunia keperempuanan sendiri, yang terkadang dipandang kebablasan oleh sebagian kaum perempuan sendiri.

Daftar Pustaka

Alisyahbana, St. Takdir. 1975. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.

Budiman, Kris. 1992. “Subordinasi Perempuan dalam Bahasa Indonesia” dalam Susanto,
Budi dkk. (Ed.). Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta: Kanisius.

Culler, Jonathan. 1975. On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism.
London and Henley: Routledge abd Kegan Paul.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Jender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gailey, Christine Ward. 1997. “Eevolutionary Perspective on Jender Hierarchy” dalam
Beth B. Hess and Mirra Marx Ferree (Ed.). Analyzing Jender, a Handbook of
Social Science Research. Sage Publications, Inc.

Goefe, Philips Bob Cock (Ed.). 1986. Webster’s Thirds International Dictionary the
English Language. Sprinfield Massachussetts: Merriam Webster Inc.

Herati, Toeti. 1988. “Dalam Bahasa, Wanita pun Tersudut” dalam Idi Subandy Ibrahim
dan Hanif Suranto (Ed.). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kayam, Umar. 1975. Sri Sumarah. Jakarta: Pustaka Jaya.

Naisbitt, John & Aburdene, Patricia. 1990. Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an
Megatrends 2000. (Terj. FX Budijanto). Jakarta: Binarupa Aksara.

Pane, Armijn. 1982. Belenggu. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Pujiharto. 2001. “Analisis Dekonstruksi Cerpen Rembulan Terapung di Kolam Renang”.
Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia XXIII, 9-10
Oktober 2001 di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Rampan, Korrie Layun. 1983. Perjalanan Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Jati.

__________________. 1991. Apresiasi Cerita Pendek Indonesia. Ende Flores: Nusa
Indah.

__________________. 1997. Sepuluh Wanita Penyair Indonesia. Jakarta: Gramedia.

__________________. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Widyasarana Indonesia.

Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism.
Athens: The University of Georgia Press.

Showalter, Elaine. 1985. The New Feminist Criticisme. New York: Pantheon Books.

Sugihastuti. 2001. “Cerita sebagai Wacana: Analisis Kritik Sastra Feminis” dalam
Sumjati (Ed.). Manusia dalam Dinamika Budaya. Yogyakarta: Fakultas Sastra
UGM dan Bigraf Publishing.

_________. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur
Cahaya.

Suryadi AG, Linus. 1981. Pengakuan Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa.
Jakarta: Sinar Harapan.


Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk (Edisi Revisi). Jakarta: PT Gramedia.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar