Selasa, 26 April 2011

FILM SASTRA DAN REVITALISASI BUDAYA BANGSA *)

Oleh Ali Imron AlMa’ruf

1. Pendahuluan
Fenomena menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini dapat dikatakan tidak dapat melepaskan diri dari menonton berbagai acara yang ditayangkan oleh televisi. Dengan menonton tayangan televisi berarti masyarakat kita telah menyaksikan berbagai karya sinema dengan segala jenisnya seperti film (bioskup), film televisi (FTV), sinema elektronik (sinetron), telenovela, dan cerita serial lainnya. Karena menurut data dari departemen Penerangan saat itu (1995) 60-80% tayangan televisi di Indonesia berupa film. Itu pun kebanyakan film yang berasal dari negara asing. Kini keadaan itu mungkin telah berubah menjadi sekitar 50-60% tayangan televisi kita berupa film. Hal itu paling tidak telah fenomenal pada sekitar 15 tahun terakhir sejak dibukanya kran televisi swasta oleh pemerintah (orde baru) pada awal 1990-an.
Hal yang patut disayangkan bahwa meskipun masyarakat kita gemar menonton sinema termasuk film, budaya sinema Indonesia belum menjadi bagian dari sistem budaya Indonesia. Film masih tumbuh sebagai permasalahan yang terbatas di kalangan insan perfilman Indonesia termasuk instansi resmi pemerintah sebagai pembina formal yakni Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan (sejak 1999 menjadi Departemen Perhubungan dan sejak 2004 menjadi Departemen Komunikasi dan Informasi). Karena itu, wajar jika sinema Indonesdia selama ini lebih banyak berfungsi sebagai sarana hiburan saja daripada sebagai media sosialisasi kultural. Padahal sebenarnya sinema dapat dikembangkan menjadi sarana kultural yang multifungsi.
Urgenitas film sebagai media massa dalam rangka sosialisasi nilai-nilai budaya bangsa tidak diragukan lagi. Karena urgenitasnya itu, sampai-sampai seorang pakar perfilman, Kracauer (1974), menyatakan bahwa “Film suatu bangsa mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya.” Pendapat Kracauer tersebut dilandasi paling tidak oleh dua alasan. Pertama, film adalah karya bersama (kolektif). Artinya, dalam proses pembuatan film, sutradara memang memimpin suatu kelompok yang terdiri atas berbagai seniman dan teknisi.
Berbisik, dan Tiga Orang Perempuan-- kebanyakan sinema kita telah kehilangan daya teatrikalnya
sebagai sebuah tontonan yang dramatik.


Namun, dalam proses kerja, sutradara tidak dapat menghindar dari mengakomodasikan sumbangan pendapat dari berbagai pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak. Karena memperhitungkan selera sebanyak mungkin massa itulah maka film tidak dapat jauh beranjak dari masyarakat penontonnya. Rasanya tidak mungkin seorang pemilik modal berminat mengeluarkan dana untuk memproduksi film dengan sutradara dan pemain-pemain yang hebat sekali pun yang secara logika teoretis tidak akan diminati khalayak penonton atau masyarakat.
Kondisi sinema Indonesia hingga saat ini belum dapat menjadi tontonan yang mampu memberikan hiburan sekaligus manfaat bagi pembangunan kultural. Kecuali beberapa sinema seperti Tjut Nja’ Dhien karya Eros Djarot, Langitku Rumahku karya Slamet Raharjo, Taksi karya Teguh Karya, Kejarlah Daku Kau Kutangkap karya Chairul Umam, Daun di Atas Bantal karya Garin Nugraha, Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto, Si Doel Anak Sekolahan karya Rano Karno (diilhami oleh cerita novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo), Naga Bonar dan Qiyamat Sudah Dekat karya Deddy Mizwar, Pengemis dan Tukang Becak, Pasir

Adapun sebagai sarana komunikasi kultural mayoritas sinema kita tidak mampu menawarkan persoalan-persoalan yang inovatif, yang khas Indonesia, dan yang sesuai dengan mainstream masyarakat Indonesia yang cita rasanya terus meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan/ intelektualitasnya terlebih dengan berlangsungnya globalisasi dunia. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa sinema Indonesia banyak yang 'ditinggalkan' oleh masyarakat penontonnya yang kritis.
Berkaitan dengan film sebagai media pembangunan budaya bangsa, cukup banyak fenomena yang memprihatinkan. Membanjirnya film-film asing --di bioskup dan persewaan (rental) VCD-- yang notabene sering bertentangan dengan nilai budaya bangsa, ditambah dengan minimnya perfilman nasional yang memiliki nilai edukatif kultural, terlebih film anak-anak (terakhir baru film Petualangan Sherina (2000) dan Yoshua Oh Yoshua (2000), merupakan realitas memprihatinkan sekaligus mencerminkan keterpurukan perfilman nasional. Seiring dengan itu, televisi swasta di Indonesia kini sudah semakin banyak di samping TVRI sehingga televisi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tak terhindarkan.
Berdasarkan pemikiran dan realitas di atas, sudah saatnya kita memikirkan aktualisasi film sastra yang memiliki nilai strategis sebagai media revitalisasi budaya bangsa, baik di institusi pendidikan (sekolah, kampus) maupun di masyarakat pada umumnya tanpa harus memberi khutbah, lebih-lebih menggurui dan mengindoktrinasi masyarakat. Permasalahannya adalah seberapa jauh film nasional telah melakukan fungsi kulturalnya; dan bagaimana peran kalangan sastrawan (dan pendidik) bekerja sama dengan para sineas untuk menciptakan film sastra dalam rangka revitalisasi budaya bangsa.

2. Potret Buram Sinema Indonesia dan Minat Baca Sastra Masyarakat

Pembinaan sinema Indonesia selama ini dilakukan di bawah slogan-slogan yang mentereng hebat. Sinema kita juga dilindungi oleh kebijakan birokrasi yang cukup ketat paling tidak selama pemerintahan Orde Baru (dekade 1970-an hingga akhir dekade 1990-an). Namun demikian, fungsi sinema Indonesia tidak dapat ditegakkan secara kultural.
Secara normatif, penyelenggaraan, pembinaan, dan pengembangan budaya sinema Indonesia lebih ditekankan pada nilai-nilai budaya bangsa daripada nilai ekonomi seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 pasal 2, 3, dan 4 yang menyatakan tentang Dasar, Arah, dan Tujuan (Bab III) Perfilman Nasional. UU No. 8/ 1992 tersebut merupakan undang-undang perfilman pertama yang dibuat melalui proses demokratis. Hal ini menunjukkan adanya iktikad baik (good will) dan kehendak politik (political will) bangsa Indonesia dalam membangun budaya sinema Indonesia yang prospektif dan antisipatif.
Sayangnya, kebanyakan sinema kita lebih dikuasai oleh tangan-tangan kapitalis. Akibatnya, sinema kita sekedar mengikuti selera pasar atau tegasnya mengejar keuntungan komersial ketimbang mengejar kualitas sebagai karya sinamatografi yang mengedepankan misi esensial yakni pembangunan moral dan kultural. Artinya, karena pasar dalam hal ini masyarakat penonton kita sedang mengalami banyak musibah, dihantui kemiskinan, kelaparan, dan ketidakberdayaan, maka sinetron kita lebih banyak “menjual mimpi”, mengajak penonton melanglang buwana menjadi “orang kaya” atau “orang terhormat” dengan sim salabim, tanpa usaha yang keras. Yang penting bagi kebanyakan sineas kita adalah sinema itu dapat memberikan hiburan, menghilangkan stress, dan mengurangi beban pikiran. Dan, yang terpenting, sinema tentunya dapat membuahkan keuntungan dari segi bisnis hiburan. Jadi banyak sineas kita lebih menonjol perannya sebagai entertainer dan businessman ketimbang sebagai sineas yang idealis.
Satu hal yang perlu direnungkan bahwa memang sinema itu karya fiktif dan tidak selalu berdasarkan fakta sejarah atau kebenaran faktual, tetapi selayaknya cerita sinema tetap berjalan wajar. Sinema kita terlalu artifisial sehingga terkesan “membodohi” masyarakat karena alur ceritanya tidak mengalir secara wajar, serba kebetulan dan cenderung “memaksakan jalan cerita” sehingga seolah-olah menganggap khalayak penonton “tidak tahu apa-apa”. Belum lagi kita mengkaji acting para pemain dan penokohannya, tentu “jauh panggang dari api”. Tokoh yang bernasib malang dibuat semakin terpuruk dan tak berdaya, mengenaskan, atau sebaliknya. Sekedar sampel, sinetron yang kini masih ditayangkan di sebuah televisi swasta Indonesia seperti Cinta Fitri, Cinta Laura, bahkan yang juga mendapat apresiasi dari kondang Jefri al-Buchori Munajah Cinta, sungguh mengundang keprihatinan kita. Betapa tidak tepatnya sosok perempuan/ istri shalihah dilukiskan hidup di rumah seorang pemuda/ bujangan yang bukan muhrimnya; lalu Maemunah yang masih dapat menjalin hubungan dengan laki-laki yang telah memperkosanya.
Lebih memprihatinkan lagi para insan film kita tidak malu-malu melakukan plagiasi dari film atau telenovela asing sekedar untuk mendulang uang. Sebut saja misalnya sinetron Liontin (dimainkan oleh Nana Majid dan Naysila Majid) yang meniru film Glass Shoes (Korea), Benci Bilang Cinta (diperankan oleh Marshanda dan Baim Wong) meniru film Princess Hours (Korea), sinetron Kanza (dimainkan oleh Velove Vexia) ditengarai meniru film Korea. Demikian pula sinetron Azizah (dimainkan oleh Kirana Larasati) ditengarai meniru telenovela Maria Cinta yang Hilang (Amerika Latin), Cinta Bunga (diperankan oleh Claudia Cyntia Bella) ditengarai meniru telenovela Maria Mercedes (Amerika Latin), dan masih banyak lagi. Keadaan demikian semakin membuat penonton yang kritis menjadi antipati terhadap sinema Indonesia –meskipun sebenarnya tidak semuanya jelek—karena dianggap melakukan “pembodohan” terhadap masyarakat.
Dari segi lain, minat membaca karya sastra di kalangan masyarakat Indonesia hingga kini masih minim. Kondisi itu tidak terlepas dari ketidakberhasilan pembelajaran sastra di sekolah-sekolah dari SD hingga SMA, yang sederajat, seperti yang sering dilontarkan oleh Taufik ismail (1999). Meskipun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (2004) yang kemudian menjelma menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (2006) mewajibkan setiap lulusan SMA harus sudah membaca 15 karya sastra fiksi, hasilnya belum kelihatan.
Lebih-lebih pada era global yang penuh kompetisi dalam segala bidang dan kehidupan yang serba cepat serta kemajuan teknologi komunikasi yang memanjakan masyarakat dengan berbagai media massa elektronik dan produk teknologi komunikasi yang memberikan informasi dan hiburan murah seperti radio, tape recorder, televisi, video, VCD/ DVD, home theatre, telepon seluler (hand phone), komputer, dan internet, maka minat dan kesempatan membaca karya sastra agaknya semakin memprihatinkan. Dalam arti tidak banyak masyarakat Indonesia yang suka membaca karya sastra. Jika ada itu pun terbatas pada kaum terpelajar atau kalangan intelektual tertentu dan ibu-ibu muda yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang memadai. Karya sastra literer misalnya kebanyakan pembacanya adalah komunitas sastra yang pada umumnya adalah para pecandu sastra yang berlatar belakang sastra seperti mahasiswa dan dosen Fakultas Sastra atau FKIP Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra, dan sebagian lagi adalah kalangan intelektual/ terpelajar tertentu yang memiliki kegemaran membaca karya sastra yang jumlahnya relatif sedikit. Adapun karya sastra populer (dalam pembagian genre sastra menurut Jakob Sumardjo, 1979) pembacanya kebanyakan adalah kaum muda bahkan sebagian remaja belia (Anak Baru Gedhe/ ABG) dan ibu-ibu muda yang status sosial ekonominya kelas menengah ke atas. Jadi, pembaca karya sastra kita sebagian besar adalah masyarakat kota kelas menengah ke atas yang terpelajar dan memiliki kesempatan serta dana untuk membeli karya sastra atau menyewa di tempat persewaan buku.
Keadaan tersebut terungkap dalam berbagai seminar sastra dan seminar pengajaran sastra di samping dapat dilihat dari minimnya jumlah pembelian karya sastra di toko-toko buku dan sedikitnya cetak ulang karya sastra. Tentu saja ada pengecualian dalam hal ini untuk beberapa karya sastra fenomenal terutama novel seperti Pariyem Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi A.G. (1981), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari (1981), Khutbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo (1976), Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya (1981), Sri Sumarah dan Bawuk (1975) dan Para Priyayi (1992) karya Umar Kayam, Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami, Supernova karya Deedee (2001), kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis (1967), Godlob (1974) dan Adam Ma’rifat (1981) karya Danarto, Mereka Bilang saya Monyet (2003), Jangan Bermain-main dengan Kelaminmu (2004), dan Nayla (2007) karya Djenar Mahesa Ayu, dan novel-novel populer seperti Bukan Impian Semusim karya Marga T. (1976), Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar (1974), Terminal Cinta Terakhir karya Ashadi Siregar, (1975), Cowok Komersil karya Deddy D. Iskandar (1977), Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha (1977).

3. Film Sastra sebagai Media Massa
Film sebagai karya seni seperti halnya karya sastra memiliki fungsi menghibur dan berguna (dulce et utile). Film merupakan karya artistik yang indah dan memberikan efek didaktis. Namun, film juga merupakan karya sintetik (perpaduan berbagai cabang seni) dan karya kolektif. Artinya, film melibatkan para seniman dari berbagai cabang kesenian, seperti seni rupa, seni desain, seni musik, seni peran (acting), seni sastra, seni tari, dan lain-lain, di samping melibatkan para ahli teknologi seperti: ahli elektronik, kamera, dan komputer dalam menampilkan adegan-adegan action dan atraktif lainnya dengan trik-trik yang menawan. Karena itu kiranya tidak berlebihan jika film dan jenis sinema lainnya dikatakan sebagai media artistik yang paling kompleks dan memimiliki daya pikat yang tinggi.
Film sastra dan jenis sinema lainnya sebagai media massa memiliki tiga fungsi utama yakni; (1) memberi informasi (to inform), (2) mendidik (to educate), dan (3) menghibur (to entertain). Di samping itu, ada tiga fungsi lain media massa yakni: (4) mempengaruhi (to influence), membimbing (to guide), dan mengeritik (to criticise) (lihat Effendi, 1986). Melihat keenam fungsi film tersebut, alangkah baiknya jika kita dapat memanfaatkannya sebagai media sosialisasi kultural bagi kaum muda ataupun masyarakat pada umumnya. Sebab, dengan daya artistiknya, film tidak saja memberi penonton hiburan melainkan juga memberi informasi sekaligus memberikan efek edukasi secara persuasif. Sehingga, seperti halnya karya sastra, tanpa memaksa, bahkan sebaliknya memanjakan, film mengajak para pentonton memperoleh edukasi kultural tanpa harus menggurui atau menceramahi penontonnya.
Film, seperti halnya karya sastra, pada hakikatnya menyangkut dua jenis ungkapan sosial-budaya (Soebadio, 1993). Di satu sisi film memberikan kesaksian tentang keadaan masyarakat (kehidupan sosial) pada zamannya dan di sisi lain film juga memberikan kesaksian akan pikiran dan perasaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (kehidupan budaya). Dalam hal ini, film memberikan kesaksiaannya melalui gambar. bahkan, dulu film sering disebut sebagai gambar hidup. Dengan kata lain, film menggunakan cara visual untuk mengungkapkan kehidupan sosial-budaya masyarakat.
Selanjutnya, landasan bagi ungkapan sosial-budaya tersebut adalah keadaan kehidupan sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan. Artinya, keadaan suatu masyarakat tertentu, dalam wilayah dan kurun waktu tertentu, mempengaruhi sifat ungkapan yang dikemukakan. Dengan kata lain, dalam memberikan penilaian atas isinya, perlu diperhatikan keadaan sosial-budaya masyaakat yang bersangkutan. Implikasinya, bahwa isi film yang dihadapi pada suatu saat tertentu tidak dapat dinilai terlepas dari jenis masyarakat yang berkaitan. Hal itu menyangkut pula perhatian terhadap tingkatan masyarakat dalam pendidikan.
Film merupakan media modern dan baru berkembang pada abad XX, sehingga budaya sinema pun belum berkembang dalam kehidupan masyarakat kita. Artinya, persoalan film atau sinema pada umumnya masih menjadi persoalan kalangan terbatas yakni para insan perfilman (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, diperlukan sikap lain dalam menilai dan memahaminya. Film menggunakan media audiovisual. Ini berarti, film dapat dilihat dan dinikmati oleh siapa saja, termasuk mereka yang berpendidikan rendah, bahkan mereka yang belum dapat membaca dan menulis. Akibatnya, dampak film dan karya sinema lainnya jauh lebih luas dan jika ada dampak negatifnya lebih mengkhawatirkan daripada sastra (Ali Imron A.M., 1993). Itulah agaknya yang melatarbelakangi dibentuknya Lembaga Sensor Film di Indonesia (dulu Badan Sensor Film/ BSF) untuk menyensor adegan-adegan yang dipandang kurang etis atau dinilai tidak mendidik, yang dikhawatirkan dapat merusak sendi-sendi budaya bangsa. Jika kita melihat film dan kemungkinan disensor karena alasan pendidikan, maka sekali lagi perlu diperhitungkan tingkatan kependidikan dan keberadaban masyarakat penonton ataupun kreativitas kalangan sineas.

3. Dimensi Kultural Film
'For us, the most importance of all art, is cinema', kata Vladimir Ilyich Lenin (dalam Sumardjono, 1993). Pernyataannnya itu dilandasai oleh pengertian bahwa sinema dapat berfungsi sebagai guru sekaligus propagandis. Di Indonesia, pencanangan fungsi edukatif kultural sinema ini dimulai pada era orde baru ketika Ali Murtopo menjadi Menteri Penerangan RI (Sumardjono, 1993). Saat itu pemahaman mengenai asas edukatif kultural sangat sempit. Seolah-olah asas itu hanya dasar pembinaan produksi film Indonesia, sedangkan sektor perfilman lainnya tetap pada asas ekonomi yang komersial. Menghadapi situasi yang kontroversial demikian para produser film mengeluh bahwa asas edukatif kultural itu membuat film Indonesia sulit dipasarkan. Sayang sekali bahwa “ruh” kebijakan Menpen Ali Murtopo tersebut tidak dijabarkan lebih jauh sehingga asas kebijakan pembinaan film berdimensi kultural edukatif yang begitu luhur dan bernilai strategis tidak mencapai tujuan esensinya.
Fungsi sinema sebagai sarana edukatif kultural hanyalah salah satu fungsi kultural sinema Indonesia. Namun dalam ruang lingkup kebijakan mencerdaskan kehidupan bangsa, sinema sebagai sarana edukatif kultural tampaknya perlu kita kaji lebih mendalam. Sebab, sinema sebagai salah satu media massa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan wawasan dan pembentukan persepsi masyarakat sehingga pada gilirannya akan dapat berpengaruh pada perilaku mereka. Hal ini dimungkinkan mengingat “khutbah-khutbahnya lebih sering didengar mereka ketimbang khutbah para kyai di masjid atau khutbah pendeta di gereja, sebab langsung masuk di kamar-kamar rumah di berbagai pelosok” (lihat Rachmat, 1992). Pesan-pesan film yang ditayangkan media elektronik sering lebih didengar daripada para khatib, ustadz, dan para kyai di masjid atau para pendeta dan pastur di gereja.
Memperhatikan realitas itu, film sastra agaknya dapat menjadi alternatif dalam merevitalisasi budaya bangsa berkecenderungan semakin mengalami degradasi dan erosi akibat gempuran budaya asing seiring dengan era global, tanpa harus berkhutbah. Inilah kekuatan film sastra: menghibur sekaligus menawarkan alternatif nilai-nilai budaya bangsa untuk memperkaya khazanah batin manusia yang sangat berguna bagi penguatan moral dan mental.

4. Film Sastra: Kerja sama Sinergis Sastrawan dan Sineas
Perlu dipahami adanya dua faktor penting dalam hal film sastra ini, yakni pertama pembuatan sarana (produk media) dan kedua adalah sistem penggunaan sarana (eksibisi media). Dalam sistem produk, sinema harus mandiri dari asas ekonomi yang sudah lazim dalam produksi sinema Indonesia. Dengan kata lain, sistem pembuatan sinema itu harus dijauhkan dari perhitungan perputaran modal secara komersial. Tegasnya, sudah sangat mendesak perlu dipikirkan kebijakan penyelenggara negara dalam penyediaan dana secara khusus untuk memproduksi sinema yang memiliki daya kultural yang tinggi.
Dari pemikiran itu perlu dimunculkan paradigma baru dalam perfilman nasional yang tidak saja memfokuskan pada hegemoni pemilik modal melainkan juga pada dimensi kulturalnya secara benar. Artinya, sumber daya manusia (SDM) sebagai faktor yang sangat esensial sebaiknya tidak dari sektor produksi film komersial. Harus dibangun tradisi baru dalam penyediaan SDM, yakni SDM dari sektor pendidikan yang dipercaya memiliki dedikasi kepada pembangunan budaya bangsa. Karena itu, SDM memang sudah harus bermuatan ilmu dan berkepribadian sebagai pendidik, paling tidak memiliki kepedulian terhadap pembangunan kultural bangsa, bukan sekadar berorientasi pada bisnis. Secara sederhana mereka memiliki kapasitas dalam hal sinematografi sekaligus memiliki komitmen terhadap pembangunan budaya bangsa.
Selain itu, perlu disadari bahwa sinema itu hanya media seperti buku. Perbedaannya adalah sinema memiliki prosedur kebahasaannya yang unik, kebahasaan piktorial yang dapat berfungsi universal. Buku dan guru menggunakan bahasa lisan atau tulisan dalam sistem linguistik berdasarkan kepahaman bahasa yang secara kultural dikenal dan dipahami siswa sebagai komunikan. Bahasa-bahasa dalam ragam tulisan dan lisan sbagai sarana komunikasi pendidikan memerlukan kekuatan daya penafsiran yang cukup canggih dari siswa (komunikan) untuk memahami pengertian pesan komunikatif baik secara denotatif maupun konotatif. Adapun daya tafsir para siswa sebagai sikap persepsional dapat beragam berdasarkan kondisi intelektual, kondisi sosial-kultural, dan mungkin kondisi pribadi dalam fenomena psikologis.
Dibandingkan dengan bahasa tulisan dan lisan yang hanya mampu menyajikan bentuk abstrak (imajiner), maka bahasa sinema mampu menyajikan bentuk secara konkrit. bahasa sinema atau bahasa piktorial membantu para siswa menafsirkan pesan praktis dan mudah. Namun, sebenarnya bahasa sinema dipandang dari aspek semiotik juga memerlukan kemampuan membaca atau mengeja bentuk sebagai unsur visual untuk mencapai kepahaman secara optimal. Itu sebabnya James Monaco membuat judul bukunya tentang tinjauan berbagai masalah sinematografi bukan How to See Film melainkan How to Read a Film.
Untuk mencapai kepahaman optimal terhadap misi pesan yang disampaikan dengan sarana komunikasi sinematik, tidak cukup hanya menonton tetapi juga harus membaca simbol-simbol komunikasi yang terwujud dengan beragam bentuk fisik dan mungkin juga berbagai ciri eksistensi makhluk terutama manusia tentang karakter dan latar belakag pribadinya. Memang dalam paham yang paling sederhana, film sastra sebagai sinema edukatif diartikan sebagai merekam dan menayangkan kegiatan sang guru di depan kelas. Dalam pengertian yang maju, sinema edukatif harus diartikan sebagai transformasi pelajaran yang biasa disampaikan oleh guru ke dalam bentuk sinematik atau melalui pendekatan sinematografik.
Di tengah kebangkitan film nasional kita perlu memikirkan pentingnya film yang berwawasan edukatif kultural. Inilah salah satu peluang untuk mengisi dan membangkitkannya. Bukankah kini banyak televisi swasta yang dapat diajak bekerja sama untuk menggulirkan gagasan tersebut. Selain itu, sebenarnya ada beberapa solusi untuk menggairahkan kembali film nasional. Paling tidak ada empat pihak terkait yang dapat melakukannya. Pertama, yakni pihak insan film sendiri harus meningkatkan profesionalitasnya, baik dalam acting, manajemen, teknologi, pamasaran, dan lain-lain. Kedua, masyarakat kita yang rata-rata kelas menengah ke bawah perlu diberikan apresiasi film; termasuk juga perlu didirikannya Cine Club-Cine Club untuk membentuk komunitas film dan budaya film. Ketiga, pihak produser mestinya tidak hanya mengejar profit melulu, melainkan juga berorientasi pada aspek edukatif kultural dan berorientasi kebangsaan (nasionalisme) sehingga mau membiayai film-film bermutu (lihat Said, 1991), dan keempat pihak pemerintah, sudah semestinya membuat kebijakan proteksi terhadap masuknya film-film asing (hal ini yang sulit dilakukan dengan berlangsungnaya era globalisasi dan datangnya era pasar bebas dengan AFTA pada 2003) untuk memberi kesempatan kepada film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita dapat belajar dari India dan Filipina dalam hal ini (Ali Imron A.M., 1999). Jika keempat pihak yang saling terkait tersebut dapat menjalankan fungsi masing-masing secara optimal maka bukan tidak mungkin film nasional akan dapat bangkit kembali dalam beberapa tahun mendatang.
Realitas itu menunjukkan betapa penting kerja sama sinergis antara sastrawan sebagai kreator cerita berbobot, pendidik yang menguasai metode edukasi, dan sineas yang memiliki kompetensi di bidang sinematografi. Dengana kerja sama ketiga komponen tersebut –tentu saja ditambah dengan produser/ pemilik modal atau institusi penyandang dana-- bukan tidak mungkin akan lahir banyak film sastra, sinema yang mampu melakukan fungsi pembangunan kultural bangsa.

5. Film Sastra sebagai Media Revitalisasi Budaya
Yang dimaksud film sastra adalah film atau jenis sinema yang lain seperti film bioskup, film televisi (FTV), sinetron, dan telenovela—yang dibuat berdasarkan karya sastra sehingga film itu memiliki bobot literer. Sebagai sinema yang memiliki bobot literer maka sinema itu paling tidak memiliki keharmonisan antara hakikat. dan metodenya, struktur dalam dan struktur luar, atau antara isi dan bentuknya. Dari segi hakikat/ isi berarti aspek cerita yang terjalin dalam alur kisah memiliki makna yang berguna bagi kehidupan manusia, mampu memperkaya khazanah batin manusia dengan menawarkan alternatif nilai-nilai. Adapun dari segi metode/ bentuk menyangkut bagaimana cara mempresentasikan makna kehidupan yang berupa mosaik-mosaik dari dunia universal kepada khalayak penonton tanpa harus mencekokinya dengan doktrin yang dogmatis atau menggurui. Dengan kata lain, sinema tersebut memiliki daya edukatif kultural yang tinggi sekaligus enak ditonton karena memiliki kekuatan artistik.
Jika setiap hari kita disuguhi telenovela atau jenis sinema lain yang didatangkan dari negara Barat atau Amerika Latin yang kadang-kadang budayanya sering bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia, mengapa kita tidak memproduksi sendiri film sastra yang dapat dipakai untuk mempresentasikan nilai-nilai kultural bangsa. Padahal kita menyadari betapa besar dampak film sastra itu bagi masyarakat dalam membentuk image, persepsi, sikap, dan pada gilirannya juga perilaku masyarakat.
Dampak negatif budaya asing terhadap budaya nasional bukan lagi sekedar bersifat penetrasi, atau infiltrasi, melainkan akan membanjir dalam kehidupan masyarakat karena kini pintu terbuka lebar dan arus informasi tidak mungkin dibendung dengan upaya politik sekalipun. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi dan mencuatnya era cyberspace yang memungkinkan manusia melihat dunia cukup melalui media elektronik khususnya internet sehingga arus informasi kultural dari seluruh dunia akan melanda bangsa kita. Untuk mengantisipasi hal itu, dan dalam rangka membangun budaya bangsa Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, maka aktualisasi film sastra sebagai media revitalisasi budaya bangsa bukan lagi sebagai tuntutan melainkan terasa menjadi kebutuhan.
Salah satu cara terbaik --jika bukan satu-satunya-- sebagai peredam untuk menanggulangi dampak negatif arus globalisasi terhadap keluhuran budaya bangsa Indonesia agaknya adalah kepercayaan atas jati diri bangsa yang memiliki kebenaran falsafah hidup bangsa yang sarat dengan nilai moral relegius. Sesuai dengan keyakinan itu, maka aktualisasi film sastra sebagai media revitalisasi pembangunan budaya bangsa menjadi teramat penting artinya.
Memang Seni Budaya di sekolah dan mata kuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD) (kini Ilmu Sosial Budaya Dasar) di perguruan tinggi yang menjadi wahana pendidikan Humaniora kini dipelajari oleh siswa/ mahasiswa tetapi pelajaran atau mata kuliah itu lebih bersifat elementer jika bukan sekunder. Padahal nilai-nilai Humaniora yang merupakan nilai fundamental untuk mencapai cita-cita luhur itu seyogyanya dilakukan secara persuasif, manusiawi, dan kultural. Untuk itu, film sastra dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam melakukan revitalisasi pembangunan budaya bangsa yang dua dekade terakhir ini terasa semakin mengalami degradasi dan erosi akibat gempuran budaya asing yang membanjir terutama melalui media massa di samping dunia mode dan hiburan yang kemudian mempengartuhi gaya hidup masyarakat. Melalui film sastra yang menggunakan bahasa visual sinematik, pesan-pesan kultural dapat disampaikan dengan lebih konkrit dan menarik.
Nilai-nilai kultural yang disampaikan dengan media sinema niscaya akan mampu menampilkan keterpaduan manusia (karakter), ruang, dan waktu dalam aneka ragam peristiwa kehidupan sebagai pencerminan pengalaman dan manusia mencapai kesempurnaan seperti terlihat dalam perkembangan budaya dan peradabannya. Revitalisasi pembangunan buidaya bangsa melalui film sastra dapat dibuat dengan dimensi dramatik dan estetik yang memikat dan dapat bermanfaat sebagai metode kognetif dan afektif yang efektif, bahkan aspek psikomotorik dapat pula terangkum dalam satu langkah sekaligus.
Sebagai ilustrasi, sampai saat ini sudah ada beberapa karya sastra khususnya novel yang difilmkan dan sempat mendapat sambutan positif dari masyarakat di samping cukup sukses dari aspek bisnis hiburan. Beberapa novel yang pernah difilmkan tersebut antara lain Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt. Madjoindo (1970-an yang kemudian mengilhami lahirnya mega sinetron Si Doel Anak Sekolahan garapan Rano Karno (1993) yang mendapat sambutan luar biasa dari khalayak penonton dan dari segi bisnis hiburan pun sukses luar biasa, Kadarwati Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana (1982), Kabut Sutra Ungu karya Ike Supomo (1980-an), Detik-detik Cinta Menyentuh karya Ali Shahab (1986), dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1992). Dari genre novel populer pernah difilmkan juga Cintaku di Kampus Biru (1975), Terminal Cinta Terakhir (1979), Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar (1970-an), Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira (1970-an), Ali Topan (Turun Jalanan) karya Teguh Esha (1980-an), dan Ayat-ayat Cinta (2208) dan sebentar lagi Ketika Cinta Bertasbih (sedang audisi pemain) karya Habiburrahman El-Sirazy (2008). Demikian pula dari roman lama terdapat Sitti Nurbaya (1990), Sengsara Membawa Nikmat (1991), Salah Asuhan (1987), dan masih banyak lagi yang lain. Karya-karya masterpeace atau mahakarya yang pernah difilmkan antara lain Mahabharata dan Ramayana, keduanya epos dari India yang sukses mendapat sambutan antusias di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Sayang, sejalan dengan situasi nasional di Indonesia dengan datangnya krisis politik dan ekonomi, maka kini jarang sekali film sastra, sinema yang mengangkat karya sastra. Yang dominan sekarang dalam tayangan televisi --mungkin juga di bioskup -- adalah karya sinema yang sekadar banyak digandrungi penonton (berdasarkan pantauan Survey Research Indonesia, 1999) yang memang diminati banyak advertiser. Jadi, kecenderungan kriterianya adalah laku: laku ditonton dan laku dipasangi iklan (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, sudah asaatnya diciptakan film sastra yang dapat menjadi media sosialisasi dan internalisasi nilai edukatif kultural dalam kehidupan masyarakat yang haus tontonan. Sekaligus hal itu akan dapat menjembatani antara kelangkaan dan minimnya minat membaca sastra warga masyarakat dengan upaya apresiasi sastra di kalangan masyarakat.
Pertanyaannya, mengapa film sastra ini perlu dilahirkan? Ada beberapa alasan yang mendukung gagasan ini. Pengembangan film sastra sebagai salah satu cultural engineering masyarakat (meminjam istilah Kuntowijoyo, 1987) berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat. Kemampuan memupuk dan mengembangkan rasa empati, toleransi, dan membuat penilaian etis –yang dapat diperoleh antara lain melalui penikmatan film sastra-- merupakan modal penting yang sama sekali tidak dapat diabaikan dalam pembangunan bangsa (nation building).
Realitas menunjukkan bahwa pembangunan bangsa telah melahirkan pula sejumlah persoalan seperti perubahan nilai dan pilihan nilai. Sebagian persoalan ini timbul akibat terputusnya gaya hidup tertentu untuk digantikan dengan gaya hidup baru yang sama sekali berbeda karakternya –sebuah diskontinuitas yang merupakan pelengkap yang nyaris tak terhindarkan dalam pembangunan--. Adapun sebagian masalah lain muncul sebagai efek dari ketimpangan yang makin meningkat antarberbagai golongan masyarakat. Timbullah semacam rasa kecemburuan sosial yang telah tersebar cukup luas bahwa pembangunan telah mendorong banyak manusia melampiaskan sifat-sifat negatifnya, termasuk ketamakan dan keserakahannya. Dalam konteks inilah film sastra dapat menjadi alternatif dalam mempresentasikan nilai-nilai kultural dan kearifan lokal (local genius) yang terkandung dalam khasanah sastra Indonesia kepada masyarakat sambil memberikan hiburan untuk penyegaran kembali (refreshing) bagi fisik dan mental yang lelah sebagaimana fungsi karya sastra pada umumnya.
Dari segi kecendernagan global, kita sedang menuju suatu masa depan yang tidak dapat diramalkan (unpredictable). Kita harus mampu menghadapinya tanpa harus kehilangan arah atau bahkan menjadi teralienasi, tanpa kehilangan rasa sopan santun kita, identitas kita, rasionalitas kita, dan sumber-sumber inspirasi kita. Dalam konteks inilah, seperti dinyatakan Bennet (dalam Moglen, 1984), agaknya film sastra –sebagai salah satu upaya pengembangan Ilmu-ilmu Humaniora-- dapat membantu kita dalam penyusunan kerangka imajinatif untuk tindakan kita.
Genre sastra yang bagaimana yang layak untuk difilmkan. Memang tidak semua karya sastra dapat diangkat menjadi film. Dalam hal ini yang relatif mudah untuk diangkat ke dalam sinema adalah genre novel, itu pun yang memenuhi kriteria tertentu. Sejalan dengan pemikiran pada awal bab ini tentang film sastra, maka novel yang selayaknya difilmkan adalah novel literer. Sebab, novel literer memiliki keharmonisan antara bentuk dan isi atau metode ekspresi dengan hakikat persoalan yang dikemukakan. Atau, secara semiotik mengandung makna yang dalam bagi kehidupan manusia dan bermanfaat untuk memperkaya khasanah batinnya, baik dimensi kemanusiaan, cinta dan kasih sayang, relegiusitas, sosial, sejarah, politik, maupun nasionalisme. Bagaimana dengan novel populer? Sebenarnya novel-novel populer pun sah-sah saja difilmkan. Hanya saja dari asas manfaat relatif kurang bermakna bagi kehidupan masyarakat, kecuali sekadar berorientasi hiburan dan bisnis. Dan, ini pula yang selama ini mendorong para produser atau pemilik modal untuk melayarperakkan atau mensinetronkannya.
Sebagai ilustrasi, novel-novel literer semacam Para Priyayi karya Umar Kayam (1992), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari (1983), Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya (1984), Telegram karya Putuwijaya (1987), Dan Senja pun Turun karya Nasjah Djamin (1981), Gaun Hitam Seorang Hostess karya Ali Shahab (1977), Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. (1976), Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis (1975), Sang Guru karya Gerson Poyk (1973), Kemarau karya A.A. Navis (1969), prosa liris Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG. (1982) layak difilmkan. Dari angkatan 1945 layak difilmkan misalnya Atheis karya Achdiat Kartamihardja.
Masih banyak lagi novel yang dapat difilmkan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Dalam pelaksanaannya, judul novel terkadang diadaptasi sedemikian rupa agar dari segi sinamatografi memungkinkan, juga agar lebih memiliki daya pikat bagi khalayak penonton atau lebih marketable dari kacamata bisnis hiburan. Yang pasti, untuk memfilmkan novel diperlukan kerja sama secara sinergis antara sastrawan, lalu jika perlu pendidik, dan sineas/ insan perfilman yang menguasai sinematografi, dan tentu saja produser/penyandang dana yang dapat berupa perorangan ataupun institusi misalnya Perusahaan Film Nasional (PFN), atau Departemen Pendidikan Nasional.
Ketika kita menyaksikan film sastra atau membaca karya sastra, secara otomatis kita akan menerobos lingkungan ruang dan batas waktu yang ada di sekitar kita. Karya fiksi yang termasuk dalam karya sastra literer adalah karya yang berhasil membangunkan manusia terhadap rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya termaksud. Film sastra membuat kita sanggup memahami segenap perjuangan tokoh-tokoh yang dilukiskannya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. Kita juga dapat mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh dalam film sastra yang kita saksikan. Kita turut menghayati nasib yang dialami tokoh-tokohnya. Dalam penghayatan ini dunia kita diperluas, menembus batas-batas duniawi yang ada di sekitar kita.
Kemampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Ini merupakan modal permulaan dan kemampuan untuk mengembangkan empati dan toleransi. Sesuatu yang esensial yang kita butuhkan dalam merengkuh hidup ini. Inilah kekuatan film sastra --juga karya sastra pada umumnya-- yang rasanya tidak diperoleh dalam buku-buku ilmu pengetahuan atau koran.

6. Sosialisasi Keunggulan Kultural dengan Bahasa Sinematik
Sejalan dengan Kracauer, Hauser (1984) menyatakan, bahwa semua media ekspresi artistik mempunyain ciri-ciri nasional. Tidak seorang pun seniman yang sanggup menggunakan bahasa universal, bahasa yang meremehkan bahasa nasional, tetapi dari semula mereka juga tidak hanya mengurung diri dalam kungkungan satu bahasa nasional. Semua karya seni, tidak hanya kesusatraan, mengekspresikan diri lewat idiom-idiom dari bahasa-bahasa nasional (1984). Bahasa kesenian, menurut Hauser, adalah hasil sebuah proses dialektik yang bertolak dari idiom nasional dalam usaha dan perjalanannya menjadi suatu karya yang universal ini.
Shakespeare dan pengarang-pengarang kelas dunia lainnya, semuanya menciptakan karya mereka dalam semangat bahasa ibu mereka. Karena itu, tanpa pengetahuan yang memadai akan rasa bahasa dalam suatu karya yang ditulis, sulit untuk sepenuhnya mengerti karya tersebut.
Bahasa sinematik sebagai sarana komunikasi pada hakikatnya juga berbentuk seperti isyarat dan lambang. Sebagai aspek semiotik, bahasa sinematik juga dilengkapi dengan unsur Ikon, Indeks, dan Simbol. Tiga unsur itu tercermin dari berbagai unsur visual yang terdapat pada tiap film. Menciptakan, memilih, menghimpun, menyusun, dan merakit usur-unsur visual dengan metode sinematografi, apakah itu dalam konsep penyutradaraan atau dalam proses penyuntingan film (editing) adalah prosedur fundamental dalam bertutur sinematik.
Seperti halnya dalam proses komunikasi pada umumnya, perlu ada kesepakatan dan konsensus serupa itu. Cara yang paling sederhana untuk mencapai konsensus itu adalah mengajarkan kepada komunikan, dalam hal ini para pelajar (siswa dan mahasiswa) dan masyarakat pada umumnya, pengertian atau penguraian lambang-lambang sinematik yang lazim digunakan sebagai unsur bahasa sinematik.
Untuk itulah perlu digagas dan diusulkan kembali perlunya pelajaran Apresiasi Film dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Gagasan ini tidak berlebihan, mengingat dalam kurikulum sudah lazim terdapat kuliah Apresiasi Seni pada berbagai program studi di perguruan tinggi dan pelajaran Seni Budaya di sekolah dari SD sampai dengan SMTA sebagai muatan lokal (mulok). Akan tetapi sinema yang berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat dari dimensi sosial, kultural, dan psikologis itu justru tidak disentuh dalam kurikulum Apresiasi Seni. Alasannya klasik yakni beban siswa sudah terlalu banyak. Argumen itu tidak komplementer dan tidak populer yang bersumber pada terbatasnya pemahaman mengenai fungsi sinema sebagai sarana kultural.
Sebagai ilustrasi, kini di beberapa TK Favorit Jakarta misalnya Al-Azhar, SD favorit Ta’mirul Islam Surakarta, para siswanya sudah diberi apresiasi seni termasuk teater dan sinema, bahkan mulai dikenalkan proses produksi sinema. Demikian juga di beberapa perguruan tinggi yang tidak memiliki Fakultas Sastra/ Ilmu Pengetahuan Budaya seperti Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler mulai dilakukan pelatihan pembuatan atau proses produksi film tersebut dari pembuatan skenario cerita, casting pemain, acting, pengambilan gambar dengan kamera, trik-trik kamera, hingga proses penyuntingan film, dengan menghadirkan beberapa pakar dari insan perfilman. Di banyak perguruan tinggi misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) terdapat Cine Club, di UMS ada Unit Sastra dan Film, sebagai salah satu unit kegiatan kemahasiswaan ekstrakurikuler yang banyak melakukan pengkajian sinema baik melalaui dialog, diskusi, sarasehan, pemutaran film dengan menghadirkan para insan film baik pemain, sutradara, penulis skenario, maupun produser.

7. Penutup
Pembahasan film sastra sebagai media revitalisasi budaya kiranya layak dikedepankan. Di tengah minimnya produksi film nasional bermutu dan di pihak lain membanjirnya film-film asing di tengah kehidupan bangsa kita, kiranya perlu dipikirkan pentingnya memproduksi film-film yang berdimensi kultural. Dengan kerja sama sinergis kalangan sastrawan, sineas, dan pendidik yang dikomandani Pusat Tekonologi Komunikasi (Pustekkom) Departemen Pendidikan Nasional, atau Perusahaan Film Nasional (PFN), serta lembaga terkait, sudah selayaknya berbagai kalangan dan institusi memikirkan hal ini.
Departemen Pendidikan Nasional dan institusi pendidikan yang memiliki komitmen terhadap revitalisasi budaya bangsa dalam upaya pembangunan moral bangsa, sudah saatnya memikirkan dan merealisasikan kerja sama sinergis antara berbagai pihak di atas dengan memasukkannya dalam kebijakan yang terprogram, terarah, dan berkesinambungan. Hal ini diperkuat oleh realitas keringnya film nasional dari unsur keunggulan kultural, terlebih minimnya film anak-anak yang kaya akan nilai kultural, moral, dan relegiusitas.
Pendidikan tinggi sudah saatnya melakukan kajian-kajian mendalam mengenai film-film sastra dengan berbagai aktivitas akademik seperti penelitian, diskusi, seminar, sarasehan, dialog, dan lain-lain. Pembentukan unit kajian film semacam Cine Club merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan yang memfokuskan kajiannya pada sinema-sinema. Selain itu perguruan tinggi dapat pula berperan sebagai mediator atau fasilitator dalam menjajaki berbagai kemungkinan untuk pelaksanaan kerja sama berbagai pihak terkait agar gagasan untuk melahirkan film sastra tersebut dapat menjadi kenyataan, bukan impian belaka.
Akhirnya, beberapa gagasan mengenai aktualisasi film sastra dalam rangka revitalisasi budaya bangsa tersebut baru merupakan kajian awal yang lebih merupakan gagasan sehingga perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Adalah kemauan dan tekad kita bersama yang dapat menjawab dan merealisasikannya. Demikian, semoga.

Daftar Pustaka

Effendi, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Karya.

Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. Chicago and London: The University of Chicago
Press.

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 1999. “Mengurai Benang Kusut Perfilman Nasional”. Makalah pada Dialog
Perfilaman Nasional pada tanggal 28 April 1999 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

_______. 1993. “Revolusi Televisi: Imperialisme Budaya Masyarakat Modern”. Makalah
dalam Seminar Nasional tentang “Era Televisi Swasta di Indonesia” Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 30 Oktober 1993.

Kracauer, Sigfried. 1974. From Caligary to Hitler: A Psychological History of the German Film.
New Yersey: Princeton University Press.

Moglen, Helena. 1984. “Erosion in theHumanities” dalam Change, Volume 16 No. 7, Oktober
1984.
Rachmat, Djalaluddin. 1992. Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim. Bandung:
Mizan.

Said, Salim. 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Sinar Harapan.

Soebadio, Haryati. 1993. “Memahami Sastra dan Film sebagai Ungkapan Sosial-Budaya dan
Konsekuensinya untuk Pendidikan”. Makalah pada Seminar Internasional dengan tema
Sastra, Film, dan Pendidikan pada tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Sumardjono. 1993. “Sinema sebagai Sarana Edukatif”. Makalah pada Seminar Internasional
dengan tema Sastra, Film, dan Pendidikan pada tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Wardhana, Veven Sp. 1997. Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

________________
1) Disajikan pada Seminar Nasional dalam rangka Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXX pada tanggal 24-26 Agustus 2008 di Universitas Tidar Magelang.
2) Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta Telpon (0271) 717832 Ponsel: 081329107250.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar