Selasa, 26 April 2011

METODE PEMBELAJARAN YANG MENCERAHKAN SISWA:

METODE PEMBELAJARAN YANG MENCERAHKAN SISWA:
KREATIF, GEMBIRA, DAN BERMAKNA
Oleh Ali Imron Al-Ma’ruf.

1. Prawacana
“Di tangan guru yang kreatif, bahan pelajaran dan metode apa pun
akan dapat mencapai hasil yang baik.”.
“Tidak ada satu metode pun yang terbaik dalam belajar-mengajar.”


Sekolah kita hingga dewasa ini kebanyakan tidak mampu menciptakan iklim yang mencerahkan siswa. Proses pembelajaran yang klasikal, duduk manis di bangku, dengan menghadapi buku catatan dan buku teks (entah dibaca atau tidak), dan mendengar ‘ocehan’ guru, membuat perhatian siswa tertuju pada bel yang akan berbunyi. Pelajaran guru tidak menumbuhkan berpikir kreatif dan tindakan kreatif bagi siswa. Padahal, bukankah pendidikan dapat dikreasi sebagai suatu faktor yang mencerahkan siswa?
Kreativitas di negeri ini memang mahal. Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang diterapkan selama ini, paling tidak sejak awal kemerdekaan RI. Bagaimana para siswa akan kreatif jika segala sesuatunya serba diatur dan dibatasi. Semuanya serba seragam, sampai-sampai duduk siswa pun diatur. Siswa tidak memiliki kebebasan dan kesempatan mengembangkan kreasinya, terpasung dalam ‘gedung megah yang bernama sekolah’. Ilustrasi tembang para siswa Sekolah Dasar di Jawa: “Siji loro telu, tangane sedheku Mirengake Bu Guru, menawa didangu Papat nuli lima, lenggahe sing tata, Aja padha sembrana, mundhak ora bisa” ini secara implisit mencerminkan hal itu. Padahal kreativitas memerlukan kebebasan berpikir dan berkreasi. Tanpa adanya kebebasan berpikir dan berkreasi, mustahil sekolah akan menghasilkan manusia unggul.
Dalam konteks inilah maka diperlukan perubahan strategi belajar-mengajar agar
tercipta pembelajaran yang mampu menciptakan pencerahan. Harus ada inovasi besar-besaran agar sebuah pertarungan dapat dimenangkan sambil merancang jalan dengan melampaui jalur-jalur yang sudah ada. Karena itu, untuk memenangkan masa depan, meminjam istilah D’Bono (lihat Hamad, 1995: 12), suatu ketika harus ada keberanian bahwa kita dapat berjalan dengan tenang meskipun menggunakan kendaraan beroda empat. Karena, yang menjamin kenyamanan bukan rodanya melainkan sistem suspensi yang mendukungnya. Itulah berpikir supertisi, cara berpikir yang melampaui garis-garis linear dan hubungan sebab-akibat. Metode berpikir seperti itu diperlukan dalam mendekonstruksi metode pembelajaran di sekolah kita (Imron A.M., 2002).
Untuk merealisasikan hal tersebut, maka gurulah yang memegang peran kunci (primer), tentu saja bersama Kepala Sekolah. Komponen lain seperti siswa, media, misalnya, hanyalah komponen sekunder. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ada ungkapan, “Di tangan guru yang kreatif, bahan pelajaran dan metode apa pun akan dapat mencapai hasil yang baik.”
Permasalahannya adalah bagaimana peran guru dalam menciptakan suasana belajar-mengajar yang mencerahkan siswa? Metode yang bagaimana yang dapat mendukung terciptanya suasana belajar-mengajar yang kreatif, gembira, dan bermakna?

2. Menghadapi Era Brain
Hasil penemuan mutakhir menyebutkan bahwa otak memiliki tiga fungsi, yakni: (1) fungsi emosi, (2) fungsi rasional – eksploratif atau kognisi, dan (3) fungsi refleksi.
2.1 Fungsi Emosi
Fungsi ini semakin mencuat dengan ditemukannya emotional intelligency (EQ) yang dirintis Daniel Goleman, termasuk penemuan pentingnya psikoneuroimunologi dan keyakinan dalam menciptakan kondisi biologis yang baik. Keyakinan menjadi salah satu terapi penting dalam menciptakan kondisi tubuh yang seimbang. “Keyakinan untuk sembuh adalah metode itu sendiri”. Optimisme dan positive thinking memberi pengaruh menguntungkan dalam kondisi tubuh manusia.
Fungsi emosional otak yang penting adalah lahirnya rasa bahagia, gembira, dalam setting sosial dan lingkungan. Karena itu, tanpa kecerdasaan emosi manusia tidak akan pernah menjadi manusia sosial yang hidup dengan senjata emosionalnya. Dan, fungsi emosional otak ini lebih dulu berkembang ketimbang fungsi rasional.
2.2 Fungsi Kognisi
Berbagai temuan di bidang sains dan teknologi dari yang simpel hingga yang tercanggih, merupakan indikasi kemajuan kecerdasaan rasional. Thomas Kun (1984) menyebut revolusi paradigma, yakni aktualisasi fungsi eksploratif. Fungsi rasional-eksploratif otak digambarkan secara jelas dalam makna harfiah kata berpikir, dari fikr (bahasa Arab) berarti usaha keras dan tak kenal lelah untuk ‘menyingkap’, ‘membuka’, atau mengeksplorasi setiap objek yang ada sehingga objek itu dapat dipahami secara jelas. Albert Einstein dengan teori relativitas, Abdusalam dengan teori gabungan gaya elektromagnetik, dan Sigmund Freud dengan Psikoanalisis, adalah kegiatan berpikir untuk dapat menyingkap segala sesuatu tentang objek yang ada di alam semesta.
2.3 Fungsi Spiritual
Fungsi ini meliputi hal-hal yang bersifat religius dan supranatural, yang berdasarkan penelitian bersumber dari dalam otak manusia. Kerangka orientasi seperti agama sebagaimana ditegaskan oleh Erich Fromm (1994) adalah controh refleksi. Keberadaan Tuhan sesungguhnya tidak lagi perlu dipermasalahkan. Makna kehadiran Tuhan berhubungan erat dengan adanya kesempurnaan tubuh manusia. Kesempurnaan fisik manusia ditunjukkan antara lain adanya struktur tubuh yang efektif dan fungsional. Posisi tegak, sistem lokomotorik, dan pancaindra adalah tiga contoh kesempurnaan itu (lihat Purwanto, 2003).
Zohar dan Marshall (2000) memberikan tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi adalah: (1) kemampuan bersikap fleksibel, adaptasi secara spontan dan aktif, (2) tingkat kesadaran tinggi, (3) kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, (4) kemampuan menghadapi dan melampaui rasa takut, (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya: ‘mengapa?’ atau ‘bagaimana jika?’ untuk mencari jawaban yang mendasar, dan (9) pemimpin yang penuh pengabdian dan tanggung jawab. Substansinya, ada dua unsur penting dalam kecerdasaran spiritual yakni nilai dan makna.
Berdasarkan temuan-temuan ilmiah tersebut, maka kini pembelajaran pun mesti mengalami dekonstruksi dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi. Jika dulu orientasi pendidikan hanya terfokus pada pengembangan kognisi (kecerdasan rasional) dan dekade terakhir muncul kecerdasan emosional, maka kini harus berorientasi pula pada kecerdasan spiritual yang bergayut dengan nilai dan makna. Pendek kata, pembelajaran kini harus mampu mencerahkan siswa agar mereka kreatif, bergembira, dan bermakna.

3. Belajar Bagaimana Berpikir, Belajar, dan Berkreasi
Sikap pembelajaran yang dikehendaki dalam perubahan sistem pendidikan kini adalah dikembangkannya individualitas, kreativitas, dan kecakapan, yang memiliki manfaat bagi tatanan dunia baru dalam masyarakat informasi. Masyarakat informasi yang berkembang sejak dekade 1980-an itu adalah masyarakat industri (dulu agraris). Tantangan yang dihadapi kini adalah bagaimana informasi masyarakat industri itu mampu ditumbuhkan. Kemudian, bagaimana mampu menumbuhkan suatu kecakapan yang exellence dalam sistem pendidikan kita.
Menghadapi realitas itu, esensial yang mengharapkan kualitas dan akuntabilitas tidak cukup. Kita haruslah jauh maju ke depan dalam pendidikan, yakni memberikan ketrampilan-ketrampilan baru yang tepat guna untuk keperluan masyarakat informasi. Ketrampilan tersebut diperoleh di dalam dan di luar kelas yang merupakan adaptasi tiga serangkai tingkah laku yang diharapkan yakni berpikir, belajar, dan berkreasi (thinking, learning, and creating) (Naisbitt, 1995: 125).
Guna merealisasikan ketiga bahasan tersebut --belajar bagaimana berpikir, belajar, dan berkreasi-- berdasarkan temuan penelitian ternyata diperlukan visualisasi dalam banyak bidang pelajaran. Visualisasi awal banyak dilakukan di SD, sehingga membantu siswa dengan cepat dan tepat dalam proses pembelajaran: membaca, menulis, dan matematika. Kemampuan ini kemudian ditingkatkan sehingga siswa pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mampu mengembangkan kemampuan self-concept, aprreciation, self-starting, creativity, expended comprehension, warmth, openness with others, and introspection (Beverly-Colleene Galyean, dalam Kasmadi, 1995).
Siswa harus dipersiapkan lebih pada tingkat menstimulasi, memanfaatkan, dan (memiliki) keingintahuan (curious) daripada sekadar membaca dan mendengarkan saja. Ketiga bahasan di atas (belajar berpikir, belajar, dan berkreasi), akan memiliki dampak positif yakni belajar bukan sekadar menamatkan pelajaran secara formal (ijazah), tetapi lebih dari itu. Kemampuan yang tinggi (exellence) yang diperoleh di sekolah akan sangat bermanfaat untuk belajar selanjutnya bahkan dalam meniti karier apa pun.

3. Persyaratan Guru Mengajar Efektif
Untuk dapat mengajar secara efektif dalam sebuah proses belajar-mengajar (PBM), maka diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi guru, antara lain:
(1) Guru harus menguasai bahan pelajaran sebaik mungkin. Sehingga, guru dapat membuat unit dan variasi pelajaran, memebatasi bahan dan memecahkan persoalan, membimbing siswa secara tepat, dan memiliki percaya diri.
(2) Guru harus mencintai pada apa yang diajarkan dan berpendirian bahwa mengajar adalah suatu profesi yang diharapkan bahkan dibanggakan.
(3) Guru harus memahami siswa tentang pengalaman pribadinya, kemampuan dan prestasi belajarnya.
(4) Guru harus menggunakan variasi metode, dalam mengajar memilih metode yang tepat untuk setiap bahan pelajaran.
(5) Guru tidak mungkin menguasai semua bahan dan semua mata pelajaran.
(6) Guru harus dapat membimbing kepada apa yang aktual dan harus disiapkan sebaik-baiknya.
(7) Murahlah dengan pujian dan guru harus berani demikian, sebab hal itu akan membawa hasil yang lebih baik daripada selalu mengritik siswa.
(8) Timbulkan motivasi belajar secara individual dan gunakan pengalaman siswa, sehingga dapat memberi kebebasan dan membiasakan siswa memiliki daya kreasi dan bekerja (lihat Roestiyah N.K., 1999: 14).

5. Beberapa Metode Pembelajaran yang Mencerahkan Siswa
Tidak ada satu metode pun yang terbaik dalam proses belajar-mengajar. Metode yang tepat untuk pelajaran dan pada kelas tertentu belum tentu tepat untuk pelajaran dan kelas lain. Sebaliknya metode yang tidak tepat untuk pelajaran dan kelas tertentu, mungkin justru tepat diterapkan pada pelajaran dan kelas lainnya. Gurulah yang paling tahu metode apa yang sebaiknya dipakai.
Berikut dipaparkan beberapa metode pembelajaran yang dapat mencerahkan siswa.
5.1 Inquiry and Discovery
Inquiry bertitik tolak dari keyakinan dalam rangka pengembangan siswa secara independen. Metode itu membutuhkan partisipasi aktif dalam penyelidikan secara ilmiah. Tujuan metode latihan Inquiry adalah membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan ketrampilan yang dibutuhkan dengan memberikan pertanyaan dan memperoleh jawaban atas dasar rasa ingin tahu mereka.
Metode ini mulanya dikembanghkan oleh Richard Suchman (1960) dalam bidang IPA dan dikembangkan dalam ilmu-ilmu lain, seperti ilmu Bumi, ekonomi, dan lain-lain. Latihan Inquiry dimulai dengan memberikan kepada siswa suatu peristiwa yang menimbulkan teka-teki. Hal itu akan memotivasi siswa untuk mencari pemecahannya (Discovery). Dengan cara ini, siswa akan lebih menyadari tentang proses penyelidikannya dan mereka dapat diajar tentang prosedur ilmiah secara langsung.
Adapun tahap-tahap dalam latihan Inquiry sebagai berikut: (1) Penyajian masalah atau menghadapkan siswa pada situasi teka-teki, (2) Pengumpulan dan Verifikasi data, (3) Mengadakan eksperimen dan pengumpulan data, mengumpulkan unsur baru, (4) merumuskan penjelasan, dan (5) mengadakan analisis tentang proses Inquiry.
Suchman (dalam Dahlan, 1984: 35), berpendapat mengenai pentingnya membawa siswa pada sikap bahwa semua pengetahuan bersifat tentatif. Teori Suchman dijabarkan sebagai berikut: (1) Pada hakikatnya orang mengadakan penyelidikan, jika menghadapi teka-teki, (2) Mereka dapat menyadari dan belajar menganalisis strategi berpikir, (3) Strategi baru dapat diajartkan secara langsung sehingga siswa memperoleh tambahan dari yabng ada, dan (4) Inquiry secara kooperatif memperkaya cara berpikir siswa dan menolong mereka belajar tentang hakikat timbulnya pengetahuan yang tentatif dan menghargai berbagai alternatif penjelasan.

5.2 Metode Sinektik (Synectic)
Metode sinektik merupakan pendekatan baru yang menarik untuk mengembangkan kreativitas siswa, yang dirancang oleh William J.J. Gordon. Mula-mula diterapkan pada organisasi industri guna mengembanghkan aktivitas kelompok agar setiap individu terlatih untuk dapat bekerja sama dengan orang lain, dan kemudian berfungsi sebagai orang yang dapat mengatasi masalah (problem-solvers) dan mampu mengembangkan produksi (product-developers).
Ada empat pandangan yang mendasari metode sinektik:
(1) Kreativitas merupakan kegiatan sehari-hari, merupakan bagian kegiatan kerja dan berlangsung seumur hidup. Kreativitas tidak merupakan pekerjaan luar biasa seperti seni musik, patung, atau penemuan baru. Metode ini cocok untuk meningkatkan kemam-puan memecahkan masalah, ekspresi kreatif, empati, insight dalam hubungan sosial.
(2) Proses kreatif tidak selamanya misterius melainkan dapat diuraikan dan dapat dimanfaatkan untuk melatih individu guna meningkatkan kreativitas mereka.
(3) Kreativitas tercipta di segala bidang. Jadi, kreativitas tidak hanya dalam bidang seni. Bidang sains dan mesin pun berkembang karena kreasi manusia. Berpikir kreatif terjadi dalam sains dan seni.
(4) Peningkatan berpikir kreatif individu dan kelompok sama. Individu dan kelompok dapat menimbulkan ide-ide kreatif dalam berbagai hal. Jadi, kreativitas tidak hanya merupakan pengalaman yang bersifat individual.
Aktivitas metaforis merupakan inti dari Sinektik. Metafora memperkenalkan konsep jarak antara siswa dengan objek atau subjek lain, mendorong berpikir orisinal. Contoh: siswa diminta memikirkan pelajarannya sebagai sebuah sungai. Kita memberikannya struktur, sebagai metafora, kemudian siswa dapat memikirkan segala sesuatu yang telah dikenalnya melalui pendekatan baru. Contoh metafora personal: “Jadilah awan. Di mana kamu? Apa yang kamu kerjakan? Bagimana perasaanmu jika matahari mengeringkanmu?”
Adapun tahap-tahap dalam metode Sinektik adalah: (1) Menciptakan sesuatu yang baru. Hal itu akan membantu siswa dalam memahami masalah, ide, dan produk yang baru yang akhirnya memperjelas kreatif, (2) Memperkenalkan keanehan. Membuat sesuatu yang baru, yang belum dikenal akan lebih berarti.
Metode Sinektik memiliki manfaat pragmatis dalam: (1) Pengembangan kurikulum, (2) Pengembangan kreasi menulis, (3) Menjelajahi masalah-masalah sosial, (4) Problem solving, (5) Pengembangan kreasi rencana atau produk, dan (6) Memperluas perspektif tentang suatu konsep. Sinektik merupakan metode baru untuk mengenal ide yang asing, aneh, unik, atau nyentrik.

5.3 Bermain Peran (Role-Playing)
Dalam proses belajar-mengajar, guru terkadang dihadapkan pada masalah. Pemecahan masalah dalam konteks PBM dapat dipecahkan dengan berbagai cara. Ada yang lebih tepat dipecahkan dengan diskusi kelas, tanya jawab antara guru-siswa, discovery and inquiry. Guru yang kreatif akan selalu mencari pendekatan baru dalam pemecahan masalah. Ia tidak terpaku pada satu metode sehingga monoton. Bermaian peran merupakan salah satu pendekatan yang dapat dipakai.
Bermain peran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan tindakan (action). Prosesnya: suatu masalah diidentifikasi, diuraikan, diperankan, dan selanjutnya didiskusikan. Untuk itu, sejumlah siswa bertindak sebagai pemeran tokoh tertentu, sedangkan sejumlah siswa lainnya sebagai pengamat. Setiap pemeran dituntut untuk menghayati dan menjiwai peran yang dimainkannya.
Ada empat asumsi yang mendasari metode bermain peran: Pertama, Secara implisit, bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan dimensi ‘di sini dan kini’ (here and now) sebagai isi pembelajaran. Kedua, bermain peran memberi kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaan yang tidak dapat mereka kenali tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional (catharsis) merupakan tujuan esensial dalam psikodrama. Ketiga, metode ini berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan masalah tidak selalu datang dari guru, dapat saja datang dari reaksi orang lain terhadap masalah yang tengah diperankannya. Keempat, metode ini berasumsi bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi berupa sikap, perasaan, nilai, dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran.
Adapun tahap-tahap dalam pelaksanaan bermain peran menurut Shaftel & Shaftel (dalam Dahlan, 1984: 128) meliputi: (1) merangsang semangat kelompok, (2) memilih pemeran, (3) mempersiapkan pengamat, (4) mempersiapkan tahap-tahap peran, (5) pemeranan, (6) mendiskusikan dan mengevaluasi peran dan isinya, (7) pemeranan ulang, (8) mendiksusikan dan mengevaluasi pemeranan ulang, dan (9) menghkaji kemanfaatan dalam kehidupan nyata melalui diskusi dan penarikan generalisasi.
Selanjutnya, ada lima prinsip reaksi yang perlu diperhatikan guru dalam bermain peran: (1) Guru selayaknya menerima respons yang ditunjukkan para siswa, terutama menyangkut pendapat dan perasaannya, tanpa disertai penilaian tertentu akan baik buruknya, (2) Guru seyogyanya membantu para siswa mengeksplorasi situasi masalah dari berbagai segi, berusaha mencari titik temu dan titik beda antara pandangan-pandangan yang dikemukakan, (3) Dengan cara merefleksikannya, menguraikan, dan menangkap esensi respons-respons siswa, guru berupaya meningkatkan kesadaran siswa akan pandangan-pandangan dan perasaannya sendiri, (4) Guru perlu menekankan kepada siswa bahwa ada berbagai cara untuk memainkan suatu peran; setiap cara itu memiliki konsekuensi yang beraneka ragam. Aneka ragam konsekuensi itulah yang harus mereka eksplorasi, dan (5) Guru perlu menekankan kepada para siswa bahwa ada berbagai kemungkinan cara untuk memecahklan suatu masalah; tidak ada satu carapun yang paling tepat. Adalah penting untuk mengkaji hasil suatu pemecahan masalah.
Ada sejumlah sumber yang dapat dijadikan pegangan dalam memilih topik yang akan diperankan, yakni: (1) isyu-isyu yang muncul dari tahap-tahap perkembangan individu, (2) isyu yang menyangkut masalah etnik, kelas sosial-ekonomi, seksual, (3) nilai-nilai etika, moral, akhlak, (4) kesulitan emosional, (5) skrip, (6) situasi-situasi yang sulit misalnya bertemu dengan orang baru (asing), (7) perilaku-perilaku yang mengundang masalah seperti agresi, penggunaan narkoba, (8) isyu sosial seperti rasialisme, pemogokan buruh, dan (9) isyu-isyu yang berkembang dan aktual dalam masyarakat, seperti kenaikan BBM, TDL, telepon, dan lain-lain.

5.4 Simulasi
Siswa SMU/ SMK diajak melihat televisi yang menayangkan pesawat ruang angkasa yang gagal melepaskan anggota awak pesawat. Instruksi dari pesawat pengendali di bumi menugaskan mereka agar bekerja sama dalam menghemat bahan-bahan yang menunjang kehidupannya dan dapat mengatur diri sampai pesawat dapat dibetulkan.
Simulasi membawa siswa ke dalam kondisi yang realistis untuk dikembangkan. Materinya diambil dari keadaan yang sebenarnya yang ditampilkan dalam bentuk yang mudah dibawa ke kelas. Melalui simulasi ini diharapkan siswa dapat mengembangkan konsep-konsep dan ketrampilan yang diperlukan. Dengan simulasi siswa akan mengetahui akibat yang akan menimpa dirinya jika ia memberikan reaksi terhadap respons yangh diberikan oleh simulasi tadi dan memperbaiki tindakannya.
Metode simulasi banyak melibatkan pelajaran dengan memanfaatkan perangkat lunak secara efektif. Sedangkan metode lainnya lebih mengandalkan kemampuan pribadi guru, seperti kemampuan memahami konsep, membantu siswa memahami gagasan pokok, dan lain-lain. Guru mengkombinasikan perlengkapan simulasi dengan peralatan kurikulum, memperjelas pelajaran yang berhubungan dengan permainan.
Simulasi merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip Cybernetic (cabang Psikologi). Belajar dalam pengertian Cybernetic adalah pengindraan tingkah laku seseorang yang punya akibat pada lingkungan serta perbaikan diri. Pembelajaran dalam pengertian Cybernetic dirancang untuk menciptakan lingkungan siswa dengan sistem umpan balik.
Sebuah simulator merupakan perlengkapan yang dapat mengungkapkan kembali kenyataan secara utuh dalam latihan-latihan, dalam hal ini kejadian-kejadian yang sangat kompleks dapat diatur. Melalui simulator mobil misalnya, seseorang dapat merasakan seolah-olah mengemudikan mobil pada areal tertentu (melalui layar yang tersedia).
Banyak aplikasi Cybernetic dalam pendidikan yang sederhana, di antaranya: (1) Permainan karier dalam kehidupan, (2) Permainan berdasarkan komputer yang ekonomis, (3) Simulasi internasional, dan lain-lain. Adapun tahap-tahap dalam penerapan simulasi meliputi: (1) Orientasi (tema yang akan digarap, konsep yang akan ditanamkan, dll.), (2) Partisipasi dalam latihan, (3) Simulasi itu sendiri, dan (4) Tanya jawab.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, guru dapat membantu siswa dalam memusatkan perhatiannya dalam: (1) kejadian, persepsi, dan reaksi siswa, (2) menganalisis proses yang telah dilakukan, (3) membandingkan peristiwa dalam simulasi dengan dunia nyata, (4) menghubungkan kegiatan dengan isi pelajaran, dan (5) menilai dan merencanakan kembali simulasi.

5.5 Metode Tak Langsung
Metode ini didasarkan pada karya Carl Rogers, yang menyatakan bahwa hubungan kemanusiaan yang positif memungkinkan seseorang untuk tumbuh, bahkan pengajaran itu sebenarnya didasarkan pada konsep-konsep hubungan manusiawi dari-pada konsep-konsep bidang studi, proses berpikir, atau sumber-sumber intelektual lainnya. Peran guru sebagai fasilitator yang memiliki hubungan dekat secara personal dengan siswa dan membimbing perkembangannya. Guru membantu siswa menjelajahi ide-ide baru tentang hidup, tugas sekolahnya, dan hubungannya dengan teman lainnya.
Tujuan metode tak langsung adalah membantu siswa untuk mencapai integritas pribadi yang lebih besar, efektivitas dan peningkatan diri yang realistis. Juga menciptakan suatu lingkungan belajar yang kondusif terhadap proses simulasi, memeriksa dan mengevaluasi persepsi yang baru
Tahap-tahap dalam pelaksanaan metode Tak Langsung yakni: (1) Menentukan situasi yang membantu, (2) Siswa didorong dengan penerimaan klasifikasi guru, untuk mengekspresikan perasaan yang negatif dan positif, mengemukakan dan menemukan masalah, (3) Siswa secara berangsur-angsur mengembangkan insight, (4) Siswa merencanakan dan membuat keputusan tentang masalah. Peran guru adalah menjelaskan berbagai alternatif, dan (5) Siswa mengemukakan tindakan yang ia ambil, mengembang-kan insight lebih lanjut, dan secara berangsur tindakan yang lebih terpadu dan positif.

5.6 Diskusi
Metode diskusi bermanfaat untuk melatih kemampuan memecahkan masalah secara verbal, memupuk kemampuan berpikir alternatif, dan memupuk sikap demokratis. Metode diskusi memiliki kadar kreativitas dan makna yang cukup tinggi. Tentu diskusi akan berjalan baik dan efektif jika para siswa telah mampu berpikir logis.
Diskusi dilakukan bertolak dari masalah. Masalah yang baik untuk dibahas dalam diskusi siswa adalah: (1) Menarik minat siswa yakni masalah yang kontekstual dengan dunia psikologisnya, (2) Memiliki kemungkinan jawaban lebih dari sebuah, (3) Pada umumnya tidak menyatakan mana jawaban yang benar, tetapi lebih banyak mengutamakan hal mempertimbangkan dan membandingkan (Surakhmad, TTL: 98-99).
Ada beberapa macam diskusi dilihat dari teknik pelaksanaannya: (1) Debat: yakni dua kelompok mempertahankan pendapatnya masing-masing yang bertentangan, (2) Diskusi kelompok: Suatu masalah dibagi dalam beberapa submasalah, lalu beberapa kelompok peserta (siswa) masing-masing membahas, (3) Panel: Diskusi dilakukan oleh dua sampai tujuh panelis, sedangkan peserta/ siswa bertindak sebagai audiens. Dengan mengikuti diskusi panel, maka siswa akan memahami topik yang dibahas, (4) Simposium: Topik dibagi dalam beberapa subtopik, lalu dibahas oleh para narasumber sesuai dengan sudut pandang masing-masing, (5) Seminar: pembahasan ilmiah yang mengkaji tema tertentu secara mendalam bertolak dari makalah karya narasumber.

6. Purna Wacana
Mengakhiri pembahasan mengenai metode pembelajaran yang mencerahkan, perlu digarisbawahi bahwa pada era otak (brain) sekarang strategi pembelajaran perlu dilakukan perubahan besar-besaran. Hal ini sejalan dengan perubahan orientasi pendidikan yang kini tidak saja mengembangkan kecerdasan rasional (kognitif), melainkan juga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Salah satu hal yang sangat urgen dan vital dalam proses belajar-mengajar yang perlu segera didekonstruksi adalah metode pembelajaran. Kini metode pembelajaran harus diupayakan agar benar-benar ‘mencerahkan siswa’ sehingga siswa akan memiliki daya kreatif, belajar dengan gembira, dan bermakna. Untuk mewujudkan semua itu, maka gurulah yang memegang peran sentral. Di sinilah guru dituntut untuk merevitalisasi diri dengan bekerja secara profesional dan all out. Tanpa hal itu, rasanya pencerahan siswa hanya akan menjadi wacana dan wacana, sulit menjadi realita.
Akhirnya, semua terpulang kepada jati diri kita masing-masing sebagai pendidik dan pengajar. Jika kita serius, insya’Allah kelak akan lahir generasi intelektual yang unggul: kreatif, berwawasan luas, sekaligus religius.

Daftar Pustaka:

Dahlan, M.D. 1984. Beberapa Alternatif Interaksi Belajar-Mengajar: Model-model
Mengajar. Bandung: CV Diponegoro.

Hamad, Ibnu. 1995. Membangun Kemandirian Indonesia. Jakarta: Forum Dialog
Indonesia.

Imron A.M., Ali. 2002. “Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi untuk
Memenangkan Masa Depan: Sebuah Alternatif” dalam Prabowo, Andi Haris dan
Ariatmi, Siti Zuhriyah. Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Tahun 2000. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Kasmadi, Hartono. 1995. “Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Transformasi Sosial
Budaya: Terobosan Alternatif Antisipatif” dalam Akademika Nomor 02 Tahun
XIII/ 1995.

Naisbitt, John and Patricia Aburdene. 1995. Re-Inventing the Corporation (Transforming
Your Job and Your Company). New York.

Purwanto, Yadi. 2003. “Belajar Kreatif, Asyik dan Bermakna”, Makalah dalam Pelatihan
Persiapan Fullday School System Guru SD Ta’mirul Islam Surakarta, 8 Juli 2003.

Surachmad, Winarno. TT. Metodologi Pengajaran Nasional. Bandung: IKIP Bandung.



________________
*) Disajikan dalam Penataran Guru SLTP dan SMU al-Irsyad di Pondok Pesantren Islam al-Irsyad Semarang pada tanggal 24 Juli 2003.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar