Minggu, 24 April 2011

INTERTEKSTUALITAS PUISI "PADAMU JUA" AMIR HAMZAH DAN PUISI "DOA" CHAIRIL ANWAR: Menelusuri 'Cahaya' al-Qur'an dalam Puisi Sufistik Indonesia

Oleh Ali Imron Al-Ma'ruf
Pendidikan Bahasa, Sastra Indoensia dan Daerah & Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta

ABSTRAK
The study focused on the intertextual analysis of poems "Padamu Jua", master piece of Amir Hamzah and "Doa", masterpiece of Chairul Anwar. The study aims to describe: (1) the intertexts relation of the poem "Padamu Jua" and "Doa"; (2) the influence of the poem "Padamu Jua" ad hypogram on the poem" Doa"; and (3) to describe the possibility of the Al-Qur'an as an inspiration source. The research method is qualitative since it uses participant observation technique. This mean that the research gets into the realms of data, comprehends theously systematizes the object of study. The object of study is the intertextualities of the two poems while the data are qualitative types in the form of verbal word or discourse within the poem text. The result of study shows that: (1) there is intertextual relation between the poem "Padamu Jua" and "Doa"; the poem "Padamu Jua" is a hypogram while the poem "Doa" is as its transformation; (2) directly or indirectly, the poem "Padamu Jua" and the poem "Doa" can be seen on the structure the imagination use, and a slight different expression of its theme; (3) there is a strong tendency that the two poems constitute the Indonesia sufistic bellesletters inspired by the Al-Qur'an verse "Light of above Light" (S.an-Nur: 35) as its hypogram. Therefore, the two poems are categorized as highly valuable works which are successfully to integrate the divine and human dimension.

Key words : intertexts, sufistic poems, divine and human dimension, hypogram




1. Pendahuluan
Daya kreativitas mendorong manusia untuk menguangkan pengalaman batiniah dan estetiknya dalam sebuah karya seni. Untuk itulah, seorang sastrawan sebagai seniman, dengan segenap kemampuan akal budi dan ketajaman mata batinnya, mengadakan refleksi atas berbagai peristiwa yang ditangkap dan dirasakannya. Dengan daya kreatif dan estetiknya, ia berupaya mengekspresikan berbagai pengalaman batin yang dirasakannya itu dalam sebuah karya sastra. Dengan demikian, apa yang bergelora dalam dirinya, baik berupa gagasan, renungan, 'pemberontakan' atas sesuatu, perasaan cinta, maupun getaran dan pengalaman religius, dituangkan ke daslam bentuk karya seni-sastra, puisi misalnya, agar dapat dinikmati dan dirasakan orang lain.
Pikiran yang bergejolak, hati yang terharu, dan jiwa yang bergetar karena berhadapan dengan sesuatu yang membangkitkan daya estetik seorang seniman itulah yang melahirkan karya seni. Lebih dari itu, dalam keadaan kontemplasi terkadang manusia sirna dalam keindahan dan keindahan sirna dalam jiwa manusia. Segala pengalaman estetis yang tersimpan dalam khazanah batinnya, dengan daya kreativitasnya kemudian dilahirkan dan direalisasikan ke dalam bentuk karya seni. Lahirlah karya kebudayaan dan keseniaan antara lain berupa karya sastra (bandingkan Semi, 1988: 9).
Karya seni yang tinggi, menurut Iqbal (199: xvi) ialah karya seni yang membangun kekuatan kemauan kita yang terlena dan memberi kita semangat untuk menghadapi ujian kehidupan dengan sikap janta. Semua yang menyebabkan kantuk dan membuat mata kita tertutup terhadap realitas bahwa hidup bergantung pada-Nya semata-mata adalah pesan kejatuhan dan kematian. Harus tidak ada candu yang memakan seni. Dogma "seni untuk seni" adalah penemuan yang cerdas dari kemunduran untuk menipu kita keluar dari kehidupan dan kekuasaan. Bagi Iqbal. Seni sejati adalah ekspresi keindahan dengan ketentuan hendak menyampaikan hasrat dalam hati manusia akan rasa cinta, yang menghadapi segala kesulitan. Mahkota seniman ialah keindahan yang akan menghayati dan menimbulkan cinta.

Dalam khazanah Indonesia dapat dilihat hadirnya sastra yang menggelorakan perasaan cinta ketuhanan dan semangat profetik yang bermuara pada intensitas transendental. Karya sastra yang dimaksud itu yang menonjol antara lain karya Amir Hamzah (Raja Penyair Pujangga Baru, Angkatan 1930-an), beberapa karya Chairil Anwar (Pelopor Angkatan 1945), Taufik Ismail (Penyair Terkemuka Angkatan 1966), Abdulhadi W.M, Danarto, Kunto Wijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Supardi Djoko Damono, Chairul Umam, Ikranegara, M. Fudholi Zaini (tokoh-tokoh angkatan karya 1970), dan masih banyak lagi. Begitu pula, karya sastrawan generasi berkutnya seperti Hamid Jabbar, D. Zamawi Imron, Afrizal Malna, Emha Ainun Najib dan lain-lain, yang oleh Abdulhari W.M (1985: v) dikatakan sebagai sastrawan berkecenderungan sufisfik.
Di antara para sastrawan yang berkecendurngan sifisfik tersebut, Amir Hamzah pantas dicacat kehadirannya. Jassin menyebutnya sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, karena merintis perkembangan perpuisian pada zamanya. Bahkan, Abdulhadi W.M mencacatnya sebagai perintis karya-karya berkecenderungan sufisfik. Hal itu terutama tampak dalam kumpulan puisinya Nyanyi Sunyi (1978; terbit pertama 1935) dan Buah Rindu (1977; terbit pertama 1937). Cukup banyak juga kritikus dan pengamat sastra Indonesia yang memandang Amir Hamzah sebagai penyair Indonesia yang memiliki intensitas pemahaman keilahian (ketauhidan) dan kontemplasi religius.
Melihat realitas itu, tidak mengherankan jika karya-karya Amir Hamzah banyak dipelajari oleh para sastrawan generasi sesudahnya. Bahkan, bukan tidak mungkin timbul pengaruh karya Amir Hamzah itu pada karya-karya sastrawan yang mempelajarinya itu, termasuk dalam hal ini Chairil Anwar.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah: (1) Bagaimana hubungan intertekstual sajak "Padamu Jua" karya Amir Hamzah dengan sajak "Doa" karya Chairil Anwar.?; (2) Adakah pengaruh sajak "Padamu Jua" pada sajak "Doa"? dan (3) Benarkah sumber insipirasi kedua sajak tersebut adalah ayat kitab suci Al-Qur'an?
Tulisan ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan hubungan intertekstual antara puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Doa" karya Chairil Anwar. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kedua sajak tersebut terkesan memiliki hubungan keterjalinan baik simbolik maupun tematiknya-terutama aspek kemanusiaan dan ketuhanan; (2) Memaparkan adakah pengaruh puisi "Padamu Jua" (1930-an) sebagai hipogram pada puisi "Doa" yang tercipta kemudan (1943); dan (3) Karena kedua sajak terkesan mengandung nafas religius, maka tulisan ini juga bertujuan untuk mengkaji kemungkinan sumber inspirasinya yakni Al-Qur'an.
Adapun manfaat tulisan ini adalah: (1) Memberikan informasi mengenai intertekstualitas puisi "Padamu Jua" karya Amir Hamzah yang tercipta terdahulu dengan puisi "Doa" karya Chairil Anwar yang tercipta kemudian; (2) Memberikan wawasan kepada para kritikus sastra bahwa sangat dimungkinkan adanya intertekstualitas karya sastra sebagai kreasi seseorang sastrawan dengan kitab ayat suci Al-Qur'an menunjukkan bahwa penciptaan sebuah karya sastra termasuk puisi sebagai kreasi penyair tidak terlepas dari latar belakang khazanah religiusnya.
Pengkajian mengenai hubungan interteskstual antara karya sastra dibandingkan dengan kajian sastra dengan pendekatan lainnya seperti Strukturalisme Genetik, Psikologi Sastra, Sosiologi Sastra, Semiotik- belum banyak dilakukan. Berbagai makalah atau artikel dalam jurnal ilmiah juga tidak banyak yang memuat kajian intertekstual karya sastra. Memang ada beberapa tulisan yang memuat kajian hubungan intertekstual karya sastra. Tulisan itu antara lain adalah tulisan Teeuw (2003: 121) yang mengkaji intertekstualitas antara puisi "Senja di Pelabuhan Kecil" karya Chairil Anwar dengan puisi-puisi Melayu. Dia berpendapat bahwa puisi "Senja di Pelabuhan Kecil" karya Chairil Anwar mentransformasikan prinsip dasar estetik puisi-puisi Melayu yang diwakili karya-karya Amir Hamzah.
Pengkajian semacam pernah dilakukan oleh Imron A.M (1990: 73) dalam tulisannya yang berjudul "Dialog Relegius antara Sajak" Nyala Cintamu" karya Anshari (Persia) dan sajak "Anak Laut, Anak Angin" karya Abdulhadi W.M.. Tulisan ini menganalisis hubungan antara kedua puisi itu yang sama-sama bernafaskan relegius, terutama gagasan sentral yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan analisisnya disimpulkan bahwa keduanya memiliki hubungan intertekstual dan terbuka kemungkinan bahwa puisi "Nyala Cintamu" karya Anshari merupakan hipogram dari puisi "Anak Laut, Anak Angin" karya Abdulhadi W.M.
Dalam tesisnya yang berjudul "Dimensi Sosial Keagamaan dalam Novel Keluarga Permana Karya Ramadhan K.H.: Analisis Semiotik" (Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada), Imron A.M (1995) juga menyertakan analisis intertekstual novel Keluarga Permana dengan teks-teks lain baik berupa karya sastra maupun non-karya sastra. Hasil analisnya, Permana memiliki hubungan intertekstual dengan novel Ramadhan yang lain yaitu Kemelut Hidup (1975), dengan Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama (1984). Dan ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam tesis itu, pembahasan intertekstual hanya melengkapi analisis semiotik.
Hingga pengkajian intertekstual puisi "Padamu Jua" dan "Doa" ini ditulis, sepanjang pengamatan penulis belum ditemukan pengkajian khusus mengenai hubungan intertekstualitas kedua puisi tersebut. Dengan demikian, orisinalitas pengkajian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Puisi memiliki hubungan yang erat sekali dengan filsafat dan agama. Aminnuddin (1987: 115) menulis bahwa sebagai hasil kreasi manusia, puisi mampu memaparkan realitas di luar dirinya. Puisi sebagai karya sastra adalah semacam cermin yang menjadi representasi dari realitas itu sendiri. Tegasnya, puisi akan mengandung empat masalah yang berhubungan dengan: (1) kehidupan, (2) kemanusiaan, (3) kematian, dan (4) ketuhanan.
Berangkat dari pengertian itu, maka pada dasarnya puisi itu juga menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang hakekat hidup, hakekat manusia, kematian, dan ketuhanan. Puisi "Padamu Jua" (karya Amir Hamzah, Angkatan Pujangga Baru) dan puisi "Doa" (karya Chairil Anwar, Angkatan 1945) terasa mengandung problema manusia tersebut terutama kemanusiaan dan ketuhanan.
Kedua puisi yang menjadi objek kajian ini memiliki nilai religius dan mengandung semangat profetik. Oleh karena itu, lebih dahulu perlu dikemukakan mengenai sastra sufistik.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "Pada awal mula, segala sastra adalah religius" (Mangunwijaya, 1982: 11), tampaknya bukan sekedar ungkapan klise, malainkan sungguh bermakna. Lebih jauh dapat dikatakan, "Semua sastra yang lebih selalu religius". Religiusitas bukan berarti hanya sekedar ketaatan ritual, formalitas belaka, melainkan lebih dalam, dan mendasar dalam pribadi manusia. Religiositas lebih melihat pada aspek "roh" yang ada di lubuk kalbu, riak getaran nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, akrena menyangkut kejiwaan. Singkatnya, religiositas merupakan cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan perasaan manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. Karena itu, religiositas lebih dalam dari pada agama yang tampak, formal, dan ritual.
Sekedar ilustrasi, jika seorang Muslim melakukan shalat lima waktu, hal itu bukanlah religius melainkan sekedar ketaatan formal. Akan tetapi, ketika seorang petani desa pada saat sepi meletakkan kayu jati miliknya di area pembangunan masjid tanpa memberikan identitas semata-mata memenuhi panggilan jiwa tauhidnya, itulah religius. Lagu-lagu qasidah atau hembusan yang berbahasa Arab yang menyeru untuk melaksanakan rukun Islam itu agamis, tetapi lagu "Tuhan" karya Taufik Ismail yang dilantunkan oleh Bimbo dan banyak dinyanyikan pula oleh orang-orang Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu itu religius.
Walaupun dalam nuansa yang berbeda, terasa sekali aspek religiositas pada kedua puisi ("Padamu Jua" dan "Doa"). Keintiman penyair dengan Tuhan begitu mesra. Keakraban dan kecintaan kepada Tuhan terasa kental. Tidaklah mengherankan jika menghayati puisi-puisi yang memiliki kecenderungan sufistik, seolah-olah pembaca diajak mengembara di alam transedental dan imajinatif. Karena itu bagi, Abdulhadi (1985: vi-vii) segi penting dalam pembicaraan sastra keagaan yang mendalam, atau sastra sufistik adalah segi profetiknya. Semangat profetik merupakan segi yang sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan transedental di dalam penciptaan karya sastra. Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan yang bersifat profan, sedangkan dimensi transendental menunjuk pada tujuan kehidupan yang lebih tinggi, yang berpuncak pada yang gaib. Dimensi kedua ini memberikan kedalaman pada karya, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian, membuat karya seni bersiaft vertikal (simbol dari makhluk dan Sang Khalik).
Sudardi (2001:1) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang di dalamnya dijabarkan paham-paham, sifat-sifat, dan keyakinan yang diambil dari dunia tasawuf. Singkatnya, karya sastra sufistik adalah karya sastra bermuatan ajaran kesufian.
Dilihat dari segi isinya, menurut Sudardi (2001: 11) karya sastra sufistik dibagi menjadi tiga golongn, yakni: (1) Karya sastra sufistik yang berisi ajaran atau konsepsi sufistik biasanya dibahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia dalam hubungannya dengan penciptaan (Jawa: sangkan paraning dumadi: asal ciptaan pada pusat yang satu yakni Allah); (2) Karya sastra sufistik yang berisi ungkapan pengalaman pencarian Tuhan. Mencari dan menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik. Pengalaman itu terkadang tidak dapati dilukiskan melainkan hanya dengan simbol-simbol. Misal: cerita Dewa Ruci yang mengisahkan Bima dalam mencari air kehidupan (air pawitra), yang tidak lain simbol dari pergulatan manusia dalam menemukan hakikat hidup; dan (3) Karya sastra sufistik yang berisi ungkapan kesatuan dengan Tuhan. Peristiwa ini merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh para sufi. Namun, peristiwa ini merupakan pengalaman sangat pribadi yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Oleh karen aitu, pengalaman itu sering dilukiskan dengan simbol atau perumpamaan. Misal: perasaan sufi yang sangat bahagia ketika berjumpa dengan Tuhan diibaratkan sebagai seseorang yang berhasil menjumpai kekasihnya yang sudah sangat lama dicarinya dengan susah payah.
Sastra sufistik menurut Abdulhadi W.M (1999: 23) dapat juga disebut sebagai sastra transendental, karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transenden seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis. Kuntowijoyo juga menyebut sastra semacam itu sebagai sastra transendental.
Pengalaman dan penghayataan estetik yang memainkan peran penting dalam usaha mencapai Tuhan, pada puncaknya mempunyai imkualitas religius, karena menyentuh dunia spiritual dan transendental. Hal ini dapat dipahami jika dikaitkan dengan hadits yang menyatkan, bahwa "Tuhan itu Maha Indah, dan Dia mencintai keindahan". Adapun pengalaman estetik bertalian dengan keindahan yang sifatnya spiritual dan supernatural yang pada klimaksnya akan mampu menghubungkan makhluk dengan khalik (Ali Imron A.M., 1990: 72).
Membaca puisi-puisi sufistik, pembaca seakan-akan menyenandungkan cinta kepada Tuhan dalam pesona transendental. Pada gilirannya, cinta itu akan membawa pemahaman kepada hakikat kehidupan dan mengenal lebih dekat kehadiran Tuhan dalam peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Dalam cintalah, penyair sufistik melabuhkan keyakinannya. Sebab, (kepada Tuhan) bagi mereka terasa sebagai yang terdalam dan paling merasuk dari pada segala jenis perasaan.
Salah satu cara untuk dapat memahami makna puisi secara total adalah dengan jalan melihat hubungan intertekstual antara puisi-puisi yang memiliki hubungan kesejajaran, baik dengan sajak yang mendahului maupun sajak yang sezaman. Interekstual adalah masuknya teks lain ke dalam suatu teks, saling menyilang dan menetralisasi satu dengan lainnya (Culler, 1981: 106; Hawkes, 1978: 144). Menurut Kristeva (dalam Culler, 1977: 139) setiap teks merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain (dalam Culler, 1977: 139).
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa interteks merupakan prinsip yang berpandangan bahwa ada pertautan antara satu karya sastra yang tercipta kemudian dengna karya lainnya yang tercipta terdahulu sebagai hipogramnya, baik berupa karya sastra atau non-sastra, yang bersifat menguatkan, menentang, ataupun memperbarui atas karya sebelumnya.
Dalam hal ini, Riffaterre (1978: 11-23) menyatakan bahwa sebuah puisi sering tercipta berdasarkan sebuah hipogram. Hipogram adalah sajak yang menjadi latar penciptaan sajak lain. Oleh karena itu, untuk memahami sajak perlu dilihat hubungan intertekstual antara sajak dengan hipogramnya. Hubungan itu dapat berupa persamaan ataupun pertentangan.
Julia Kristeva (dalam Culler, 1977: 139) menegaskan bahwa setiap teks itu merupakan penyerap atau transformasi teks-teks lain. Sebuah sajak itu merupakan penyerapan dan transformasi hipogramnya. Dengan ungkapan lain, bagi Kristeva, masuknya suatu teks ke dalam teks lain adalah hal yang biasa terjadi dalam karya sastra, sebab pada hakikatnya suatu teks merupakan bentuk absorsi dan transformasi dari sejumlah teks lain, sehingga terlihat sebagai suatu mozaik.
Sejalan dengan itu, dalam prinsip intertekstualitas ini, Teeuw (2003: 120) secara ekstrem menyatakan, bahwa tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri. Dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, maupun kerangka. Tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain tau mematuhi kerangka yang diberikan lebih dahulu, tetapi dalam rti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peran yng sangat penting. Pemberontakan dan penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi.
Atas dasar pandangan itu, intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Artinya, penciptaan dan pembacaan tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai acuan. Namun, hal itu tidak berarti bahwa teks baru hanya mengambil teks-teks sebelumnya sebagai acuan, tetapi juga menyimpangi dan mentransformasikannya dalam teks-teks yang dicipta kemudian (Teeuw, 2003: 145-146).
Dari segi teori sastra, prinsip intekstualitas memiliki aspek lain, yakni membawa kita untuk memandang teks-teks terdahulu sebagai suatu sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signification, pemaknan yang bermacam (Culler, 1981: 103) . Dengan demikian, intertekstualitas tidak hanya penting dalam usaha memberi interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang kongkret saja. Lebih dari itu, prinsip intertekstualitas memainkan peran sangat penting dalam semiotik sastra. Oleh karena itu, tidak heran jika Teeuw berpendapat bahwa Belenggu karya Armijn Pane memiliki hubungan intertekstualitas dengan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana. Begitu pula sajak "Senja di Pelabuhan Kecil" Chairil Anwar mentransformasikan prinsip dasar estetik puisi-puisi Melayu yang diwakili karya-karya Amir Hamzah.
Dalam realitasnya, karya sastra yang muncul kemudian ada yang bersifat menentang gagasan atau ide sentral hipogramnya, ada yang justru mengatkan atau mendukung, namun ada juga yang memperbarui gagasan yanga ada dalam hipogram. Berdasarkan realitas itu, maka sifat hipogram dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni: (1) Negasi, artinya karya sastra yang tercipta kemudia melawan hipogram (2) Afirmasi, yakni sekedar mengukuhkan, hampir sama dengan hipogram; dan (3) Inovasi, dalam arti karya yang kemudia memperbaharui apa yang ada dalam hipogram.

2. Metode Penelitian
Objek penelitian adalah intertekstualitas puisi "Padamu Jua" karya Amir Hamzah dan puisi "Doa" karya Chairil Anwar yang akan dikaji dengan teori Intertekstual. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, mengingat objek penelitiannya, yakni intetekstualitas kedua puisi merupakan data kualitatif, yakni data yang disajikan dalam bentuk kata verbal (Muhadjir, 1989: 41), dalam bentuk wacana yang terkandung dalam teks, dalam hal ini puisi "Padamu Jua" dan "Doa". Melalui metode ini, peneliti menentukan dan mengembangkan fokus tertentu, yakni intertekstualitas kedua puisi secara terus-menerus dengan berbagai hal dalam sistem sastra.
Cara kerja kualitatif dipilih karena penelitian ini memiliki karakter participant observation yakni peneliti memaski dunia data yang ditelitinya, memahaminya, dan terus-menerus mensistematikkan objek yang ditelitinya, ialah intertekstualitas kedua puisi yakni puisi "Padamu Jua" dan puisi "Doa".
Data kualitatif merupakan sumber informasi yang bersumber pada teori, kaya akan deskripsi, dan kaya akan penjelasan proses yang terjadi dalam konteks (Miles dan Huberman, 1984). Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui kedua teks puisi yang berupa kata, kelompok kata, dan kalimat yang ada dalam baris dan bait kedua puisi tersebut. Jadi, data penelitian ini adalah unsur-unsur pembentuk hubungan intertekstualitas puisi "Padamu Jua" dan puisi "Doa". Berupa data verbal terdiri atas kata, ungkapan, dan kalimat dalam kedua puisi terebut.
Adapun sumber data penelitian ini ada dua. Pertama, sumber data primer yakni puisi "Padamu Jua" dan puisi "Doa". Kedua, sumber data sekunder yakni berbagai pustaka yang relevan dengan objek penelitian, seperti buku, puisi, laporan penelitian, kritik saran, dan ayat Al-Qur'an.
Sejalan dengan teori yang dipakai, analisis data dilakukan dengan menggunakan metode intertekstual. Dengan analisis intertekstual terlihat hubungan intertekstual kedua puisi tersebut. Dalam prinsip intertekstual diperlukan suatu metode dengan membandingkan unsur-unsur struktur karya secara menyeluruh. Oleh karena itu, untuk mengemukakan hubungan intetekstual, puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Doa" dan teks-teks lain, salah satu unsur teks yang berupa gagasan utama yang terdapat di dalam kedua puisi, akan diperbandingkan dengan yang terdapat di dalam teks-teks lain. Teks lain itu yakni kitab suci Al-Qur'an surat An-Nur: 35.
Perbandingan atau penelusuran salah satu unsur struktur teks yang berupa gagasan utama itu perlu dilakukan, mengingat gagasan utama merupakan salah satu unsur yang dapat dipandang dominan dalam membentk struktur teksnya.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Transformasi puisi "Padamu Jua" dalam puisi "Doa"
Berangkat dari prinsip dan konsep intertekstualitas yan telah dipaparkan di atas, dianalisis secara intertekstual puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Doa". Analisis intertekstual ini didasarkan pada teori yang diajukan Riffaterre (1978), yaitu teori penerapan hipogram yang meliputi (1) Ekspansi dan (2) Konversi.
Ekspansi yakni mengubah unsur-unsur pokok matrik kalimat menjadi bentuk yang lebih kompleks. Dalam kebanyakan kasus, ekspansi lebih dari sekadar repetisi, tetapi juga mencakup perubahan gramatikal, misalnya perubahan jenis kata (Riffaterre, 1978: 63-64). Secara sederhana, ekspansi dapat diartikan sebagai perluasan atau pengembangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ekspansi merupakan perluasan atau pengembangan hipogram. Ini berarti, bahwa ekspansi dapat ditelusuri pada bentuk dasarnya.
Selanjutnya, kedua sajak itu yakni "Padamu Jua" (selanjutnya disebut sajak pertama) dan sajak "Doa" (selanjutnya disebut sajak kedua) secara bertahap dianalisi dari segi struktur, simbol, kemudian tema. Sekilah kedua sajak ini dapat dilihat adanya persamaan struktur. Masing-masing sajak atas tujuh bait. Pada sajak pertama tiap bait terdiri atas empat baris dengan kalimat pendek-pendek. Pada sajak kedua, tiap bait maksimal terdiri atas tiga baris (bait pertama dan terakhir), bahkan ada yang satu bait hanya berupa satu kata sekaligus satu baris (baris keempat). Selebihnya satu bait terdiri atas dua baris kalimat (bait kedua, ketiga, kelima dan keenam), semuanya dengan kalimat yang pendek, maksimal enam kata (hanya bait ketiga). Adapun bait 7 sajak pertama dapat ditemkan pula strukturnya pada bait 7 sajak kedua. Jelas sekali betapa struktur kedua sajak itu bermiripan, walaupun jumlah baris tiap baitnya tidak sama. Dengan demikian, dalam hal struktur sajak "Doa" mengalami konversi dari sajak "Padamu Jua".
Mengenai nuansa dan maksud masing-masing bait juga dapat dihubungkan. Nuansa pada bait 1, 2, dan 3 sajak pertama dapat dihubungkan dengan bait, 1, 2, dan 3 sjak kedua. Begitu pun nuansa pada bait 4, 5, dan 6 sajak kedua. Adapun nuansa pada bait 7 sajak pertama dapat ditemukan pula pada bait 7 sajak kedua.
Selanjutnya nuansa makna bait demi bait juga dapat dirasakan kesepadanannya. Bait 1, 2, dan 3, kedua sajak sama-sama mengungkapkan kesedihan, kekecewaan, nestapa dan kegelapan. Tiga bait pertama itu jelas menggambarkan kekosongan, kehampaan, dan ketidak bermaknanya hidup.dalam keadaan demikian, keduanya "berdzikir", mengingat kembali, ber-taqarrub, menghadap dan mendekat kepada Tuhan, tentu dengan tataran penghayatan yang berbeda antara kedua penyair itu.
Terasa Amir Hamzah dalam ungkapannya "lebih dewasa", lebih kontemplatif. Pada Chairil Anwar terasa sedikit kurang intens dalam mengingat Tuhan. Tuhan dalam pandangan Amir Hamzah dilukiskan dengna /Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelap. Adapun Tuhan di mata Chairil Anwar adalah "tinggal kerlip lilin di kelam sunyi". Keduannya memang serupa dalam pengungkapannya, tetapi tidak sama makna hakikatnya.
Bagi Amir Hamzah, duka nestapa dan kehampaan itu karena "Segala cintaku hilang terang", sedangkankan Chairil Anwar tidak menjelaskan mengapa berduka nestapa, hanya dia /susah sungguh/. Amir Hamzah menganggap hilangnya cinta (mistik) adalah sentral dalam penghayatannya. Adapun bagi Chairil Anwar kesedihannya terasa eksplisit, kurang mendalam.
Keterkaitan keduannya juga tampak pada ungkapan kerinduan kepada Tuhan, juga dalam tataran yang tidak sama. Kerinduan Amir Hamzah kepada Tuhan begitu mendalam di lubuk kalbu hingga dia menyatakan //Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelap/Melambai pulang/Sabar, setia selalu//. Adapun Chairil Anwar cukup menyatakan /cayaMU panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi// tidak dilanjutkan lagi ungkapan kerinduannya kepada Tuhan. Di sinin dapat dirasakan bagaimana tataran intensitas penghayatan Chairil Anwar kepada Tuhannya.
Masih bertalian dengan kerinduannya kepada Tuhan, Amir Hamzah menyatakan dengan ungkapan dalam bait berikutnya, //Satu kekasihku/Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa//. Sebaliknya Chairil Anwar meneruskan kerinduannya dengan sedikit keluhan, //Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk//. Keduanya sama-sama mengungkapkan pernyataan kerinduan, tetapi ekspresi simboliknya berbeda. Hal ini tentulah dipengaruhi oleh latar belakang pemahaman keagamaan dan penghayatan religiositas masing-masing.
Di tengah kehampaan, kesedihan, dan kerinduan, Amir Hamzah merasa tetap menyimpan harapan dengan ungkapannya, //Di mana engkau/Rupa tiada/Suara sayup/Hanya kata merangkai hati//. Bagi Chairil Anwar seolah-olah harapan tinggal sedikit, karen pintu telah tertutup untuknya. Oleh karena itu, terasa dalam sajaknya, Amir Hamzah akrab dan intim sekali dengan tuhan, sedangkan pada Chairil Anwar seolah ada jarak antara dirinya dengan tuhan, sehingga terkesan tidak akrab.
Pada bait, 4,5 dan 6, Amir Hamzah dalam kehampaan dan kerinduan justru merangkap kehadiran Tuhan lewat, /Suara sayup/hanya kata merangkai hati/ kemudian diteruskan /Sayang berulang padamu jua/Engkau pelik menari angin/Serupa dara di balik tirai//. Di sini dapat dirasakan keintiman dan kemesraannya bercengkrama dengan Tuhan, walau dalam kepedihan bagaimanapun. Berbeda dengan Chairil Anwar yang seakan-akan kehilangan harapan dan keseimbangan sehingga dia mencoba berkelana ke negeri asing, akan tetapi akhirnya kembali juga kepada Tuhan dengan ungkapannya, //Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk// // Tuhanku/aku mengembara di negeri asing//.
Sebagai orang yang mempunyai pemahaman keilahian dalam taraf yang belum mendalam jika bukan sekuler, Chairil Anwar dikenal sebagai seniman bohemian Chairil merasakan adanya kesenjangan dirinya dengan Tuhan itu karena ia pergi mengembara ke negeri asing. Adapun Amir Hamzah sebagai orang yang sejak kecil hidup dalam lingkungan keluarga dan masyarakat religius sehingga memiliki pemahaman keilahian yang dalam, memang juga merasakan adanya jaraka dirinya antara dengan Tuhan itu karena, /Rupa tiada/Suara sayup/. Akan tetapi baginya, /Hanya kata merangkai hati/.
Akhirnya Amir Hamzah berhasil menekan dan masuk dalam kasih Tuhan, walaupun hanya di balik tirai, karena eksistensinya sebagai makhluk. Chairil Anwar dalam pengembaraannya akhirnya juga sampai di hadapan Tuhan, lalu mengetuk pintu Tuhan, tidak dapat berpaling lagi. Ini sebagai klimaks atas keterasingan dari Tuhan dan pengembaraannya menemukan hakikat Tuhan.
Dengan analisis di atas dapatlah dikemukakan, bahwa kedua sajak itu merupakan karya sastra yang sarat dengan nilai transendental dan kental dengan dimensi keilahian. Dalam konteks sastra sufistik, kedua sajak tersebut yang telah dianalisis hubungan intertekstualnya adalah contoh yang tepat sebagai karya sastra yang berhasil mempertemukan dimensi sastra dan dimensi keagamaan. Atau dalam bahasa Abdulhadi W.M. (1995: viii) karya yang memadukan dua dimensi kemanusiaan dan dimensi transendental atau spiritual, yang merupakan cita tunggal sastra Islam.
Diakui atau tidak kedua penyair Amir Hamzah dan Chairul Anwar memiliki pandangan dan latar belakang yang berbeda, sehingga berbeda pula dalam menuangkan atau mengekspresikan ide-ide melalui penggunaan imaji ataupun simbol dalam sajaknya. Namun, sengaja atau tidak, langsung atau tidak langsung, dapat dirasakan adanya hubungan intertekstualitas, jika bukan adanya transformasi sastra dalam kedua sajak tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam struktur sajak, penggunaan imaji atau pemilihan simbol dan tematiknya. Dengan demikian, sedikit banyak dalam sajak "Doa" Chairil Anwar terilhami oleh sajak-sajak Amir Hamzah khususnya sajak "Padamu Jua".

3.2 Mengkaji AL-Qur'an sebagai Hipogram
Setelah analisis intertekstual kedua sajak dilakukan kita mencoba menggali lebih jauh dari mana kemungkinan sumber inspirasinya. Jika diamati penggunaan imaji atau pemilihan simbol dan tematiknya, tampaknya bukan tidak mungkin bahwa sejak tersebut diilhami atau mendapat inspirasi dari kita Suci Al-Qur'an. Tentu saja dalam hal ini Amir Hamzah juga menggalinya dari sumber sastra yang sudah menjadi konvensi. Hal itu akan terasa sebagai kebenaran jika kita membaca Al-Qur'an Surat AN-Nur ayat 35. ayat ini begitu estetik bunyinya, dan mendalam maknanya. Jassin (1978: 484) menerjemahkan ayat tersebut menjadi:
Allah adalah cahaya langit dari bumi
Perumpamaan cahaya (allah)
Adalah seperti rongga itu ada pelita
Pelita itu dalam (bola) kaca
Kaca itu laksanakan bintag berkilauan
Dinyalakan dengan (minyak) pohon yang diberkati,
Pohon zaitun yang selalu menerima
Cahaya dari timur dan dari barat,
Yang minyaknya (saja) hampir-hampir,
Berkilai (sendirinya)
Walaupun tiada api menyentuhnya,
Cahaya itu di atas cahaya!
Allah menuntun kepada cahaya-Nya
Siapa saja yang dia berkenan,
Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia
Allah mengetahui segala.

Ayat ini terasa putik, begitu estetik. Baris//Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelap/ dalam sajak "Padamu Jua" tidaklah mendapat inspirasi dari ayat Al-Qur'an ini? //Allah adalah cahaya langit dan bumi/ Perumpamaan cahaya (Allah)/ Adalah seperti rongga dalam dinding/ dalam rongga itu ada pelita/ Pelita itu dalam (bola) kaca/. Dalam sajak "Doa" Chairil Anwar tertulis, //caya-Mu panas sekali/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi//. Bukankah ini dekat sekali dengan ayat tersebut, baik imaji atau simbolik maupun muatan tematiknya.
Dapat ditambahkan pula sebagai pembanding, puisi "Anak Laut, Anak Angin" karya Abdulhadi W.M. (1988: 63) bukan tidak mungkin mendapat inspirasi dari ayat di atas. Perhatikan sajak tersebut berikut ini:
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Aku aarh dalam anginmu
Tuhan
Kita begitu dekat sebagai kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padamu
Bukankah puisi itu memiliki kedekatan dengan Surah An-Nur Ayat 35 di atas. Atau mungkin juga sajak ini terilhami oleh Surah Qaf ayat 16 yang bunyinya sebagai berikut:
Kami telah ciptakan manusia
Dan kami tahu apa yang dibisikkan
Hatinya kepadanya.
Kami lebih dekat kepadanya
Dari urat lehernya.
Dari analisis di atas makin jelaslaah bahwa puisi "Padamu Jua" bukan tidak mungkin mendapat inspirasi dari ayat suci Al-Qur'an. Begitu pun puisi "Doa" yang tercipta kemudian, secara langsung atau tidak langsung terilhami ayat tersebut. Bahkan puisi "Anak Laut, Anak Angin: karya Abdulhadi W.M ada kemungkinan juga digali dari sumber inspirasi abadi, Al-Qur'an. Dengan kata lain, Al-Qur'an sangat terbuka kemungkinan merupakan hipogram dari puisi "Padamu Jua" dan "Doa" (Q.S. An-Nur :35), demikian pula puisi "Anak Laut, Anak Angin" (Q.S. Qaf: 16).

4. Simpulan
Berdasarkan analisis di atas dapat dikemukakan konklusi sebagai berikut. Pertama, ada hubungan intertekstual antara puisi "Padamu Jua" karya Amir Hamzah dengan puisi "Doa" karya Chairil Anwar. Puisi "Padamu Jua" sebagai hipogram ditransformasikan pada puisi "Doa" baik dengan cara ekspansi maupun konversi. Adapun hubungan intertekstual puisi "Doa" dengan puisi "Padamu Jua" sebagai hipogramnya bersifat inovatif.
Kedua, secara sengaja atau tidak langsung terdapat pengaruh sajak "Padamu Jua" pada sajak "Doa". Pengaruh itu tampak pada struktur, penggunaan imaji atau pemilihan simbolik dan tematiknya, walaupun dengan gaya pengucapan yang berbeda yang dipengaruhi oleh latar belakang penyair masing-masing. Dalam hal ini terutama pemikiran, pemahaman keagamaaaaan dan situasi zaman yang melingkupi penyair.
Ketiga, ada kecenderungan kuat, bahwa puisi "Padamu Jua" yang memiliki hubungan intertekstual dengan puisi "Doa", adalah karya sastra sufistik Indonesia yang kemungkinan besar terilhami oleh ayat suci Al-Qur'an, yang besar kemungkinan menjadikan ayat-ayat Al-Qur'an sebagai hipogramnya. Oleh karena itu, keduanya merupakan karya seni yang memiliki nilai tinggi, yang berhasil memadukan dimensi sosial dan dimensi transendental.
DAFTAR PUSTAKA


Abdulhadi, W.M. 1985. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

_____. 1989. "Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern" dalam Horison Nomor 6, Juni 1988.

_____. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Tradisi Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.


A.M., Ali Imron. 1990. "Dialog Religius dalam sajak 'Nyala Cintamu' Karya Anshari (Persia) dan Sajak Anak Laut, Anak Angin' karya Abdulhadi W.M." dalam Rethoric, Nomor 1 Tahun 1990.

_____. 1995. "Dimensi Sosial Keagamaan dalam Novel Keluarga Perman Karya Ramadhan K.H.: Analisis Semiotik". Tesis Magister Humaniora (S-2) Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Aminuddin, M. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru dan Malang: YA3.

Budiman, Arief. 1976. Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London: Routledge & Kegan Paul.

_____. 1981. The Persuit of Signs., Semiotics, Literature, Deconstruction. London and Henley: Routledge and Kegan Paul.

Hamzah, Amir. 1977. Buah Rindu. (cetakan kelima). Jakarta: PT Dian Rakyat.

_____. 1979. Nyanyi Sunyi (cetakan kedelapan). Jakarta: PT Dian Rakyat.

Hawkes, Terrence. 1978.Structuralism and Semiotics. London: Methuen.

Iqbal, Muhammd. 1966. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. (Penerjemah: Ali Audh dkk). Jakarta: Tintamas.

Jassin, H.B. 1978. Al-Qur'anul Karim: Bacaan Mulia. Jakarta: PD Djambatan.

Mangunwijayam Y.B. 1982. Sastra dan Religiousitas. Jakarta: Sinar Harapan

Miles, M.B. and Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis. California. Beverley Hills: Sage Pub.

Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake sarasin.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Routledge & Kegan Paul.

Semi, M.Atar. 198. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Sudardi, Bani. 2001. Tonggak-tonggak sastra sufistik indonesia petualangan batin manusi indonesia sepanjang zaman. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu sastra (cetakan ketiga). Jakarta: Pustaka Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar