Selasa, 26 April 2011

MERAIH MASA DEPAN MELALUI PROFESI GURU *)

Ali Imron Al-Ma’ruf

1. Pengantar
Dunia sedang menuju suatu proses penyatuan tanpa mengenal sekat-sekat negara dan bangsa. Adanya pasar bebas, information superhighway, turisme universal, finance scape yang mengalirkan dana ke berbagai negara, juga adanya idea scape dan sacri scape yang mendistribusikan ide politik, hak asasi manusia, demokrasi, dan nilai-nilai keagamaan ke seluruh dunia, demikian Kenichi Ohmae (dalam Sopater, 1998: 173) merupakan bukti bahwa dunia sudah menjadi perkampungsn global (global village).
Akselerasi perubahan sosial serta kemajuan sains dan teknologi menjadi ciri utama abad XXI. Berlangsunglah era informasi atau era revolusi industri kedua dengan kecanggihan teknologi komunikasi. Hal itu kemudian melahirkan masyarakat belajar (learning society) atau masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society). Timbullah persaingan global di berbagai bidang termasuk tenaga sarjana (Al-Ma’ruf, 2002: 113). Dalam kondisi demikian, hanya manusia atau bangsa yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang akan dapat survive dan memenangkan masa depan.
Akselerasi perubahan situasi dan kehidupan yang semakin kompetitif, menuntut pendidikan tinggi untuk meninjau kembali strategi pengembangan, program-program, dan kurikulumnya. Terlebih dengan datangnya era Pasar Bebas 2003 (AFTA) dan globalisasi ekonomi dunia pada tahun 2020 --yang merupakan produk kapitalisme global yang dipelopori oleh World Trade Organization (WTO)--, dunia memasuki babak baru dalam peradaban umat manusia.
Dalam kondisi demikian, lulusan perguruan tinggi (PT) termasuk lulusan FKIP tidak sekadar senang menyandang gelar Sarjana, melainkan lebih bersifat menjadi suatu kelompok kritis (critical mass), bagian tertentu dari penduduk kita yang mengalami pendidikan tinggi yang memiliki nilai plus. Hal itu harus dilakukan jika kita ingin dapat survive menghadapi tantangan global atau berada dalam sistem budaya mondial baik di bidang informasi, saintek, ekonomi, dan politik. Kelompok kritis tersebut dapat bergerak bersama PT menjadi penggerak pertama (primer mover) dari seluruh penduduk kita guna menghadapi tantangan global. Kelompok kritis ini –sering disebut the prophet minority ‘kelompok minoritas pewaris Nabi’—meskipun kecil jumlahnya, perannya besar dalam pembangunan bangsa. Hal ini sudah terbukti dalam sejarah perjuangan bangsa kita.
Perubahan sosial dan tantangan abad XXI menuntut lulusan PT untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi strategi kehidupan di berbagai aspek. Lulusan PT harus mampu berintegrasi (bukan beradaptasi) dengan lingkungan sosial bangsanya. Integrasi dimaksudkan sebagai kemampuan menyesuaikan dengan realitas, ditambah kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas (Freire, 1994: 4).
Menghadapi fenomena global tersebut maka lulusan PT dituntut untuk melakukan berbagai langkah strategis, agar siap memenangkan kompetisi global pada masa depan yang sulit diramalkan (unpredictable). Karena itu, akselerasi perubahan zaman, kebutuhan masyarakat, dan kemajuan iptek melahirkan paradigma baru dalam dunia pendidikan, yakni pendidikan berdasarkan kompetensi pembelajar (competence-based-approach). Kondisi di atas, menimbulkan perubahan pula mengenai peran PT yang juga berimplikasi pada lulusannya.
Permasalahannya adalah bagaimana strategi lulusan FKIP menghadapi tantangan global abad XXI yang sarat kompetisi? Bagaimana kiat memenangkan masa depan yang kompetitif melalui profesi guru yang prospektif prospektif?

2. Fenomena dan Tantangan bagi Pendidikan pada Abad XXI
Salah satu fenomena pada abad XXI adalah adanya liberalisasi perdagangan dan investasi, dengan diberlakukannya Pasar Bebas mulai tahun 2003 untuk AFTA dan 2020 untuk seluruh dunia. Beberapa prinsip yang merupakan intisari penerapan globalisasi 2020 antara lain:
(1) Cross Border, eksportir ataupun produsen bebas masuk ke suatu negara, (2) Consumption Abroad, setiap orang atau konsumen bebas membeli barang dan jasa termasuk sarjana dari luar negeri (impor), (3) Commercial presence, setiap orang bebas
mendirikan pabrik, kantor, atau perwakilan di negara lain, (4) Presence of Natural Person, setiap orang bebas untuk berusaha di negara lain, (5) Most Favoured Nation, tidak ada perlakuan yang berbeda atau istimewa terhadap negara lain, dan (6) National Treatment, perlakuan terhadap produsen luar negeri sama dengan perlakuan terhadap produsen dalam negeri (Nopirin, dalam Sopater (Ed.), 1998: 244-245).
Pada abad XXI tidak ada satu negara pun yang dapat terhindar dari tuntutan globalisasi yang berarti tantangan pula bagi lulusan PT. Naisbitt & Aburden (1996), memprediksi bahwa abad XXI merupakan abad iptek sehingga sektor jasa menjadi dominan dalam kegiatan ekonomi. Terjadilah perubahan sistem pengendalian pemerintah menuju mekanisme pasar, dari padat karya menuju padat teknologi.
Kekuatan teknologi bukan saja mempengaruhi pertumbuhan bidang sosial-budaya, tetapi bahkan menciptakan kebudayaan teknologi. Kebudayaan teknologi itu menimbulkan krisis dalam kehidupan masyarakat. Menurut Habermas (1975: 1-17), suatu krisis terjadi jika struktur kehidupan sosial tidak mampu lagi memberikan solusi seperti yang diharapkan untuk menjamin kelestarian sistem kehidupan itu sendiri.
Berdasarkan realitas itu maka setidaknya ada lima tantangan eksternal yang harus dihadapi lulusan PT, yakni:
2.1 Orientasi Nilai Plus
Menghadapi era persaingan global yang ketat, lulusan PT harus mampu (melalui proses panjang) memiliki nilai plus. Dalam era global yang kompetitif, masyarakat dimanja dengan berbagai pilihan sehingga nilai plus suatu barang/ tenaga kerja mutlak diperlukan. Sarjana harus memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh sarjana pada umumnya, misalnya kelebihan dalam penguasaan teknologi informasi, manajemen, kewirausahaan, dan bahasa asing. Selain itu, sarjana juga harus memiliki ketrampilan khusus (soft skill) sebagai nilai plus untuk memperkuat keahliannya, dan mampu berpikir kreatif, alternatif, dan inovatif di bidang iptek agar memiliki daya saing tinggi.
2.2 Perubahan Struktur Masyarakat dari Agraris ke Industri
Modernisasi menimbulkan terjadinya transformasi masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Kondisi tersebut menyebabkan adanya perubahan nilai dalam masyarakat. Seiring dengan itu, transformasi sosial budaya yang mengusung nilai-nilai asing, mengakibatkan tatanan nilai dalam masyarakat goyah dan akarnya tercerabut meski belum sepenuhnya, sedangkan nilai baru belum sepenuhnya diterima. Lulusan PT dituntut memiliki kepribadian yang utuh, yang memiliki keharmonisan fisiologis, psikologis, sosiologis, dan religiusnya, yang tidak hanya bekerja dengan otot dan otak, melainkan juga dengan hati nuraninya (spiritual).
Manusia yang utuh adalah manusia individu, manusia masyarakat, dan manusia dunia sekaligus. Itulah sosok manusia universal yang bersifat konkret sekaligus virtual. Sebagai individu, ia nyata berada di suatu tempat, namun sebagai manusia masyarakat dan dunia, eksistensinya yang virtual tetap berperan di sana. Inilah individu yang memiliki integritas utuh: dalam kesendiriannya ia bersifat diskrit dan unik, namun sebagai warga masyarakat dan dunia ia harus bersifat holistik dan mengglobal.
2.3 Dampak Proses Globalisasi
Memasuki abad XXI terasa cukup berat bagi bangsa Indonesia. Akselerasi perubahan sosial begitu dahsyat sehingga tatanan nilai di lingkungan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan goyah. Fenomena berikut merupakan tantangan yang dapat kita lihat pada keseharian: (1) Lalu lintas informasi tidak dapat dibatasi dan disensor lagi sehingga nilai-nilai baru masuk melalui berbagai jenis media komunikasi; (2) Iptek yang berfungsi sebagai media sarat dengan tawaran ide, keyakinan, pandangan dan gaya hidup, moral, dan budaya mondial; (3) Persaingan semakin kuat dan terbuka dalam sektor barang dan jasa (SDM), sehingga hal ini memanjakan masyarakat; (4) Munculnya mentalitas persaingan yang kuat melahirkan sikap individualistik, dan mengarah pada menipisnya semangat solidaritas sesama; (5) Maraknya iklan di media massa dan plaza-plaza mewah menggoda masyarakat kepada kemewahan materi dan mendorong budaya konsumtif; dan (6) Semakin tingginya kesadaran akan hak asasi manusia di kalangan masyarakat.
Seperti ‘pedang bermata dua’, dampak globalisasi ternyata positif dan negatif. Karena itu, pendidikan harus bersifat terbuka terhadap perubahan namun tetap selektif.
2.4 Struktur Demografis
Diperkirakan Indonesia akan mengalami perubahan struktur kependudukan yang mendasar. Pada abad XXI pertumbuhan penduduk akan menurun sampai sekitar 1,0 % pada kurun waktu 2015-2020, namun jumlah penduduk tetap akan terus meningkat menjadi 269,9 juta pada tahun 2020. Penduduk berpendidikan minimal SMTA akan menjadi 71 juta orang dan yang berpendidikan tinggi akan berjumlah 18 juta orang (Brahim dalam Sopater, 1998: 186). Selain itu, diprediksikan jumlah penduduk perempuan akan lebih banyak ketimbang laki-laki (sekarang sudah terjadi). Komposisi penduduk tersebut menunjukkan bahwa pada masa depan, dunia pendidikan membutuhkan paradigma yang berwawasan demografis yakni mendorong beberapa penyesuaian sasaran strategis, termasuk pemberdayaan perempuan.
2.5 Visi ke Depan
Persaingan kuat dan perkembangan nilai-nilai baru menuntut adanya perubahan sikap manusia pada masa depan yang berbeda dengan masa lalu. Tantangan dan hambatan masa depan sekaligus merupakan peluang untuk dianalisis. Dari kecenderungan masyarakat dunia abad XXI, visi masa depan dapat dikemukakan yakni:
(1) Tuntutan terhadap kualitas lulusan PT merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan baik dalam keilmuan (hard skill), maupun ketrampilan manajemen, penulisan ilmiah, teknologi informasi, dan bahasa asing (soft skill).
(2) Profesionalitas dalam bekerja menjadi sebuah keharusan sehingga setiap orang dituntut bekerja secara optimal.
(3) Dengan berlakunya pasar bebas mulai 2003 (AFTA) dan 2020 (APEC) terbuka kemungkinan perginya tenaga-tenaga potensial karena tertarik pada dunia di luar institusi pendidikan yang lebih ‘menjanjikan’.
(4) Munculnya jalan tol informasi (information superhighway) membuat masyarakat hidup di ruang cyberspace sehingga informasi tak mungkin disensor lagi. Hal ini perlu direspons secara proaktif dengan sikap terbuka namun selektif sehingga kita bersedia menerima gagasan dan nilai-nilai baru yang konstruktif. Kita harus mampu berpikir global namun tetap bersikap dan berperilaku lokal (think globally but act locally).
(5) Berbagai perubahan dan kecenderungan di atas mendorong dunia pendidikan untuk melakukan inovasi-inovasi baik dalam proses belajar-mengajar, kurikulum, maupun manajemen yang profesional dan antisipatif.

3. Pembelajaran Menghadapi Era Brain
Hasil penemuan mutakhir menyebutkan bahwa otak memiliki tiga fungsi, yakni: (1) fungsi emosi, (2) fungsi rasional – eksploratif atau kognisi, dan (3) fungsi refleksi.
3.1 Fungsi Emosi
Fungsi ini semakin mencuat dengan ditemukannya emotional intelligency (EQ) yang dirintis Daniel Goleman, termasuk penemuan pentingnya psikoneuroimunologi dan keyakinan dalam menciptakan kondisi biologis yang baik. Keyakinan menjadi salah satu terapi penting dalam menciptakan kondisi tubuh yang seimbang. “Keyakinan untuk sembuh adalah metode itu sendiri”. Optimisme dan positive thinking memberi pengaruh menguntungkan dalam kondisi tubuh manusia.
Fungsi emosional otak yang penting adalah lahirnya rasa bahagia, gembira, dalam setting sosial dan lingkungan. Karena itu, tanpa kecerdasaan emosi manusia tidak akan pernah menjadi manusia sosial yang hidup dengan senjata emosionalnya. Dan, fungsi emosional otak ini lebih dulu berkembang ketimbang fungsi rasional.
3.2 Fungsi Kognisi
Berbagai temuan di bidang sains dan teknologi dari yang simpel hingga yang tercanggih, merupakan indikasi kemajuan kecerdasaan rasional. Thomas Kun (1984) menyebut revolusi paradigma, yakni aktualisasi fungsi eksploratif. Fungsi rasional-eksploratif otak digambarkan secara jelas dalam makna harfiah kata berpikir, dari fikr (bahasa Arab) berarti usaha keras dan tak kenal lelah untuk ‘menyingkap’, ‘membuka’, atau mengeksplorasi setiap objek yang ada sehingga objek itu dapat dipahami secara jelas. Albert Einstein dengan teori relativitas, Abdusalam dengan teori gabungan gaya elektromagnetik, dan Sigmund Freud dengan Psikoanalisis, adalah kegiatan berpikir untuk dapat menyingkap segala sesuatu tentang objek yang ada di alam semesta.
2.3 Fungsi Spiritual
Fungsi ini meliputi hal-hal yang bersifat religius dan supranatural, yang berdasarkan penelitian bersumber dari dalam otak manusia. Kerangka orientasi seperti agama sebagaimana ditegaskan oleh Erich Fromm (1994) adalah controh refleksi. Keberadaan Tuhan sesungguhnya tidak lagi perlu dipermasalahkan. Makna kehadiran Tuhan berhubungan erat dengan adanya kesempurnaan tubuh manusia. Kesempurnaan fisik manusia ditunjukkan antara lain adanya struktur tubuh yang efektif dan fungsional. Posisi tegak, sistem lokomotorik, dan pancaindra adalah tiga contoh kesempurnaan itu (lihat Purwanto, 2003).
Zohar dan Marshall (2000) memberikan tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi adalah: (1) kemampuan bersikap fleksibel, adaptasi secara spontan dan aktif, (2) tingkat kesadaran tinggi, (3) kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, (4) kemampuan menghadapi dan melampaui rasa takut, (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya: ‘mengapa?’ atau ‘bagaimana jika?’ untuk mencari jawaban yang mendasar, dan (9) pemimpin yang penuh pengabdian dan tanggung jawab. Substansinya, ada dua unsur penting dalam kecerdasaran spiritual yakni nilai dan makna.
Berdasarkan temuan-temuan ilmiah tersebut, maka kini pembelajaran pun mesti mengalami dekonstruksi dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi. Jika dulu orientasi pendidikan hanya terfokus pada pengembangan kognisi (kecerdasan rasional) dan kecerdasan emosional, maka kini harus berorientasi pula pada kecerdasan spiritual yang bergayut dengan nilai dan makna. Pendek kata, pembelajaran kini harus mampu mencerahkan siswa agar mereka kreatif, bergembira, dan bermakna.

3. Belajar Bagaimana Berpikir, Belajar, dan Berkreasi
Sikap pembelajaran yang dikehendaki dalam perubahan sistem pendidikan kini adalah dikembangkannya individualitas, kreativitas, dan kecakapan, yang memiliki manfaat bagi tatanan dunia baru dalam masyarakat informasi. Masyarakat informasi yang berkembang sejak dekade 1980-an itu adalah masyarakat industri (dulu agraris). Tantangan yang dihadapi kini adalah bagaimana informasi masyarakat industri itu mampu ditumbuhkan. Selanjutnya, bagaimana mampu menumbuhkan suatu kecakapan yang exellence dalam sistem pendidikan kita.
Menghadapi realitas itu, esensial yang mengharapkan kualitas dan akuntabilitas tidak cukup. Kita haruslah jauh maju ke depan dalam pendidikan, yakni memberikan ketrampilan-ketrampilan baru yang tepat untuk keperluan masyarakat informasi. Ketrampilan tersebut diperoleh di dalam dan di luar kelas yang merupakan adaptasi tiga serangkai tingkah laku yang diharapkan yakni berpikir, belajar, dan berkreasi (thinking, learning, and creating) (Naisbitt, 1995: 125).
Guna merealisasikan ketiga bahasan tersebut --belajar bagaimana berpikir, belajar, dan berkreasi-- berdasarkan temuan penelitian ternyata diperlukan visualisasi dalam banyak bidang pelajaran. Visualisasi awal banyak dilakukan di SD, sehingga membantu siswa dengan cepat dan tepat dalam proses pembelajaran: membaca, menulis, dan matematika. Kemampuan ini kemudian ditingkatkan sehingga siswa pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mampu mengembangkan kemampuan self-concept, aprreciation, self-starting, creativity, expended comprehension, warmth, openness with others, and introspection (Beverly-Colleene Galyean, dalam Kasmadi, 1995).
Siswa harus dipersiapkan lebih pada tingkat menstimulasi, memanfaatkan, dan (memiliki) keingintahuan (curious) daripada sekadar membaca dan mendengarkan saja. Ketiga bahasan di atas (belajar berpikir, belajar, dan berkreasi), akan memiliki dampak positif yakni belajar bukan sekadar menamatkan pelajaran secara formal (ijazah), tetapi lebih dari itu. Kemampuan yang tinggi (exellence) yang diperoleh di sekolah akan sangat bermanfaat untuk belajar selanjutnya bahkan dalam meniti karier apa pun.

4. Kiat Mengajar Efektif
Sekolah kita hingga dewasa ini kebanyakan tidak mampu menciptakan iklim yang mencerahkan siswa. Proses pembelajaran yang klasikal, duduk manis di bangku, dengan menghadapi buku catatan dan buku teks (entah dibaca atau tidak), dan mendengar (maaf) ‘ocehan’ guru, membuat perhatian siswa tertuju pada bel yang akan berbunyi. Pelajaran guru tidak menumbuhkan berpikir kreatif dan tindakan kreatif bagi siswa. Padahal, bukankah pendidikan dapat dikreasi sebagai suatu faktor yang mencerahkan siswa?
Kreativitas di negeri ini memang mahal. Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang diterapkan selama ini, paling tidak sejak awal kemerdekaan RI. Bagaimana para siswa akan kreatif jika segala sesuatunya serba diatur dan dibatasi. Semuanya serba seragam, sampai-sampai duduk siswa pun diatur. Siswa tidak memiliki kebebasan dan kesempatan mengembangkan kreasinya, terpasung dalam ‘gedung megah yang bernama sekolah’. Ilustrasi tembang para siswa Sekolah Dasar di Jawa: “Siji loro telu, tangane sedheku Mirengake Bu Guru, menawa didangu Papat nuli lima, lenggahe sing tata, Aja padha sembrana, mundhak ora bisa” ini secara implisit mencerminkan hal itu. Padahal kreativitas memerlukan kebebasan berpikir dan berkreasi. Tanpa adanya kebebasan berpikir dan berkreasi, mustahil sekolah akan menghasilkan manusia unggul.
Untuk merealisasikan hal tersebut, maka gurulah aktor kunci (primer) karena gurulah yang paling berperan dalam proses pembelajaran. Komponen lain seperti siswa, media, misalnya, hanyalah komponen sekunder. “The man is behind the gun” agaknya berlaku mutlak dalam proses pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ada ungkapan, “Di tangan guru yang kreatif, bahan pelajaran dan metode apa pun akan dapat mencapai hasil yang baik.” Demikian pula sebaliknya.
Untuk dapat mengajar secara efektif dalam sebuah proses belajar-mengajar (PBM), maka diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi guru, antara lain:
(1) Guru harus menguasai bahan pelajaran sebaik mungkin. Guru dapat membuat unit dan variasi pelajaran, membatasi bahan dan memecahkan persoalan, membimbing siswa secara tepat, dan memiliki percaya diri.
(2) Guru harus mencintai pada apa yang diajarkan dan berpendirian bahwa mengajar adalah suatu profesi yang diharapkan bahkan dibanggakan.
(3) Guru harus memahami siswa tentang pengalaman pribadinya, kemampuan dan prestasi belajarnya.
(4) Guru harus menggunakan landasan filosofis Konstruktivisme, pendekatan kontekstual dan kooperatif, strategi andragogi, serta variasi metode yang mendorong kreativitas dan produktivitas, problem solving, serta kemampuan berpikir alternatif. Misal: inquiry and discovery, metode sinektik (synectic,) bermain peran (role-playing), simulasi, diskusi, dan sebagainya.
(5) Guru tidak mungkin menguasai semua bahan dan semua mata pelajaran. Oleh karena itu, guru perlu memiliki keahlian pada bidang tertentu, tidak perlu menjadi “manusia yang serba bisa”.
(6) Guru harus dapat membimbing kepada apa yang aktual dan harus disiapkan sebaik-baiknya.
(7) Murahlah dengan pujian dan guru harus berani demikian, sebab hal itu akan membawa hasil yang lebih baik daripada selalu mengritik siswa.
(8) Timbulkan motivasi belajar secara individual dan gunakan pengalaman siswa, sehingga dapat memberi kebebasan dan membiasakan siswa memiliki daya kreasi dan bekerja.
(9) Gunakan media pembelajaran secara optimal sesuai dengan bahan ajar dan tujuan pembelajaran. Pemanfaatan teknologi informasi (information technology) sangat membantu guru dalam menjelaskan bahan ajar agar menarik dan mengesankan siswa.

5. Profesi Guru yang Prospektif
Lembaga pendidikan tenaga kependidikan termasuk FKIP dan kalangan pendidik patut bersyukur bahwa pada dekade terakhir hingga waktu ke depan pemerintah membutuhkan ribuan tenaga guru. Bahkan, penghargaan terhadap guru bukan lagi sekadar lip show berupa gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” melainkan sudah direalisasi secara konkret melalui pemberian tunjangan profesi guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Oleh karena itu, tentu saja hal itu harus diimbangi dengan profesionalisme kinerja guru. Hal ini juga diperkuat dengan adanya UU No. 20/ 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 74/ 2008 tentang Guru.
Untuk menunjang profesionalisme dan memenangkan masa depan, guru dituntut memiliki bukan saja penguasaan di bidang ilmu dan strategi pembelajaran melainkan juga memiliki keunggulan dalam penguasaan ketrampilan khusus (soft skill) meliputi:
(1) Kemampuan menulis karya ilmiah. Hal ini akan mendorong daya kreativitas sekaligus mendorong guru memiliki budaya membaca yang tinggi dan haus ilmu (tidak hanya sekadar memberikan pelajaran semata-mata dari buku paket).
(2) Kemampuan dalam bidang penelitian dan lebih khusus lagi penelitian tindakan kelas (PTK) guna meningkatkan secara terus-menerus kualitas pembelajaran.
(3) Kemampuan berbahasa asing yang memadai terutama bahasa Inggris guna membuka cakrawala berpikir dan memperluas wawasan keilmuan melalui membaca buku-buku referensi primer. Lebih-lebih jika halmitu dikaitkan dengan kebutuhan akan penyelenggaraan sekolah berstandar internasional (SBI) atau imersi.
(4) Kemampuan di bidang teknologi informasi (information technology) yang pada era global kini mutlak perlu manusia modern terlebih bagi guru dalam menunjang profesionalitas kerjanya.
(5) Kemampuan manajemen khususnya manajemen sekolah agar selalu dapat menimngkatkan kinerja profesionalnya.
Sebagai tambahan, guru diharapkan juga memiliki
(6) Kepekaan terhadap budaya multikultural (pengakuan terhadap adanya heterogenitas dan perbedaan warga masyarakat dari segi etnik, tradisi, bahasa, dan agama, namun tetap saling menghargai). Kebudayaan masa kini berkecenderungan pada budaya universal yang mondial (kini hampir tidak ada lagi budaya lokal yang murni, melainkan cenderung pada “pereselingkuhan budaya lokal-global”).
(7) Kepekaan terhadap perspektif gender. Hal ini penting karena ditengarai justru gurulah selama ini yang menjadi aktor utama dalam pendidikan bias gender. Sebagai ilustrasi, guru bahasa Indonesia sering membuat contoh kalimat, “Ayah pergi ke kantor sedangkan ibu membersihkan rumah”; atau “Ibu menanak nasi di dapur dan ayah sedang membaca koran di teras depan”.
(8) Keteladanan baik di bidang keilmuan, sikap maupun perilaku yang mulia. Dengan demikian predikat guru yang aslinya “digugu lan ditiru” (dipatuhi dan ditiru/diikuti) benar-benar terwujud, bukan diplesetkan menjadi “wagu tur saru” yang kontraproduktif bagi pendidikan moral, akhlak, dan/atau karakter bangsa yang kini sedang digalakkan oleh semua komponen bangsa lebih-lebih dunia pendidikan.

6. Purna Wacana
Mengakhiri pembahasan ini, perlu digarisbawahi bahwa pada era global yang sarat tantangan, guru harus benar-benar mampu bekerja profesional. Tidak pada tempatnya lagi guru hanya sekadar mengajar dan terjebak dalam rutinitas belaka. Oleh karena itu, guru juga perlu memiliki ketrampilan tambahan (soft skill) di samping penguasaan di bidang ilmunya (hard skill) guna memenangkan masa depan.
Pada era otak (brain) sekarang strategi pembelajaran perlu dilakukan dekonstruksi dan rekonstruksi. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma baru dan orientasi pendidikan yang kini tidak saja mengembangkan kecerdasan rasional (kognitif), melainkan juga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Sejalan dengan paradigma baru dalam pendidikan kini strategi pembelajaran harus diupayakan agar benar-benar ‘mencerahkan siswa’ sehingga siswa akan memiliki daya kreatif, belajar dengan gembira, dan bermakna (baca: PAIKEM). Untuk mewujudkan semua itu, maka gurulah yang memegang peran sentral. Di sinilah guru dituntut untuk merevitalisasi diri dengan bekerja secara profesional dan all out. Tanpa hal itu, rasanya pencerahan siswa hanya akan menjadi wacana dan sulit menjadi realita.
Akhirnya, semua terpulang kepada jati diri kita masing-masing sebagai pendidik dan pengajar. Jika serius, melalui tangan dingin guru insya’Allah kelak akan lahir generasi intelektual yang unggul: kreatif, berwawasan luas, sekaligus religius.

Daftar Pustaka

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2002. “Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi untuk
Memenangkan Masa Depan: Sebuah Alternatif” dalam Prabowo, Andi Haris dan
Ariatmi, Siti Zuhriyah (Editor). Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Tahun 2000. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Hamad, Ibnu. 1995. Membangun Kemandirian Indonesia. Jakarta: Forum Dialog
Indonesia.

Kasmadi, Hartono. 1995. “Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Transformasi Sosial
Budaya: Terobosan Alternatif Antisipatif” dalam Akademika Nomor 02 Tahun
XIII/ 1995.

Naisbitt, John and Patricia Aburdene. 1995. Re-Inventing the Corporation (Transforming
Your Job and Your Company). New York.

Purwanto, Yadi. 2003. “Belajar Kreatif, Asyik dan Bermakna”, Makalah dalam Pelatihan
Persiapan Fullday School System Guru SD Ta’mirul Islam Surakarta, 8 Juli 2003.

Surachmad, Winarno. TT. Metodologi Pengajaran Nasional. Bandung: IKIP Bandung.

______________
*) Disajikan dalam Orasi Ilmiah pada Upacara Pelepasan Lulusan FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 11 Desember 2009 di Auditorium Mohamad Djazman Al-Kindi.


oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar