Senin, 25 April 2011

MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL 1

Ali Imron Al-Ma’ruf
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP & Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta

1. Pendahuluan
Masa depan yang kompetitif adalah suatu aksioma. Sulit memenangkan masa depan hanya berasumsi pada kompetisi dengan memenangkan pertarungan dalam lintasan yang sama. Harus ada inovasi-inovasi agar sebuah pertarungan dimenangkan dengan mencanangkan tujuan seraya merancang jalan dengan melampaui jalur-jalur yang sudah ada. Dalam hal ini perlu adanya reformasi di bidang pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana terbaik bagi bangsa untuk memenangkan masa depan.
Setelah lebih dari setengah abad bangsa Indonesia merdeka, rupanya kita belum memiliki modal tradisi berpikir yang justru mutlak diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pegetahuan dan penalaran-penalaran individual. Karena itu, diperlukan usaha dan langkah menuju terciptanya konteks sosial-budaya yang benar-benar mampu mengkondisikan bangsa Indonesia untuk menguasai ilmu pengetahuan dan mengembangkannya sendiri dengan unsur-unsur infrastruktur yang meliputi tata pikir, tata nilai, dan tata hidup serta teknologi (Poespawardojo, 1989).
Memasuki abad XXI, kita harus memiliki keberanian melakukan perubahan-perubahan mendasar di bidang pendidikan --walaupun mungkin untuk sementara masyarakat atau pelaku pendidikan merasa ganggam dan "terkejut"--, jika kita tidak ingin kalah dalam persaingan global. Sebab, sudah cukup banyak kita lihat betapa hasil pendidikan nasional kita kurang memiliki daya kompetitif dan komparatif. Dan, salah satu aspek dominan dalam kelemahan pendidikan kita adalah kurangnya pengembangan kreativitas siswa atau mahasiswa dalam kurikulum pendidikan kita.
Menarik sekali ungkapan pakar pendidikan Gallagher (dalam Nashori, 1997), yang menyatakan bahwa "Keluhan yang paling banyak terdengar mengenai lulusan PT ialah bahwa meskipun mereka tampaknya cukup trampil dalam menerapkan pengetahuan dan teknik-teknik yang mereka peroleh, tetapi mereka tampak kurang berdaya menghadapi masalah-masalah yang menuntut cara-cara pemikiran baru dan pemecahan secara kreatif."
Sebuah ilustrasi berikut agaknya menarik untuk disimak sebagai gambaran atas kondisi memprihatinkan hasil pendidikan kita. Seorang manajer Jepang menyatakan, bahwa "di Indonesia
banyak orang berijazah insinyur, tetapi sukar mencari insinyur". Ini berarti banyak orang bergelar formal tetapi tidak memiliki keahlian yang dinyatakan oleh gelarnya. Keahlian, demikian Pekerti (1998), adalah perpaduan antara pengetahuan dan ketrampilan yang memampukan seseorang bekerja secara profesional dalam bidang tertentu. Pada abad XXI para ilmuwan teknik Indonesia dituntut untuk bekerja dengan acuan profesional global. Jika tidak, kita akan bernasib sebagai tukang di negeri sendiri.
Sejalan dengan itu, realitas menunjukkan bahwa selama ini banyak anak yang sangat cerdas, anak-anak berbakat, yang tidak didukung oleh lingkungannya. Di lapangan kita sering menjumpai
terutama di sekolah-sekolah, banyak anak berpotensi besar yang tidak memperoleh kesempatan lompat kelas atau mendapat pelajaran tambahan, sehingga seolah-olah kelebihannya itu terbuang sia-sia (muspro= Jw.). Padahal Allah memerintahkan kita agar mempergunakan akal pikiran kita secara optimal, misalnya pada Q.S. Ar-Rum: 21. Jika mampu mempergunakan akal secara optimal, maka kita akan mampu menghasilkan karya-karya (ilmiah) yang kreatif.
Sementara itu, realitas menunjukkan bahwa kecerdasan yang tinggi yang dimiliki siswa belum tentu menjamin keberhasilan studi/ sekolahnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus siswa berprestasi kurang (under achievement), yakni suatu keadaan seorang pelajar memperoleh prestasi yang lebih jelek dibandingkan dengan kapasitas intelektual yang dimilkinya. Di negara-negara maju pun under achievement ini juga ada. Di Belanda misalnya, terdapat 30% siswa SD dan SMTA under achiever, sedangkan di Amerika Serikat ada 40% - 50% siswa yang demikian. Di Indonesia diperkirakan terdapat 60% - 70% siswa yang berprestasi lebih jelek dibandingkan potensinya (Nashori, 1997).
Permasalahannya adalah benarkah sekolah/ institusi pendidikan formal kita menyebabkan tidak berkembangnya dan bahkan menyebabkan matinya kreativitas? Bagaimana prinsip-prinsip yang harus kita kembangkan dalam paradigma baru pendidikan nasional?

2. Selintas tentang Kurikulum Pendidikan Kita
Kualitas pendidikan di sekolah banyak dipengaruhi oleh kurikulum. Kurikulum sebenarnya disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan (bandingkan UU No. 20/2003). Ia memuat mata pelajaran yang perlu diberikan, waktu, dan cara pelajaran itu diberikan kepada siswa. Melalui kurikulum diusahakan transformasi pengetahuan dan kecakapan kepada siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Karena itu, kurikulum memegang peran sentral dalam pendidikan.
Munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang disusul kemudian dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampaknya juga belum mapu memecahkan permasalahan pendidikan kita. Kritik umum yang sering muncul dalam berbagai diskusi/ seminar tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah bahwa kurikulum kita selama ini terlalu padat sehingga tidak jelas apa yang menjadi fokus dari pelajaran yang dberikan di sekolah. Akibatnya adalah tujuan pendidikan kurang tercapai. Jika kurikulum terlalu padat, itu berarti pihak spesialis telah mendominasi penyusunan kurikulum dan pihak generalis tidak berhasil membatasi egosentrisme pihak spesialis.
Memang biasanya para spesialis, yakni penyaji pelajaran, cenderung untuk minta bagian yang besar dari kurikulum, Sebab, menurut mereka, mata pelajaranmerekalahyang paling penting untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Bukti hal ini, misalnya pelajaran sejarah dalam kurikulum Sekolah Lanjutan kita masa lalu harus dipelajari melalui dua plajaran sejarah, yakni pelajaran sejarah biasa dan pelajaran sejarah perjuangan bangsa. Seolah pelajaran sejarah begitu penting sehingga harus mengurbankan pelajaran lain atau dibuat kurikulum yang begitu padat sehingga pelajaran sulit dicerna siswa secara positif.
Selain itu, kurikulum pendidikan kita selama ini terlalu sering berganti yang merugikan pendidikan sekolah itu sendiri. Memang tidak ada kurikulum yang sempurna dan karena itu perlu selalu usaha untuk terus menyempurnakannya. Akan tetapi tidak berarti terlalu sering berganti. Akibatnya, timbul kesan bahwa pembuatan kurikulum secara serampangan dan muncul ungkapan: Jika berganti Mendiknas, berganti pula kurikulum (ada semacam arogansi pejabat atau malah "kompleks kelas II?").

3. Pendidikan Kita: Pengembangan Intelektual (IQ) belum EQ
Tradisi yang hidup dalam masyarakat kita termasuk institusi pendidikan kita agaknya menjadikan kreativitas dan kemandirian menjadi barang langka dan mahal di republik ini. Artinya, pendidikan kita selama ini baru memfokuskan pada pengembangan kecerdasan intelektuyal (IQ) belum banyak menyentuh kecerdasan emosional terlebih kecerdasaran spiritual (SQ). Bahkan mereka yang telah menempuh pendidikan selama belasan tahun pun tidak atau kurang mempunyai apa yang disebut kemampuan menghasilkan karya atau pemikiran inovatif, orisinal, dan tidak konvensional. Padahal, kreativitas adalah potensi yang sifatnya alami bagi manusia.
Lihatlah, ketika anak baru mampu berbicara, ia menunjukkan ciri-ciri kreativitas yang alamiah. Ia senang bertanya, memiliki rasa ingin tahu yang besar, memiliki minat yangbluas dan berpikir bebas. Itu ketika anak justru belum memasuki gerbang sekolah (institusi pendidikan formal). Sangat disayangkan, karena ciri-ciri alamiah kreativitas itu menjadi menurun dan pudar justru pada saat anak itu masuk sekolah. Seperti disinyalir oleh pakar psikologi anak Seto Mulyadi, bahwa "Begitu masuk SD kreativitas anak menurun." Jika sinyalemen Doktor dan praktisi kreativitas itu benar, maka sekolah dan sistem yang berada di atasnya bertanggung jawab atas memudarnya atau terkulainya kreativitas manusia Indonesia.
Ketika anak masuk sekolah, ia harus belajar dan menaati peraturan-peraturan dalam kelas, mengikuti petunjuk dalam permainan kelompok, tidak boleh "nakal", "rewel", dan sebagainya. Simaklah nyanyian dalam bahasa Jawa: "Siji loro telu, tangane sedhku, mirengaku mengko mundak keliru." Demikian pula istilah "Guru" yang diartikan "kudu digugu lan ditiru" secara lugu dan mentah. Terlihat betapa nyanyian para siswa dan pemaknaan Guru di atas mencerminkan betapa kreativitas siswa telah dipasung sejak lama, sehingga mendarah-daging. Sampai-sampai duduk pun siswa diatur oleh guru. Bahkan di PT penyeragaman itu masih terjadi. Ketia mahasiswa menjawan soal ujian tidak sama seperti penjelasan dosen di kelas/ kuliah, maka jawaban tersebut dianggap salah. Terlebih jika masih ada soal objektif yang menggiring mahasiswa harus menjawab a, b, c, d, atau e, tidak dapat lain. Itup un mematikan keativitas mahssiwa. Padahal mahasiswa adalah manusia dewasa yang sudah memiliki konsepbahkan paradigma sendiri berkat bacaan mutakhirnya. Begitu banyak petunjuk dan peraturan yang harus diikuti anak sehingga lama kelamaan anak merasa tidak nyaman lagi dalam situasi yang berstruktur. Sekolah "memaksa" para peserta didik untuk mengembangkan pola-pola perilaku yang menjadi aturan bersama atau yang diatur oleh pengurus sekolah secara sepihak serta menolak pola-pola lain yang dapat merusak pola yang sudah mapan tadi. Jika peserta didik berani menentang "paksaan" tadi, maka ia berada dalam kondisi terancam, tidak aman.
Jika peserta didik mengembangkan pola perilaku yang berbeda dari apa yang digariskan, ia dianggap menyimpang atau "nakal" (mbalelo= Jw.). Kita tentu masih ingat "Kasus Angket Seks Remaja" yang menimpa seorang pelajar yang "nakal" kreatif, Eko Sulistyo, yang pernah melakukan penelitian tentang pandangan dan sikap para remaja Indonesia tentang kehidupan seks di tiga kota besar Jakarta, Denpasar, dan Yogyakarta. Ketika hasil penelitiannya kemudian diumumkan dan sangat mencengangkan, maka Eko dianggap melecehkan institusi pendidikan (sekolah) saat itu (sekitar akhir dekade awal 1980-an). Karenanya, justru Eko Sulistyo, sang anak "nakal" kreatif itu, justru diusirnya dari sekolahnya. Bahkan ketika ia kemudian akan masuk ke perguruan tinggi (PT) ditolaknya. Untunglah ada seorang Rektor PT yang arif (Andi Hakim Nasution, Rektor IPB saat itu), justru tertarik pada kreativitas (baca: ”kenakalan”) Eko sehingga tanpa tes PT itu mau menerimanya sebagai mahasiswa.
Para peserta didik, karena membutuhkan rasa aman dalam lingkungan pergaulannya, seperti diungkapkan pakar psikologi terkemuka Abraham H. Maslow, maka peserta didik terpaksa mengikuti peraturan-peraturan dalam kelas itu. Karena terbiasa, terkondisi, maka paksaan penyeragaman tingkah laku itu dianggap sebagai "yang benar" dan " yang wajar". Ibarat orang yang terbiasa berjudi, atau menuman keras, maka kedua kebiasaan itu tak lagi dipandang perilaku yang tak wajar atau tak benar.
Bukan hanya penyeragaman dalam perilaku, sekolah juga mengharuskan peserta didik berpikir dalam satu cara. Peserta diharuskan memberi satu jawaban yang benar terhadap satu persoalan. Jawaban yang benar hanya ada satu dan yang satu itu adalah apa yang diajarkan oleh pendidik kepada peserta didik. Bahan-bahan ulangan/ ujian hanya memberi kemungkinan satu jawaban yang sesuai dengan kunci jawaban. Tidak ada alternatif lain yang mennjadi jawaban yang benar. Cara penyeragaman seperti ini berdampak pada mandeknya kemungkinan lahirnya jawaban yang berbeda, baru, dan orisinal.
Kebiasaan seperti di atas terus-menerus berlangsung hingga PT. Dua belas tahun masa pendidikan di tingkat dasar dan menengah ditambah sekitar empat/ lima tahun kuliah di PT sudah cukup untuk membentuk sebuah tipe manusia baru: manusia formal, manusia tidak kreatif.
Akhirnya, persoalan menjadi bertambah rumit, karena unit-unit yang terdapat dalam PT saling menghambat bagi munculnya kreativitas. Unit-unit termkasud adalah mahasiswa yang tumpul kreativitasnya, dosen yang merasa nyaman dengan materi dan metode belajar yang itu-itu juga dan monolog, serta sistem pendidikan yang diarahkan pada kehebatan menghafal.
Ketika salah satu pihak mencoba mendobrak keadaan tersebut, belum tentu keadaan beku kreativitas mencair. Ketika seorang mahasiswa mencoba memberikan jawaban-jawaban yang cemerlang dalam suatu ujian, belum tentu ia mendapat nilai bagus. Bisa jadi malah ia memperoleh nilai jelek. Demikian juga ketika seorang dosen mendorong mahasiswanya untuk bersikap kritis terhadap pernyataan-pernyataannya, bisa jadi ia hanya berhadapan dengan suasana diam, patung-patung hidup, atau memperoleh pertanyaan-pertanyaan basi dan tak bermutu.
Memang dari akar tradisi pendidikan, kita menemukan bahwa pendidikan kita tidak merupakan pertukaran ide-ide melainkan pendiktean ide-ide; bukan merupakan diskusi tentang tema-tema tertentu melainkan pemberian pelajaran atau kuliah; bukan merupakan kerja bersama dengan siswa melainkan bekerja atas siswa; memaksanakn perintah yang harus diikuti oleh para siswa. Dengan memberinya rumusan-rumusan yang harus diterima dan dihafalkan oleh siswa, kita tidak memberinya perangkat untuk berpikir otentik. Kita tidak memungkiankan asimilasi muncul dari pencarian, dari usaha untuk mencipta lagi dan menemukan kembali.

4. Orientasi Paradigma Baru Pendidikan Nasional
4.1 Kreativitaas sebagai Orientasi
Pada abad XXI yang penuh dengan persaingan dalam hal ini bangsa Indonesia sedang berada dalam masa transisi menuju masyarakat baru, masyarakat madani ( civil society ), perlu dilakukan berbagai perubahan dengan tatanan baru sesuai dengan tantangan era global. Salah satu aspek utama yang harus diubah adalah paradigma pendidikan nasional, karena pendidikan merupakan kunci utama menuju terwujudnya masyarakat yang maju. Dan, dalam paradigma baru pendidikan nasional itu pengembangan kreativitas dan kemandirian berpikir harus menjadi dimensi utama.
Tanpa mengedepankan kreativitas dan kemandirian berpikir, rasanya pedidikan nasional kita hanya akan menghasilkan orang-orang formal dan tidak kreatif, yang tidak mampu menghadapi tantangan global dan tidak memiliki daya saing yang kuat. Dalam konteks inilah, maka andil khusus yang diperlukan dari para pendidik untuk masyarakat yang "baru lahir" (terlepas dari penjajahan hegemoni penguasa orde baru yang otoriter) adalah pendidikan kritis yang akan membantu terbentyuknya sikap-sikap kritis, mengangkat (meminjam istilah Freire, 1984) kesadaran naif rakyat yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan membuatnya mudah terjebak irasionalitas. Hanya pendidikan yang memperlancar pergeseran kesadaran transitif-naif ke kesadaran transitif-kritis yang akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-tantangan zamannya, yang akan dapat menyiapkan rakyat untuk melawan kecenderungan emosional dari masa transisi.
Sejalan dengan itu, Mannheim (dalam Freire, 1984) menyatakan, bahwa dalam masyarakat yang melaksanakan perubahan-perubahan dengan musyawarah, dan penilaian harus didasarkan atas persetujuan dan pandangan intelektual, maka diperlukan sistem pendidikan yang sama sekali baru, yakni sistem yang memusatkan segala daya upaya untuk mengembangkan kekuatan intelektual dan menghasilkan kerangka berpikir yang dapat memikul beban skeptisisme dan tidak panik ketika banyak kebiasaan berpikir mulai lenyap. Mannheim (dalam Freire, 1984) menyatakan bahwa semakin proses demokratisasi menyebar luas, semakin sulit untuk menyuruh rakyat tinggal dalam kebodohan. Dalam konteks Indonesia, hal ini juga sejalan dengan era reformasi yang mendukung demokratisasi dalam segala bidang, terlebih pendidikan.
Kelalaian dan kekeliruan dalam membentuk konteks struktural yang dibutuhkan ini melalui usaha-usaha demokratisasi berarti membawa bangsa Indonesia atau membiarkannya hidup dalam pola konsumerisme, yang selanjutnya membodohkan kita (dialektika buruh dan majikan menurut Hegel) untuk memakai teknologi tetapi tidak mampu menguasai dan menciptakannya demi kepentingan hidup manusia. Membanjirnya teknologi dari luar ke dalam kehidupan masyarakat tanpa diimbangi kepribadian yang kuat atau orientasi dan sikap yang utuh (integrated) dalam menghadapinya secara baik dan tepat, akan menimbulkan bentuk dan pola hidup yang alienated (Fromm, 1971), seperti kebudayaan etalase, yang tidak mampu menyerap dan mengintegrasikan teknologi dalam sistem nilai yang dihayati, kemudian memantulkannya ke dalam gaya-gaya hidup lahiriah yang otentik.
Sementara itu, kurikulum pendidikan nasional selama ini tidak mengembangkan kesadaran kritis dan menunjuk aktivitas kongkret. Bahkan, ketergantungan pendidikan secara naif pada ungkapan-ungkapan muluk, pada hafalan dan kecenderungan yang abstrak sesungguhnya menunjang kenaifan kita. Karena itu, kita memerlukan pendidikan yang membuat manusia mampu menghadapi problema-problema mereka, akrab dengan problem-problem, berorientasi penelitian-penelitian, tidak hanya menghafalkan prinsip-prinsip yang tidak relevan. Meminjam istilah Freire (1984), kita memerlukan suatu pendidikan berupa "Saya bertanya" dan bukan sekadar "Saya taat berbuat".
Gugatan keras atas ketidakberdayaan institusi pendidikan dalam mengembangkan kreativitas dan fungsi-fungsi pendidikan, pernah dikemukakan oleh Roem Topatimasang dalam sebuah bukunya Sekolah itu Candu (1998) atau juga tulisan Everett Reimer dalam bukunya School is Dead (1971). Menurut Totimasang (1998), sistem dan lembaga pendidikan ternyata menjadi alat ampuh dari kekuatan raksasa yang --atas nama dan label-label "demi pembangunan, industrialisasi, modernisasi, globalisasi-- bukan hanya mengajarkan bagaimana caranya merampok habis sumber daya kebendaan komunal yang dimiliki selama berabad-abad oleh masyarakat, tetapi juga mengajarkan bagaimana caranya menjarah sumber daya kerohanian pribadi ataupun kolektif dari masyarakat: pikiran, perasaan, kesadaran, martabat, dan harga diri.

4.2 Life Skill sebagai Fokus Utama
Munculnya KBK sebenarnya diamaksudkan untuk mengembangkan life skill bagi peserta didik agar memiliki kemamapuan untuk menghadapi tantangan global. Demikian pula KTSP yang penyusunannya dioserahkan kepada sekolah. Sayang dalam dataran empirik KTSP dapat dikatakan gagal mencapai tujuan karena akhirnya berbagai sekolah sejenis/ sederajat mengadakan lokakarya bersama untuk menyusun KTSP. Lalu apa artinya KTSP?

4.3 Pengembangan Soft Skill sebagai Sasaran Penting (EQ dan SQ)
Selama ini pendidikan kita beluym banyak menyentuh pengembangan EQ dan SQ. Karena itu, pendidikan nasioanl sudah selayaknya memfokuskan perhatiannya pada pengembangan kedua kecerdasaran yang ada pada otak kanan tersebut. Terlebih menghadapi kehidupan yang makin kompetitif.

4.4 Arah Kurikulum
Lebih jauh, paradigma baru pendidikan nasional harus diarahkan untuk dapat mengembalikan hakikat keutuhan manusia pada tiga dimensi, yakni: dimensi religius, budaya, dan ilmiah (Poespowardojo, 1989). Dimensi religius menunjukkan, bahwa manusia pada dasarnya adalah misteri, yang tidak dapat diredusir menjadi faktor semata-mata. Manusia harus tetap memopertahankan kepribadian, kebebasan, dan martabatnya. Lebih jauh ia merupakan imago dei yang dapat menaruh harapan akan kehidupan yang lebih baik pada masa depan. Bagi Kartono (1991), dimensi religius membawa manusia pada: (1) nilai-nilai spiritual dan transendental, (2) agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat, (3) menuntut anusia agar bertingkah laku susila, berbudi luhur, dan mau menapak di jalan Tuhan.
Pentingnya nilai religius dalam menghadapi tantangan modernisasi, juga dikemukakan oleh Ratna Dutta (dalam Hamad, 1995), seorang sosiolog, yang menjelaskan bahwa nilai religius mendukung pola-pola tingkah laku tertentu dan melarang pola-pola tingkah laku yang lain, mengendalikan dan mengarahkan motivasi, dan secara psikologis memiliki kekuasaan atas anggota-anggota masyarakat, walaupun kekuatan-kekuatan agama tidak mempengaruhi anggota masyarakat secara langsung tetatpi telah tersaring oleh nilai-nilai budaya.
Dimensi budaya menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk etis yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kelestarian dunia seisinya. Dalam dimensi ini manusia memperoleh dasar untuk mempertahankan keutuhan pribadinya dan mampu mencegah arus zaman yang membawa desintegrasi dan fragmentasi yang selalu mengancam kehidupan manusia. Jadi, integrasi dan keseimbangan sosial akan lebih terjamin. Dimensi ilmiah mendorong manusia untuk bersikap objektif dan realistis. Dalam menghadapi tantangan zaman dan berbagai masalah kehidupan, manusia terbina untuk menanggapinya secara kritis dan rasional, sehingga mampu berpikir alternatif.

4.3 Karakteristik Kurikulum Pendidikan Masa Depan: Sebuah Alternatif
Perubahan besar yang ditekankan pada kurikulum pendidikan kita yang meliputi:
(1) Menekankan perlunya disiplin sosial, guna memerangi permissivisme yang berkembang dalam masyarakat.
(2) Memerangi materialisme dan hedonisme, agar manusia tidak terjebak di dalam kesenangan hidup di dunia yang maya.
(3) Mengemukakan pula tentang bahaya dan masalah penggunaan teknologi yang serampangan.
(4) Kurikulum harus responsif secara lebih memadai terhadap ancaman kerusakan yang menimpabiosfir.
(5) Menanamkan sikap egalitarian, demokratis, dan peka terhadap masalah sosial masyarakat serta bangsanya.
(6) Menanamkan pemahaman agar peserta didik peka terhadap masalah dan bahaya Neo-Malthusian yakni pertambahan penduduk yang tidak terkontrol.
(7) Membuat peserta didik mampu menghadapi kekuatan media massa (elektronik dan cetak) dalam membentuk opini dan sikap publik serta menangkal narkotik dan obat-obatan terlarang.
Peserta didik diberi pemahaman agar pikiran tidak dikendalikan oleh perangkat teknologi komunikasi (televisi, film, dan radio) dan tidak mengalami ketergantungan pada NAZA (Narkotik dan zat-zat aditif)(band. Shane, 1984).
Perubahan kurikulum dimulai dari perubahan konsepsional (paradigmatis) dan perubahan struktural. Perubahan struktural kurikulum menyangkut komponen kurikulum, yakni: perubahan dalam tujuan kurikulum; isi dan struktur kurikulum; strategi kurikulum; sarana kurikulum; dan sistem evaluasi kurikulum (Sudjana, 1996).

5. Purna Wacana
Mengakhiri pembahasan mengenai pentingnya kreativitas dan kemandirian berpikir dalam paradigma baru pendidikan nasional, perlu dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: Bahwa guna mengantisipasi realitas pendidikan nasional kita selama ini maka setidak-tidaknya ada dua strategi pengembangan kretaivitas yang dapat dilakukan. Pertama, mendobrak sistem pendidikan kita. Kurikulum yang dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional hendaknya kurikulum yang mendodorng kemerdekaan cara berpikir serta memberi keleluasaan berperilaku secara kretaif. Dalam mengarahkan perilaku bukan kseragaman perilaku yang ditekankan, melainkan nilai yang mendasari perilaku itu. Dalam mengembangkan cara berpikir, bukan hanya kesesuaian jawaban yang patut diperhitungkan, tetapi kemampuan menjawab secara mendalam, inovatif, dan alternatif juga patut dihargai.
Kedua, aktivis kreativitas, baik mahasiswa maupun dosen, hendaknya bergerilya bergerak memperjuangkan berkembangnya kreativitas itu. mahasiwa yang kritis, aktif dalam aktivitas ilmiah, dan sejenisnya hendaknya dapat membangun sinergi dengan menularkan/ mensosialisasikan kreativitasnya itu keopada kawan-kawanya. Dan, karenanya mereka harus dihargai, bukan sebaliknya dijatuhkan (diching) karena dianggap berani menentang kemapanan (kasus mahasiswa tak membeli buku jatuh nilainya). Pendidik hendaknya memperjuangkan kreativitas dengan mengembangkan materi dan metode yang bervariasi dan secara sadar memancing kreativitas 
mahasiswa.
Selanjutnya, dalam menyusun kurikulum pendidikan nasional memasuki abad XXI ada tiga dimensi yang harus menjadi acuan utama, yakni dimensi religius, budaya, dan ilmiah.

Daftar Pustaka

Freire, Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan (Terj. Alois A. Nugroho). Jakarta:
Gramedia.

Nashori, Fuad. 1997. Menggapai Keunggulan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamad, Ibnu (Ed.). Membangun Kemandirian Indonesia. Jakarta: Forum Dialog Indonesia.

Kartono, Kartini. 1991. Quo Vadis Tujuan Pendidikan?. Bandung: Mandar Maju.

Poespowardojo, Soerjanto. 1989. Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta:
Gramedia.

Shane, Harold G. 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali.

Sopater, Sularso dkk. (Ed.). 1998. Pembelajaran Memasuki Era Kesejagatan. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Sudjana, Nana. 1996. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1987. Menghadapi Tantangan Masa Depan. Jakarta: Gramedia.

Topatimasang, Roem. 1998. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan INSIST Press.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.



*) Disajikan pada Diskusi “Forum Kota” HMI Cabang Surakarta tanggal 25 Mei 2007 di Kantor HMI Cabang Surakarta

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar