Senin, 25 April 2011

MENGGAGAS PARADIGMA BARU KEBUDAYAAN INDONESIA Sebuah Refleksi Pasca-Reformasi

MENGGAGAS PARADIGMA BARU KEBUDAYAAN INDONESIA
Sebuah Refleksi Pasca-Reformasi
Ali Imron Al-Ma’ruf
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah & Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta

1. Prawacana
Kesadaran akan pentingnya memperhatikan kebudayaan dalam pembangunan di Indonesia kini semakin meningkat. Hal ini juga semakin mengokohkan pandangan mendasar bahwa bagaimanapun jalan yang ditempuh, tetaplah manusia merupakan tujuan dan subjek pembangunan. Manusia tidak boleh dikorbankan untuk mencapai tujuan-tujuan lain selain dirinya. Terlebih pada masa pascareformasi menjelang kita memasuki milenium III ketika Orde Baru runtuh melalui gerakan moral para mahasiswa dan tokoh-tokoh intelektual pada paroh kedua Mei 1998.
Jika kita benar-benar ingin memperbaiki pemahaman tentang suatu situasi modern, apa pun wujud situasi modern itu, demikian Morrison, seorang pakar Ilmu Humaniora, maka kita harus tahu
sesuatu tentang segi permesinan dari situasi tadi (dalam Soedjatmoko, 1986), tetapi harus pula telaah itu mencakup segala sesuatu yang pernah kita pelajari tentang ilmu ekonomi, ilmu politik, masalah organisasi sosial dan juga soal kebutuhan, kemampuan, serta sifat-sifat manusia.
Tak dapat disangkal, bahwa dinamika suatu bangsa tampak dalam usaha-usaha pembangunan yang sedang dijalankannya. Dalam konteks ini, manakala kita menengok ke belakang ternyatalah bahwa usaha-usaha pembangunan dalam dua dasawarsa terakhir menjelang milenium III --setidaknya hingga paroh pertama tahun 1997 sebelum Indonesia dilanda krisis moneter--, telah banyak menghasilkan kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bangsa. Bukan saja taraf kehidupan ekonomi masyarakat meningkat, pola hubungan dan jaringan komunikasi serba canggih, sains dan teknologi maju pesat, serta perikehidupan beragama meningkat, melainkan juga terlaksananya pengembangan kehidupan budaya yang semakin membuka perspektif melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Dalam kerangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, jelas diperlukan refleksi budaya bukan semata-mata mengenai apa yang telah dicapai sebagai hasil pembangunan, melainkan mengenai proses pembangunan dan arah peningkatan kehidupan bangsa sehingga dapat ditarik makna dari pembangunan nasional. Di situlah terletak titik krusial, karena pembangunan nasional tidak diukur dari produk dan hasil yang dicapai saja, melainkan juga realitas sejauh mana arah pembangunan nasional selaras mengikuti keinginan normatif yang telah ditetapkan oleh bangsa yang bersangkutan.
Berangkat dari kerangka pikir ini pula antara lain studi kebudayaan memberikan peran dan fungsinya kepada masyarakat terutama bagi kalangan intelektual dan kaum muda terpelajar yang kelak pada masa depan akan memegang "kekuasaan" dan tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Merekalah yang akan memiliki kesempatan dalam menelorkan kebijakan dan keputusan-keputusan strategis yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan bangsa. Karena, kaum terpelajar merupakan pekerja otak (knowledge worker) yangmempunyai fungsi ganda yakni fungsi intelektual sekaligus fungsi sosial.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas kebudayaan Indonesia secara mendetail, melainkan lebih sebagai refleksi pasca-reformasi guna mencari paradigma baru kebudayaan Indonesia dengan menelaah berbagai perubahan nilai dan konsep budaya yang sedang dan akan terjadi menuju era Indonesia baru. Tulisan ini juga mencoba memotret perubahan yang tengah berlangsung di dalam kehidupan masyarakat kita yang sedang berubah seiring dengan tengah berlangsungnya transformasi sosial budaya dan disemangati api reformasi di Indonesia.

Permasalahannya adalah bagaimana mengadakan penyadaran akan adanya sebuah kebudayaan baru, yakni kebudayaan yang melahirkan sains, tanpa kehilangan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, sebab hanya dengan demikian kita dapat survive menempuh abad sains dan teknologi yang serba cepat itu dengan segala tantangan, perubahan, dan peluangnya. Juga, dalam konteks pembangunan bangsa dan dalam rangka pengembangan sains, di manakah dan sejauh manakah peran kesadaran budaya yang bernuansa tauhid (baca: religiositas) dapat disumbangkan? Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan reflektif yang dilengkapi dengan analisis historis dan deduktif.

2. Fenomena pada Era Transformasi Budaya
Memang, kini masyarakat kita sedang berubah, termasuk di dalamnya dalam hal persepsi masyarakat mengenai berbagai nilai sosial budaya. Hal ini sebagai akibat makin pesat dan meratanya pembangunan segala bidang terutama meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Berbagai fenomena berlangsungnya transformasi budaya modern dapat diidentifikasikan antara lain terjadinya perubahan pandangan dan gaya hidup masyarakat yang cenderung materialistik, hedonistik, individualistik, glamourisme, permissivisme, dan sekularisme. Kecenderungan itu semakin hari semakin tampak dan merambah dalam berbagai dataran kehidupan dan strata sosial masyarakat. Tidak saja masyarakat perkotaan yang dinamis melainkan juga sudah merambah masyarakat pedesaan yang (dulu) relatif statis.
Transformasi budaya modern di Indonesia juga ditandai dengan makin banyaknya tindak kekerasan dan anarkisme, seperti perampokan, perusakan, penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, dan pembunuhan. Sadistis, premanisme, holiganisme, dan sebagaina merajalela di berbagai tempat seolah-olah merupakan pemandangan biasa. Bahkan tindak kekerasan itu tidak hanya didominasi oleh orang dewasa atau kaum pria, bahkan tak terkecuali kini sudah ada kecenderungan merambah pada kaum wanita dan anak-anak belasan tahun. Betapa mudahnya terjadi keberingasan dan kebrutalan hanya karena alasan atau masalah kecil (sepele). Kesalahan kecil sering diselesakan dengan jalan kekerasan dan kesadisan. Ada apa ini sebenarnya?
Selain itu, indikasi adanya transformasi budaya modern itu dapat disimak pula dari berbagai peristiwa demonstrasi di kalangan kaum terpelajar-mahasiswa, kalangan buruh/ pekerja, petani di pedesaan, bahkan tak terkecuali di kalangan orang-orang yang terkena musibah (musibah gempa daerah Kerinci, misalnya) yang tidak puas terhadap sikap dan tindakan petugas atau aparat birokrasi. Akumulasi berbagai kekecewaan yang berkaitan dengan masalah kesenjangan ekonomi dan sosial, etnis, agama, dan golongan merebak menjadi sebuah aksi kerusuhan. Misalnya gelegak Pemilu 1997 di Banjarmasin, masalah agama di Pasuruan, kerusuhan karena kecemburuan ekonomi dan masalah etnis di Medan, Jakarta, dan Surakarta medio Mei 1998, konflik antaretnis Madura dan Dayak di Kalimantan, dan sebagainya.
Menarik sekali untuk disimak pula adalah terjadinya perubahan iklim dan budaya politik di Indonesia pasca-reformasi setelah adanya demokratisasi dan transparansi di berbagai bidang khususnya bidang politik sehingga demokratisasi dan keterbukaan di negara kita makin menggelinding. Menjelang memuncaknya gerakan reformasi bermunculan berbagai kelompok dan organisasi sosial dan organisasi massa seperti Persauan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP), Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK) yang dkenal sebagai kelompok Pelangi, Persatuan Nasional Indonesia (PNI) yang dibidani oleh tokoh-tokoh lama atau mantan pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI) seperti Usep Ranuwijaya, Sanusi Haradinata, Ny. Supeni, dan makin merebaknya issue akan berdirinya Masyumi baru, PARKINDO baru, dan sebagaInya. Tak ketinggalan di kalangan kaum muda Yogyakarta berdiri kelompok kaum muda yang menamakan diri Front Kaum Muda Yogyakarta (FKMY) yang menginginkan perubahan-perubahan politik dan ekonomi.
Dengan dibukanya kran kebijakan politik pasca-reformasi lahirlah puluhan (sekitar 60-an) partai politik baik yang memiliki basis pendukung besar (grass root) di tanah air seperti Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN), maupun partai-partai politik lain seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi baru, Partai Keadilan, Partai Republik, Partai Buruh, dan sebagainya. Sungguh bermunculannya berbagai organisasi sosial dan kemasyarakatan serta lahirnya berbagai partai politik ini merupakan fenomena menarik sehingga mengundang perhatian berbagai pengamat sosial politik baik dalam maupun luar negeri.
Jika kita cermati transformasi sosial budaya modern dilatarbelakangi oleh berbagai faktor antara lain: (1) Perkembangan teknologi komunikasi/ informasi, misalnya penemuan satelit, kabel serat optik, dan komputer, dan (2) Perkembangan media komunikasi dan informasi, yang terbagai dalam: (a) Media elektronik: televisi, radio, dan film, (b) Media cetak: surat kabar, majalah, buletin,
dan lain-lain, dan (c) Media komunikasi: telepon, faksimile, dan internet.
Berkembangnya teknologi komunikasi/ informasi itu telah dan akan terus mempengaruhi kehidupan masyarakat, yakni (1) terjadinya globalisasi informasi, dan (2) berlangsungnya perubahan gaya hidup dan perilaku masyarakat.
Melihat realitas itu, dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, maka siapa yang menguasai media informasi-komunikasi akan unggul dalam pergumulan budaya. Padahal fakta menunjukkan, bahwa sekarang media informasi-komunikasi banyak dikuasai oleh bangsa-bangsa maju seperti Amerika Serikat dan Eropa yang nota bene adalah sekuler. Oleh karena itu mudah dipahami bahwa pola dan gaya hidup masyarakat kita juga lebih banyak dipengaruhi pandangan dari mereka yang sekuler tadi.
Seirama dengan itu, arus informasi sekarang ini tidak seimbang. Informasi yang datang dari bangsa-bangsa sekuler jauh lebih deras daripada arus informasi yang datang dari dunia muslim. Dan, itu berarti gempuran budaya asing yang sekuler akan berpengaruh besar terhadap perubahan nilai budaya dalam masyarakat kita yang selama ini dikenal sarat dengan dimensi relegius. Sehingga, mau tidak mau, suka atau tak suka, adanya pergeseran nilai budaya dalam masyarakat kita merupakan realitas sebagai keharusan sejarah yang tak terelakkan.

3. Transformasi Sosial Budaya dan Perubahan Nilai
Meskipun ada sinar cerah yang menggembirakan mengenai pentingnya pendekatan budaya, memprihatinkan pula bahwa pendekatan budaya lalu diartikan sebagai kesenian. Padahal kita tahu bahwa kebanyakan kesenian yang berkembang selama ini adalah kesenian tontonan atau hiburan. Kesenian telah kehilangan segi mendasarnya, kehilangan rohnya yang terdalam, yakni segi spiritual, yang jutsru menjiwai manusia sejak lama. Padahal kebudayaan, demikian Poespowardojo (1989), sebenarnya adalah keseluruhan hidup, proses, dan aktivitas manusia dalam eksistensinya di muka bumi ini.
Kebudayaan kita selama ini, kata Daoed Joesoef (1991), tidak merangkum ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang lahir dari dan dikembangkan oleh seni merupakan unsur budaya, tetapi pengetahuan ilmiah tidak. Seniman adalah budayawan tetapi ilmuwan tidak. Pandangan demikian jelas tidak relevan dengan eksistensi kebudayaan itu sendiri, yang hakikatnya sangat kompleks.
Pada sekitar dua dekade terakhir ini akselerasi pembangunan begitu derasnya. Arus pergeseran struktur ekonomi dan kependudukan yang akan mengubah wajah Indonesia masa depan diduga akan diperderas lagi oleh arus revolusi komunikasi yang akan membawa bangsa Indonesia menjadi bagian dari pola kebudayaan dunia, sebuah kebudayaan mondial. Derasnya arus informasi dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang, dari perkotaan ke daerah pedesaan, dan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi, membuat dunia semakin menyempit, merobek segala jenis isolasi, mengubah tata nilai lokal, kualitas ilmu pengetahuan, sikap, perilaku, dan gaya hidup bangsa. Pendeknya arus informasi deras melalui media massa terutama televisi dengan tayangan produk dan film-film asingnya menimbulkan adanya infiltrasi budaya, yang pada gilirannya mendorong pergeseran bahkan perubahan nilai sosio-kultural dalam kehidupan masyarakat (lihat Ali Imron, 1993).
Perubahan masa depan seperti diprediksikan oleh beberapa futurolog Daniel Bell, Alvin Toffler, John Neisbitt & Patricia Aburdene, dan Soedjatmoko, mengingatkan kepada kita, bahwa pembangunan pada era mendatang bukan hanya memiliki makna ekonomis semata, namun memiliki dimensi sosial-budaya yang lebih kompleks bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia.
Kita hidup pada zaman yang sedang berubah. Perubahan itu diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi yang berlangsung dengan cepat, mendasar, terus-menerus, mengejutkan, dan tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk berbenah diri, bersiap-siap menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Kita memang hidup di Indonesia yang berbeda dengan negara-negara maju yang secara bertahap melewati "peradaban pertanian, industri, dan informasi". Sedangkan kita yang berada dalam negara berkembang justru dilanda ketiga gelombang peradaban tersebut.
Sesudah era informasi yang melahirkan komunisme, kapitalisme, dan kolonialisme, maka dunia sekarang dihadapkan pada apa yang oleh Toffler disebut sebagai abad informasi. Zaman ini ditandai dengan timbulnya revolusi di bidang teknologi informasi dan komunikasi, seperti komputer, televisi, video, Telex, Telepon, Faksimil, internet, satelit, dan alat komunikasi canggih lainnya, seperti dikemukakan di atas. Semua itu menjadikan dunia terasa semakin menyempit dan cenderung akan melahirkan kebudayaan global. Perkembangan lainnya dalam era ini adalah revolusi di bidang Bioteknologi seperti alat-alat kontrasepsi (KB), bayi tabung, clonning, dan sebagainya.
Teknologi informasi dapat mempengaruhi kita melalui dua cara yakni kehadiran fisik dan isinya. Salah satu efek dari kehadiran teknologi informasi seperti tape recorder, televisi, video, video game, komputer, dan internet, di samping meningkatkan status sosial juga membentuk jaringan interaksi sosial baru.
Beberapa efek yang kemudian timbul karenanya antara lain:
(1) Adanya penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari, seperti belajar dan bekerja sering diisi dengan kegiatan lain seperti melihat televisi, bermain video game, mengakses informasi lewat internet, dan lain-lain.
(2) Westernisasi pandangan dan nilai hidup. Teknologi informasi telah menjadi global village, dalam hal ini pemilik teknologi informasinya adalah orang-orang yang berbudaya Barat (baca: sekuler). Sekitar 70 % (dulu bahkan 80%) tayangan acara dan berita internasional di media massa baik cetak maupun elektronik yang kita simak berasal dari Eropa atau Amerika. Isi media tersebut jelas akan mempengaruhi stuktur afektif dan kognetif masyarakat kita, yang secara perlahan tetapi pasti masyarakat kita akan terobsesi dan mengikutinya.
(3) Distorisasi tentang dunia ketiga. Banjir informasi yang datang dari satu arah mengakibatkan pandangan kita terdistorsi. Kita melihat dunia ketiga adalah negara yang ketinggalan, bodoh, kelaparan, miskin, dan penuh kekerasan, sedangkan negara Barat adalah hebat, makmur, kaya raya, dan penuh kemewahan.

(4) Hancurnya tata nilai tradisional dan tergantikan oleh nilai-nilai modern yang terkadang destruktif, di samping banyak pula yang konstruktif. Isi media informasi yang sarat budaya dari Barat tak kurang akan membawa nilai-nilai seperti agresivitas, holiganisme, sekulerisme, konsumtivisme, hedonisme, sexual permissiveness, glamourisme, dan sebagainya. Namun, media massa juga membawa nilai positif seperti perlunya kebebasan berpendapat, bereskpresi dan berkreasi, pentingnya menjaga lingkungan hidup, pencerahan kesadaran mengenai kesetaraan gender, dalam dan sebagainya
(5) Sistem informasi yang computer based membawa dampak positif dan negatif. Positifnya, informasi lebih cepat, lengkap, dan cermat, sedangkan negatifnya juga tak kalah berbahayanya yakni hancurnya nilai-nilai tauhid, moral, akhlak, hikmah, dan sebagainya.
Meskipun Indonesia berada di wilayah "pinggiran" dari semua perubahan tersebut, namun pengaruh perubahan itu sangat terasa bagi kita. Efek positifnya adalah meningkatnya kesejahteraan hidup masyarakat, terutama di bidang fisik seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan fasilitas hidup lainnya. Di pihak lain aspek negatifnya tak terhindarkan. Perubahan itu mencakup sistem nilai, seperti apa yang disebut baik dan buruk, yang susila dan asusila, yang kolot dan modern, semuanya serba goyah. Sistem nilai lama mulai tercerabut dari akarnya sehingga mulai ditinggalkan, namun sistem yang baru belum ditemukan meskipun sebagian sudah diterima.
Sebagai akibatnya, masyarakat kita hidup dalam ukuran ganda, apa yang dipandang baik dan apa yang dipandang buruk muncul bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya kepribadian masyarakat dan perorangan yang terpecah (split personalities). Dengan demikian tak mengherankan jika dari hari ke hari semakin banyak saja orang yang berkonsultasi ke psikolog dan/ atau psikiater. Tantangan zaman inilah yang merupakan persoalan besar umat Islam untuk mampu membuktikan kebenaran risalah-Nya untuk mendatangkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil'alamin). Dan bukan sebaliknya, kemajuan sains dan teknologi yang menimbulkan perubahan itu justru mendatangkan laknat bagi masyarakat.
Melihat berbagai perubahan sosial budaya dengan berjungkir baliknya nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat tersebut, maka studi budaya, demikian Kartodirdjo (1990), diharapkan dapat membuka perspektif baru dan falsafah yang mendukung peran yang fondamental dalam gaya hidup baru. Interpretasi baru dari realitas untuk membangkitkan aspirasi baru. Realitas-realitas itu dapat dirumuskan dalam sastra, kesenian, dan sejarah.

4. Gagasan Paradigma Baru Kebudayaan Indonesia
Meminjam istilah Dewanto (1991), kebudayaan kita ibarat hutan tropik. Kita tak dapat melakukan pengenalan hanya dengan melintas di atasnya dengan pesawat terbang (itulah yang dilakukan oleh beberapa polemik kebudayaan dalam sejarah kita). Kita dapat melihat kekayaan dan kekuatan spesies-spesiesnya hanya dengan masuk menyusur ke dalamnya. Masing-masing spesies mempunyai evolusi dan metabolisme, tetapi selalu dalam hubungannya dengan ekosistem hutan tropik tadi.
Sudah waktunya kini kita untuk menelusuri dan menghormati satuan-satuan kecil itu. Satuan-satuan kecil itu tidaklah berarti isolasi, tetapi sebaliknya: satuan-satuan itu satu dengan lainnya berada dalam permainan bersama, dalam tarik tambang strategi-strategi. Usaha kita untuk mengenali sebuah satuan kecil tidak lain adalah upaya melakukan dialog dengan sebuah kekuatan budaya, yakni kekuatan budaya yang mempunyai peluang sama untuk punah ataupun hidup terus lestari. Dalam konteks ini, kehidupan sastra dan sinema Indonesia serta orang-orang Teges-Bali, misalnya, berada sama pada situasi yang menantang itu. Demikian pula kehidupan budaya masyarakat Surakarta (Jawa) dengan orang-orang Dayak di Kalimantan memiliki peluang dan tantangan yang sama.
Bagaimana modernisme kebudayaan Indonesia baru itu? Ia adalah bagian tersembunyi, endapan-endapan, dari nasionalisme Indonesia; ia adalah romantisme dari gairah perlawanan yang terus mencari bentuk sementara nasionalisme yang sudah tertata ke dalam wujud negara kebangsaan; ia adalah juga pencarian yang gelisah, yang sering berbenturan dengan kaidah-kaidah normatif dari institusi-institusi.
Pada zaman kini, korporasi-korporasi global ditransformasikan menjadi jaringan-jaringan yang makin berswadaya, desentralisasi, sehingga peran birokrasi resmi (pemerintahan) untuk melakukan kontrol semakin melemah. Sementara itu, hubungan antara sentral dengan periferi terus berubah. Setiap titik pada periferi adalah persilangan berbagai benang aktivitas seluruh dunia, dan secara potensial setiap titik itu dapat menjadi pusat jaringan baru. Setiap pusat baru adalah kepemimpinan baru, masyarakat baru, di mana nilai-nilai baru diciptakan, dipelihara, dan dikembangkan. "Medan tempur" tak lagi berurusan dengan aras negara-bangsa.
Sejalan dengan berbagai perubahan itu, globalisasi tidak melulu menyeret kaum elite. Pesawat televisi di negara mana pun juga mendesak-desakkan globalisasi ke rumah-rumah. Melalui televisi kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa dan film-film bermutu atau film murahan, yang transenden atau yang profan, opera sabun, di samping teater modern berbahasa Jawa, wayang golek berbahasa Sunda, musik dan nyanyian Batak, dan sebagainya. Itulah yang disebut Jean Baudrillard, sosiolog kondang, sebagai "hiperrealitas komunikasi", kita menyaksikan ledakan penanda-penanda (signifiers) yang lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Karena, penanda-penanda itu merangsang kita menciptakan kenyataan yang lebih menakjubkan di dalam kepala kita. Kita mengalami ekstase komunikasi, sehingga kita merasa lebih dekat dengan science fiction daripada benda-benda di kamar kita sendiri. Melihat realitas itu, George Gerbner menyebut televisi sebagai agama baru masyarakat industri, masyarakat modern. Bahkan televisi telah menggeser agama-agama konvensional, sebab khutbah-khutbahnya lebih didengar dan disaksikan oleh jamaah yang lebih besar jumlahnya ketimbang agama mana pun (dalam Djalaluddin Rachmat, 1992). Rumah ibadahnya pun jauh lebih tersebar di segala pelosok persada, dan ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan, meski larut malam. Dan, boleh jadi hal itu lebih menggetarkan hati dan mempengaruhi bawah sadar kita daripada ibadah agama-agama konvensional.
Dari realitas itu pula, maka sejarah kini bukan lagi urutan peristiwa di dalam waktu. Sejarah adalah rangkaian peristiwa yang memadat dan meledak pada satu waktu. Masa lampau dan esok adalah hari ini. Atau, kita melihat masa lampau, masa kini, dan masa datang menumpuk pada sebuah peristiwa. Madonna menghidupkan lagi Marylin Monroe, merupakan ilustrasi akan hal itu.
Jadi, benarkah kebudayaan kita tidak merangkum sains, seperti kritik Joesoef di atas. Adalah benar bahwa sains mengubah nilai-nilai melalui dua cara. Pertama, ia menginjeksikan gagasan-gagasan baru ke dalam budaya (sistem nilai) yang ada. Kedua, ia menggiring budaya ini ke bawah tekanan-tekanan perubahan teknis sampai dasar budaya ini berubah. Kalaupun tidak menyeluruh, setidaknya sebagian besar. Dengan demikian masalah sebenarnya bukanlah bahwa sains harus menjadi bagian dari budaya kita, karena ia sendiri secara diam-diam namun pasti sudah masuk ke dalam kebudayaan, bahkan menjadi determinan penting kalau bukan terpenting, yang membuat dasar-dasar budaya berubah. Masalahnya adalah, kehadiran sains tidak mendapatkan perhatian dan pengakuan kaum budayawan (baca: pujangga). Hal ini justru menjadi bukti bahwa peran kaum budayawan sudah semakin merosot, bahwa cara berpikir kultural mereka sudah usang. Sementara itu kehadiran sains dan para pendukungnya yang terus membesar, akan terlihat dengan makin meningkatnya kemampuannya melakukan refleksi terhadap seluruh tata kebudayaan yang ada.
Bagaikan ekosistem, kebudayaan Indonesia berdenyut hidup melalui satuan-satuan kecil. Jika dinyatakan secara sederhana, setiap satuan kecil adalah (kumpulan) organisme yang terus mencoba memperbarui diri, dan peluang ini membesar jika determinisme atasnya mengecil. Kita mencari totalitas, tetapi tidak ada jalan tunggal menuju ke sana; melalui globalisasi kita memahami bahwa totalitas adalah konsep desentralisasi. Oleh karena itu, untuk membuat disain besar tentang kebudayaan Indonesia, kita akan memperkecil "birokrasi kebudayaan" yang selama ini dikuasai oleh empu dan pujangga. Dan, membuka pintu lebih besar bagi ilmuwan dan cendekiawan.
Bahwa ada unsur-unsur infrastruktural dalam kehidupan manusia tampaknya memang tepat. Namun bahwa infrastruktur itu terbatas pada teknologi, agaknya pandangan itu terlalu sempit. Termasuk infrastruktur adalah unsur-unsur tata pikir, tata nilai, dan tata hidup (Poespowardojo, 1989). Antara unsur-unsur itu terjadi interaksi yang ikut juga menentukan kebudayaan manusia. Dengan demikian dibutuhkan adanya alam pikir rasional dan kritis, sikap yang terbuka dan mandiri serta tata kehidupan yang demokratis, di mana orang dapat mengembangkan daya kemampuannya seluas-luasnya.
Ilmu pengetahuan di Indonesia tumbuh dalam cangkokan budaya. Ini berarti bahwa tata pikir, tata nilai, dan tata kehidupan yang asli tidak dengan sendirinya mendukung pertumbuhan dan perkembangan sains. Dalam realitas terlihat bahwa bangsa Indonesia mempunyai kebudayaan pergaulan yang luas dan hangat. Hubungan antarmanusia dilengkapi dengan kode etik dan santun yang memupuk simpati serta solidaritas sosial. Pola budaya demikian diperkuat dan diperluas dengan kebudayaan estetik yang mampu membawa manusia ke alam kehidupan yang transendental. Namun masih ada juga budaya berbicara sehingga kadang masalah sosial cukup diselesaikan di kamar atau upacara yang kurang bermakna. Inti realitasnya adalah belum tersedianya modal "tradisi berpikir" yang justru mutlak diperlukan untuk mendukung pertumbuhan sains dan penalaran-penalaran individual. Konteks demikian akan diperberat lagi dengan pola-pola hidup santai dan hidup manja, yang tidak mendorong orang menuju usaha serius, tekun, dan berani menghadapi resiko.
Kelalaian dan kekeliruan dalam membentuk konteks struktural yang dibutuhkan ini melalui usaha-usaha demokratisasi berarti membawa bangsa Indonesia pada atau membiarkannya dalam pola konsumtivisme, yang selanjutnya membodohkan kita (dialektika buruh dan majikan menurut Hegel) untuk memakai teknologi, tetapi tidak mampu menguasai dan menciptakannya demi kepentingan hidup manusia.
Membanjirnya teknologi dari luar ke dalam pasaran kehidupan masyarakat tanpa diimbangi kepribadian kuat ataupun orientasi dan sikap yang utuh (integrated) dalam menghadapinya secara baik dan tepat, akan menimbulkan bentuk dan pola hidup alienated menurut Erich Fromm (lihat Richard Schacht, 1971). Manusia tidak lagi hidup langsung secara bebas dengan alam lingkungannya , tetapi secara berangsur-angsur hidup dikelilingi oleh teknik, organisasi, dan sistem yang ia ciptakan sendiri.
Manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri, tetapi mengalami detotalisasi dan bahkan dehumanisasi yang sering dicetuskan oleh para pemikir eksistensialis. Timbullah kemudian kebudayaan etalase, yang tidak mampu menyerap dan mengintegrasikan teknologi dalam sistem nilai yang dihayati. Mereka akan memantulkannya dalam gaya-gaya hidup lahiriah yang tidak otentik, ataupun sensate culture (istilah Sorokin dalam Poespowardojo, 1989), yang menunjukkan bahwa kemampuan integrasi hanya terbatas pada bentuk-bentuk inderawi.
Agar dapat menghadapi berbagai perubahan dan tantangan serta konflik nilai dalam pengambilan keputusan tentang masa depan, generasi muda perlu mendapat latihan dalam ketrampilan intrapersonal dan inter-personal. Dalam konteks ini, studi budaya dapat menyumbang pada proses klasifikasi nilai dan menilai situasi di mana mereka perlu memilih dan bertindak.
Melalui proses menilai, seperti tersebut di atas, nilai-nilai diinternalisasikan dan dalam tindakan yang berikut nilai itu dieksternalisasikan. Dalam masa transisi proses ini memerlukan daya-upaya yang keras karena beberapa nilai sangat "cair" atau "mengambang" dan tak ada kristalisasi dalam pola kelakuan dalam nilai-nilai baru yang tersedia.
Jika proses itu berhasil kita lalui, niscaya akan lahir kebudayan nasional dengan paradigma baru. Paradigma kebudayaan baru Indonesia itu,--seperti halnya paradigma baru dalam politik kenegaraan--, harus rasional, bukan saja "hitam jadi putih, putih jadi hitam" (meminjam istilah Kuntowijoyo, 1998), melainkan berjalan ke depan lebih jauh daripada itu. Kebuyaan Indonesia baru yang rasional dan terbuka sehinga mampu menghasilkan karya kebudayaan adiluhung bukan dalam arti sempit "kesenian" melainkan tetap dengan sains sebagai pilarnya.
Kebudayaan Indonesia baru yang lebih merupakan akumulasi berbagai nilai, hasil integrasi (bukan sekadar adaptasi yang lebih bernuansa pasif) dan interaksi, romantisme dan dialektika antara kebudayaan tradisional-lokal dengan berbagai kebudayaan mondial-universal. Sehingga muncullah kebudayaan nasional yang berdimensi global, tanpa harus kehilangan identitas bangsakita sendiri yang telah lama mengakar, yang pluralistik, bernuansa transendental, dan menjadi rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam.

5. Purna Wacana
Mengakhiri pembicaraan tentang kebudayaan Indonesia baru dalam kerangka pembentukan dan pengembangan masyarakat baru, perlu dikemukakan di sini bahwa uraian dan kajian ini baru merupakan pergumulan pemikiran. Dan, sebagai pergumulan pemikiran tentu saja masih memerlukan diskusi panjang dan kajian lebih lanjut, baik dalam dataran konseptual maupun dataran pragmatis.
Sebagai bangsa bhinneka tunggal ika yang pluralistik dan dikenal relegius, maka hanya dengan semangat kebangsaan tinggi dan etos kerja yang dilandasi nur Ilahiyah dan/ atau dimensi transendental, maka bangsa Indonesia akan mampu menerima arus globalisasi dunia dengan segala nilai yang dibawanya tanpa harus kehilangan identitas kebudayaan nasionalnya. Justru sebaliknya kita akan mampu melakukan integrasi dengan berbagai nilai universal, seiring dengan santernya kecenderungan kebudayaan mondial. Di satu sisi kita bersikap terbuka agar dapat terus memacu kemajuan tetapi di sisi lain kita dapat menyaring ekses dari gempuran kultur asing yang mau tak mau, suka atau tak suka, akan terus merambah kehidupan masyarakat kita.
Akhirnya, jika langkah itu dapat kita lakukan niscaya bangsa Indonesia akan dapat menuju ke arah pengembangan kebudayaan baru yang kita inginkan meskipun harus mengalami pergeseran nilai, yang mau tak mau akan terjadi dalam pergumulan antarbudaya dunia. Dan, pada gilirannya kebudayaan Indonesia baru itu akan dapat membawa bangsa Indonesia dalam tatanan yang lebih rasional, terbuka, demokratis, dan tentu saja lebih prospektif.

Daftar Rujukan:

A.M., Ali Imron. 1993. "Revolusi Televisi: Imperialisme Budaya Masyarakat Modern". Makalah
pada Seminar Nasional tentang "Era Televisi Swasta di Indonesia" Fakultas Psikologi UMS,
30 Oktober 1993.

---------------. 1994. "Menggugat Pengindonesiaan Film-film Asing di Televisi" dalam Republika,
Tgl. 15 Desember 1994.

Dewanto, Nirwan. 1991. "Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991" dalam Prisma No. 10 Tahun
XX, Oktober 1991.

Kartodirdjo, Sartono. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Kuntjaraningrat. 1986. Kebudayaan. Jakarta: Aksara Baru.

Kuntowijoyo. 1998. "Menuju Negara Rasional". Pidato Kebudayaan dalam rangka Peringatan HUT
RI ke-53 di PPSK, Yogyakarta, 18 Agustus 1998.

Naisbitt, John & Aburdene, Patricia. 1990. Ten New Directions for the 1990's Megatrends 2000.
Megatrends Ltd.

Poespowardojo, Soerjanto. 1989. trategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta:
Gramedia.

Rachmat, Djalaluddin. 1992. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim.
Bandung: Mizan.

Soedjatmoko. 1988. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.

-----------. 1986. "Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Masalah Pembangunan". Makalah dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IV, Jakarta, 8-12 September 1986.

Toffler, Alvin. 1970. Future Shock (Terj. Sri Koesdiyatinah, 1987). Jakarta: Panca Sakti.

Fajar Indah A/ 37 Ska.
September 1998





















al pada beberapa dekade menjelang 
Milenium III telah mengakibatkan pergumulan antarbudaya. Karenan
ya, perlu rekonseptualisasi paradigma baru kebudayaan Indonesia 
yang selama ini didominasi para pujangga. Paradigma baru kebu
dayaan Indonesia yang mengedepankan sains sebagai pilar utama, 
rasional, terbuka, yang merupakan dialektika antara budaya tradi
sional dan mondial. Sehingga muncullah kebudayaan nasional yang 
berdimensi global tanpa harus kehilangan integritas kepribadian 
bangsa yang pluralistik, relegius, dan menjadi rahmatan lil 
'alamin .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar