Rabu, 27 April 2011

REVITALISASI KESENIAN TRADISI

REVITALISASI KESENIAN TRADISI
DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DI SURAKARTA *)

Oleh
Ali Imron Al-Ma'ruf

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan kesenian tradisi dewasa ini, mendeskripsikan reaktualisasi kesenian tradisi agar berdaya pikat bagi masyarakat, dan memaparkan langkah-langkah strategis guna mewujudkannya menjadi aset unggulan dalam menunjang pariwisata di Surakarta.
Dengan menggunakan metode penelitian deskripstif kualitatif, data dikumpulkan dengan teknik pustaka, wawancara mendalam, dan observasi. Adapun analisis datanya dengan menggunakan model interaktif dengan teknik trianggulasi data.
Adapun hasil penelitian ini adalah: (1) Tantangan kesenian tradisi adalah: penggarapan kesenian tradisi yang konvensional meliputi: cerita yang monoton, penggarapan teatrikal kurang kreatif, teknologi pementasan konvensional, dan manajemen tidak profesional. (2) Proses pewarisan nilai budaya tradisi tidak berjalan lancar sehingga apresiasi masyarakat menurun. (3) Membanjirnya produk teknologi elektronik menyebabkan menurunnya minat masyarakat pada kesenian tradisi. (4) Perubahan nilai kehidupan akibat globalisasi berdampak pada bergesernya apresiasi masyarakat atas seni budaya, kini cenderung pada kesenian modern.
Revitalisasi kesenian tradisi dapat dilakukan dengan reaktualisasi sesuai dengan irama zaman, meliputi: (1) Penggarapan cerita yang lebih variatif dan aktual. (2) Penggarapan teatrikalnya yang lebih kreatif dan atraktif. (3) Perlu inovasi dalam teknologi pementasan dengan mengadopsi teknologi sinema/ film. (4) Pengelolaan manajemen pementasan yang profesional.
Langkah strategis untuk mewujudkan kesenian tradisi menjadi aset budaya unggulan dalam pariwisata di Surakarta adalah: (1) Mengemas kesenian tradisi menjadi tontonan yang ringkas tetapi memikat. (2) Menghadirkan bintang tamu dalam pementasannya pada even-even tertentu. (3) Peningkatan kerja sama secara sinergis dengan pihak-pihak terkait. (4) Diadakan dialog antar-pihak terkait guna merealisasikan kesenian tradisi sebagai aset unggulan dalam menunjang pariwisata di Surakarta.

Kata kunci: revitalisasi, kesenian tradisi, pengembangan pariwisata budaya.

I. PENDAHULUAN
Surakarta dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Di daerah ini berkembang berbagai bentuk kesenian tradisi Jawa –termasuk di dalamnya ke-senian daerah atau kesenian rakyat, dan kesenian klasik dengan karya adiluhung--
yang hingga kini eksistensinya masih diakui oleh masyarakat. Terasa sangat kenthal nuansa budaya Jawa itu dalam kehidupan masyarakat. Adanya kesamaan corak dasar kebudayaan Jawa yang masih melekat dan hidup dalam masyarakat yang bersumber dari budaya kraton merupakan indikasi hal itu.
Sebagai salah satu pewaris dinasti kerajaan Mataram, Surakarta memiliki dua kraton yakni Kraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran yang secara fisik dan kultural keberadaannya masih diakui masyarakat hingga kini. Kraton memiliki ragam kesenian klasik yang dikenal adiluhung, seperti tari “Bedaya Ketawang”, “Bedaya Anglir Mendhung”, Tari “Gambyong”, wayang orang, dan karawitan dengan gendhing khusus. Di luar tembok istana berkembang juga jenis kesenian semacam yang kemudian dikenal sebagai kesenian rakyat, yang bersumber dari kraton (lihat Hersapandi, 1994: 41; Lindsay, 1990:82). Kesenian rakyat yang berkembang di masyarakat kemudian juga dikenal sebagai kesenian tradisi atau daerah (Sedyawati, 1981: 39; Kayam, 1981: 60). Karena itu, kiranya cukup beralasan jika berbagai kesenian tradisi tersebut diberdayakan menjadi aset potensial bagi pengembangan wisata budaya di Surakarta.
Kesenian merupakan hasil kebudayaan sebagai materi hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1987: 5). Karena merupakan keseluruhan hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat, maka sifat kebudayaan cukup kongkrit berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sebagai hasil suatu kebudayaan, wajar jika kesenian kemudian menjadi aset masyarakt pemiliknya sehingga memungkinkan untuk dikembang-kan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam konteks kebangsaan, upaya memelihara dan mengembangkan kesenian tradisional yang sudah merakyat merupakan kontribusi besar dalam pembangunan budaya nasional. Hal ini sekaligus merupakan upaya mengurangi ekses budaya asing yang dapat merusak sendi-sendi kepribadian nasional.
Di pihak lain, masuknya produk-produk budaya Barat sebagai dampak globalisasi dunia merupakan tantangan tersendiri bagi upaya pengembangan kesenian tradisional. Kesenian Barat seperti: musik populer, musik rock, tari balet, dan lain-lain, lalu membanjirnya media komunikasi elektronik seperti: video compact disc (VCD), home theatre, televisi (TV) baik TVRI, TV swasta, dan TV asing, digital video disc (DVD), dan internet, membuat perhatian masyarakat terhadap kesenian tradisional menjadi berkurang.
Dampak masuknya teknologi komunikasi media massa beserta budaya Barat terhadap kesenian tradisi cukup terasa. Akhir-akhir ini kesenian tradisi Jawa mengalami masa-masa sulit. Masyarakat terlebih kawula muda banyak yang tidak mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) atas kesenian tradisi, bahkan sebagiannya sudah tidak mengenalnya lagi.
Kini timbul fenomena bahwa masyarakat mulai ‘memandang sebelah mata’ atas kesenian tradisi dan mulai melirik seni budaya Barat. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat terutama komunitas mudanya mulai melirik kesenian Barat, di antaranya kesenian dari Barat dipandang lebih glamour, mudah dinikmati, dinamis, variatif, dan praktis. Hal ini berkaitan dengan pola hidup masyarakat modern yang cenderung ke pola pragmatis, termasuk dalam mencari hiburan dan rekreasi.
Wayang Orang (Wayang Wong) di gedung kesenian Sriwedari dan Kethoprak di RRI Surakarta serta Balekambang misalnya, kini sepi penonton. Di satu sisi, penontonnya sedikit, di sisi lain sarana prasarana pementasan terkesan konvensional dan penggarapan teatrikal pementasan kesenian tradisi terasa monoton tidak berkembang.
Beberapa hal di atas diduga mengakibatkan timbulnya kejenuhan di kalangan penonton yang berimplikasi pada menyusutnya jumlah penonton pada pementasannya. Padahal, kesenian tradisi seperti wayang orang dan kethoprak merupakan aset Kota Surakarta unggulan dalam pengembangan sektor pariwisata budaya yang dapat mendatangkan penghasilan asli daerah (PAD). Dalam konteks otonomi daerah hal itu sangatlah penting untuk diberdayakan.
Ketika sektor minyak dan gas bumi sudah tidak dapat diharapkan lagi menjadi primadona devisa negara –seperti beberapa dasawarna yang lalu—sementara sektor industri belum dapat eksis, maka pengembangan sektor kepariwisataan, baik wisata alam maupun wisata budaya dapat diharapkan menjadi primadona.
Sementara itu, meskipun perekonomian Surakarta kini mulai ‘menggeliat’ dan berangsur-angsur membaik –setelah kerusuhan pascareformasi Mei 1998 dan terbakarnya Pasar Gedhe 2000--, namun praktis pendapatan masyarakat dan Pemkot Surakarta dari sektor perdagangan dan bisnis menurun, belum pulih seperti dulu. Pengembangan sektor pariwisata dan sektor informal dapat menjadi alternatif dalam menambah penghasilan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD). Lebih-lebih dalam konteks otonomi daerah di Kota Surakarta, sesuai dengan Undang-undang No. 22/ 1999 tentang Otonomi Daerah, maka pariwisata di Surakarta utamanya wisata budaya, dapat menjadi program unggulan dalam menambah PAD. Dan, mengingat potensinya, wisata budaya dengan berbagai kesenian tradisi merupakan peluang yang perlu kita tangkap.
Berdasarkan pemikiran tersebut, pengembangan pariwisata di Surakarta dan program menjadikan Sala sebagai “pintu gerbang pariwisata di Jawa Tengah” melalui wisata budaya akan mendekati realitas jika disertai dengan langkah-langkah terprogram, sistematis, dan terpadu serta tindakan proaktif para pengambil kebijakan di bidang pariwisata dan pelaksana di lapangan. Untuk itu penelitian ini megangkat topik “Revitalisasi Kesenian Tradisi dalam Menunjang Pariwisata di Surakarta.”
Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk melakukan revitalisasi kesenian tradisi di Surakarta dewasa ini dalam rangka mengembangkan sektor kepariwisataan terutama wisata budaya di wilayah ini. Secara khusus ada tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni: (1) Memaparkan tantangan yang dihadapi kesenian tradisi Jawa di Surakarta dewasa ini. (2) Mendeskripsikan upaya-upaya kreatif dan antisipatif untuk mengaktuali-sasikan kesenian tradisi di Surakarta agar tetap memiliki daya pikat bagi wisatawan selaras dengan derap kehidupan. (3) Memaparkan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan kesenian tradisi Jawa sebagai aset unggulan dalam pengembangan pariwisata di Surakarta.
Dengan demikian hasil penelitian ini bermanfaat bagi para penentu kebijakan dan/ atau pengambil keputusan Kota Surakarta terutama dalam melakukan langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memberdayakan kesenian tradisi Jawa sebagai aset unggulan dalam pengembangan pariwisata khususnya wisata budaya. Selain itu, hasil penelitian ini juga penting bagi para pekerja kesenian tradisi Jawa dalam upaya revitalisasi agar memiliki nilai lebih sehingga tetap diminati masyarakat dan wisatawan.
Berkaitan dengan latar belakang masalah dan tujuan penelitian, ada tiga masalah yang akan diteliti, yakni: (1) Tantangan apa saja di dihadapi kesenian tradisi di Surakarta dalam upaya revitalisasi dewasa ini? (2) Bagaimana mengaktualisasikan kesenian tradisi di Surakarta agar memiliki daya pikat bagi wisatawan selaras dengan derap kehidupan masyarakat? (3) Bagaimana langkah-langkah strategis guna mewujudkan kesenian tradisi sebagai aset unggulan dalam rangka pengembangan pariwisata di Surakarta?
Ada beberapa buku atau tulisan yang mengkaji kesenian tradisi Jawa,namun tidak mengkaji secara khusus bagaimana kesenian tradisi itu dapat eksis menjadi daya dukung pariwisata. Umumnya, pustaka tersebut membahas keberadaan kesenian tradisi Jawa dan perkembangannya pada masa tertentu. Jennifer Lindsay dalam bukunya Klasik, Kitsh or Contemporary: A. Study of the Javasene Performing Arts (1991), Umar Kayam dalam Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), dan Rahayu Supanggah (1991) dalam “Karawitan Anak-anak: Gejala Perkembangan Karawitan Jawa yang Memprihatinkan”. Ketiganya menyatakan kegelisahan dan keprihatinannya mengenai kesenian tradisi yang semakin redup, padahal memiliki potensi untuk dikembangkan. Bahkan, secara ekstrem Kunt (dalam Lindsay 1991) menyatakan bahwa masa depan kesenian tradisi Indonesia sekarang tetap merupakan hal yang menggelisahkan di Indonesia, bahkan sudah terasa sejak dekade 1930-an pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Edi Sedyawati dalam Pertumbuhan Seni Pertunjukan (1981), jurnal Seni Pertunjukan Indonesia dalam beberapa edisinya juga membahas berbagai perkembangan kesenian tradisi Jawa. Hersapandi dalam “Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial Suatu Kajian Sosio-Historis” (1994) dan Sumanta dalam “Wayang Madya Salah Satu Sarana Pengukuh Mangkunagara IV” (1994) juga membahas seputar kesenian tradisi Jawa, tetapi tidak dalam konteks pengembangan pariwisata.
Pustaka yang ada umumnya membahas sekitar gejala berkemban atau merosotnya kesenian tradisi Jawa. Adapun buku Panduan Pariwisata lazimnya mengutarakan kekayaan daerah akan berbagai kesenian tradisi. Demikian pula buku terbitan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Provinsi, misalnya DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Pemda (kini Pemkot) Surakarta pada ulang tahun emas RI (1995) juga memaparkan masalah yang sama. Jadi, sepanjang pengamatan peneliti, pustaka yang mengkaji kesenian tradisi Jawa di Surakarta dalam konteks pariwisata secara mendalam belum diperoleh. Dengan demikian, orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
Koentjaraningrat (1979: 205) membagi kebudayaan menjadi tujuh unsur, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan; sistem dan organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa; kesenian; sistem mata pencaharian hidup serta sistem teknologi dan peralatan. Demikianlah ketujuh unsur kebudayaan universal mencakup seluruh manusia dalam kehidupannya.
Kesenian tradisi merupakan bagian dari jagat kesenian Indonesia. Pada umumnya, ia hidup dalam dua lingkungan dua alam budaya. Di satu pihak ia lahir dari suatu kebudayaan daerah tertentu yang memiliki sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan tradisi daerah tertentu, dan di pihak lain ia disadur dan dibentuk kembali oleh kebutuhan suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas, yakni Indonesia (lihat Sedyawati, 1981: 39).
Kesenian tradisi kini telah mengalami pergeseran pemilikan, Jika semula ia hanya menjadi milik masyarakat pendukung kebudayaan daerah tertentu, kini masyarakat daerah lain pun merasa memilikinya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan kebudayaan-kebudayaan daerah. Karena itu, kesenian tradisi dari kebudayaan daerah tertentu dapat memperoleh pemasukan cita rasa ataupun konsep-konsep kebudayaan daerah lain. Bahkan, terbuka lebar bagi kesenian tradisi akan masuknya gagasan dan cita rasa negara lain (Sedyawati, 1981: 39). .
Wayang orang dan wayang kulit yang mengangkat cerita dari mahakarya Mahabharata dan Ramayana misalnya, kini tidak hanya menjadi milik masyarakat pendukung aslinya melainkan sudah menjadi milik daerah atau suku lain. Fenomena ini, menurut Kayam (1981: 66; lihat Sedyawati, 1981: 39), barangkali merupakan bagian dari proses ‘Indonesianisasi’ dari banyak ekspresi kesenian termasuk cita-rasa daerah lain, bahkan dimungkinkan pula masuknya unsur-unsur dari mancanegara.
Dengan semakin berkembangnya nasionalisme dalam masyarakat kita, maka berangsur-angsur fanatisme kedaerahan menipis dan menuju semangat keindonesiaan. Hal ini juga mendorong adanya perubahan konsep dan penampilan kesenian tradisi yang lebih bersifat bikultural. Jika dulu kesenian tradisi kenthal dengan budaya masyarakat pendukungnya saja, kini dalam penampilannya sering pula memasukkan unsur-unsur budaya daerah lain dan nuansa yang lebih ‘Indonesia’. Bahkan, cita rasa ‘universal’ mulai terasa dalam penampilan beberapa kesenian tradisi.
Kesenian tradisi sering pula diartikan dengan ‘kesenian rakyat’, ‘kesenian daerah’ atau ‘kesenian klasik’. (lihat Kayam, 1981: 61). Namun, dalam makalah ini digunakan istilah ‘kesenian tradisi’, bukan ‘kesenian rakyat’ atau ‘kesenian daerah’. Sebab, kata ’rakyat’ dapat merupakan lawan dari kata feodal atau istana, sedangkan kata ‘daerah’ dapat diartikan berlawanan dengan ‘nasional’. Dan, meskipun istilah ‘seni-tradisi-rakyat’’ dan ‘seni-tradisi-klasik’ ada semacam perkembangan, pada dasarnya keduanya masih memiliki sifat yang mirip (Kayam, 1981: 61). Karena itu, dalam tulisan ini dipakai istilah kesenian tradisi, dengan batasan yang cukup luas pula, yakni kesenian yang terkait dengan tradisi.
Sebagai sebuah genre karya seni, kesenian tradisi memiliki beberapa ciri khas, antara lain: (1) ia memiliki jangkauan terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya, (2) ia merupakan pencerminan dari sebuah kultur yang berkembang sangat lamban, karena dinamika masyarakat pendukungya memang demikian, (3) ia merupakan bagian dari suatu kosmos kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi, dan (4) ia bukan merupakan hasil kreativitas individu melainkan tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya (Kayam, 1981: 60).
Kesenian tradisi adalah suatu karya budaya berupa seni budaya yang sejak lama turun-temurun tetap hidup dan berkembang pada suatu daerah (Yoeti, 1985: 2). Itu sebabnya kesenian ini disebut juga kesenian daerah. Beberapa bentuk kesenian tradisi Jawa antara lain: wayang kulit, wayang wong (orang), ketoprak, ludruk, kentrung, jathilan, reog, dhagelan, tari-tarian, karawitan, dan lain-lain.
Lahirnya ‘wayang orang panggung komersial’ menunjukkan adanya pergeseran nilai seni dan formalitas budaya kraton, yakni terjadi perubahan bentuk dan sifat kelembagaan dari patron-client dan patrimonial ke produsen-konsumen dan kapitalis. Seperti pandangan Kuntowijoyo (1987: 28), bahwa dalam kebudayaan baru yang ditandai dengan lahirnya budayawan, golongan intelegensia, dan seniman, profesionalisme dalam budaya baru berbeda dengan profesionalisme budaya lama. Singkatnya, hubungan patron-client dalam budaya lama digantikan oleh hubungan produsen-konsumen dalam budaya baru, sifat hubungan vertikal diganti menjadi hubungan horisontal.
Kesenian tradisi merupakan hasil karya budaya masyarakat, yang medianya dapat berbentuk cerita yang diperagakan dengan gerak dan suara, dengan aksentuasi cakapan atau dialog yang diperagakan dan ditampilkan kepada penonton, dapat berupa teater (kethoprak, wayang orang, wayang kulit, dhagelan, ludruk), tari-tarian, ataupun seni musik dan seni suara (karawitan).
Adapun jenis dan bentuk kesenian tradisi Jawa di Surakarta banyak ragamnya, di antaranya: Wayang Kulit/ Purwa, Wayang Orang (Wayang Wong), Ketoprak, Dhagelan, tari-tarian, reog, dan karawitan. Wayang kulit/ purwa adalah pagelaran wayang yang ceritanya (reportair) bersumber pada Kitab Mahabharata dan Ramayana, keduanya dari India (Satoto, 1990:133) dengan menggunakan media wayang (boneka dari kulit). Sedangkan Wayang Orang merupakan suatu jenis wayang yang pelakunya diperankan oleh manusia menggantikan boneka-boneka wayang (dapat berupa kulit, kertas, kayu) yang merupakan pertunjukan dengan gaya tersendiri, sedang sumber ceritanya juga Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India (Satoto, 1990:190).
Ditinjau dari potensinya, sektor pariwisata yang paling dapat diandalkan di Surakarta adalah wisata budaya, yaitu suatu bentuk kegiatan pariwisata dengan memanfaatkan kekayaan budaya potensial untuk dikembangkan, dengan tujuan untuk menunjang peningkatan pembangunan nasional dengan menyejahterakan masyarakat tanpa melupakan upaya pelestarian dan pengembangannya (SKB Menparpostel, Mendikbud dan Mendagri, Tanpa Tahun). Adapun maksud dan tujuan pariwisata budaya yakni meningkatkan, mengembangkan, dan melestarikan obyek wisata budaya sebagai bagian dari kebudayaan bangsa guna terwujudnya pengembangan kepariwisataan kebudayaan yang berdaya guna dan berhasil guna (Dinas Pariwisata Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, 1990).
Dengan sejumlah potensi yang ada, maka pengembangan kesenian tradisi Jawa di Surakarta dapat menjadi salah satu primadona dalam mendukung pengembangan sektor pariwisata. Dan, pada gilirannya, mengingat potensi dan sarana pendukungya, pariwisata budaya di daerah Surakarta tidak tertutup kemungkinan dapat menjadi “wajah” wisata budaya di tingkat nasional.
Banyak sekali ragam kesenian tradisi di Surakarta. Dalam penelitian ini, mengingat berbagai keterbatasan, maka dikaji lima kesenian tradisi saja yakni: wayang purwa (kulit), wayang orang, kethoprak, karawitan, dan tari. Pembatasan ini berdasarkan alasan bahwa bentuk-bentuk kesenian tradisi Jawa tersebut dipandang representatif dan berhubungan secara signifikan dengan permasalahan penelitian. Selain itu, lima kesenian tradisi tersebut dipandang relevan dan memiliki daya jual (marketable) dari sektor kepariwisataan.

II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Bentuk penelitian ini dipandang mampu menuangkan berbagai informasi kualitatif yang penuh nuansa. Dalam penelitian ini digunakan strategi survai yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar variabel mengenai sejumlah besar individu melalui alat pengukur wawancara. Termasuk di dalam penelitian survai yaitu ciri-ciri demografis dari masyarakat, lingkungan sosial, aktivitas, pendapat dan sikap mereka (Moses dalam Masri Singarimbun, 1985: 8).
Sumber data dalam penelitian ini meliputi: (1) Pustaka mengenai kesenian tradisi Jawa di Surakarta dan masalah kepariwisataan, serta monografi Surakarta. (2) Informan, yang terdiri dari pihak-pihak terkait meliputi: Dinas Pariwisata, seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat yang memahami kesenian tradisi di Surakarta dan sejumlah wisatawan. (3) Rekaman peristiwa atau catatan hasil observasi pada lokasi pagelaran kesenian tradisi dan lingkungannya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Teknik pustaka dengan content analysis berupa cuplikan dengan criterion based selection. (2) Wawancara mendalam (in-depth interviewing), yakni wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada informan yang bersifat terbuka (open-ended) dan mengarah pada kedalaman informasi serta dilakukan dengan tidak formal-terstruktur guna menggali informasi yang jauh-mendalam mengenai objek penelitian yakni kesenian tradisi dalam menunjang pariwisata. (3) Observasi, dilakukan dengan menyaksikan pementasan kesenian tradisi pada beberapa even dan tempat guna memperoleh data yang lengkap dan akurat.
Guna menjamin validitas data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka pengujian validitas data dilakukan dengan cara yang disebut triangulasi data, yaitu mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda dan yang tersedia. Dengan demikian kebenaran data yang satu diuji oleh data yang diperoleh dari sumber data yang lain.
Penelitian menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif. Dalam model ini tiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus (Soetopo, 2002: 93-100). Pada model ini peneliti tetap bergerak di antara empat komponen (termasuk proses pengumpulan data), selama proses pengumpulan data ber-langsung.. Skema berikut menggambarkan proses analisis data model interaktif.







Model Analisis Interaktif
Hasil penelitian disajikan dengan metode informal, yakni perumusan dengan kata-kata biasa, tidak dengan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993: 145).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tantangan yang Dihadapi dalam Revitalisasi Kesenian Tradisi
Kehidupan teater tradisi di tengah-tengah membanjirnya produk budaya Barat di masyarakat menghadapi tantangan yang cukup berat. Ada fenomena bahwa masyarakat mulai ‘mengesampingkan’ kesenian tradisi dan mulai melirik seni budaya Barat dengan alasan antara lain: kesenian dari Barat dipandang lebih glamour, mudah dinikmati, dinamis, praktis, dan ‘prestisius’. Terlebih pada masa sekarang, dalam mencari hiburan orang sering bertindak pragmatis, sejalan dengan pola hidupnya yang pragmatis pula.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh temuan, bahwa sepinya penonton pada pementasan wayang orang dan/ atau Kethopark di Surakarta sudah agak lama terjadi yakni sejak akhir dekade 1980-an karena adanya paling tidak empat faktor. Keempat faktor itu antara lain:
Pertama, aspek kesenian tradisi itu sendiri --menyangkut cerita (aspek literernya), penggarapan teatrikalnya, teknologi pementasan, dan manajemen pementasannya--; Dari segi ceritanya, wayang orang dan kethoprak misalnya, biasanya menyajikan tema-tema yang itu-itu saja tanpa banyak variasi, sehingga terkesan monoton. Akibatnya, penonton bosan melihatnya. Segi penggarapan teatrikalnya kurang greget dan tidak mengesankan. Hal ini berbeda jauh dengan ketika masih berkiprahnya seniman legendaris Rusman, Darsih, dan tokoh-tokoh seangkatannya yang bermain total dan sangat populer.
Dari segi teknologi pementasan, kesenian tradisi masih menggunakan peralatan media yang konvensional sifatnya, kurang ada inovasi. Panggung dan back ground (geber) yang terlihat kumal bahkan ada yang sudah berlubang merupakan ilustrasi hal itu. Ini menyebabkan pementasan menjadi kurang menarik. Segi manajemen pementasan pun tampak kurang profesional. Pengelola kurang sigap melakukan gebrakan-gebrakan dalam pemasaran, misalnya menjalin kerja sama dengan relasi dan instansi atau institusi terkait seperti hotel dan lembaga pendidikan.. Penjaringan penonton melalui publikasi dan iklan pun terkesan kurang optimal.
Kedua, kurang adanya proses pewarisan nilai-nilai budaya tradisi secara terprogram, sistematis, dan terpadu bagi generasi muda melalui lembaga pendidikan. Sejak sekitar paroh dekade 1970-an, kesenian daerah, termasuk sastra daerah tidak lagi menjadi mata pelajaran yang ‘terpandang’. Beberapa tahun terakhir kesenian, bahasa, dan sastra daerah di sekolah boleh dikatakan hanya dipandang ‘sebelah mata’, sekedar menjadi muatan lokal (mulok), yang sama sekali ‘tidak prestisius’. Karena itu, motivasi siswa untuk mendalami kesenian tradisi pun kurang. Jika para siswa SD dan SMP dulu (dekade 1960-1970-an) memahami cerita-cerita rakyat di daerah dan cerita Mahabharata dan Ramayana, sejak era 1980-an kebanyakan siswa SD dan SMP di Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak memahaminya, terlebih mengapresiasinya.
Ketiga, membanjirnya produk teknologi komunikasi media massa turut menjauhkan masyarakat dari kesenian tradisi. Munculnya beberapa televisi swasta di Indonesia yakni RCTI (1989) dan SCTV hingga Metro TV dan TV7, dan entah apa lagi, lalu TV mancanegara seperti CNN Amerika, Star TV Hong Kong, dan sejumlah TV Eropa, dengan tayangan acara yang menarik, baik olah raga, kesenian, musik, sains dan teknologi, maupun filmnya menyedot perhatian masyarakat (penonton). Terjadilah semacam demam (euforia) TV swasta saat itu.
Belum usai euforia tersebut, menjamur pula produk-produk elektronik seperti High Devinition Television (HDTV) (1988) dengan laser disc, lalu video compact disc (VCD) dan internet dengan ‘dunia maya’-nya (meluas 1990-an). Bahkan, kini membanjir pula digital video disc (DVD) di masyarakat, sehingga masyarakat ‘dimanjakan’ betul oleh berbagai fasilitas media dengan tiontonan yang menarik. Mereka sekeluarga dapat menikmati tontotan bagus sambil bercengkerama dengan anak dan istri/ suami. Akibatnya, mereka enggan menonton hiburan di luar rumah.
Keempat, pergeseran nilai akibat berlangsungnya transformasi sosial budaya dalam masyarakat seiring dengan era globalisasi. Sejalan globalisasi, terjadilan transformasi sosial budaya yang berimplikasi pada bergesernya nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Kini masyarakat berada dalam tegangan dua kultur, di satu sisi tetap memegang nilai tradisi (lama) dan di sisi lain harus menerima nilai modern (baru) dari kultur asing yang mendunia. Sehingga, masyarakat terlebih kaum muda kini cenderung memilih seni budaya massa (kitsch) daripada budaya lokal, termasuk kesenian tradisi (Imron A.M., 2002: 45).

3.2 Reaktualisasi Kesenian Tradisi untuk Menarik Selera Penonton
Sejalan dengan keempat tantangan yang dihadapi dalam revitalisasi kesenian tradisi, diperlukan upaya-upaya reaktualisasi kesenian tradisi agar dalam pementasannya dapat memiliki daya pikat bagi penonton. Dalam bahasa populernya, bagaimana agar kesenian tradisi itu dapat menarik selera pasar (marketable), dalam hal ini wisatawan.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dari kesenian tradisi itu sendiri, mulai dari unsur cerita (literernya), penggarapan kreasinya, peningkatan kualitas para pemain, penata musik (arranger), penata tari (koreografer), teknologi pementasannaya seperti: tata panggung (setting), tata cahaya, tata suara (back ground), hingga manajemen pementasannya.
Pertama, menyangkut cerita (aspek literer) kesenian tradisi. Sudah selayaknya kesenian tradisi tetap memegang konvensi tertentu. Wayang orang misalnya, cerita yang dilakonkan tetap bersumber pada Mahabharata dan Ramayana. Namun, tanpa mengurangi nilai literernya, dalam pementasan di panggung melalui dialog para pemain terutama para punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dapat diangkat masalah-masalah aktual dan kontekstual dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.
Untuk itu, memang diperlukan usaha ekstra bagi para pekerja kesenian tradisi untuk memperluas wawasannya. Pemahaman tentang sosial, politik, ekonomi, budaya modern, dan hal-hal lain yang sedang ngetrend di masyarakat harus dimiliki. Barangkali kita dapat belajar dari Miing, dedengkot kelompok pelawak intelek Bagito Group dan anggota lainnya. Sebelum melawak, mereka sering mengikuti berbagai seminar guna menimba pengetahuan dan menggali persoalan aktual dalam masyarakat. Sehingga, wajar jika lawakannya selalau up to date dan kontekstual dengan irama zaman.
Kedua, dari segi penggarapan teatrikal (dramatik)-nya juga harus ditingkatkan profesionalisme SDM-nya. Segi teatrikal berkaitan dengan kemampuan acting pemain dalam membawakan tokoh cerita dengan penuh improvisasi dan atraktif.
Totalitas keterlibatan para pekerja seni tradisi dalam dunia panggung agaknya perlu diperhatikan. Pada masa emas kesenian tradisi ketika Rusman, Darsih, dan rekan seangkatannya berjaya (1960-an hingga 1980-an), mereka terlibat secara total dalam dunia kesenian tradisi itu. Sebab, mereka mendedikasikan hidupnya pada kesenian tradisi tersebut. Dalam masa sekarang, banyak pemain terjun ke dunia kesenian tradisi sekedar ‘sambilan’. Akibatnya, sulit diharapkan mereka dapat terjun secara total.
Ketiga, dari segi teknologi pementasan, tampaknya kesenian tradisi juga perlu dilakukan inovasi dan rekonstruksi. Guna menambah daya tarik pementasan kesenian tradisi, para pekerja seni dapat mengadopsi teknologi komunikasi dan media seperti dalam sinema sehingga lebih berdaya jual. Cerita tetap bersumber dari pakem, tetapi teknologi mesti mengikuti perkembangan zaman.
Dari aspek tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata musik, perlu ditunjang dengan teknologi canggih. Panggung misalnya, kiranya dapat diusahakan agar nampak lebih hidup dengan menggunakan teknologi sinema sehingga latar (setting) akan terlihat lebih hidup dan atraktif. Dalam hal-hal tertentu, kelompok kethoprak Siswa Budaya sudah memanfaatkan teknologi itu.
Keempat, dari segi manajemen pementasan, kesenian tradisi perlu lebih profesional. Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu bentuk hiburan yang dijajakan untuk para wisatawan/ masyarakat, maka pementasan kesenian tradisi dalam konteks pengembangan pariwisata harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis hiburan (entertainment). Dari perencanaan program, termasuk pemasaran (marketting) melalui publikasi dan promosi yang memadai dengan berbagai cara: media elektronik (radio, TV), media cetak surat kabar, pamflet di berbagai tempat strategis dan lembaga-lembaga pendidikan, selebaran, mobil keliling, dan seterusnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah manajemen keuangan. Keuangan harus dikelola dengan penuh disiplin. Dengan harga tiket masuk (HTM) yang relatif ringan (Rp 5000,00 – Rp 7.000,00), penjualan tiket masuk harus benar-benar ketat. Sebab, di lapangan ditemukan data bahwa banyak penonton yang dapat masuk ke gedung kesenian/ arena tanpa membayar. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen bisnis hiburan. Terlebih jika wisata budaya ini dikembangkan dalam kerangka mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD).

3.3 Langkah Strategis untuk Mewujudkan Kesenian Tradisi sebagai Produk
Unggulan dalam Menunjang Pariwisata di Surakarta
Dari wawancara dengan berbagai kalanagan diperoleh temuan, bahwa jika kesenian tradisi akan diberdayakan menjadi produk unggulan dalam wisata budaya, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
Pertama, mengemas kesenian tradisi menjadi sebuah suguhan kesenian yang memikat, namun efisien waktu. Untuk keperluan wisatawan –terlebih wisatawan asing yang memiliki waktu relatif sedikit, maka perlu dilakukan kreasi ‘baru’ yang lebih simpel, tanpa harus mengurangi nilai estetiknya. Dalam pementasannya kesenian tradisi dapat dikemas menjadi sebuah sajian yang ringkas, padat, namun tetap atraktif. Alur ceritanya tetap dapat diikuti oleh penonton, tetapi disajikan dalam bentuk ringkas dan padat (simpel).
Adapun untuk suguhan bagi wisatawan asing yang memiliki keterbatasan waktu, maka pementasan kesenian tradisi dapat dilakukan juga di hotel-hotel –selain di Taman Sriwedari, auditorium RRI, dan Balaikambang--. Sebagai perbandingan, kita dapat belajar dari pementasan seni drama tari (sendratari) Ramayana di Candi Prambanan atau tari Kecak di Student Centre Bali. Keduanya digarap sedemikian atraktif dan memikat meskipun singkat.
Kedua, untuk meningkatkan daya jual (marketable), pada even-even tertentu pihak pengelola perlu mendatangkan bintang-bintang tamu dalam pementasan kesenian tradisi. Guna memancing masyarakat datang menyaksikan pementasan kesenian tradisi, tampaknya perlu dihadirkan tokoh-tokoh kelas bintang yang namanya dapat menjadi daya magnetik bagi penonton. Diperoleh data di lapangan, bahwa penonton membanjiri Auditorium RRI Surakarta karena ingin menyaksikan bintang tamu yang ikut bermain kethoprak atau wayang orang.
Sekedar ilustrasi, ketika dipentaskan kethoprak dengan lakon “Arya Penangsang” di auditorim RRI Surakarta dengan menghadirkan bintang-bintang kondang seperti Ki Mantep Sudarsono, Ki Gati (saudara kembar Ki Gito (Alm.) dari Yogyakarta), Timbul, Basuki, dan Nunung (Srimulat), dan lain-lain, ternyata penonton datang berduyun-duyun memenuhi arena pertunjukan.
Demikian pula ketika di gedung Sriwedari digelar Wayang Orang yang diproduksi oleh para seniman muda yang tergabung dalam Paguyuban Seniman Wayang Orang Surakarta (STSI Surakarta, SMK Karawitan, sanggar-sanggar kesenian, dan para siswa dari berbagai sekolah di Surakarta yang menggeluti kesenian tradisi itu), penonton pun membludak (Ali Imron A.M., 2002: 37).
Ketiga, perlu dilakukan kerja sama secara sinergis dengan institusi terkait. Dalam upaya lebih membumikan kesenian tradisi sebagai aset wisata budaya yang dapat menghasilan pendapatan asli daerah (PAD) sekaligus upaya pelestarian dan pewarisan seni budaya tradisi, perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait seperti: sanggar-sanggar kesenian, lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) Cabang Surakarta, Taman Budaya Surakarta (TBS), Gabungan Seniman Wayang Orang Surakarta, biro perjalanan wisata, hotel, dan sebagainya. Kantong-kantong seni budaya perlu diajak kerja sama dalam penggarapan kesenian tradisi.
Sekolah dan perguruan tinggi dapat diajak untuk menanamkan nilai-nilai budaya tradisi dengan memberikan dasar-dasar apresiasi kesenian tradisi, baik melalui pendidikan pengajaran di kelas, pelatihan di sanggar-sanggar seni sekolah (ekstrakurikuler), maupun melalui terjun menyaksikan pementasan kesenian tradisi di gedung kesenian. Dengan demikian, niscaya para siswa akan memiliki rasa memiliki (handarbeni) atas budaya warisan leluhur.
Keempat, perlu retrospeksi berbagai pihak terkait untuk mengkaji revitalisasi kesenian tradisi. Melalui diskusi dan sarasehan akan dapat ditemukan berbagai permasalahan yang bergayut dengan upaya revitalisasi kesenian tradisi guna menunjang pariwisata.

4. Kesimpulan
Secara umum pementasan kesenian tradisi seperti wayang orang dan kethoprak di gedung kesenian Sriwedari, auditorium RRI Surakarta, dan Balaikambang, perlu penggarapan yang lebih kreatif dari aspek teatrikalnya dan modernisasi sarana pendukung pementasannya.
Dengan pengelolaan secara terpadu dan manajemen profesional serta adanya kerja sama secara sinergis dari semua pihak terkait yakni seniman/ budayawan, akademisi dan pengamat budaya, Dinas Pariwisata, Biro Jasa Wisata (pengusaha industri pariwisata) dan pihak perhotelan, kesenian tradisi akan dapat eksis sebagai aset unggulan dalam menunjang pariwisata budaya di Surakarta.
Tantangan yang dihadapi dalam upaya revitalisasi kesenian tradisi meliputi empat aspek yakni: (1) penggarapan kesenian tradisi yang meliputi: segi cerita yang terkesan monoton, penggarapan aspek teatrikal (dramatik)-nya kurang kreatif dan atraktif, teknologi pementasan masih konvensional, dan manajemen pementasan yang tidak profesional. (2) Proses pewarisan nilai budaya tradisi dalam masyarakat tidak berjalan dengan baik sehingga tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisi menurun. (3) Membanjirnya berbagai produk teknologi komunikasi dan media massa mempengaruhi menurunnya minat masyarakat atas kesenian tradisi. (4) Perubahan nilai-nilai kehidupan akibat modernisasi dan globalisasi berdampak pada bergesernya respons dan apresiasi masyarakat atas seni budaya; kini kecenderungan masyarakat lebih kepada seni budaya modern..
Adapun upaya untuk melakukan revitalisasi kesenian tradisi dapat dilakukan melalui reaktualisasi agar sesuai dengan irama kehidupan. Upaya itu meliputi: (1) Penggarapan cerita yang lebih variatif dan mengangkat masalah aktual. (2) Penggarapan teatrikalnya yang lebih kreatif dan araktif. (3) Perlu inovasi dalam teknologi pementasan dengan mengadopsi teknologi sinema/ film. (4) Pengelolaan manajemen pementasan yang profesional.
Selanjutnya, langkah-langkah strategis antisipatif untuk dapat mewujudkan kesenian tradisi menjadi aset budaya unggulan dalam pengembangan pariwisata di Surakarta adalah: (1) Mengemas kesenian tradisi menjadi tontonan ringkas dan padat tetapi memikat. (2) Menghadirkan bintang tamu dalam pementasan pada even-even tertentu. (3) Peningkatan kerja sama secara sinergis dengan pihak-pihak terkait. (4) Sering dilakukan sarasehan bersama antar-berbagai pihak terkait guna merealisasikan kesenian tradisi menjadi aset unggulan dalam menunjang pariwisata di Surakarta.

Daftar Pustaka

Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge Massachussets: Harvard University Press.

Clara van Groenenael, Victoria M. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Temprint.

Deparpostel. TT. Pariwisata dan Sapta Pesona. Jakarta: Dirjen Pariwisata Deparpostel.

Hersapandi. 1994. “Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial” dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Edisi Th. V/1994.

Kartodirjo, Suyatno. 1990. “Mencari Budaya yang Relevan sebagai Potensi Pengembangan Pariwisata”, Makalah Seminar Pariwisata Budaya se-Jawa Bali di SEMA Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Kayam, Umar. 1983. Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.

Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, or Contemporere: A Study of the Javanese Performing Arts. Ph. D. Dissertation, University of Sydney.

Sayid, R.M. 1981. Ringkasan Sejarah Wayang. Jakarta: Pradnya Paramita.

Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Singarimbun, Masri (Ed.). 198 5. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Supanggah, Rahayu, 1991. “Karawitan Anak-Anak: Gejala Perkembangan Karawitan Jawa yang Memprihatinkan”dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Edisi Th. II/1991.

Yoeti, Oka. 1985. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa.

Ismail, 1990. Wawasan Jati Diri dalam Pembangunan Jawa Tengah. Semarang: Effhar dan Bahara Prize.

_______________________
*) Disajikan dalam Workshop/ Seminar Nasional “Manfaat Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK untuk Mendukung Kemandirian Jawa Tengah di Bidang Pertanian, UKM, dan Pariwisata”, Diselenggarakan oleh Balitbang Pemprop Jawa Tengah, 14 September 2004 di Hotel Patrajasa Semarang.

ooOoo

PENGEMBANGAN JIWA WIRA USAHA

PENGEMBANGAN JIWA WIRA USAHA
MELALUI PERGURUAN TINGGI
(Dimuat dalam Jurnal Dinamika Sosial Ekonomi Vol.6 No. 2 November 2010 Kopertis Wilayah VI jawa Tengah)

Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

ABSTRACT

University has a strategic position, prestige, and prospectively in producing superior human resources officer who has the soul of business. The challenge faced by university among others, that becomes less attractive to business travelers wira majority of Indonesian graduates of university because people generally have not recognized it as "work" a prestigious, not the "aristocracy". University not only demands quality always associated with the demands of the labor market so that the university is controlled by economic mainstrem to serve as a "factory labor." University as an agent of change in an effort to enhance their human dignity can be a more active role in developing entrepreneurial spirit and potential students. The existence of university in the economic empowerment of communities and development of students' entrepreneurial spirit can occur if the university has the commitment and participation in economic activities. To anticipate the dynamics of a competitive global economic and social change, university needs to promote the activities of the dimension of entrepreneurship. Some effort can be undertaken by university with the government namely: (1) universities through intrakurikuler and extracurricular activities, (2) The development of government policy through the Program Life Entrepreneurship ¬ gan, (3) Entrepreneurship programs through the College of Business Working (KKU) and Student Creativity Program (CRP) field of entrepreneurship by providing subsidy funds as working capital, (4) creating a synergistic network with the departments / other agencies and the business world.

Keywords: universities, industry, development of entrepreneurship.

1. Pendahuluan
Sebagai pusat pengembangan sains, teknologi, dan kebudayaan, perguruan tinggi (PT) memiliki kedudukan yang prestisius dalam kehidupan masyarakat. Hal itu tentu tidak terlepas dari eksistensi PT yang merupakan subsistem kehidupan global dan sains universal yang berorientasi pada nilai-nilai intelektual dari kebudayaan mondial. Namun demikian, khususnya PT di Indonesia merupakan subsistem pendidikan nasional yang beorientasi kepada pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan zaman, PT sebagai subsistem pendidikan nasional memiliki berbagai karakter yang berkaitan dengan latar belakang budaya bangsa dan akselerasi pembangunan nasional.
Sejalan dengan realitas tersebut, sejak dulu hingga kini perguruan tinggi menjadi tumpuan harapan bagi kawula muda terpelajar, orang tua, dan masyarakat untuk meraih masa depan gemilang. Hal itu dapat dipahami mengingat fungsi PT yang strategis dalam mempersiapkan generasi muda yang akan menguasai masa depan bangsa. Untuk itulah maka PT melakukan berbagai upaya inkulturasi berupa ilmu, ketrampilan, dan tata nilai universal agar generasi muda dapat melakukan aktualisasi diri sebagai garda depan bangsa.
Salah satu persoalan yang muncul kemudian adalah ketika ekspansi PT berlebihan sedangkan perkembangan ekonomi negara berjalan lamban --terlebih pada sepuluh tahun terakhir ini— dan dunia industri/ usaha tidak sanggup menyerap lulusan PT dengan jumlah yang sebanding. Akibatnya, muncullah persoalan pengangguran atau setengah pengangguran di kalangan lulusan PT yang menjadi keprihatinan kita. Sebab, hal itu dapat menjadi ganjalan bagi stabilitas nasional kita, mengingat para lulusan PT tersebut memiliki potensi yang sangat berbeda dengan tenaga tidak terdidik. Di samping itu, berarti penyelenggaraan PT merupakan pemborosan investasi yang cukup mahal jika tidak ditemukan solusi yang integralistik.
Di pihak lain, menjadi seorang wira usahawan pun pada umumnya kurang menarik bagi lulusan PT --terutama warga masyarakat pedesaan/ suburban—karena orang Indonesia pada umumnya belum mengakuinya sebagai "pekerjaan" yang prestisius. Orang akan bimbang ketika menjawab, bahwa dirinya "hanya" bekerja di sektor wira swasta. Untunglah kitu banyak kawula muda (termasuk para anak pejabat) yang memilih profesi sebagai pengusaha sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestise pekerjaan non-pegawai (PNS/ Swasta) dan pekerjaan sektor informal pada umumnya.
Permasalahannya adalah bagaimana kontribusi PT dalam membuka peluang kerja? Bagaimana eksistensi PT dalam menumbuhkembangkan dunia wira usaha? Itulah beberapa masalah yang akan dikaji dalam tulisan kecil itu.

2. Merunut Akar Historis PT dan Dunia Industri
Dari kacamata sosiologis, persoalan-persoalan yang muncul berkaitan dengan keengganan para mahasiswa untuk menjadi pengusaha (bussines man) itu sebenarnya berawal dari ide dasar pendidikan yang mengandaikan seseorang untuk mem¬peroleh status sosial dan penghasilan yang lebih besar di sektor ekonomi karena pendidikan tinggi yang diperolehnya. Hal itu tidak terlepas dari eksistensi PT yang merupakan kunci mobilitas vertikal dan jaminan status bagi kelompok-kelompok sosial di masyarakat. Itu sebabnya kemudian bermunculan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) di kota-kota besar dan daerah berdasarkan ciri-ciri kelompok masyarakat kita yang beragam. Jadi, masalahnya yang semula ideologis yakni demokratisasi¬ ekonomi, berubah menjadi sosiologis yakni pemenuhan keinginan masyarakat. Pada tahapan berikutnya, PT diintervensi oleh kekuasaan yang bersifat ekonomis dan menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih luas baik ekonomi, sosial, politis maupun budaya.
Sebenarnya secara historis, PT di Indonesia yang dikenal sekarang itu tidak memiliki akar kultural di Indonesia. PT, meminjam istilah Umar Kayam (1989) merupakan lembaga produk asing (Barat), dengan seperangkat informasi, sains, dan nilai asing pula. Pada mulanya PT berpusat di biara-biara dan inti ilmunya adalah agama dan filsafat dengan biarawan sebagai pengajar dan calon rohaniwan sebagai mahasiswanya. Lambat laun PT terbuka untuk umum dan beralih menjadi Studium generale yang berkembang mengikuti dua model. Pola pertama yang berkembang di Italia merupakan PT Studiosorum, yakni intinya mahasiswa berkumpul dan mencari sesuatu yang diperlukan. Adapun pola kedua berkembang di Perancis dengan pola unit PT Magistrorum, yakni guru berkumpul memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar. Pola kedua itulah yang kemudian menyebar ke seluruh dunia hingga saat itu.
Sejak awal berdirinya, PT sudah dihadapkan pada dua kutub yang saling bertentangan. Pertama, Anglo System, karena pengaruh kaum industriawan Inggris dan Amerika, dan telah merumuskan kurikulumnya hingga selaras dengan kebutuhan masyarakat yakni kebutuhan industri (baca: kitu lapangan kerja). Kedua, Continental System yang lebih menekankan pada masalah-masalah penelitian dan pemahaman ilmu, tanpa mempedulikan perkembangan masyarakat industri (Zahir, 1978). Di Indonesia agaknya sistem pertama itulah yang banyak dianut, meskipun sistem kedua juga dipakai.
Lalu, seberapa jauh PT dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ma¬syarakat sesuai dengan kondisi dan materi yang dimilikinya? Adalah realitas bahwa PT melihat dirinya perlu berinteraksi dengan lingkungannya merupakan filsafat yang relatif baru. Sebe¬lumnya PT berpegang kepada filsafat ivory tower yang berkutat pada pemikiran-pemikiran abstrak sebagai bagian dari pendidikan tinggi. Dalam filsafatnya yang baru PT berupaya untuk menjadi motor pembangunan, agent of change dalam upaya meningkatkan harkat kemanusiaannya. Hal itu sesuai dengan perumusan tugas PT yang dikemukakan oleh World Association of Universities, bahwa tanggung jawab PT adalah "membentuk kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah manusiawi dan menolong manusia untuk membentuk kehidupan dunia yang lebih baik".
Dengan lebih operasional, Daniel Bell menyebut fungsi PT antara lain: (1) pemeliharaan tradisi kebudayaan (Barat); (2) pencarian (penelitian) kebenaran melalui penemuan dan scholarship; (3) melatih sebanyak mungkin kaum profesional di bidang-bidang tertentu; dan (4) penerapan pengetahuan untuk kepentingan masyarakat. Demikianlah perubahan orientasi sekaligus fungsi PT sesung¬guhnya telah meninggalkan pola berpikir yang intelektualistis dominasi positivisme dari semangat aufklarung dan evolusi pendidikan kemudian berbelok menjadi chield oriented dan community oriented (lihat Sumianto dkk., 1989).
Adapun PT di Indonesia yang dikenal sekarang merupakan transplatated institution, lembaga cangkokan kebudayaan Barat yang dibawa ke Indonesia oleh Belanda dengan maksud untuk mempersiapkan tenaga kerja bagi kepentingan kolonial. PT yang semula bersifat elitis saja, kitu ciri elitis itu tidak dapat dipertahankan lagi. PT kitu membuka diri seluas-luasnya bagi generasi muda untuk memperoleh pendidikan di dalamnya, karena ide demokratisasi pendidikan yang dianut. Secara eksplisit fungsi PT di Indone¬sia dirumuskan dalam Tri Dharma PT yakni pendidikan, peneli¬tian, dan pengabdian pada masyarakat. Adapun orientasinya tertera dalam GBHN dan Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yakni untuk mendukung pembangunan manusia Indonesia secara komprehensif.

3. Polarisasi Perguruan Tinggi dalam Ideologi Ekonomi
Pada era global yang penuh dengan persaingan ketat, PT dituntut untuk memiliki kualitas yang unggul. Jika pada masa lalu masalah kualitas PT itu sebagai gejala di negara berkembang, maka para ahli menyadari bahwa di negara maju pun kemerosotan kualitas PT tidak dapat dihindari. Penyebabnya begitu kompleks, antara lain resesi ekonomi, relevansi kurikulum PT dengan realitas sosial, keterlibatan PT dengan realitas sosial ekonomi, dunia industri, dominasi birokrasi, gerakan mahasiswa yang tidak murni (dikotori oleh hal-hal di luar idealisme, ditumpangi pihak lain), dan lain-lain.
Adapun masalah yang berkaitan dengan lapangan kerja adalah realitas sosial bahwa PT telah begitu dirasuki oleh pemikiran-pemikiran ekonomi, walaupun secara historis ia adalah lembaga pendidikan. Pikiran pokok dari "industri pendidikan" itu adalah bahwa PT merupakan dasar pertumbuhan ekonomi, karena lembaga itulah yang menghasilkan pengetahuan Know-how untuk kemajuan industri dan tenaga kerja yang siap pakai guna menjalankan roda ekonomi (Vaizey, 1974). Begitu besar pengaruh pandangan itu sehingga negara-negara berkembang begitu percaya kepada keampuhan pendidi¬kan formal itu dengan asumsi "semakin banyak pendidikan, semakin cepat akselerasi pembangunan berlangsung".
Berdasarkan asumsi itu maka tidak mengherankan jika banyak kajian tentang PT berkutat di sekitar dua proses ekonomi yang fondamental, yakni: (1) interaksi antara permintaan yang bermotivasi ekononomi dan penawaran yang berelasi politis dalam menentukan berapa banyak sekolah akan didirikan, dan (2) pentingnya perbedaan antara manfaat sosial dan pribadi serta biaya-biaya dari berbagai tingkat pendidikan (Todaro, 1987).
Dengan perspektif demikian dapat dilihat betapa tuntutan kualitas PT selalu dihubungkan dengan tuntutan pasaran kerja, yang merefleksikan betapa PT dikuasai oleh mainstrem ekonomi untuk berperan sebagai “pabrik tenaga kerja” yang akan dilempar ke pasar kerja. Demikianlah bagaimana perspektif ekonomi mendominasi dunia PT, yang berasumsi bahwa pendidikan merupakan salah satu kunci dari pembangunan ekonomi. Namun, justru dari situlah muncul kritik dari para pakar terhadap pola pikir semacam itu. Kritik itu antara lain menyatakan bahwa pendidikan formal telah berubah dari esensi hakikatnya semula. PT telah berubah menjadi The alienation machine menghasilkan lost people yang tercerabut dari akar kulturalnya. Pendidikan hanya menghasilkan kaum elit yang disoriented yang menghasilkan kemiskinan di kalangan mayoritas (Harrison, 1979).
Dalam upaya mengantisipasi realitas itu, tidak mengherankan jika muncul pemikiran-pemikiran yang menentang industrialisasi yang kemudian berubah menjadi gerakan-gerakan ideologikal yang menentang pendidikan formal karena dianggapnya sebagai satu bagian dari sistem intelektual dan struktur masyarakat yang mengekang dan memperbu¬dak manusia. Timbullah gagasan-gagasan Ivan Illich dengan de schooling sociaty dan Paulo Freire (1987) dengan paedagogy of the oppresed yang sangat populer itu.

4. Meretas Jiwa Wira Usaha melalui Pendidikan Tinggi
Para pakar ekonomi dan intelektual pada umumnya mengakui bahwa PT sangat potensial dan memiliki kompetensi besar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Peran PT dalam pembangunan tidak saja mendi¬dik generasi muda terpelajar dalam menyiapkan dirinya menjadi manusia pembangunan dan mengkaji serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni (ipteks) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. PT juga harus menjamin bahwa ipteks itu benar-benar sampai kepada masyarakat dan dapat dimanfaatkan sebagaiman mestinya. Ipteks hanya memiliki makna jika dapat diterima dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat yang memerlukan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu, PT harus dapat meyakinkan dirinya sendiri, melalui berbagai kegiatan Tri Dharmanya, bahwa ipteks yang dikembangkannya memang relevan, dapat diterima, dan dimanfaatkan oleh masyarakat dalam pembangunan termasuk dunia industri.
Eksistensi PT dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan jiwa kewirausahaan mahasiswa dapat terjadi jika PT memiliki komitmen dan kemampuan serta diberi peluang untuk berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian. Peluang itu tercermin dalam seberapa jauh Tridharma PT telah berperan dalam pemberdayaan ekonomi melalui ipteks yang dimiliki dan dikembangkannya. Peluang itu dapat dilaksanakan melalui kegiatan intra dan ekstrakurikuler.
Dalam konteks pemberdayaan ekonomi, PT diharapkan dapat memainkan peran sebagai produsen tenaga kerja berkualitas, mengingat lulusan PT (Sarjana) potensial untuk duduk pada hierarki kepemimpinan dan manajemen pada masing-masing sektor. Namun demikian, karena struktur perekonomian Indonesia yang khas, maka ada beberapa kecenderungan yang menarik dari pola kesempatan kerja yang diperolehnya. Beberapa kecenderungan itu adalah sebagai berikut.
(1) Berdasarkan data yang ada, pada umumnya kualitas tenaga kerja Indonesia rendah, baik ditinjau dari segi pendidikan maupun keahlian dan ketrampi¬lannya. Dari data sensus penduduk diketahui bahwa mayoritas tenaga kerja di Indonesia berpendidikan menengah ke bawah.
(2) Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sangat terasa adanya kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja walaupun sekolah-sekolah kejuruan telah didir¬ikan, termasuk akademi dan politeknik. Fakta itulah barangkali yang kemudian mendorong Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menggalakkan pembukaan/ pendirian SMK di seluruh wilayah Indonesia dengan semboyannya yang populer: “SMK Bisa!”.
(3) Sementara itu usaha pemerintah memperluas kesempatan belajar dan kesempatan kerja yang serius, justru menimbulkan persoalan lain yakni “merangsang harapan” untuk bekerja di sektor modern dan formal yang berdaya serap kecil. Struktur perekonomian kita ternyata masih lebih banyak membutuhkan unskilled labor daripada skilled labor.
(4) Dewasa ini dibutuhkan sejumlah besar tenaga kerja terdidik khususnya jurusan eksakta dan terapan di satu pihak, namun di pihak lain banyak lulusan PT khususnya jurusan non-eksakta tidak menda¬patkan kesempatan kerja. Semua itu menggambarkan struktur pendidikan kita kurang berorientasi pada lapangan kerja. Itulah sebabnya beberapa jurusan jenuh terpaksa ditutup (passing out).
(5) Khususnya di Indonesia, dunia pendidikan dihadapkan pada persoalan dilematis antara mengedepankan kualitas atau kuantitas lulusan pendidikan. Di satu sisi dibutuhkan banyak tenaga terdidik untuk memenuhi tuntu¬tan pembangunan, dan di sisi lain dibutuhkan tenaga-tenaga berkualitas guna mengantisipasi perkembangan era global yang sangat kompetitif.
(6) Fakta juga menunjukkan bahwa jiwa wiraswasta (enterpreunership) di kalangan lulusan PT kurang dimiliki karena pada umumnya mahasiswa mengharapkan berlangsungnya budaya tradisi yakni bekerja di sektor formal sebagai tenaga white – collar, karyawan berdasi yang dipandang lebih bergengsi atau prestisius (lihat Sumianto dkk., 1989).
Sejalan dengan hal itu, pengetahuan dan minat kewirausahaan di kalangan mahasiswa masih terbatas. Hal itu terjadi karena minimnya pengetahuan tentang ‘kewirausahaan’ yang diberikan oleh PT di bangku kuliah di samping kurangnya kegiatan kewirausahaan di kampus PT kita selama itu (meskipun di beberapa kampus terdapat kegiatan ekstrakutrikuler berupa Koperasi Mahasiswa “KOPMA”). Barangkali kondisi demikian juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Republik Indonesia terutama Kemendiknas yang selama ini kurang menggalakkan minat dan budaya wira usaha di kalangan mahasiswa. Barangkali baru pada satu/ dua dekade terakhir pemerintah melalui Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas menggalakkan budaya wira usaha melalui program-programnya antara lain Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan memberikan subsidi dana berupa hibah dana untuk modal usaha guna melatih dan mengembangkan jiwa kewirausahaan kepada para mahasiswa. Bahkan, beberapa PT yang maju telah memasukkan Kewirausahaan dalam kurikulumnya yang dijabarkan dalam mata kuliah.
Terlepas dari persoalan di atas, jika dicermati lebih jauh, ada hambatan kultural yang cukup mendasar. Dapat dicermati, meskipun mahasiswa mengetahui bahwa mencari peker¬jaan atau menjadi “pegawai negeri” atau “pegawai swasta” itu sulit, mayoritas dari mereka tetap mengharapkan dapat bekerja di sektor modern dan formal. Hal itu didasarkan pada alasan utama ‘status sosial’ atau prestise (dan jaminan hari tua) sementara alasan finansial dinomorduakan. Bahkan, untuk menembus kesulitan memperoleh pekerjaan formal itu mereka terkadang tak segan-segan menggunakan jalur "neraka" yakni kolusi, nepotisme, dan “jalan belakang” (sejak zaman Orde Baru hingga pascareformasi masih juga berlangsung jika tidak semakin menjadi-jadi).
Parahnya, kondisi itu sudah membudaya (mendarah daging) di kalangan masyarakat kita. Terlebih praktik KKN itu sudah mengakar karena dicontohkan oleh pimpinan pemerintahan hingga level yang paling rendah dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan, kitu kondisi diperparah lagi oleh kalangan legislatif yang mengaku ‘wakil rakyat’ yang pada saat berkampanye menyuarakan anti-KKN, sok suci, dan memperjuangkan kepentinagan rakyat atau pejuang sosial.
Di luar faktor di atas, faktor yang juga cukup dominan adalah adanya hambatan sosio-kultural bahwa sejak awal ketika mereka akan menempuh studi/ kuliah di PT, kebanyakan mereka memiliki obsesi untuk menjadi "pegawai" terutama "pegawai negeri". Hal itu wajar mengingat menjadi wira swastawan/ pengusaha itu dalam pandangan masyarakat Indonesia yang belum maju --terlebih masyarakat Jawa tradisional-- yang masih memegang sisa-sisa feodalisme, belum dapat diakui/ dianggap oleh masyarakat menjadi "orang" (baca: dadi wong; kaum priyayi; kelompok elit). Terlebih bagi masyarakat pedesaan (yang masih kental pandangan feodalnya), menjadi "pegawai" meskipun bergaji kecil merupakan suatu berkah dan kehormatan luar biasa.
Berdasarkan realitas itu, maka sudah selayaknya jika dalam upaya mengantisipasi dinamika global yang kompetitif dan perubahan sosial ekonomi yang sedang berlangsung di Indonesia, PT perlu menggalakkan kegiatan-kegiatan yang berdimensi kewirausahaan baik kegiatan intrakurikuler (akademik/ perkuliahan) maupun kegiatan ekstrakurikuler (kemahasiswaan). Kegiatan kewirausahaan itu dapat menjadi wahana bagi para mahasiswa untuk berlatih berwirausaha dan mengembangkan jiwa wira usaha. Pada gilirannya, setelah menyelesaikan studinya, mereka dapat ‘menciptakan lapangan pekerjaan’ dan menjadi wira usaha yang sukses, bukan sekadar ‘mencari pekerjaan’. Selain itu, maha¬siswa dapat melatih dan memupuk jalinan koordinasi dengan instansi serta dan menciPTakan jaringan bisnis dengan berbagai pihak sekaligus membangun jaringan kemitraan secara sinergis dalam dunia usaha yang menguntungkan.
Apabila hal-hal tersebut di atas dilaksanakan, maka PT akan dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru. Selain itu, PT beserta seluruh sivitas akademikanya akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sekitarnya yang tumbuh secara dinamis dan secara bersama-sama mengangkat masyarakat ke taraf kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh PT bersama pemerintah dalam upaya penanaman jiwa wira usaha dan pengembangan potensi kewirausahaan itu, antara lain:
Pertama, perguruan tinggi. Guna mewujudkan peran PT dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui Tri Dharmanya itu, beberapa PT telah lama memprogramkan kegiatan kewirausahaan baik melalui program intrakurikuler (akademik) maupun kegiatan ekstrakurikuler antara lain terlihat pada Program Kreativitas Mahasiwa (PKM) yang disponsori oleh Ditjen Dikti Kemendiknas.
(1) Kegiatan Intrakurikuler
Pengembangan kewirausahaan melalui kegiatan intrakurikuler, misalnya dimasukkannya materi Manajemen Kewirausahaan sebagai mata kuliah pilihan atau mata kuliah muatan lokal (mulok). Bahkan, Manajemen Kewirausahaan dijadikan mata kuliah wajib di beberapa PT tertentu, di samping mata kuliah Bahasa Inggris, dan Komputer atau Teknologi Informasi (Information Technology) guna menyongsong dunia global yang kompetitif. Untuk menunjang program kewirausahaan itu, di beberapa PT telah dibentuk Klituk Konsultasi Bisnis (KKB).
(2) Kegiatan Ekstrakurikuler
Adapun kegiatan kewirausahaan melalui kegiatan eksrakurikuler¬ antara lain diaplikasikan dalam Koperasi Mahasiswa (KOPMA), pelatihan kewirausahaan mahasiswa secara terprogram, tersistem, dan berkesinambungan. Pelatihan tersebut ditindaklanjuti dengan studi lapangan ke perusahaan-perusahaan mitra dan praktik kerja lapangan.
Kedua, kebijakan pemerintah tentang kewirausahaan. Untuk mendukung program pengembangan jiwa kewirausahaan itu, secara khusus pada Juli 1995 telah dicanangkan Program Pengemban¬gan Jiwa Kewirausahaan oleh Presiden RI di dalam salah satu kerangka program pemerintah untuk mengembangkan SDM Indonesia. Bahkan, secara formal penggalakan jiwa kewirausahaan itu diwujudkan dalam sebuah Inpres No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GN-MMK). Juga, adanya Memorandum Bersama Kantor Menteri Negara Kepen¬dudukan/ BKKBN dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 27/HK-104/E6/96, No. 0314/U/1996 tentang Peran Serta Mahasiswa Indonesia dalam Program Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam rangka Penanggulangan Kemiskinan melalui Program Kegiatan Maha¬siswa PT di Indonesia.
Ketiga, program-program Kewirausahaan. Sebagai realisasi upaya pertama dan kedua, secara eksplisit upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat oleh PT dan pemberian peluang bagi mahasiswa dalam menanamkan jiwa dan memupuk bakat kewirausahaan itu dilaksanakan dalam bentuk Kuliah Kerja Usaha (KKU). Aplikasi KKU tersebut dilaksanakan bersama-sama melalui bentuk-bentuk Praktik Kerja Lapangan-Usaha (PKL-U), Kuliah Kerja Nyata-Usaha (KKN-U), Karya Alternatif Mahasiswa-Usaha (KAM-U), Pengabdian kepada Masyarakat-Usaha (PkM-U), dan Program Vucer-Usaha (PV-U) serta Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan dengan pemberian subsidi dana sebagai modal kerja.
Keempat, menciPTakan jaringan dengan departemen atau instansi lain. Guna mewujudkan program pengembangan kewiraushaan di kalangan mahasiswa, maka PT perlu menciPTakan jaringan dengan bekerja sama dengan berbagai instansi, departemen, dan dunia industri. Hal itu penting agar para mahasiswa yang telah menerima mata kuliah Kewirausahaan (intrakurikuler) ataupun mengikuti pelatihan kewirausahaan dalam organisasi kemahasiswaan (ekstrakurikuler) dapat melakukan studi lapangan, praktik kerja lapangan, dan magang di dunia industri/ usaha. Dengan demikian, mahasiswa benar-benar memiliki pengalaman konkret berwira usaha di samping wawasan kewirausahaan.
Salah satu tujuan khusus program KKU itu adalah melatih mahasiswa agar mampu mengelola program KWU yang berkesinambungan berdasarkan pemikiran komprehensif, analitis, dan proyektif melalui berbagai bentuk kegiatan mahasiswa yang mendukung usaha ekonomi produktif. Dengan KKU itu diharapkan mahasiswa memiliki jiwa, motivasi, dan kemampuan untuk terjun ke dunia usaha secara lebih profesional, prospektif, dan kompetitif, di samping dapat melakukan pember¬dayaan ekonomi masyarakat yang masih sangat memerlukan uluran tangan kalangan PT.

5. Penutup
Berdasarkan analisis di atas dapat dikemukakan banyaknya lulusan perguruan tinggi yang enggan menjadi pengusaha (bussines man) tidak terlepas dari minimnya upaya PT dalam memberikan bekal kepada mereka baik melalui perkuliahan dan pelatihan maupun fasilitas yang diperlukan. Selain itu, faktor yang dominan yang membuat lulusan PT kurang tertarik menjadi pengusaha adalah adanya hambatan sosiokultural dan psikologis bahwa pengusaha dipandang bukan profesi bergengsi. Belum dikatakan menjadi kaum “priyayai” jika seseorang belum menjadi pegawai negeri atau pegawai perusahaan besar.
PT memiliki peran besar dalam melahirkan tenaga-tenaga kerja terdidik dalam bidangnya ataupun lintas bidang dan tenaga yang memiliki wawasan dan jiwa kewirausahaan. Akan tetapi dalam realitanya, PT justru sering terjebak dalam memproduksi tenaga-tenaga penganggur terdidik karena adanya hambatan sosio-kultural yang hingga kitu masih cukup dominan di kalangan masyarakat kita.
Terlepas dari berbagai msalah dengan dunia industry, PT memiliki peran penting dalam pengembangan sumber daya insani. Adapun permasalahan mengenai PT kaitannya dengan pengembangan dunia usaha dan kewirausahaan yang hingga kini belum optimal, itulah tantangan yang harus dihadapi dan dipecahkan.
Akhirnya, perlu disampaikan bahwa uraian di atas baru merupakan kajian selintas. Karena itu, kajian itu masih memerlukan diskusi panjang dan pengkajian yang lebih mendalam. Termasuk untuk menjawab pertanyaan hipotetis: PT merupakan mesin produksi tenaga kerja terdidik profesional, atau sebaliknya mesin produksi penganggur terdidik?

Daftar Pustaka
Freire, Paulo. 1987. Pendidikan yang Membebaskan (Terj. Alois A. Nugroho).
Jakarta: Gramedia.

Kayam, Umar. 1989. "Kebudayaan Asing dan Pengembangan Kebudayaan".
Makalah Seminar bertema "Sastra dan Pengembangan Nasional", Senat
Mahasiswa FKSS IKIP Yogyakarta (UNY), 14 Oktober 1989.

Sumianto, Agus dkk. 1989. "PT dan Kesempatan Kerja: Tinjauan Sosial, Budaya,
dan Ketahanan Nasional". Makalah Seminar Nasional bertema “Tamatan
PT, Kesempatan Kerja dan Pendayagunaan Pembangunan", 24-25 Januari
1989 di PT Muhammadiyah Surakarta.

Todaro. 1987. Ekonomi Pembangunan untuk Negara-negara sedang Berkembang
(Terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Vaizey, John. 1977. Pendidikan di Dunia Modern (Terjemahan). Jakarta: Gunung
Agung.
ooOoo
ABSTRAK

PT (PT) memiliki kedudukan strategis, prestisius, dan prospektif dalam menghasilkan sumber daya manusia unggul yang memiliki jiwa wira usaha. Tantangan yang dihadapi oleh PT antara lain bahwa menjadi wira usahawan kurang menarik bagi mayoritas lulusan PT karena orang Indonesia pada umumnya belum mengakuinya sebagai "pekerjaan" yang prestisius, bukan “priyayi”. Tuntutan kualitas PT tidak hanya selalu dihubungkan dengan tuntutan pasaran kerja sehingga PT dikuasai oleh mainstrem ekonomi untuk berperan sebagai “pabrik tenaga kerja”. PT sebagai agent of change dalam upaya meningkatkan harkat kemanusiaannya dapat berperan secara lebih aktif dalam mengembangkan jiwa dan potensi kewirausahaan bagi para mahasiswa. Eksistensi PT dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan jiwa kewirausahaan mahasiswa dapat terjadi jika PT memiliki komitmen dan berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian. Untuk mengantisipasi dinamika global yang kompetitif dan perubahan sosial ekonomi, PT perlu menggalakkan kegiatan-kegiatan yang berdimensi kewirausahaan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh PT bersama pemerintah yakni: (1) PT melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler; (2) kebijakan pemerintah melalui Program Pengemban¬gan Jiwa Kewirausahaan; (3) program-program Kewirausahaan melalui Kuliah Kerja Usaha (KKU) dan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan dengan pemberian subsidi dana sebagai modal kerja; (4) menciPTakan jaringan secara sinergis dengan departemen/ instansi lain dan dunia usaha.

Kata Kunci: perguruan tinggi, dunia industri, pengembangan jiwa kewirausahaan.


BIODATA PENULIS

I
Ali Imron Al-Ma’ruf, lahir di Klaten, 30 Agustus 1957. Setelah lulus S1 di IKIP Yogyakarta (UNY, 1980), S2/ Magister Humaniora (M.Hum.) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1995), dia menyelesaikan studi S3/ Doktor di Universitas Sebelas Maret Surakarta (2009).
II
Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta itu aktif dalam berbagai penelitian dan forum ilmiah. Selain menjadi Instruktur workshop penulisan artikel dan manajemen jurnal ilmiah serta penelitian bagi dosen PTS Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah, juga instruktur dalam workshop penulisan karya ilmiah, workshop manajemen pers kampus dan latihan ketrampilan manajemen mahasiswa (LKMM), dia juga menjadi Yuri Debat Bahasa Indonesia Siswa SMK Tingkat Nasional tahun 2010 Ditjen Manajemen Dikdasmen Kemendiknas, narasumber acara ”Lembar Sastra dan Budaya” dan ”Obrolan Sahur” di RRI Surakarta, serta Dialog ”Islam dan Budaya” di Radio Mentari FM Surakarta.
III
Sebagai akademisi, ia sering menulis artikel yang tersebar di media massa a.l. Jurnal Berkala Penelitian Pascasarjana Universitas Gadjah Mada; Litera Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya (UNY), Kajian Linguistik dan Sastra PBS FKIP UMS (Terakreditasi), Humaniora LPPM UMS (Terakreditasi), Akademika LPPM UMS, Tajdida LPID UMS, Littera Buletin Sastra (Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta), Langkah Baru (PDM Surakarta), SKH Republika, Pelita, Tabloid Citra, SoloPos, dan lain-lain. Beberapa hasil publikasi/ bukunya a.l.: Ikhtisar Bahasa Indonesia untuk PT (FKIP UMS, 1985); Panduan Bahasa Indonesia di PT (FKIP UMS, 1988); Tim penulis buku Muhammadiyah dalam Kritik (Muhammadiyah University Press, 2000), Transformasi Budaya (Muhammadiyah University Press, 2003), Editor buku Bahagianya Berislam (Lembaga Studi Islam UMS, 2001); Dimensi Sosial Keagamaan dalam Sastra Indonesia Modern Perspektif Novel Keluarga Permana (Smart Media Surakarta, 2006; 2010); Metode Penulisan Karya Ilmiah (Pilar Media Yogyakarta, 2007); Stilistika Teori, Metode, Aplikasi dalam Pengkajian Estetika Bahasa (CakraBooks Surakarta, 2009); Kajian Stilistika Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Perspektif Kritik Holistik (UNS Press Surakarta, 2010), Bahasa dan Sastra Indonesia (Buku Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010), Pengkajian Sastra Teori dan Aplikasi (sedang dalam proses penerbitan).
IV
Di tempat kerjanya dia dipercaya menjadi Wakil Ketua Tim Redaksi Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra (Terakareditasi) 2003-2006/ 2006-2009; Anggota Penyunting 2009-2012, Ketua Dewan Redaksi Varidika FKIP UMS (1987-1991; Terakreditasi 2003); Dewan Redaksi Jurnal Ilmiah Akademika Lemlit UMS (1991-2001), Ketua I Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komda Surakarta dan Tim Redaksi Majalah Sastra Rethorica HISKI Komda Surakarta (1989-1991), serta Pembina Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan UMS (2002-2005).

AKTUALISASI FILM SASTRA SEBAGAI MEDIA

AKTUALISASI FILM SASTRA SEBAGAI MEDIA
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
(Dimuat dalam Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Oleh
Ali Imron A.M.

ABSTRAK

Akhir-akhir ini kita jarang dapat menikmati film nasional –dan sinema lainnya-- yang mampu menyuguhkan sesuatu yang khas Indonesia, yang membuka pemikiran dan memberikan makna berharga bagi kehidupan manusia.Di sisi lain minat baca karya sastra di masyarakat masih minim, artinya masih terbatas kalangan menengah ke atas. Perlu digagas untuk menciptakan film sastra yang merupakan film yang diangkat dari karya sastra literer, yang memiliki keharmonisan antara metode/ bentuk penceritaan dan ide/ persoalan yang dikandungnya. Film sastra dapat mempresentasikan kesaksian tentang kehidupan sosial dan kehidupan budaya pada zamannya. Ia juga akan dapat mengembangkan rasa empati dan toleransi, mampu membuat penontonnya mengenal dirinya sendiri melalui tokoh-tokohnya. Pendeknya, film sastra dapat menjadi alternatif cultural engineering dalam pembangunan bangsa. Sebab, sebagai media massa, film sastra akan dapat memerankan fungsi: (1) memberi informasi, (2) mendidik, (3) menghibur, (4) mempengaruhi, (5) membimbing, dan (6) mengeritik. Aspek kemanfaatan film sastra yang mampu menawarkan nilai-nilai kehidupan, menyampaikan pendidikan multikultural tanpa menggurui, dengan daya pikatnya yang menghibur dan enak ditonton, itulah kekuatan film sastra.

Kata kunci: Film sastra; media massa, pendidikan multikultural, mendidik sekaligus
menghibur; pembangunan budaya.

1. Prawacana
“Film suatu bangsa mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya.” (Kracauer, 1974). Pendapat Kracauer itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama, film adalah karya bersama (kolektif). Artinya, dalam proses pembuatan film, sutradara memang memimpin suatu kelompok yang terdiri atas berbagai seniman dan teknisi. Namun, dalam proses kerja, sutradara tidak dapat menghindar dari mengakomodasikan sumbangan pendapat dari berbagai pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak. Karena memperhitungkan selera sebanyak mungkin itulah maka film tidak dapat jauh beranjak dari masyarakat penontonnya. Sulit rasanya membayangkan seorang pemilik modal berminat mengeluarkan dana untuk memproduksi film dengan sutradara dan pemain-pemain yang bagaimanapun hebatnya yang secara logika teoretis tidak akan diminati khalayak penonton atau masyarakat.
Sementara itu, budaya sinema Indonesia --tidak sama dengan masa dimulainya pembuatan dan pemutaran film di bioskup dan penayangan sinetron di televisi-- belum menjadi bagian sistem budaya Indonesia, melainkan masih tumbuh sebagai permasalahan di kalangan insan perfilman Indonesia termasuk instansi resmi pemerintah sebagai pembina formal yakni Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan (sejak 1999 di bawah Departemen Perhubungan). Karena itu, wajar jika sinema –termasuk di dalamnya film, sinetron, telenovela, atau apa pun namanya-- selama ini hanya berpredikat sebagai sarana hiburan saja. Padahal sebenarnya sinema dapat dikembangkan menjadi sarana kultural yang serba guna. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa sinema Indonesia kini 'ditinggalkan' oleh masyarakat penontonnya..
Sebagai tontonan, kebanyakan sinema kita --kecuali beberapa sinema seperti Tjut Nja’ Dhien karya Eros Djarot, Langitku Rumahku karya Slamet Raharjo, Taksi karya Teguh Karya, Kejarlah Daku Kau Kutangkap karya Chairul Umam, Daun di Atas Bantal karya Garin Nugraha, Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto, Si Doel Anak Sekolahan karya Rano Karno (diilhami oleh cerita novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt. Madjoindo), Pengemis dan Tukang Becak, Pasir Berbisik, Tiga Orang Perempuan, dan beberapa film/ sinetron yang lain-- telah kehilangan daya atraktif dan teatrikalnya. Sedangkan sebagai sarana komunikasi kultural sinema akiata tidak mampu menawarkan persoalan-persoalan yang inovatif, yang khas Indonesia, dan yang sesuai dengan mainstream masyarakat Indonesia yang cita rasanya terus meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan/ intelektualitasnya pada era global.
Banyak fenomena yang memprihatinkan berkaitan dengan film sebagai media pendidikan budaya. Membanjirnya film-film asing --baik di bioskup maupun persewaan VCD yang mewabah sebagai konsekuensi berlangsungnya era global-- yang notabene sering bertentangan dengan nilai budaya bangsa, kemudian miskinnya perfilman nasional yang memiliki nilai edukatif kultural, terlebih film untuk anak-anak (terakhir baru film Petualangan Sherina (2000) dan Yoshua Oh Yoshua (2000), merupakan realitas memprihatinkan yang sekaligus mencerminkan keterpurukan perfilman nasional. Sementara itu televisi swasta di Indonesia kini sudah semakin banyak di samping TVRI sehingga televisi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tak terhindarkan. Karena itu, gagasan untuk revitalisasi film sebagai media pengembangan nilai edukatif kultural kiranya patut kita cuatkan ke permukaan.
Harus diakui, bahwa selama ini pembinaan sinema Indonesia dilakukan di bawah slogan-slogan yang mentereng hebat. Sinema kita juga dilindungi oleh kebijakan birokrasi yang cukup ketat paling tidak selama pemerintahan Orde Baru (dekade 1970-an hingga akhir dekade 1990-an). Namun demikian, fungsi sinema Indonesia tidak dapat ditegakkan secara kultural.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 pasal 2, 3, dan 4 jelas menyatakan tentang Dasar, Arah, dan Tujuan (Bab III) Perfilman Nasional. Secara normatif, penyelenggaraan, pembinaan, dan pengembangan budaya sinema Indonesia lebih ditekankan pada nilai-nilai budaya bangsa daripada nilai ekonomi. UU No. 8/ 1992 tersebut merupakan undang-undang perfilman pertama yang dibuat melalui proses demokratis. Hal ini menunjukkan adanya kehendak politik (political will) bangsa Indonesia dalam membangun budaya sinema Indonesia.
Di sisi lain minat membaca karya sastra di kalangan masyarakat Indonesia hingga kini masih minim. Lebih-lebih pada zaman global yang penuh kompetisi dalam segala bidang dan kehidupan serasa berjalan sangat cepat serta kemajuan teknologi elektronik yang memanjakan masyarakat dengan berbagai media massa elektronik dan produk teknologi komunikasi yang memberikan informasi dan hiburan murah seperti radio, tape recorder, televisi, video, VCD/ DVD, telepon seluler (hand phone), komputer, dan internet, maka minat dan kesempatan membaca karya sastra agaknya semakin memprihatinkan. Dalam arti tidak banyak masyarakat Indonesia yang suka membaca karya sastra. Jika ada itu pun terbatas pada kaum terpelajar atau kalangan intelektual tertentu dan ibu-ibu muda yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang memadai. Karya sastra literer misalnya kebanyakan pembacanya adalah komunitas sastra yang pada umumnya adalah para pecandu sastra yang berlatar belakang sastra seperti mahasiswa dan dosen Fakultas Sastra atau FKIP Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra dan dipersempit lagi Bahasa dan Sastra Indonesia, dan sebagian lagi adalah kalangan intelektual atau terpelajar tertentu yang memiliki kegemaran membaca karya sastra yang jumlahnya relatif sedikit. Adapun karya sastra populer (dalam pembagian genre sastra menurut Jakob Sumardjo, 1979) pembacanya kebanyakan adalah kaum muda bahkan sebagian remaja belia (Anak Baru Gedhe/ ABG) dan ibu-ibu muda yang status sosial ekonominya relatif tinggi. Jadi, pembaca karya sastra kita sebagian besar adalah masyarakat kota kelas menengah ke atas yang terpelajar dan memiliki kesempatan serta dana untuk membeli karya sastra atau menyewa di tempat persewaan buku.
Keadaan tersebut terungkap dalam berbagai diskusi dan seminar sastra di samping dapat dilihat dari minimnya jumlah pembelian karya sastra di toko-toko buku dan sedikitnya cetak ulang karya sastra. Tentu saja ada pengecualian dalam hal ini untuk beberapa karya sastra fenomenal terutama novel seperti Pariyem Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi A.G. (1981), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari (1983), Merahnya Merah karya Iwan Simatupang (1968), Khutbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo (1976), Detik-detik Cinta Menyentuh karya Ali Shahab (1981), Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya (1981), Sri Sumarah dan Bawuk serta Para Priyayi karya Umar Kayam (1975; 1992), Hati yang Damai (N.H. Dini, 1971), Royan Revolusi (Ramadhan K.H., 1970), Saman karya Ayu Utami (1998), Supernova karya Dewi (2001). Di jajaran novel-novel populer mencuatlah Bukan Impian Semusim karya Marga T. (1966), Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar (1974), Terminal Cinta Terakhir karya Ashadi Siregar, (1975), Cowok Komersil karya Deddy D. Iskandar (1977), Catatan Si Boy, Lupus, dan lain-lain, lalu pada genre cerita pendek adalah kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis (1967), Godlob dan Adam Ma’rifat karya Danarto (1974; 1982), dan lain-lain. Karya-karya sastra tersebut mengalami cetak ulang beberapa kali.
Berpijak pada pemikiran dan realitas di atas, dikaitkan dengan keterpurukan perfilman nasional Indonesia yang seolah-olah “hidup segan mati tak mau”, kiranya sudah saatnya kita memikirkan pemberdayaan film sastra sebagai media pengembangan nilai edukatif kultural yang strategis, baik di institusi pendidikan (sekolah, kampus) maupun di masyarakat pada umumnya tanpa harus mengguri dan mengindoktriniasi mereka. Permasalahannya adalah seberapa jauh film nasional telah melakukan fungsi edukatif kultural itu; dan bagaimana peran kalangan sastrawan dan pendidik bekerja sama dengan para sineas dalam revitalisasi film nasional untuk mengembangkan nilai-nilai kultural.

2. Media Massa Film
Sebagaimana karya sastra yang memiliki fungsi berguna dan menghibur (dulce and utile), film merupakan karya artistik. Namun film juga merupakan karya sintetik (perpaduan berbagai cabang seni) dan karya kolektif. Film melibatkan para seniman dari berbagai cabang kesenian, seperti; seni rupa, seni desain, seni musik, seni peran (acting), seni sastra, seni tari, dan lain-lain, di samping melibatkan para ahli teknologi seperti; ahli elektronik, kamera, komputer, dan teknologi canggih lainnya dalam menampilkan adegan-adegan action dan adegan atraktif lainnya dengan trik-trik yang menawan. Karena itu kiranya tidak berlebihan jika film dan jenis sinema lainnya dikatakan sebagai media artistik yang paling kompleks.
Media massa, --termasuk film dan jenis sinema lainnya memiliki tiga fungsi utama yakni; (1) memberi informasi (to inform), (2) mendidik (to educate), dan (3) menghibur (to entertain). Di samping itu, ada tiga fungsi lain media massa yakni: (4) mempengaruhi (to influence), membimbing (to guide), dan mengeritik (to criticise) (lihat Effendi, 1986). Melihat keenam fungsi film tersebut, alangkah baiknya jika kita dapat memanfaatkannya sebagai media pendidikan kultural bagi kaum terpelajar ataupun masyarakat pada umumnya. Sebab, dengan daya artistik dan kecanggihan teknologinya, film tidak saja memberi penonton hiburan melainkan juga memberi informasi sekaligus mendidik secara persuasif. Sehingga, seperti halnya karya sastra, tanpa memaksa tau sebaliknya memanjakan, film mengajak para pentonton memperoleh pendidikan kultural tanpa harus menggurui.
Seperti halnya karya sastra, film pada hakikatnya menyangkut dua jenis ungkapan sosial-budaya (Soebadio, 1993). Di satu sisi film memberikan kesaksian tentang keadaan masyarakat (kehidupan sosial) pada zamannya dan di sisi lain film juga memberikan kesaksian akan pikiran dan perasaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (kehidupan budaya). Dalam hal ini, film memberikan kesaksiaannya melalui gambar. bahkan, dulu film sering disebut sebagai gambar hidup. Dengan kata lain, film menggunakan cara visual untuk mengungkapkan kehidupan sosial-budaya masyarakat.
Selanjutnya, landasan bagi ungkapan sosial-budaya tersebut adalah keadaan kehidupan sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan. Artinya, keadaan suatu masyarakat tertentu, dalam wilayah dan kurun waktu tertentu, mempengaruhi sifat ungkapan yang diutarakan. Dengan kata lain, dalam memberikan penilaian atas isinya, perlu diperhatikan keadaan sosial-budaya masyaakat bersangkutan. Implikasinya, bahwa isi film yang dihadapi pada suatu saat tertentu tidak dapat dinilai terlepas dari jenis masyarakat yang berkaitan. Hal itu menyangkut pula perhatian terhadap tingkatan masyarakat dalam pendidikan.
Film merupakan media modern dan baru berkembang pada abad XX, sehingga budaya sinema pun belum berkembang dalam kehidupan masyarakat kita. Artinya, persoalan film atau sinema pada umumnya masih menjadi persoalan kalangan terbatas yakni para insan perfilman (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, diperlukan sikap lain dalam menilai dan memahaminya. Film menggunakan media audiovisual. Ini berarti, film dapat dilihat dan dinikmati oleh siapa saja, termasuk mereka yang berpendidikan rendah, belum dapat membaca dan menulis, bahkan mereka yang belum dapat membaca dan menulis. Akibatnya, dampak film dan karya sinema lainnya jauh lebih luas dan jika ada dampak negatifnya lebih mengkhawatirkan daripada sastra (Imron A.M., 1993). Karena itu, dibentuklah Badan Sensor Film di Indonesia (kini Lembaga Sensor Film) untuk menyensor adegan-adegan yang dipandang tidak mendidik. Jika kita melihat film dan kemungkinan disensor karena alasan pendidikan, maka sekali lagi perlu diperhitungkan tingkatan kependidikan dan keberadaban masyarakat penonton ataupun kreativitas kalangan sineas.

3. Asas Edukatif Kultural Film
'For us, the most importance of all art, is cinema', kata Vladimir Ilyich Lenin (dalam Sumardjono, 1993). Pernyataannnya itu dilandasai oleh pengertian bahwa sinema dapat berfungsi sebagai guru sekaligus propagandis. Di Indonesia, pencanangan fungsi edukatif kultural sinema ini dimulai pada zaman Ali Murtopo ketika menjadi Menteri Penerangan RI (Sumardjono, 1993). Saat itu pemahaman mengenai asas kultural edukatif sangat sempit. Seolah-olah asas itu hanya dasar pembinaan produksi film Indonesia, sedangkan sektor perfilman lainnya tetap pada asas ekonomi yang komersial. Menghadapi situasi yang kontroversial demikian para produser film mengeluh bahwa asas kultural edukatif itu membuat film Indonesia sulit dipasarkan. Sayang sekali bahwa “ruh” kebijakan Menpen Ali Murtopo tersebut tidak dijabarkan lebih jauh sehingga asas kebijakan pembinaan film berdimensi eduaktif kultural yang begitu luhur tidak mencapai tujuan esensinya.
Fungsi sinema sebagai sarana edukatif kultural hanyalah salah satu fungsi kultural sinema Indonesia. Namun dalam ruang lingkup kebijakan mencerdaskan kehidupan bangsa, sinema sebagai sarana edukatif kultural tampaknya perlu kita kaji lebih mendalam. Sebab, sinema sebagai salah satu media massa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan wawasan dan pembentukan persepsi masyarakat sehingga pada gilirannya akan dapat berpengaruh pada perilaku mereka. Hal ini dimungkinkan mengingat “khutbah-khutbahnya lebih sering didengar mereka ketimbang khutbah para kyai di masjid atau pendeta di gereja, sebab langsung masuk di kamar-kamar rumah di berbagai pelosok (lihat Rachmat, 1992). Pesan-pesan film yang ditayangkan media elektronik sering lebih didengar daripada para khutbah para kyai di masjid atau pendeta di gereja.
Film sastra agaknya dapat menjadi alternatif dalam menginternalisasikan nilai-nilai edukatif kultural dalam kehidupan masyarakat tanpa harus berkhutbah. Inilah kekuatan film sastra: menghibur sekaligus menawarkan alternatif nilai-nilai untuk memperkaya khazanah batin manusia.

4. Film Sastra sebagai Sarana Presentasi Nilai Humaniora
Film sastra yang dimaksud dalam konteks ini adalah film atau jenis sinema yang lain seperti film bioskup, film televisi (FTV), sinetron, dan telenovela—yang dibuat berdasarkan karya sastra sehingga film itu memiliki bobot literer. Sebagai sinema yang memiliki bobot literer maka sinema itu paling tidak memiliki keharmonisan antara hakikat. dan metodenya, atau antara bentuk dan isinya. Dari segi hakikat/ isi berarti aspek cerita yang terjalin dalam alur kisah memiliki makna yang berguna bagi kehidupan manusia dalam hal ini mampu memperkaya khazanah batin manusia dengan menawarkan alternatif nilai kultural. Adapun dari segi metode/ bentuk menyangkut bagaimana cara mempresentasikan makna kehidupan yang berupa mosaik-mosaik dan serpihan-serpihan yang digali dari dunia auniversal aitu kepada khalayak penonton tanpa harus memaksa dengan doktrin atau dogmatis terlebih bersifat menggurui. Dengan kata lain, sinema tersebut memiliki nilai-nilai humaniora yang tinggi sekaligus enak ditonton karena memiliki daya artistik.
Jadi, jika setiap hari kita disuguhi telenovela atau jenis sinema lain yang didatangkan dari negara Amerika Latin yang kadang-kadang budayanya sering bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia, mengapa kita tidak memproduksi sendiri film sastra yang dapat dipakai untuk mempresentasikan nilai-nilai edukatif kultural. Padahal kita menyadari betapa besar pengaruh produk teknologi komunikasi elektronik itu bagi masyarakat dalam membentuk image, persepsi, sikap, dan pada gilirannya juga perilaku.
Pengaruh budaya asing terhadap budaya nasional bukan lagi sekedar bersifat penetrasi, melainkan akan membanjir dalam kehidupan masyarakat karena kini pintu terbuka lebar dan arus informasi tidak mungkin dibendung dengan upaya politik sekalipun. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi dan mencuatnya era cyberspace yang memungkinkan manusia melihat dunia cukup melalui media elektronik khususnya internet sehingga arus informasi kultural dari seluruh dunia akan melanda bangsa kita. Untuk mengantisipasi hal itu, membangun bangsa Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, maka pendidikan dan pelajaran Humaniora (Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan/ atau Kebudayaan) terasa sangat urgen dan aktual.
Salah satu cara terbaik --jika bukan satu-satunya-- sebagai peredam untuk menanggulangi dampak negatif arus globalisasi terhadap keluhuran budaya bangsa Indonesia agaknya adalah kepercayaan atas diri sendiri akan kebenaran falsafah hidup bangsa yang sarat dengan nilai moral relegius. Sesuai dengan keyakinan itu, maka aktualisasi nilai-nilai Humaniora termasuk budi pekerti melalui sinema menjadi teramat penting.
Selama ini pelajaran Pancasila atau PPKn --dan kini Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi “dititipi” untuk pendidikan budi pekerti – di sekolah dan mata kuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD) yang menjadi sarana pendidikan Humaniora di sekolah-sekolah lebih bersifat indoktrinatif bahkan sering cenderung dogmatik. Padahal nilai-nilai Humaniora yang merupakan nilai fundamental untuk mencapai cita-cita luhur itu seyogyanya dilakukan secara persuasif, manusiawi, dan kultural. Untuk itu, film sastra dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam melakukan pendidikan yang berdimensi kognetif, afektif, dan psikomotorik itu agar lebih efektif. Melalui film sastra yang menggunakan bahasa visual sinematik, pesan-pesan edukatif kultural dapat disampaikan dengan lebih gambaran yang konkrit.
Nilai-nilai humaniora yang disampaikan dengan media sinema niscaya akan mampu menampilkan keterpaduan manusia (karakter), ruang, dan waktu dalam aneka ragam peristiwa kehidupan sebagai pencerminan pengalaman dan manusia mencapai kesempurnaan seperti terlihat dalam perkembangan budaya dan peradabannya. Pendeknya, menyaksikan manusia menghadapi berbagai problema dan dialektika kehidupan yang dinamis dan tak mengenal kelemahan individual adalah contoh pendidikan dengan pendekatan kognetif. Penampilan Humaniora melalui teknologi komunikasi dapat dibuat dengan dimensi dramatik dan estetik yang memikat melalui sinema dan dapat bermanfaat sebagai metode afektif yang efektif, bahkan aspek psikomotorik dapat pula terangkum dalam satu langkah.
Sebagai ilustrasi, sampai saat ini sudah ada beberapa karya sastra khususnya novel yang difilmkan dan sempat mendapat sambutan positif dari masyarakat di samping cukup sukses dari aspek bisnis hiburan. Beberapa novel yang pernah difilmkan tersebut antara lain Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt. Madjoindo (1970-an yang kemudian mengilhami lahirnya mega sinetron Si Doel Anak Sekolahan garapan Rano Karno (1993) yang mendapat sambutan luar biasa dari khalayak penonton dan dari segi bisnis hiburan pun sukses luar biasa), Kadarwati Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana dan Kabut Sutra Ungu karya Ike Supomo (1980-an). Dari genre novel populer pernah difilmkan juga Cintaku di Kampus Biru (1975), Terminal Cinta Terakhir (1979), Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar (1970-an), Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira (1970-an), Ali Topan (Turun Jalanan) karya Teguh Esha (1980-an), Detik-detik Cinta Menyentuh karya Ali Shahab (1986). Demikian pula dari roman lama ada Sitti Nurbaya (1990), Sengsara Membawa Nikmat (1991), Salah Asuhan (1987), dan masih banyak lagi yang lain. Dari karya-karya masterpeace atau mahakarya yang pernah difilmkan antara lain Mahabharata dan Ramayana, keduanya epos dari India yang sukses mendapat sambutan antusias di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Sayang, sejalan dengan situasi nasional di Indonesia dengan datangnya krisis politik dan ekonomi, maka kini hampir tidak ada lagi sinema yang mengangkat karya sastra atau film sastra. Yang dominan sekarang dalam tayangan televisi --mungkin juga di bioskup, jika masih ada-- adalah karya sinema yang sekadar banyak digandrungi penonton (berdasarkan pantauan Survey Research Indonesia) yang --berdasarkan realitas-- memang diminati banyak advertiser. Jadi, kecenderungan kriterianya adalah laku: laku ditonton dan laku dipasangi iklan (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, sudah asaatnya diciptakan film sastra yang dapat menjadi media sosialisasi dan internalisasi nilai edukatif kultural dalam kehidupan masyarakat yang haus tontonan. Sekaligus akan dapat menjembatani antara kelangkaan dan minimnya minat membaca sastra masyarakat dengan upaya apresiasi sastra di kalangan masyarakat.
Mengapa film sastra ini perlu dilahirkan? Ada beberapa alasan yang mendukung gagasan ini. Pengembangan film sastra sebagai salah satu cultural engineering masyarakat (meminjam istilah Kuntowijoyo, 1987) berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat. Kemampuan memupuk dan mengembangkan rasa empati, toleransi, dan membuat penilaian etis –yang dapat diperoleh antara lain melalui penikmatan film sastra-- merupakan modal penting yang sama sekali tidak dapat diabaikan dalam pembangunan bangsa (nation building).
Realitas menunjukkan bahwa pembangunan bangsa telah melahirkan pula sejumlah persoalan seperti perubahan nilai dan pilihan nilai. Sebagian persoalan ini timbul akibat terputusnya gaya hidup tertentu untuk digantikkan dengan gaya hidup baru yang sama sekali berbeda karakternya –sebuah diskontinuitas yang merupakan pelengkap yang nyaris tak terhindarkan dalam pembangunan--. dapun sebagian masalah lain muncul sebagai efek dari ketimpangan yang makin meningkat antarberbagai golongan masyarakat. Timbullah semacam rasa kecemburuan sosial yang telah tersebar cukup luas bahwa pembangunan telah ,mendorong banyak manusia melampiaskan sifat-sifat negatifnya, termasuk ketamakan dan keserakahannya. Dalam konteks inilah film sastra dapat menjadi alternatif dalam mempresentasikan nilai-nilai edukatif kultural kepada masyarakat sambil memberikan hiburan untuk penyegaran kembali (refreshing) bagi fisik dan mental yang lelah sebagaimana fungsi karya sastra pada umumnya.
Di sisi lain, kita sedang menuju suatu masda depan yang tidak dapat diramalkan (unpredictable). Kita harus mampu menghadapinya tanpa harus kehilangan arah tau bahkan menjadi teralienasi, tanpa kehilangan rasa sopan santun kita, identitas kita, rasionalitas kita, dan sumber-sumber inspirasi kita. Dalam konteks inilah, seperti dinyatakan Bennet (dalam Moglen, 1984), agaknya film sastra –sebagai salah satu upaya pengembangan Ilmu-ilmu Humaniora-- dapat membantu kita dalam penyusunan kerangka imajinatif untuk tindakan kita.
Permasalahannya kini adalah genre sastra yang bagaimana yang layak untuk difilmkan. Memang tidak semua karya sastra dapat diangkat menjadi film. Dalam hal ini yang relatif mudah untuk diangkat ke dalam sinema adalah genre novel, itu pun yang memenuhi kriteria tertentu. Sejalan dengan pemikiran pada awal bab ini tentang film sastra, maka novel yang selayaknya difilmkan adalah novel literer. Sebab, novel literer memiliki keharmonisan antara bentuk atau metode penceritaannya dan isi atau hakikat persoalan yang dikemukakan. Atau, secara semiotik mengandung makna yang dalam kehidupan bagi manusia dan bermanfaat untuk memperkaya khasanah batinnya, baik dimensi kemanusiaan, kasih sayang, relegiusitas, sosial, sejarah, politik, maupun nasionalisme. Bagaimana dengan novel populer? Sebenarnya novel-novel populer pun sah-sah saja difilmkan. Hanya saja dari asas manfaat relatif kurang bermakna bagi kehidupan masyarakat, kecuali sekadar berorientasi hiburan dan bisnis. Dan, ini pula yang selama ini mendorong para produser atau pemilik modal untuk melayarperakkan atau mensinetronkannya.
Sebagai contoh, novel-novel literer semacam Para Priyayi karya Umar Kayam (1992), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari (1983), Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya (Telegram karya Putuwijaya, Dan Senja pun Turun karya Nasjah Djamin (1981), Gaun Hitam Seorang Hostess karya Ali Shahab (1977), Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. (1976), Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis (1975), Sang Guru karya Gerson Poyk (1973), Kemarau karya A.A. Navis (1969). Dari angkatan 1945 layak difilmkan misalnya Atheis karya Achdiat Kartamihardja.
Tentu masih banyak lagi novel yang dapat difilmkan yang tidak dapat disebut satu persatu. Dalam pelaksnaannya, judul novel terkadang diadaptasi sedemikian rupa agar dari segi sinamatografi memungkinkan, juga agar lebih memiliki daya pikat bagi khalayak penonton atau lebih marketable dari kacamata bisnis hiburan. Yang pasti, untuk memfilmkan novel diperlukan kerja sama secara sinergis antara sastrawan, lalu jika perlu pendidik, dan sineas/ insan perfilman yang menguasai sinematografi, dan tentu saja produser/penyandang dana yang dapat berupa perorangan ataupun instritusi misalnya Perusahaan Film Nasional (PFN), atau Departemen Pendidikan Nasional.
Ketika kita menyaksikan film sastra atau membaca karya sastra, secara otonatis kita akan menerobos lingkungan ruang dan batas waktu yang ada di sekitar kita. Karya fiksi yang termasuk dalam karya sastra literer adalah karya yang berhasil membangunkan manusia terhadap rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya termaksud. Film sastra membuat kita sanggup memahami segenap perjuangan tokoh-tokoh yang dilukiskannya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. Kita juga dapat mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh dalam film sastra yang kita saksikan. Kita turut menghayati nasib yang dialami tokoh-tokohnya. Dalam penghayatan ini dunia kita diperluas, menembus batas-batas duniawi yang ada di sekitar kita.
Kermampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Ini merupakan modal permulaan dan kemampuan untuk mengembangkan empati dan toleransi. Sesuatu yang esensial yang kita butuhkan dalam merfengkuh hidup ini. Inilah kekuatan film sastra --juga karya sastra lainnya -- yang rasanya tidak diperoleh dalam buku-buku ilmu pengetahuan.

5. Film Sastra: Kerja sama Sastrawan dan Sineas
Terlebih dulu perlu dupahami dua faktor penting dalam hal film sastra ini, yakni pertama pembuatan sarana (produk media) dan kedua adalah sistem penggunaan sarana (eksibisi media) Dalam sistem pembuatan sinema harus mandiri dari asas ekonomi yang sudah lazim dalam produksi sinema Indonesia. Dengan kata lain, sistem pembuatan sinema itu harus dijauhkan dari perhitungan perputaran modal secara komersial. Tegasnya, sudah sangat mendesak perlu dipikirkan kebijakan penyelenggara negara dalam penyediaan dana secara khusus untuk memproduksi sinema yang memiliki daya edukatif kultural.
Berangkat dari pemikiran itu perlu dimunculkan paradigma baru dalam perfilman anasional yang tidak saja memfokuskan pada hegemoni pemilik modal melainkan juga pada dimensi kulturalnya secara benar. Artinya, sumber daya manusia (SDM) sebagai faktor yang sangat esensial sebaiknya tidak dari sektor produksi film komersial. Harus dibangun tradisi baru dalam penyediaan SDM, yakni SDM dari sektor pendidikan yang dipercaya memiliki dedikasi kepada dunia pendidikan. Karena itu, SDM ini memang sudah harus bermuatan ilmu dan berkepribadian sebagai pendidik, paling tidak memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai edukatyif kultural, bukan sekadar bermuatan bisnis. Secara sederhana mereka menguasai ilmu didaktik metodik, sistem pengajaran dengan strategi yang bertumpu pada aspek kognetif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus memiliki kapasitas dalam hal sinematografi.
Perlu disadari bahwa sinema itu hanya media seperti buku dan guru. Perbedaannya adalah sinema memiliki prosedur kebahasaannya yang unik, kebahasaan piktorial yang dapat berfungsi universal. Buku dan guru menggunakan bahasa lisan atau tulisan dalam sistem linguistik berdasarkan kepahaman bahasa yang secara kultural dikenal dan dipahami siswa sebagai komunikan. Bahasa-bahasa dalam ragam tulisan dan lisan sbagai sarana komunikasi pendidikan memerlukan kekuatan daya penafsiran yang cukup canggih dari siswa (komunikan) untuk memahami pengertian pesan komunikatif baik secara denotatif maupun konotatif. Adapun daya tafsir para siswa sebagai sikap persepsional dapat beragam berdasarkan kondisi intelektual, kondisi sosial-kultural, dan mungkin kondisi pribadi dalam fenomena psikologis.
Dibandingkan dengan bahasa tulisan dan lisan yang hanya mampu menyajikan bentuk abstrak (imajiner), maka bahasa sinema mampu menyajikan bentuk secara konkrit. bahasa sinema atau bahasa piktorial membantu para siswa menafsirkan pesan praktis dan mudah. Namun, sebenarnya bahasa sinema dipandang dari aspek semiotik juga memerlukan kemampuan membaca atau mengeja bentuk sebagai unsur visual untuk mencapai kepahaman secara optimal. Itu sebabnya James Monaco membuat judul bukunya tentang tinjauan berbagai masalah sinematografi bukan How to See Film melainkan How to Read a Film.
Untuk mencapai kepahaman optimal terhadap misi pesan yang disampaikan dengan sarana komunikasi sinematik, tidak cukup hanya menonton tetapi juga harus membaca lambang-lambang komunikasi yang terwujud dengan beragam bentuk fisik dan mungkin juga berbagai ciri eksistensi makhluk terutama manusia tentang karakter dan latar belakag pribadinya. Memang dalam paham yang paling sederhana, sinema edukatif diartikan sebagai merekam dan menayangkan kegiatan sang guru di depan kelas. Dalam pengertian yang maju, sinema edukatif harus diartikan sebagai transformasi pelajaran yang biasa disampaikan oleh guru ke dalam bentuk sinematik atau melalui pendekatan sinematografik.
Mengapa di tengah lesunya film nasional kita perlu memikirkan pentingnya film yang berwawasan edukatif kultural? Justru inilah salah satu peluang untuk mengisi dan membangkitkannya. Bukankah kini banyak televisi swasta yang dapat diajak bekerja sama untuk menggulirkan gagasan tersebut. Selain itu, sebenarnya ada beberapa solusi untuk menggairahkan kembali film nasional. Paling tidak ada empat pihak terkait yang dapat melakukannya; Pertama, yakni pihak insan film sendiri harus meningkatkan profesionalitasnya, baik dalam acting, manajemen, teknologi, pamasaran, dan lain-lain. Kedua, masyarakat kita yang rata-rata kelas menengah ke bawah perlu diberikan apresiasi film; termasuk juga perlu didirikannya Cine Club-Cine Club untuk membentuk komunitas film dan budaya film. Ketiga, pihak produser mestinya tidak hanya mengejar profit melulu, melainkan juga berorientasi pada aspek edukatif kultural dan berorientasi kebangsaan (nasionalisme) sehingga mau membiayai film-film bermutu (lihat Said, 1991), dan keempat pihak pemerintah, sudah semestinya membuat kebijakan proteksi terhadap masuknya film-film asing (ini yang sulit dengan berlangsungnaya era globalisasi dan datangnya era pasar bebas yang dimulai dengan AFTA pada 2003) untuk memberi kesempatan kepada film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita dapat belajar dari India dan Filipina dalam hal ini (Imron A.M., 1999). Jika keempat pihak yang saling terkait tersebut dapat menjalankan fungsi masing-masing secara optimal maka bukan tidak mungkin film nasional akan dapat bangkit kembali dalam beberapa tahun mendatang.
Di sinilah terlihat betapa penting kerja sama antara sastrawan sebagai kreator cerita berbobot, pendidik yang menguasai metode edukasi, dan sineas yang memiliki kompetensi di bidang sinematografi. Dengana kerja sama ketiga komponen tersebut –tentu saja ditambah dengan produser/ pemilik modal atau institusi penyandang dana-- bukan tidak mungkin akan lahir banyak sinema yang mampu melakukan fungsi pengembangan nilai-nilai kultural.

6. Sosialisasi Nilai Kultural dengan Bahasa Sinematik
Sejalan dengan Kracauer, Hauser (1982) menyatakan, bahwa semua media ekspresi artistik mempunyain ciri-ciri nasional. Tidak seorang pun seniman yang sanggup menggunakan bahasa universal, bahasa yang meremehkan bahasa nasional, tetapi dari semula mereka juga tidak hanya mengurung diri dalam kungkungan satu bahasa nasional. Semua karya seni, tidak hanya kesusatraan, mengekspresikan diri lewat idiom dari bahasa-bahasa nasional (1984). Bahasa kesenian, menurut Hauser, adalah hasil sebuah proses dialektik yang bertolak dari idiom nasional dalam usaha dan perjalanannya menjadi suatu karya yang universal ini.
Shakespeare dan pengarang-pengarang kelas dunia lainnya, semuanya menciptakan karya mereka dalam semangat bahasa ibu mereka. Karena itu, tanpa pengetahuan yang memadai akan rasa bahasa dalam suatu karya yang ditulis, sulit untuk sepenuhnya mengerti karya tersebut.'
Bahasa sinematik sebagai sarana komunikasi pada hakikatnya juga berbentuk seperti isyarat dan lambang. Sebagai aspek semiotik, bahasa sinematik juga dilengkapi dengan unsur Ikon, Indeks, dan Simbol. Tiga unsur itu tercermin dari berbagai unsur visual yang terdapat pada tiap film. Menciptakan, memilih, menghimpun, menyusun, dan merakit usur-unsur visual dengan metode sinematografi, apakah itu dalam konsep penyutradaraan atau dalam proses penyuntingan film (editing) adalah prosedur fundamental dalam bertutur sinematik.
Seperti halnya dalam proses komunikasi pada umumnya, perlu ada kesepakatan dan konsensus serupa itu. Cara yang paling sederhana untuk mencapai konsensus itu adalah mengajarkan kepada komunikan, dalam hal ini para pelajar (siswa dan mahasiswa) dan masyarakat pada umumnya, pengertian atau penguraian lambang-lambang sinematik yang lazim digunakan sebagai unsur bahasa sinematik.
Untuk itulah perlu digagas dan diusulkan kembali adanya pelajaran apresiasi film dalam kurikulum pendidikan dan pengajaran Indonesia. Gagasan ini tidak berlebihan, mengingat dalam kurikulum yang sudah lazim terdapat pelajaran apresiasi seni pada berbagai bidang dan program studi di perguruan tinggi dan pelajaran Kesenian juga diajarkan di sekolah. Bahkan di berbagai sekolah SD sampai dengan SMU/ SMTA, pelajaran Kesenian diajarkan sebagai muatan lokal (mulok). Akan tetapi sinema yang diakui dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat dari dimensi sosial, kultural, dan psikologis justru tidak disentuh dalam kurikulum pendidikan apresiasi seni. Alasannya klasik yakni beban siswa sudah terlalu banyak. Argumen semacam itu tidak komplementer dan tidak populer yang bersumber pada terbatasnya pemahaman mengenai fungsi sinema sebagai sarana kultural.
Sebagai ilustrasi, kini di beberapa TK Favorit Jakarta misalnya Al-Azhar, para siswanya sudah diberi apresiasi sinema, bahkan mulai dikenalkan proses produksi sinema. Demikian juga di beberapa perguruan tinggi –meskipun perguruan tinggi tersebut tidak memiliki Fakultas Sastra/ Ilmu-ilmu Budaya) seperti Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler mulai dilakukan pelatihan pembuatan atau proses produksi film tersebut dari pembuatan skenario cerita, casting pemain, acting, pengambilan gambar dengan kamera, trik-trik kamera, hingga proses penyuntingan film dengan menghadirkan beberapa pakar dari insan perfilman. Di banyak perguruan tinggi misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) terdapat Cine Club, di UMS ada Unit Sastra dan Film, atau sejenisnya sebagai salah satu unit kegiatan kemahasiswaan ekstrakurikuler yang banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang memfokuskan perhatiannya pada film atau sinema pada umumnya baik melalaui dialog, diskusi, sarasehan, pemutaran film dengan menghadirkan para insan film baik pemain, sutradara, penulis skenario, produser, dan lain-lain.

7. Purna Wacana
Mengakhiri pembicaraan mengenai film “sastra” sebagai media edukatif kultural, kiranya layak dikemukakan bahwa di tengah minimnya produksi film nasional bermutu dan di pihak lain membanjirnya film-film asing di tengah kehidupan bangsa kita, kiranya perlu dipikirkan pentingnya memproduksi film-film yang berdimensi edukatif kultural. Dengan kerja sama kalangan sastrawan, sineas, dan pendidik yang dikomandani Pusat Tekonologi Komunikasi (Pustekkom) Departemen Pendidikan Nasional, atau Perusahaan Film Nasional (PFN), serta lembaga lainnya yang terkait, sudah saatnya berbagai kalangan dan institusi memikirkan hal ini.
Selanjutnya, bagi Departemen Pendidikan Nasional dan institusi pendidikan yang memiliki komitmen terhadap pengembangan nilai-nilai edukatif klultural dalam pengembangan bangsa, sudah saatnya memikirkan upaya kerja sama sinergis antara berbagai pihak di atas dengan memasukkannya dalam kebijakan yang terprogram, terarah, dan berkseinambungan. Hal ini diperkuat oleh realitas keringnya film nasional dari unsur edukatif kultural, terlebih minimnya film anak-anak yang kaya nilai moral, edukatif, dan relegius.
Institusi pendidikan tinggi sudah saatnya melakukan kajian-kajian mendalam mengenai mengenai film-film “sastra” dengan berbagai aktivitas akademik seperti penelitian, diskusi, seminar, sarasehan, dialog, dan lain-lain. Pembentukan unit kajian film semacam Cine Club merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan yang memfokuskan kajiannya pada sinema-sinema. Selain itu perguruan tinggi dapat pula berperan sebagai mediator atau fasilitator dalam menjajaki berbagai kemungkinan untuk pelaksanaan kerja sama berbagai pihak terkait agar gagasan untuk melahirkan film sastra: tersebut dapat terwujud.
Akhirnya, beberapa gagasan mengenai revitalisasi film “sastra” dalam upaya sosialisasi dan pengembangan nilai-nilai edukatif kultural tersebut baru merupakan kajian awal yang lebih merupakan wacana sehingga perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Realisasinya tentu saja terpulang kepada kemauan dan tekad kita bersama untuk menjawabnaya.

Daftar Pustaka

Effendi, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Karya.

Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. Chicago and London: The University of Chicago
Press.

Imron A.M., Ali. 1999. “Mengurai Benang Kusut Perfilman Nasional”. Makalah pada Dialog
Perfilaman Nasional pada tanggal 28 April 1999 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

_____________. 1993. “Revolusi Televisi: Imperialisme Budaya Masyarakat Modern”. Makalah
dalam Seminar Nasional tentang “Era Televisi Swasta di Indonesia” Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 30 Oktober 1993.

Kracauer, Sigfried. 1974. From Caligary to Hitler: A Psychological History of the German Film.
New Yersey: Princeton University Press.

Moglen, Helena. 1984. “Erosion in theHumanities” dalam Change, Volume 16 No. 7, Oktober
1984.

Rachmat, Djalaluddin. 1992. Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim. Bandng:
Mizan.

Said, Salim. 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Sinar Harapan.

Soebadio, Haryati. 1993. “Memahami Sastra dan Film sebagai Ungkapan Sosial-Budaya dan
Konsekuensinya untuk Pendidikan”. Makalah pada Seminar Internasional dengan tema
Sastra, Film, dan Pendidikan pada tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Sumardjono. 1993. “Sinema sebagai Sarana Edukatif”. Makalah pada Seminar Internasional
dengan tema Sastra, Film, dan Pendidikan pada tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Wardhana, Veven Sp. 1997. Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

ooOoo