Rabu, 04 Mei 2011

WAWASAN AKHLAK ISLAM

Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

Akhlak Islam merupakan perangkat tata nilai bersifat samawi dan azali, yang mewarnai cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang muslim terhadap dirinya, terhadap Allah dan Rasul-Nya, terhadap sesamanya, dan terhadap alam lingkungannya. Samawi berarti bahwa akhlak Islami bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedangkan azali berarti bahwa akhlak Islam tersebut bersifat tetap, tidak berubah, walaupun tata nilai atau norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat berubah sesuai dengan dinamika zaman (Salim, 1985: 11).
Dalam ajaran Islam, akhlak menduduki posisi paling sentral. Akhlak yang baik dan mulia akan mengantar seseorang pada kedudukan terhormat dan posisi yang tinggi. Sebaliknya, akhlak yang buruk akan mengantar seseorang pada kedudukan dan posisi yang tercela dan rendah. Demikian pentingnya akhlak bagi kehidupan manusia, sehingga perbaikan dan penyempurnaan akhlak manusia merupakan missi utama Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. di dunia. Rasulullah Saw. menegaskan hal ini dalam sabdanya:

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah Swt. di dunia ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (H.R. Baihaqi dari Abu Hurairah)

Akhlak bahkan menjadi barometer kualitas keimanan seseorang. Artinya, kesempurnaan iman seseorang dilihat dari kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Karena itu, pada kesempatan lain Rasulullah Saw. bersabda:

“Sebaik-baik iman orang mukmin adalah yang sangat mulia akhlaknya”
(H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Demikian vitalnya akhlak bagi kehidupan manusia, bahkan kehidupan bangsa. Karena itu, tidak berlebihan jika pujangga besar Syauqy Beik melukiskan tentang urgenitas akhlak bagi kehidupan bangsa dalam sebuah syairnya yang diterjemahkan Hamka menjadi:


“Tegak rumah karena sendi
runtuh sendi rumah binasa
Tegak bangsa karena budi
Rusak budi runtuhlah bangsa

Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan berkembang menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku/ perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, pemaaf, kasih sayang, dermawan, adil, bijaksana atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki sehingga memutuskan silaturrahim, pelit, dan zhalim, .
Allah menganjurkan agar umat Islam membina kehidupannya dengan mencontoh akhlak Rasulullah Saw.

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kamu. Untuk siapa saja yang mengharapkan Allah dan Hari Ahir serta yang banyak ingat kepada Allah” (Q.S. al-Ahzab: 21)

Bagaimana sesugguhnya akhlak Rasulullah itu hingga Allah merasa perlu untuk menyerukan agar umat Islam mengikutinya? Akhlak Rasulullah Saw. adalah akhlak al-Qur’an yang memancarkan sifat-sifat sabar di dalam menghadapi tekanan dan penderitaan, dermawan dalam membantu orang yang lemah, pemaaf dalam menghadapi kemarahan dan kebencian orang, ikhlas di dalam menerima semua keadaan yang terjadi atas dirinya, adil di dalam menetapkan hukum, dan lain-lain.
Jika akhlak dan perbuatan seseorang itu baik, maka dia akan memperoleh hasil yang baik pula. Semua persoalan dan segala urusan yang ditanganinya akan mudah, masyarakat di sekitarnya akan menghormatinya dan membantu apa yang dicita-citakannya. Dia berwibawa, sehingga semua yang diucapkan dan disampaikannya akan diterima dan diikuti oleh jama’ahnya. Dia akan memperoleh bantuan di dalam setiap pekerjaannya, dan dia pun akan terhindar dari segala fitnah dan gunjingan yang buruk. Dan, sebagai puncaknya, orang yang memiliki akhlak mulia itu kelak di akhirat akan memperoleh balasan dari Allah Swt. yakni surga Jannatun Na’im.
Berikut akan dijabarkan adab pergaulan dalam Islam, adab berpakaian dalam Islam, dan bahaya narkoba serta miras dalam kehidupan.

1. Adab Pergaulan dalam Islam
Kehidupan manusia sejak zaman Nabi Adam hingga kini bahkan yang akan datang akan lebih baik, jika akhlaknya baik. Akhlak umat manusia tercipta dengan baikjika mereka menerima al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Karena itu, akhlak Islam memiliki karakter tersendiri. Sebab, akhlak Islam merupakan peraturan yang datangnya dari Allah, sedangkan norma-norma lain di luar Islam merupakan ciptaan manusia.
Dalam Islam diajarkan prinsip-prinsip bagaimana adab pergaulan antarmanusia, adab dalam berhubungan satu dengan lainnya. Rasulullah Saw. bersabda:

“Bukanlah termasuk golongan kami (Islam) orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua.”

Pengertian yang tua terhadap yang muda, secara harfiah berarti orang yang tua umurnya terhadap orang yang muda umurnya. Dalam hal ini adalah kewajiban kakak terhadap adik, kewajiban orang tua (ayah-ibu) kepada anak-anaknya, kewajiban paman-bibi kepada keponakannya. Orang yang lebih tua harus menyayangi orang yang lebih muda, dengan jalan membimbing, memberi pendidikan, memberi pelajaran, menolong memenuhi kebutuhannya, dengan membantu menyelesaikan persoalan hidupnya.
Secara metafor dan/ atau makna yang lebih luas, yang tua terhadap yang muda juga berarti orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya; yang menduduki jabatan yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah jabatannya. Demikian juga dosen kepada mahasiswa, atasan kepada bawahan, komandan kepada anak buah, yang berpengalaman kepada yang tidak berpengalaman, yang pintar kerpada yang bodoh, yang kaya kepada yang miskin (Djatnika, 1985: 251). Karena itu, orang yang memiliki posisi lebih tinggi harus menyayangi orang yang posisinya lebih rendah. Namun sebaliknya, orang yang lebih rendah kedudukannya harus dapat menghormati orang yang lebih tinggi kedudukannya. Misalnya: adik terhadap kakak, anak terhadap orang tuanya, mahasiswa terhadap dosen, siswa terhadap guru, staf terhadap pimpinan, anak buah terhadap komandan, dan sebagainya. Pendek kata, di sini kedua belah pihak saling menghormati dan menyayangi, saling memberi dan menerima, sehingga keduanya terjalin tali salaturrahim yang erat.
Sebagai implikasi dari uraian di atas, berikut akan dijabarkan manusia sebagai mahkluk sosial, pola hubungan antar-individu dalam Islam, dan hubungan pria-wanita dalam Islam.

a. Manusia adalah Makhluk Sosial
Adalah sebuah keniscayaan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Mereka hidup berkelompok, saling berhubungan dan saling tergantung satu dengan lainnya, sehingga tidak mungkin manusia dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Bahkan, sejak lahir pun manusia sudah membutuhkan pertolongan orang lain --dalam hal ini terutama orang tuanya, ibu dan ayahnya--. Tanpa pertolongan orang lain tadi, niscaya manusia tidak akan dapat hidup.
Dalam menjalani kehidupan, manusia harus selalu menjalin persaudaraan dan bekerja sama guna memenuhi kebutuhan dan memecahkan persoalan hidup. Tanpa bekerja sama manusia tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi persoalan hidupnya. Inilah hakikat manusia sebagai makhluk sosial
Heterogenitas manusia baik dari segi fisik, kemampuan akal, warna kulit, agama, ernis, maupun suku bangsa, justru merupakan rahmat. Sebab, tanpa heterogenitas tersebut manusia tidak akan mengalami kemajuan dan perkembangan. Untuk itulah, maka manusia harus saling mengenal dan menjalin hubungan satu dengan lainnya agar tercipta persaudaraan yang harmonis. Sesama manusia harus saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing dan tidak saling mencaci sehingga dapat terhindar dari konflik yang hanya akan merugikan hidup bermasyarakat.
Sebagai makhluk sosial, manusia wajib menghormati hak hidup orang lain, bahkan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan alam semesta sekalipun. Sebab, manusia hidup tidak dapat lepas dari lingkungan alam, manusia membutuhkan udara segar, air bersih, dan lingkungan alam yang asri. Karena itu, sudah selayaknya jika kita harus merawat dan menjaganya, mengingat kerusakan lingkungan alam dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan manusia seperti timbulnya bencana alam yang sangat merugikan manusia sendiri.
Islam mewajibkan manusia untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan dan ketaqwaan, sebaliknya dilarang saling menolong dalam permusuhan dan kejahatan, sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw.:

“Tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu sekalian tolong-menolong dalam permusuhan dan kejahatan.”

Manusia hidup harus bermasyarakat, saling mengenal, bekerja sama satu dengan lainnya, saling menolong dan saling tergantung, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang tidak dapat diabaikan. Manusia berhubungan satu dengan lainnya dalam menjalani kehidupan dan mengatasi persoalan hidup sudah merupakan fitrah manusia. Seperti ditegaskan oleh Allah Swt.:



“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari orang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal satu dengan lainnya. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13).

Dengan demikian menurut al-Qur’an, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan sebuah keniscayaan bagi mereka (Zaidan dalam Ilyas, 1999: 205).

b. Pola Hubungan antar-Indiividu dalam Islam
Dalam membina hubungan antara individu yang satu dengan yang lain, Allah mengajarkan kepada kita agar senantiasa berbuat baik, berlaku adil, dan menjauhi perbuatan zhalim atau keji. Hal ini tercantum dalm Q.S. an-Nahl: 90-91:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil, melakukan kebaikan dan dermawan terhadap kerabat. Dan Ia melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan penindasan Ia mengajari kamu agar beroleh peringatan.”

Berdasarkan ayat ini maka ada tiga pola hubungan yang dapat kita lihat yakni pola hubungan Ihsan, Adl, dan Zhulm.
(1) Belajar Melakukan Hubungan Ihsan
Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa berbuat ihsan, yakni berbuat baik kepada semua makhluk baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan serta alam semesta. Terhadap manusia kita harus berlaku baik tanpa membedakan latar belakangnya yang berbeda-beda baik dari segi etnis, warna kulit, profesi, agama, golongan, kedudukan, maupun derajat dan keturunan.
Seorang muslim harus dapat berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas, baik di lingkungan kerja, pendidikan, sosial, tempat tinggal (tetangga) maupun lingkungan lainnya, baik dengan orang-orang seagama maupun dengan pemeluk agama lainnya, baik dengan sesama jenis maupun dengan lain jenis. Hubungan baik dengan masyarakat diperlukan, sebab tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain dan/ atau masyarakat.
Berbuat baik kepada orang lain itu terwujud baik melalui ucapan, sikap, maupun perilakunya. Artinya, antara ucapan, sikap, dan perbuatan harus serasi, saling menunjang. Sebab, jika hanya ucapan dan sikapnya yang baik maka hal itu berarti tidak ikhlas bahkan bisa jadi termasuk munafik.
Allah memerintahkan kepada kita agar berbuat baik kepada siapa saja baik orang tua, saudara, teman, orang miskin, maupun anak yatim, bahkan hamba sahaya. Dalam Q.S. an-Nisa’: 36 Allah berfirman:
“Dan berbuat baiklah kepada orang tua (ayah-ibu), kerabat dekat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga, teman sejawat, ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan) dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan bermegah-megahan (Q.S. an-Nisa’: 36).

Di sisi lain Rasulullah Saw. menjelaskan:

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam; Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklajh ia memuliakan tetangganya; Barang siapa beriman kepada Allah dan Harti Akhir, hendaklah aia memuliakan tamunya.” (H.R Bukhari dan Muslim).

Berkata yang baik berarti kita diharuskan berhati-hati dalam berbicara dengan orang lain, harus dijaga agar perkataan kita tidak menyinggung perasaan orang yang diajak bicara dan tidak menyakitkan hati orang lain. Juga, dalam berkata kita harus lemah-lembut, dengan penuh keramahan, tidak kasar, dan tidak keras-keras. Berkata baik juga berarti dalam berbicara kita harus jujur, tidak berbohong. Sebab, berbohong dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain. Karena itu, bohong merupakan salah satu sifat orang munafik yang harus dijauhi.
Kepada tetangga di sekitar rumah, Islam mengajarkan agar kita menghormati dan berbuat baik. Hal ini dapat dipahami, sebab tetangga merupakan orang yang paling dekat dengan kita setelah saudara atau keluarga sendiri. Merekalah yang pertama akan memberikan bantuan ketika kita membutuhkannya, baik ketika kita sedang memiliki hajat seperti resepsi perkawinan, aqiqah, tasyakuran, dan lain-lain maupun saat kita sedang mengalami sesuatu (musibah) yang tidak kita harapkan seperti kematian.
Demikian pentingnmya berbuat baik kepada tetangga sampai-sampai Rasulullah Saw. menyatakan bahwa:

“Bukanlah orang mukmin orang yang makan kenyang sementara tetangganya ada yang kelaparan.”

Juga disabdakan Rasulullah Saw. bahwa:

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia menghormati tetangganya.”

Adapun baik dan buruknya sikap tetangga kepada kita tentu bergantung juga kepada bagaimana kita bersikap dan berbuat kepada mereka. Dan, hubungan baik dengan tetangga akan sangat berpengaruh terhadap ketentraman dan kebahagiaan rumah tangga kita. Karena itu, dapat dipahami mengapa Rasulullah menyatakan, bahwa:

“Di antara yang membuat bahagia seorang muslim adalah tetangga yang baik, rumah yang lapang, dan kendaraan yang nyaman.” (H.R. Hakim).

Selain kepada tetangga, berbuat baik dan menghormati tamu juga merupakan salah satu sikap terpuji yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Dalam menerima tamu kita tidak dibenarkan membeda-bedakan status sosial Begitu pentingnya memuliakan tamu hingga Rasulullah Saw. dalam salah satu Hadits mengaitkan sikap ini dengan iman kepada Allah dan Hari Akhir, di samping berkata yang baik dan menghormati tetangga.
Sikap memuliakan tamu diwujudkan antara lain dengan menyambut tamu dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut serta mempersilakan duduk di tempat yang baik. Bahkan dianjurkan pula agar dalam menerima tamu disediakan ruang khusus yang ditata rapi dalamn suasana asri. Jika tamunya datang dari jauh dan ingin menginap kita diwajibkan menjamunya maksimal tiga hari. Selebihnya dari tiga hari dipersilakan kepada kita untuk tetap menjamunya atau tidak. Dalam hal ini menjamu tamu lebih dari tiga hari hukumnya sunnah atau bernilai sadaqah, bukan lagi wajib.
Kita juga diwajibkan berbuat baik dalam pergaulan bermasyarakat. Dalam berbuat baik, pada prinsipnya tidak ada perbedaan dalam tata cara pergaulan bermasyarakat antara sesama muslim dan dengan non muslim. Kalau pun ada perbedaan, hal itu hanya terbatas dalam beberapa hal yang bersifat ritual keagamaan.
Agar tercipta hubungan baik antarsesama muslim dalam masyarakat, setiap orang hartus mengakui hak dan kewajibannya masing-masing sebagai anggota masyarakat. Ada lima kewajiban seorang muslim atas muslim lainnya, seperti disabdakan Rasulullah Saw.:


“Kewajiban seorang muslim atas muslim lainnya ada lima yakni: menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang bersin.” (H.R. Khamsah).

Berikut akan dijabarkan lima kewajiab muslim atas muslim lainnya.
(1) Menjawab salam
Mengucapklan salam dengan menjawab salam berbeda hukumnya. Mengucapkan salam sunnah hukumnya, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib. Hal itu dapat dipahami karena tidak menjawab salam yang diucapkan seseorang, di samping akan dapat mengecewakan orang yang mengucapkannya, juga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Allah mengajarkan agar kita menjawab salam minimal sama dengan salam yang diucapkan (seimbang), tetapi akan lebik jika dijawab dengan salam yang lebih baik/ lengkap (Q.S. an-Nisa’: 86).
(2) Mengunjungi orang sakit
Orang-orang yang beriman (kaum muslimin) itu menurut Rasulullah Saw., ibarat satu batang tubuh, jika salah satu anggota tubuh sakit maka yang lain pun ikut prihatin. Salah satu cara merealisasikan hadits tersebut adalah dengan cara mengunjungi saudara kita sesama muslim yang sakit. Kunjungan teman, sahabat, dan saudara, sangat berarti bagi si sakit. Bahkan, kunjungan mereka merupakan obat mujarab bagi si sakit. Ada sebuah ungkapan: “Tidak banyak teman ketika kita sakit, tetapi banyak teman ketika kita senang”.
(3) Mengiringkan jenazah (melayat)
Jika seseorang meninggal dunia, masyarakat wajib (kifayah= dapat diwakili oleh sekelompok orang) memandikan, mengkafani, menshalatkan, dan memakamkannya. Kita dianjurkan untuk menshalatkan dan mengantarkan jenazah ke makam bersama-sama. Seperti disabdakan Rasulullah Saw. bahwa:

“Barang siapa menyaksikan jenazah dan menshalatkannya, maka baginya satu qirath (pahalanya seperti dua gunung besar), dan siapa yang menyaksikan jenazah dan mengantarkannya sampai di makam, maka baginya dua qirath” (H.R. Muttafaqun ‘Alaih).

(4) Memenuhi undangan
Seorang muslim dianjurkan memenuhi berbagai undangan yang diterimanya baik aqiqah, rapat, pengajian, tasyakuran, dan acara-acara lain yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Terlebih memenuhi undangan upacara pernikahan dan resepsi pernikahan (walimatul ‘ursy) selama tidak ada halangan, hukumnya wajib. Hal ini dapat dimaklumi, sebab pada lazimnya walimahan itu hanya sekali dialami seseorang selama hidup. Jadi, betapa kecewanya jika sahabat, relasi, atau saudaranya tidak menghadiri undangannya tanpa ada alasan yang dapat diterima. Karena itu, jika berhalangan hadir, seyogyanya memberi kabar sebelum atau sesudahnya dengan minta maaf. Sebaliknya, jika seseorang menghadiri undangan walimatul ‘ursy padahal tidak diundang, maka orang yang demikian dikatakan Rasulullajh Saw. sebagai “datangnya sebagai pencuri dan perginya sebagai perampok”.
(5) Menjawab orang bersin (yang membaca Alhamdulillah)
Ketika seseorang bersin lalu mengucapkan Alhamdulillah, maka orang lain yang mendengarnya diwajibkan menjawabnya dengan membaca: Yarhamukallah (“semoga Allah mengasihinya”). Orang yang bersin tadi menjawab pula: Yahdikumullah wayushlih baalakum (“semoga Allah menunjuki dan memperbaiki keadaanmu”). Akan tetapi, jika orang yang bersin tidak mengucapkan Alhamdulillah, kita tidak perlu menjawabnya dengan Yarhamukallah.
Selanjutnya, selain kita menjalin hubungan baik dengan sesama muslim, kita juga membina hubungan baik dengan orang-orang non-muslim. Namun, dalam hal-hal tertentu ada pembatasan-pembatasan khususnya yang menyangkut ritual keagamaan. Kita tidak boleh mengikuti upacara-upacara keagamaan yang mereka adakan meskipun kita diundang; tidak boleh melakukan upacara pemakaman jenazah secara Islam, tidak boleh mendoakan agar almarhum memperoleh rahmat dari Allah Swt. Kita tidak diperbolehkan mengucapkan salam tetapi diganti dengan ucapan-ucapan lain sesuai dengan tradisi yang ada.
Islam juga mengajarkan toleransi dalam berhubungan dengan orang non muslim, yakni menghormati keyakinan umat lain tanpa memaksanya mengikuti keyakinan kita. Allah menegaskan:

“Tidak ada paksaan dalan beragama. Kebenaran jelas berbeda dengan kesesatan” (Q.S. al-Baqarah: 256).

Kalau pun kita berdialog dengan mereka kita harus melakukannya dengan cara yang baik sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya (Q.S. al-‘Ankabut: 46).

Toleransi dapat diartikan mengakui keberadaan agama mereka dalam realitas bermasyarakat, tanpa harus mengakui kebenaran agama mereka. Toleransi juga tidak berarti kompromi atau bersifat sinkretisme dalam keyakinan dan ibadah (Ilyas, 1999: 210). Kita dilarang mengikuti agama dan ibadah mereka dengan alasan apa pun. Dalam hal keyakinan agama ini kita harus dapat bersikap tegas, sebagaimana Allah juga menegaskan dalam firman-Nya:

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (Q.S. Al-Kafirun: 6).

(2) Membiasakan Pola Hubungan Adil
Selain berbuat ihsan, Allah juga memerintahkan berbuat adil. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Adil juga dapat diartikan memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya. Dan, dalam pembagian sesuatu ataupun dalam menerapkan hukum, adil bukan berarti mesti sama rata antara pihak satu dengan lainnya. Adil dalam penerapan hukum berarti tidak berat sebelah. Dalam Q.S. an-Nisa’: 58 Allah menjelaskan:
“……. Dan jika kamu menetapkan hokum antara manusia, hendaklah kamu menghukum dengan adil. ……….”

Jadi, adil juga dapat diartikan meletakkan segala sesuatu secara proporsional.
Sikap adil harus direalisasikan dalam berbagai hal, baik dalam keluarga, lingkungan kerja (institusi), organisasi, maupun masyarakat terlebih dalam menerapkan hukum (pengadilan). Jika keadilan ini ditegakkan dalam segala hal, niscaya akan dapat tercipta suasana tenteram, sejuk, dan nyaman. Sebab, timbulnya situasi ketidaktenteraman, konflik, pertikaian, yang kemudian menjurus pada permusuhan pihak satu dengan lainnya pada lazimnya karena adanya perilaku tidak adil dari pihak tertentu terhadap pihak lainnya. Sehingga, pihak lainnya tadi tidak dapat menerima perlakuan terhadap dirinya yang akhirnya dapat menyulurt emosi dan melakukan tindakan destruktif yang pada gilirannya akan dapat menimbulkan suasana ketidaktenteraman dalam kehidupan keluarga, lingkungan kerja, organisasi, atau masyarakat.
Demikian vitalnya sikap adil ini dalam kehidupan setiap muslim sehingga Allah merasa perlu menandaskan bahwa sikap adil lebih dekat kepada taqwa dalam Q.S. al-Ma’idah: 8 berikut:

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, dan bertaqwalah kepada Allah
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalam keluarga, sikap adil harus ditegakkan untuk menghindari perasaan iri hati yang dapat menimbulkan suasana ketidaktenteraman dan munculnya ketegangan antar-anggota keluarga. Di sinilah peran orang tua/ ayah-ibu sebagai pemimpin keluarga harus dapat menegakkan keadilan sebaik-baiknya. Demikian pula dalam lingkungan kerja, pimpinan lembaga seperti perusahaan, institusi pendidikan (sekolah/ kampus) dan sejenisnya, harus dapat berlaku adil dalam menerapkan peraturan yang berlaku tanpa memandang bulu atau pilih kasih, tidak membedekankan satu dengan lainnya, tidak peduli apakah itu dikenakan kepada staf karyawan, staf pimpinan, atau bahkan saudara atau anaknya sekalipun. Dalam konteks ini Rasulullajh Saw. bersabda:

“Seandainya Fatimah puteriku melakukan perbuatan mencuri, maka aku sendirilah yang
akan mengadilinya dengan memotong tangannya.”

(3) Menghindari Pola Hubungan Zhulm
Zhulm yang arti harfiahnya berbuat aniaya, merupakan perbuatan keji dan sewenang-wenang yang dapat menyebabkan seseorang menjadi menderita, membuatnya kecewa, sakit hati, terhina dan/ atau merasa teraniaya. Jika adil berarti meletakkan segala sesuatu dengan semestinya atau memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada orang-orang dengan status yang sama, maka zhulm sebaliknya. Melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang-orang yang tak berdaya; atau menetapkan hukum dengan berat sebelah, dapat disebut berbuat zhulm. Demikian pula tindakan yang merugikan pihak lain baik dalam arti material maupun moral sehingga menyebabkan yang bersangkutan merasa teraniaya. Pendeknya, zhulm dapat diartikan sebagai tindakan kejahatan (Q.S. al-An’am: 82) seperti tindakan keji, penganiayaan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan.
Dalam al-Qur’an Allah dijelaskan beberapa arti zhulm dan tindakan yang termasuk zhulm serta mengancam orang-orang yang berbuat zhalim itu. Di antaranya ialah orang yang memakan harta anak yatim dengan sewenang-wenang akan dibakar dalam api neraka (Q.S. an-Nisa’: 10); orang yang merintangi orang lain dari jalan Allah, orang yang mengambil riba (rentenir), makan harta orang lain dengan jalan yang bathil seperti pemaksaan, tidak dengan kerelaan yang bersangkutan, maka disediakan bagi mereka siksaan yang pedih (Q.S. an-Nisa’: 160-161); perbuatan jahat/ keji (Q.S. al-An’am: 82) dan penganiayaan akan diberi siksaan yang pedih menyakitkan (Q.S. al-Haj: 25). Jadi, tindakan semena-mena apa pun bentuknya merupakan perbuatan zhulm.
Tindakan pemerasan, –meski terselubung—dalam pinjam-meminjam uang dengan melipatgandakan uang pengembaliannya atau dengan bunga yang sangat tinggi (rentenir); melakukan penipuan dalam perdagangan; melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang-orang yang tak berdaya; atau menetapkan hukum dengan berat sebelah, dapat disebut berbuat zhulm.
Seorang usahawan disebut zhalim jika memberikan barang-barang tidak sesuai dengan pesanan atau perjanjian. Seorang pemimpin disebut berbuat zhalim jika dalam menerapkan peraturan tidak sama kepada orang-orang atau sekelompok orang dengan status dan prestasi yang sama. Orang tua (ayah-ibu) zhalim namanya jika dalam memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anak-anaknya ternyata berat sebelah sehingga menimbulkan kecemburuan dan ketidaktenteraman dalam rumah tangga.
Perbuatan zhulm sangat sering terlihat di kalangan aparat hukum, misalnya seorang hakim dalam menetapkan hukum ternyata berat sebelah atau tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan seorang terdakwa entah karena alasan apa pun. Tidak jarang hakim –dengan dalih dan rekayasa pengadilan-- menetapkan hukuman yang ringan sekali kepada terdakwa karena antara Hakim dan terdakwa ada kolusi. Atau, Hakim memenangkan perkara kepada tergugat padahal mestinya penggugatlah yang benar juga karena adanya kolusi antara Hakim dan tergugat.
Semua sikap dan perbuatan zhulm tersebut harus dihindarkan, jika kita ingin menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang tenteram, aman, dan damai yang pada gilirannya akan dapat menghadirkan kesejahteraan lahir dan batin. Sebaliknya jika masih sering terjadi perbuatan zhulm baik dalam kehidupan keluarga, lingkungan kerja, maupun masyarakat maka niscaya akan banyak timbul konflik dan tindakan-tindakan destruktif sebagai akibat dan pelampiasan ketidakpuasan terhadap situasi. Untuk itu, warga masyarakat, bersama para tokoh dan pemimpin harus dapat menghindarkan diri dari perbuatan zhulm tersebut.

c. Hubungan Pria-Wanita dalam Islam
Di samping mengajarkan bagaimana akhlak dalam pergaulan masyarakat, Islam mengajarkan secara khusus mengenai akhlak pergaulan pria-wanita. Dalam hal pergaulan pria dan wanita, khususnya pergaulan para pemuda/ remaja dalam proses “pencarian dan penemuan calon jodoh” untuk mempersiapkan masa depan yakni terciptanya sebuah mahligai rumah tangga bahagia yang sakinah, mawaddah warahmah, Islam mengatur dengan tiga tataran yakni ta’aruf, khitbah, dan nikah. Berikut akan dipaparkan satu per satu.
1) Ta’aruf
Pada zaman modern, pria dan wanita lazimnya bergaul untuk saling mengenal (ta’aruf) dan membina hubungan baik. Mereka yang bergaul dalam menjelang pernikahan atau memasuki bahtera kehidupan bersama, banyak yang merasa perlu terlebih dulu menjalin hubungan dekat (“berpacaran”) dengan calon istri/ suaminya. Maksudnya, tentu saja agar mereka dapat lebih mengenal dan memahami calon pasangan hidupnya. Hal ini dimaksudkan agar mahligai rumah tangga yang akan dibina kelak tidak berantakan atau bagai neraka karena adanya ketidakcocokan satu dengan lainnya.
Pacaran sama sekali bukanlah tradisi Islam. Pacaran merupakan tradisi masyarakat Barat yang nota bene sekuler, sehingga wajar jika pacaran sering menjurus pada perilaku yang negatif atau melanggar etika Islam. Bahkan, jika tidak dapat mengendalikan diri tidak sedikit yang terjerumus ke dalam jurang perzinaan (berhubungan seks di luar nikah) yang jelas-tegas dilarang oleh Islam sebagai perbuatan yang tercela, keji, dan sejelek-jelek jalan (fakhisah dan wasaa-a sabiila). Dalam hubungan pria-wanita itu Islam memberikan batas-batas tertentu yang perlu diperhatikan agar terhindar dari perbuatan zina.
Ada enam hal yang perlu diperhatikan dalam menjalin hubungan antara pria-wanita (Faridl, 1997: 144-147), yang dalam bahasa populernya adalah “berpacaran” atau lebih tepatnya “proses mencari jodoh” .
(a) Tidak berpandangan mata secara bebas
Jika pria dan wanita bertemu, maka keduanya tidak dibenarkan saling berpandangan secara bebas. Dalam Q.S. an-Nur: 31 Allah menegaskan agar baik pria maupun wanita menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya; kemudian wanita hendaklah menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya, dan muhrimnya. Diterangkan dalam hadits:

Sahabat Buraidah r.a. berkata, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Ali r.a.: “Ya Ali, janganlah kamu ikutkan satu pandangan dengan pandangan yang kedua, karena sesungguhnya bagi kamu pandangan yang pertama, dan tidak bagi kamu pandangan yang kedua” (H.R. Imam Ahmad, Turmudzi, dan Al-Hakim).

(b) Tidak berkata atau berbuat sesuatu yang dapat menjurus kepada zina
Islam mengajarkan kepada kita agar kita menjauhi perbuatan zina; kita dilarang mendekati zina, terlebih melakukannya. Perbuatan-perbuatan yang dimaksud mendekati zina misalnya berduaan di tempat sepi, bercengkerama di kamar, berciuman, dan lain-lain perbuatan yang dapat menimbulkan daya rangsang seks. Sebab, sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan jalan yang sangat jelek (Q.S. al-Isra’: 32).
(c) Tidak ber-khalwat
Pria dilarang ber-khalwat (berdiam berduaan sekamar atau di tempat sunyi-sepi) dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena pihak ketiganya adalah syetan, kecuali jika ia muhrimnya (H.R. Ahmad). Rasulullah Saw. juga bersabda:
“Jauhilah berkhalwat dengan wanita. Demi (Allah) yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berkahlwat seorang pria dengan seorang wanita kecuali syetan akan masuk di antara keduanya.” (H.R. Thabrani)

(d) Tidak pergi berduaan tanpa disertai muhrimnya
Wanita tidak dibenarkan bepergian jauh berduaan dengan pria tanpa disertai oleh muhrimnya. Seperti sabda Rasulullah Saw. berikut:



“Tidak halal bagi wanita beriman bepergian yang menempuh perjalanan sehari-semalam atau lebih, kecuali jika bersama muhrimnya.” (H.R. Muttafaq ‘Alaih)

(e) Tidak saling melihat aurat
Pria tidak boleh melihat aurat pria lain, wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain, dan pria dilarang melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya. Karena, pada dasarnya aurat orang lain (di luar muhrimnya) itu hukumnya haram dilihat.
(f) Tidak berjabatan tangan
Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa untuk lebih menyempurnakan salam dan menguatkan tali ukhuwah, sebaiknya ucapan salam diikuti dengan berjabat tangan. Namun, anjuran berjabat tangan tidak berlaku bagi pria-wanita kecuali dengan suami/ istrinya atau muhrimnya. Rasulullah Saw. ketika membai’at wanita muslimat, tidak pernah menjabat tangan mereka (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Nasa’i).

2) Khitbah
Dalam menjalin hubungan dekat pria-wanita, lazimnya orang memadu cinta kasih dalam kisah kasih mesra, bergaul teramat akrab penuh kesyahduan antar-keduanya. Mereka terkadang pergi bersama, berjalan berdua, melihat bioskup, rekreasi, berwisata, dan lain-lain. Jika tidak hati-hati mereka dapat terjebak dalam jurang perzinaan yang dilarang Allahj Swt. Karena itu, sesungguhnya berhubungan akrab pria-wanita demikian (baca: pacaran) bukan tradisi Islam. Sistem berpacaran tidak dikenal dalam Islam. Satu-satunya proses menjelang perkawinan/ pernikahan yang dikenal dalam Islam adalah Khitbah, yakni meminang atau melamar, yang hukumnya Mubah (boleh).
Orang yang melamar diberi sedikit dispensasi untuk melihat wanita yang dilamar, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini disabdakan Rasulullah Saw.:
“Bila salah seorang di antara kamu meminang wanita, jika ia sanggup melihat apa yang menariknya untuk mengawininya, hendaklah ia kerjakan.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud).

Menurut para ulama, yang boleh dilihat dalam rangka khitbah itu hanyalah sekedarnya saja, yakni wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan. Alasannya, karena melihat wanita bukan muhrimnya itu hukum aslinya haram Jadi, hal itu hanya diperbolehkan karena ada suatu hajat darurat.


3) Nikah
Jika lamaran itu diterima oleh yang dilamar, tindak lanjutnya adalah melaksanakan pernikahan antar-keduanya, tanpa didahului dengan sistem berpacaran atau bertunangan yang merupakan produk budaya sekuler itu. Inilah budaya Islam.
Dalam memilih calon istri atau suami, Islam mengajarkan hendaknya didasarkan pada kriteria yang tepat dan benar, yakni mengutamakan norma agama atau akhlak, bukan norma-norma yang lain seperti kecantikan, kekayaan, pangkat, kedudukan, keturunan, dan sebagainya. Rsulullah Saw. bersabda:

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya,
dan karena agamanya. Tetapi ambillah wanita yang memiliki agama supaya beruntung
hidupmu” (H.R. Bukhari-Muslim).

Dalam Hadits lain diterangkan, Rasulullah bersabda:

“Janganlah kamu kawini wanita-wanita itu karena kecantikannya, karena mungkin kecantikannya itu akan merendahkan mereka sendiri. Dan jangan pula kamu kawini mereka itu karena kekayaannya, karena mungkin kekayaannya itu akanmenyebabkan mereka sombong. Tetapi kawinilah mereka dengan dasar agama. Sesungguhnya budak wanita yang hitam kulitnya yang memiliki agama itu lebih baik (kamu kawini daripada lainnya)”
(H.R. Baihaqi).

Jika dasar agama atau akhlak ini yang menjadi landasan utama dalam memilih jodoh, insya’Allah ini merupakan jaminan bahwa jodoh yang akan menjadi pasangan hidupnya adalah jodoh yang baik dan ideal, kuat imannya dan luhur budi pekertinya. Dan, ini merupakan semacam sistem pengenalan (ta’aruf) terhadap calon istri/ suami, tanpa harus melalui proses pacaran –yang sering menjurus ke arah perzinaan-- yang sangat dikutuk oleh ajaran Islam.
Pada umumnya orang yang berpacaran sulit untuk mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat disebut sebagai mendekat-dekat pada zina yang berdosa itu. Selain itu, pacaran juga tidak dapat menjamin bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan pasti kekal dan bahagia. Realitas membuktikan bahwa betapa banyak perkawinan/ rumah tangga yang yang sebelumnya telah melalui proses pacaran selama sekian bulan atau bahkan sekian tahun, akhirnya toh harus diakhiri dengan perceraian. Sebuah malapetaka yang dapat meluluhlantakkan bahtera rumah tangga sekaligus cita-cita hidup. Na’udzi billahi min dzalik.


2. Adab Berpakain dalam Islam
Hukum Islam baik yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, maupun akhlak, secara umum ditujukan kepada orang mukallaf (dewasa). Namun, ada pula beberapa peraturan yang khusus ditujukanuntuk pria atau wanita saja. Alasannya, untuk disesuaikan dengan tabiat masing-masing yang saling menutup dan menyempurnakan. Keduanya saling menolong hingga mereka terasa bagai satu kesatuan badan.
Hukum dan etika yang khas bagi kaum wanita, menurut Ridha (1993: 182), sebagian dimaksudkan untuk mengikis tradisi-tradisi buruk dan untuk memelihara kehormatan kaum wanita dari gangguan kaum pria. Kita jarang sekali menemui wanita yang bermoral bejat jika bukan karena kejahilan pria. Atau, karena ulah si wanita sendiri yang menggoda pria, sehingga kedua pihak saling terkait dalam melahirkan kebejatan moral masing-masing. Karena itu Allah memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnyaguna menjaga kehormatan sekaligus menghindarkan kaum wanita dari kejahilan pria.

a. Istilah Pakain dalam al-Qur’an
Cukup banyak istilah pakaian di dalam al-Qur’an. Banyak pula fungsi pakaian yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Istilah pakaian dalam al-Qur’an antara lain disebut dengan:
1) Libasun yang berguna untuk menutupi aurat dan sebagai perhiasan bagi pemakainya (Q.S. Al-A’raf: 26; Q.S. Al-A’raf: 27);
2) Sarabila yang dipakai untuk melindungi tubuh dari panas sinar matahari dan baju perang untuk melindungi tubuh dari benda keras (Q.S. An-Nahl: 81);
3) Zinatun (Zinatakum) yang dapat berfungsi sebagai perhiasan untuk beribadah kepada Allah Swt. (Q.S. Al-A’raf: 31);
4) Jilbab (Jalaabibun) sebagai penutup seluruh tubuh yang berguna untuk pengenal (identitas) pemakainya sebagai kaum muslimah dan melindungi pemakainya dari godaan/ kejahilan pria (Q.S. Al-Ahzab: 59)
5) Khumurun (bikhumurihinna) yang berarti kerudung untuk menutup dadanya atau bagian tubuhnya (Q.S. An-Nur: 31);
Di dalam al-Qur’an terlihat istilah pakaian disebut dengan sangat variatif bergantung pada maksud yang melekat padanya. Pada ayat/ surat tertentu disebut jilbabun sesuai dengan fungsinya sebagai penutup aurat misalnya, pada ayat/ surat lain terkadang disebut sarabila sebagai pelindung panas matahari dan benda keras, dan di ayat/ surat lain disebut zinatun yaknbi sebagai perhiasan untuk memperindah penampilan, dan sebagainya.

b. Fungsi Pakaian
Fungsi pakaian dalam Islam tidak sama dengan fungsi pakaian pada masyarakat umumnya (baca: sekuler) yang sering lebih cenderung sebagai perhiasan guna memperindah penampilan diri, untuk menutupi kelemahan tubuh, atau bahkan untuk memperlihatklan bagian tubuh tertentu. Dalam Islam, pakaian memiliki fungsi yang sangat variatif antara lain:
1) Sebagai penutup aurat (Q.S. Al-A’raf: 26) agar tidak terlihat oleh orang lain. Sebab, aurat
seseorang tidak boleh dilihat orang lain, kecuali suami/ istrinya dan orang-orang yang
termasuk muhrimnya.
2) Sebagai perhiasan bagi pemakainya (Q.S. Al-A’raf 26) untuk menambah keindahan penampilannya dalam bergaul di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
3) Sebagai pelindung/ penahan panas matahari dan bahaya lainnya seperti benda-benda kimiawi, dan sebagainya, termasuk benda tajam dan keras (pakaian perang) (Q.S. An-Nahl: 81)
4) Sebagai perhiasan untuk menambah keindahan pemakainya dalam beribadah kepada Allah Swt. (Q.S. Al-A’raf: 31). Dalam beribadah kepada Allah Swt. yang Mahaagung kita dianjurkan agar memakai busana yang indah dan bersih di samping menutup aurat.
5) Sebagai sarana untuk menjaga dan melindungi pemakainya dari godaan syetan. Dengan pakaian yang menutup aurat rapat dan longgar akan lebih aman dari godaan syetan untuk berbuat maksiat (Q.S. Al-A’raf: 27)
6) Sebagai identitas muslimah sekaligus menjaga agar tidak diganggu oleh orang-orang yang bermaksud jelek (dulu orang-orang kafir, kini pria-pria iseng). Dengan pakaian muslimah, seseorang akan lebih terjamin keamanannya dari tangan-tangan jahil (Q.S. Al-Ahzab: 59).
7) Sebagai sarana untuk memperoleh ridha Allah Swt. Dengan berpakain muslimah, menutup rapat aurat, kita berharap akan memperoleh rahmat dan berkah-Nya (Q.S. Al-An’am: 162).


c. Batas Aurat Pria dan Wanita
Di dalam |Islam, batas aurat pria dan wanita tidaklah sama. Hal inibanyak dijelaskan dalam berbagai ayat al-Qur’an dan al-Hadits.
Batas aurat pria menurut Islam adalah antara pusat hingga lutut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw. ketika suatu saat beliau melihat kedua paha Ma’mar terbuka. “Hai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu karena paha itu termasuk aurat” (H.R. Ahmad, Hakim, dan Bukhari) Adapun aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Hal ini ditegaskan Allah Swt. dalam firmannya:

“Hai Nabi, katakanlah kepadfa istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang beriman. ‘Hendaklah mereka mengulurkan jiolbab mereka ke seluruh tubuh mereka’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (Q.S. al-Ahzab: 59).

d. Adab Berbusana
Seperti dikemukakan di atas, bahwa fungsi pakaian di dalam Islam tidak sekedar untuk penutup tubuh, perhiasan untuk menambah keindahan dalam penampilan ataupun pelindung tubuh dari sinar matahari, melainkan cukup variatif. Karena itu, Islam mengatur umatnya tentang bagaimana cara berbusana yang memenuhi norma etika dan/ atau sopan santun, bukan sekedar mengejar keindahan dan kesenangan semata-mata.
Adapun adab berbusana menurut Islam adalah sebagai berikut:
1) (Wanita) menutup dada dan tidak menampakkan perhiasan (Q.S. An-Nur: 24)
Hal ini dimaksudkan agar wanita tidak mengundang perhatian orang-orang (pria) dan tidak menimbulkan rangsangan seksual yang dapat menyebabkan perbuatan maksiat. Dengan menutup dada dan menyembunyikan perhiasan (gelang tangan dan kaki, kalung, cincin yang mencolok) insya’Allah akan terhindar dari godaan ke arah maksiat dan hal-hal yang tidak kita inginkan.
2) (Wanita) menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan (Q.S. Al-Ahzab: 59)
Dengan seluruh tubuh tertutup rapat oleh pakaian kecuali hanya wajah dan telapak tangan, maka wanita lebih mudah dikenali sebagai muslimah dan akan lebih aman terhindar dari gangguan orang-orang yang bermaksud jelek.
3) Busana (wanita) tidak transparan atau terlalu tipis (H.R. Ahmad; H.R. Abu Dawud)
Busana yang transparan, sangat tipis yang menampakkan bagian-bagian tubuh tertentu hanya akan menimbulkan rangsangan seksual dari pihak-pihak tertentu (pria). Sehingga, pada gilirannya rangsangan seksual itu akan dapat menimbulkan niat jahat yang menuju perzinaan.
4) (Pria dan wanita) tidak terlalu ketat
Sebagaimana halnya pakaian yang transparan, pakaian ketat –terlebih pada wanita—akan menampakkan lekuk-lekuk keindahan tubuh yang dapat mengundang perhatian dan menimbulkan daya rangsang seksual kuat. Sehingga, pakaian ketat akan dapat mendatangkan hal negatif yang menuju kemaksiatan yakni perzinaan. Pakaian hendaknya dibuat longgar agar tidak menampakkan bentuk tubuh (H.R. Bukhari dan Muslim).
5) (Wanita) panjang, menutupi kaki tetapi tidak sampai menyapu tanah (H.R. Tirmidzi dan Nasa’i)
Pada prinsipnya pakaian wanita harus menutup rapat seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun, tidak berarti sampai menyapu tanah yang dapat terkesan sombong dan mengundang perhatian, di samping juga akan cepat kotor. Khusus pakaian shalat (mukena) harus menutup seluruh tubuh hingga telapak kaki.
6) (Pria dan wanita) indah dan sedap dipandang
Sabda Rasulullah Saw.: “Allah Mahaindah, dan Dia menyukai keindahan. Takabur itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” Jadi, pakaian pria dan wanita Islam bagaimanapun rapat (wanita) dan cukup longgar, tetapi bukan berarti tidak indah. Hendaknya diusahakan mode pakaian yang tetap trendi atau pakaian yang modis, sehingga pria dan wanita Islam itu dapat tampil cakap, tampan (pria), anggun, cantik (wanita), dan menarik.
7) (Pria dan wanita) bersih
Sabda Rasulullah Saw. “Sesungguhnya Allah cinta kepada ahli yang bersih” (H.R. Khatib).
“Sesungguhnya Allah benci kepada yang kotor, yang kusut masai tidak beraturan (H.R. Baihaqi). Pakaian apa pun harus bersih dan rapi, dan jika perlu baunya pun wangi.
8) (Pria dan wanita) tidak berlebihan (Q.S. Al-A’raf: 31)
Islam melarang umatnya berbuat ishraf atau berlebihan. Pakaian pun sudah semestinya yang wajar-wajar saja meskipun tetap bagus dan menarik.
9) (Wanita) tidak menyerupai pakaian pria (dan sebaliknya)
Sabda Rasulullah Saw.: “Allah Swt. melaknat pria yang mengenakan pakaian yang menyerupai (pakaian dan lain-lain) wanita dan wanita yang menyerupai (Pakaian dan lain-lain) pria.” (H.R. Tirmidzi). Pakai-pakaian yang dapat mengaburkan atau menimbulkan kesalahpahaman bagi orang lain mengenai jati diri pemakainya –apakah dia pria atau wanita—hendaknya dihindari.

Demikianlah seputar wawasan akhlak Islam yang memfokuskan kajiannya pada adab pergaulan dan adab berbusana dalam Islam. Tulisan ini lebih merupakan pengantar daripada kajian yang sudah selesai. Atau, lebih tepatnya sekadar sebagai wacana pemahaman mengenai akhlak Islam khususnya yang menyangkut adab pergaulan dan adab berbusana dalam Islam. Untuk pemahaman lebih lanjut, tentu diperlukan pendalaman yang intensif.
Akhirnya, diharapkan tulisan ini sebatas sebagai panduan untuk menuju pemahaman akhlak Islam yang lebih mendalam.

Daftar Pustaka:

Djatnika, Rachmat. 1985. Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia). Surabaya: Pustaka Islam.

Faridl, Miftah. 1997. Etika Islam Nasehat Islam untuk Anda. Bandung: Pustaka.

Ilyas. Yunahar. 1999. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.

Ridha, Muhammad Rasyid. 1993. Jawaban Islam terhadap Berbagai Keraguan Seputar
Keberadaan Wanita. Surabaya: Pustaka Progressif.

Salim, Abdullah. 1985. Akhlaq Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat. Jakarta: Media
Da’wah.

*) Dimuat dalam buku Bahagianya Berislam Materi Mentoring Al-Islam, Lembaga Studi Islam Universitas MuhaMuhammadiyah Surakarta, 2001)

Surakarta, Medio Mei 2001
ooOoo





WAWASAN AKHLAK ISLAM

Akhlak Islam:
Seperangkat tata nilai, bersifat samawi & azali
Yang mewarnai cara berpikir, bersikap, & bertindak
Thd dirinya, Allah & Rasul-Nya, sesamanya, & alam lingkungannya.

Akhlak:
@ menduduki posisi sentral dalam kehidupan muslim
@ barometer kualitas iman seseorang
>>> terpancar dalam sikap & tingkah laku seseorang:
sabar, pemaaf, ramah, rendah hati, adil, dermawan, bijaksana,
pemarah, iri dengki, pendendam, sombong, pelit, dll.

Adab Pergaulan dalam Islam:
“Bukanlah termasuk golongan kami (Islam) orang yang
tidak menyayangi yang muda & tidak menghormati yang tua.”
(Hadits)

A. Manusia sbg Makhluk Sosial
Dasar:
“Tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebajian & ketaqwaan,
dan jangan tolong-menolong dalam permusuhan & kejahatan.” (al-Qur’an)

“Manusia diciptakan Allah berbangsa & bersuku-suku
utk saling mengenal… Orang yang paling mulia di sisi Allah
adalah orang yang paling bertaqwa.” (Q.S. al-Hujurat: 13)
Manusia sbg Makhluk Sosial berarti:
@ manusia hidup berkelompok
@ berhubungan & saling tergantung satu dgn lainnya
@ tidak mungkin dapat hidup sndiri tanpa orang lain.
B. Pola Hubungan antar-Individu dalam Islam
1. Berbuat baik (Ihsan)
> kpd semua makhluk: manusia, binatang, tumbuhan, & alam
 kepada sesama manusia tanpa membedakan latar belakang:
etnis, golongan, agama, kedudukan, keturunan, dll.
 Khusus kepada sesama Muslim ada lima kewajiban:
@ menjawab salam
@ mengunjungi yang sakit
@ mengiringkan jenazah (melayat)
@ memenuhi undangan
@ menjawab orang bersin (yang membaca Alhamdulillah)
 Kepada Non-Muslim
@ menghormati keyakinan mereka
@ tidak memaksanya untuk mengikuti keyakinan kita
@ toleransi beragama: mengakui keberadaan agamanya
tanpa harus mengakui kebenaran agamanya
Tidak dibenarkan: mengikuti up. ritual keagamaan
spt natal, melakukan pemakaman jenazah scr Islam, dll.

2. Membiasakan Pola Hubungan Adil
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kpd taqwa, dan bertaqwalah…..” ( Q.S al-Ma’idah: 8).
Adil: * meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya
• memberikan sesuatu kpd yang berhak menerimanya
• dalam hukum: tidak berat sebelah (proporsional)
Sikap adil harus direalisasikan dalam segala hal dgn arif.
Adil dapat menimbulkan perasaan sejuk, tentram, & nyaman
dalam keluarga, tempat kerja, organisasi, & masyarakat.

3. Menghindari Pola Hubungan Zhulm
Zhulm: perbuatan keji & sewenang-wenang yg dpt menyebabkan
seseorang menjadi menderita, sakit hati, kecewa,
terhina, atau teraniaya.
Misal: memakan harta anak yatim dg sewenang-wenang
merintangi org lain dari jalan Allah
mengambil riba (rentenir)
makan harta org lain dgn jln bathil: mencuri,
memaksa (ngompas) merampok, dll.
* Usahawan yg memberikan barang tdk sesuai dg pesanan
* Ortu memberikan kasih sayang kpd anaknya scr berat sebelah.
C. Hubungan Pria-Wanita dalam Islam
Khususnya Pergaulan Pria-Wanita Belia
(dalam proses pencarian & penemuan calon jodoh):
1. Ta’aruf
 saling mengenal & membina hubungan baik
 untuk lebih memahami calon pasangan hidup
 agar terwujud keluarga sakinah, mawaddah, warahmah
 dalam rumah tangga spt surga dunia (baitii jannatii)
tidak berantakan bagai neraka karena ketidakcocokan

Ada enam etika dalam ergaulan Pria-Wanita:
(1) Tidak berpandangan mata secara bebas
(2) Tidak berkata/ berbuat sesuatu yg menjurus kepada zina
(3) Tidak ber-khalwat (berdiam berduaan sekamar/ di tempat sunyi)
(4) Tidak pergi berduaan tanpa disertai muhrim
(5) Tidak saling melihat aurat
(6) Tidak berjabatan tangan

2. Khitbah (meminang/ melamar)
>> boleh melihat wajah & telapak tangan
3. Nikah:



Empat aspek dalam memilih calon suami/ istri:
(1) kecantikan/ ketampanan (fisiologis)
(2) harta/ kekayaan (prospek ybs. bukan ortunya)
(3) keturunan
(4) agamanya
>>> Prioritas utama: agamanya.

Adab Berpakaian dalam Islam
Istilah Pakaian dalam al-Qur’an:
(1) Libasun (tutup aurat & perhiasan)
(2) Sarabila (pelindung tubuh dari panas, dingin, benda keras)
(3) Zinatun (perhiasan utk beribadah)
(4) Jilbab (penutup seluruh tubuh sbg identitas kaum Muslim
& melindungi dari godaan pria)
(5) Khumurun (kerudung utk menutup dada atau bagian tubuh)

Fungsi Pakaian dalam Islam:
(1) Penutup aurat agar tdk terlihat orang lain
(2) Perhiasan bagi pemakaianya
(3) Pelindung/ penahan panas, dingin, benda keras/ kimiawi
(4) Perhiasan untuk menambah keindahan penampilan dlm beribadah
(5) Sarana utk menjaga pemakaianya dari godaan lain jenis & syetan
(6) Identitas Muslimah agar tdk diganggu orang yg bermaksud jelek.


Batas Aurat Pria & Wanita:
Pria : antara pusat dgn lutut
Wanita: seluruh tubuh kecuali wajah & telapak tangan
Adab Berbusana:
(1) (Wanita) menutup dada & tdk menampakkan perhiasan
(2) (Wanita) menutup seluruh tubuh kecuali wajah & telapak tangan
(3) Busana (wanita) tidak transparan/ terlalu tipis
(4) (Pria & Wanita) tidak terlalu ketat menonjolkan lekuk tubuh
(5) (Wanita) panjang, menutup kaku tetapi tdk menyapu tanah
(6) (Pria 7 Wanita) indah & sedap dipandang
(7) (Pria & Wanita) bersih
(8) (Pria & Wanita) tidak berlebihan
(9) (Wanita) tidak menyerupai pakaian pria (dan sebaliknya)








BAHAYA NARKOBA DAN MIRAS

Narkoba: narkotika & obat-obatan terlarang atau
NAZA: Narkotika & Zar Adiktif lainnya.
Minuman Keras: segala minuman yg dapat menyebabkan mabuk
atau kehilangan kesadaran.


Awal Mula Penyalahjgunaan Narkoba & Miras
(1) Faktor interaksi antara faktor-faktor predisposisi
(kepribadian, kecemasan, depresi), (2) Faktor kontribusi (kondisi keluarga)
(3) Faktor pencetus (pengaruh teman kelompok sebaya
dan zatnya itu sendiri).
Pengaruh tekanan teman kelompok sebaya:
(1) Rasa takut krn gagal dalam berinteraksi/ bersaing
(2) Intimidasi
(3) Penyangkalan ketidakmampuannya .. agresif antisosial
(4) Induksi dari teman sekelompok utk praktik





Dampak Negatif Penyalahgunaan Narkoba & Miras: (1) Terhadap Individu
(2) sda. Keluarga
(3) sda. Masyarakat

Upaya Pemberantasan Narkoba & Miras:
1. Pendekatan Sosio-kultural
2. sda. Psikologis
3. sda. Agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar