Rabu, 04 Mei 2011

MEMBANGUN PEMUDA MUSLIM YANG BERAKHLAK MULIA

Oleh
Ali Imron Al-Ma'ruf


"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang yang melampaui batas" (Q.S. Ma'arij: 29-31).

Kehidupan masyarakat modern yang cenderung mengikuti gaya hidup Barat yang sekuler sebagai konsekeuensi adanya industrialisasi, kemajuan ipteks, dan globalisasi, telah menyebabkan perubahan nilai-nilai kehidupan. Masyarakat kini cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan agama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan seksual antarindividu. Hal itu tidak saja terjadi di negara-negara Barat yang sekuler, "wabah kebebasan bergaul" kini sudah menjalar dalam masyarakat di negara yang mayoritas penduduknya Islam dan relatif religius-- termasuk Indonesia.

Pergaulan Bebas, Homoseksual, dan AIDS
Kebebasan bergaul telah melahirkan kebebasan seks. Lalu, kebebasan seks menimbulkan bahaya yang amat mengerikan bagi manusia yakni terjangkitnya penyakit AIDS yang hingga kini belum ada obatnya yang mujarab, di samping penyakir-penyakit kelamin lainnya seperti: GO, siphillis, dan sebagainya. Karena itu, AIDS telah menimbulkan kepanikan masyarakat di seluruh dunia, tidak hanya di kalangan orang awam, melainkan juga di kalangan petugas kesehatan. Bahkan kecemasan makin menjadi-jadi ketika ditemukan seseorang terinfeksi virus AIDS dari dokter yang merawatnya, atau dari transfusi darah, dan sebagainya.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masalah utama AIDS –dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya-- terletak pada faktor-faktor psikologis dan psikososial perkembangan remaja. Selain itu, faktor budaya (pergaulan bebas) dan lemahnya moral, etik, dan agama
merupakan faktor yang sangat menentukan. Menjalarnya AIDS, penyaklit kelamin, dan efek dari hubungan seksual bebas yang kini juga melanda Indonesia menunjukkan betapa lemahnya kemampuan orang tua dan para pendidik termasuk ulama dalam memberikan pendidikan seks dan pengetahuan agama yang memadai. Jika anak memiliki pengetahuan tentang seks yang cukup dan memiliki iman serta taqwa yang mantap, maka itu berarti akan membantu para remaja dari problem perilaku seksual, dan selanjutnya menuju perilaku skes yang sehat, benar (haq), dan bertanggung jawab. Sayangnya, di Indonesia pendidikan seks bagi sebagian masyarakat kita masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Sebenarnya mereka merasa membutuhkan pendidikan seks itu, tetapi masih malu-malu karena pandangan masyarakat yang demikian. Akibatnya, banyak remaja yang tidak mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kebiasaan seks bebas.
Menurut data penelitian, munculnya AIDS bermula dari adanya hubungan seks sesama jenis (homoseks) sehingga dulu ditemukan bahwa orang yang rawan terkena AIDS adalah mereka yang homoseks. Namun, kini ditemukan justru sebaliknya, bahwa heteroseks –orang yang berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks-- yang paling banyak terkena. Tentu saja mereka yang melakukan dengan banyak orang yang paling rentan dalam hal ini.
Menurut al-Qur'an, perilaku homoseksual sudah ada sejak zaman Nabi Luth a.s. di daerah Sodom dan Gomoral (karenanya homoseksual disebut "sodomi"). Kaum homoseksual pada zaman Nabi Luth disebut Liwath yakni berhubungan badan sesama jenis, seperti tersurat dalam Qur'an: "Mengapa kamu (laki-laki) mendatangi jenis laki-laki di antara manusia”.
Perilaku seks bebas terlebih homoseksaul merupakan perbuatan yang sangat dikecam oleh Islam, karena merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.


“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, karena sesungguhnya zina itu cara yang keji dan seburuk-buruk jalan” (Q.S. al-Isra': 32)

“..... Tapi orang yang mencari selain itu, merekalah yang melampaui batas.”
(Q.S. al-Ma'arij: 29-31).

Melahirkan Generasi Muda Muslim yang Militan
Guna mencegah berbagai fenomena kemaksiatan dan tindak kerusakan yang melanda kalangan generasi muda tersebut, ada beberapa cara alternatif yang dapat digunakan, antara lain:
Pertama, adalah penanaman pendidikan agama –terutama aqidah iman, pembiasaan ibadah, dan pembudayaan akhlak mulia-- di rumah oleh orang tua kepada anak ketika masih kecil hingga remaja. Pada umumnya orang tua baru “kebakaran jenggot” setelah mendapati kenyataan anaknya yang sangat disayanginya ternyata jarang melakukan shalat, puasa juga tidak. Dan, yang membuatnya sangat terkejut dan marah adalah ketika diketahui anak perempuannya sudah kehilangan kehormatannya bahkan sudah hamil, atau anak laki-lakinya diminta bertanggung jawab dengan menikahi anak perempuan orang. Dalam kondisi demikian, biasanya, orang tua hanya bisa marah lalu memarahi anaknya, tanpa mau introspeksi bahwa sebenarnya orang tua berperan paling menentukan. Bukankah Rasulullah Saw. bersabda:

“Setiap anak manusia lahir dalam keadaan fithrah (suci), orang tuanyalah yang
membuatnya menjadi Yahudi, Majusi, atau Nashrani.”

Jika iman sudah tertanam kokoh di dalam diri anak, menjalankan syari’ah, memiliki akhlak terpuji, insya’Allah semua itu akan dapat menjadi benteng kokoh pula menghadapi godaan kehidupan betapa pun beratnya. Sebab, tidak mungkin orang tua mengawasi anaknya 24 jam sehari.
Kedua, pendidikan seks dan reproduksi dengan pendekatan agama sejak anak masih kecil. Agama Islam memiliki ajaran yang sangat komplit, tidak hanya aqidah, ibadah, dan mu’amalah, melainkan juga hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, termasuk masalah reproduksi. Jika anak sejak kecil sudah memiliki iman yang kokoh, pemahaman syari’ah yang mendalam, akhlak terpuji, lalu memperoleh pengetahuan seks dan reproduksi secara benar niscaya akan membuat remaja Muslim akan berpikir seribu kali untuk melakukan perbuatan maksiat zina, bahkan akan dapat mencegah mereka dari zina. Selain takut akan siksaan (adzab) Allah Swt., mereka juga takut akan akibat yang akan ditanggungnya. Rasa malu terhadap lingkungan sosialnya, perasaam berdosa, penderitaan selama hamil padahal belum bersuami, lalu melahirklan tanpa suami, semua itu merupakan penderitaan yang sangat berat.
Ketiga, pendidikan moral, etika pergaulan, budi pekerti, atau akhlak. Lembaga pendidikan formal (dari TK, SD hingga perguruan tinggi) berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak terhadap anak didiknya. Jika anak sejak bersekolah di TK, SD, hingga kuliah di perguruan tinggi dibiasakan berperilaku dengan landasan moral/ akhlak terpuji, maka insya’Allah mereka ajuga akan dapat membedakan mana yang boleh, dan mana yang tidak benar. Sayang sejak Kurikuilum 1984 diberlakukan, tidak ada lagi pelajaran Budi Pekerti di sekolah. Mungkin, itulah satu sebab mengapa masyarakat Indonesia sekarang mengalami degradasi etika, dekadensi moral, dan erosi perilaku terpuji.
Keempat, pembudayaan perilaku beragama seperti membaca al-Qur’a,, al-Hadfits, buku agama, beribadah, dan beramal shalih, baik di rumah, di perjalanan, maupun di tempat umum. Di mana pun kita berada, kita harus membudayakan perilaku beragama seperti shalat, berpuasa, zakat/ infak. Dengan cara itu, insya’Allah anak kita akan terbiasa dengan amal shalih.

Revitalisasi Akhlak dalam Kehidupan Masyarakat
Menghadapi kehidupan yang makin garang dan serba nilai akibat adanya transformasi sosial-budaya yang melahirkan nilai-nilai budaya mondial, yang sering jauh dari nilai moral agama itu, tinggal iman dan taqwalah yang mampu menjadi benteng terakhir bagi manusia dari berbagai godaan duniawi. Dalam hal ini, akhlak merupakan sesuatu yang harus diindahkan. Sebab, akhlak merupakan indikasi kemuliaan seorang mukmin.

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
(H.R. Tirmidzi)

“Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, maka jika lenyap salah
satunya hilang pulalah yang lain.” (H.R. Hakim dan Thabrani)

Tantangan dan godaan duniawi yang semakin garang menerjang kehidupan masyarakat adalah kebebasan seks pranikah yang merupakan anak kandung kebebasan bergaul, yang mendorong manusia untuk mengejar kesenangan dan kenikmatan sesaat tetapi sering menjerumuskannya dalam sejelek-jelek makhluk. Seperti disitir oleh Allah, bahwa manusia demikian disebut sebagai

‘kemudian dikembalikan menjadi makhluk yang paling rendah dari yang rendah’
(Q.S. at-Tiin: 5).
Untuk itulah, sebagai Khalitullajh fil ardhi, kita perlu melakukan introspeksi baik secara individual maupun kolektif dan institusional termasuk Universitas Muhammadiyah Surakarta. Adakah kuliah Studi Islam dan Kemuhammadiyahan yang diberikan tiga semester dan Mentoring al-Islam yang diwajibkan bagi mahasiswa baru selama dua semester itu membuahkan hasil yang optimal bagi internalisasi ajaran Islam kepada mahasiswa. Atau, mungkinkah ada yang salah dalam pelaksanaan kuliah Studi Islam sehingga baru merupakan Islamologi, dalam dataran epistemologis atau ontologis saja, belum sampai pada dataran aksiologis?
Adalah tanggung jawab kita, terlebih para pendidik, ulama, dan intelektual Muslim untuk semakin meningkatkan komitmen kita terhadap pembinaan moral dan akhlak umat Islam yang semakin luntur jika tidak boleh dikatakan mengalami degradasi yang sangat tajam dibanding dua dekade yang lalu. Karena itu, kita tingkatkan dakwah mengajak kebaikan dan mencegah kemaksiatan. Kita mulai dari diri kita sendiri dan keluarga kita. Bukankah Allah Swt. berfirman Quu anfusakum waahliikum naaraa? ***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar