Rabu, 04 Mei 2011

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM:

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM:
MENYONGSONG ABAD XXI *)
Oleh
Ali Imropn Al-Ma'ruf

Pendidikan sangat menentukan kualitas sumber daya insani (SDI) secara menyeluruh. Dalam hal ini pendidikan yang bermuara pada penguasaan ilmu pengetahuan yang tinggi, belumlah cukup bila tidak disertai dengan kokohnya iman dan taqwa serta terpeliharanya akhlaqul karimah. Karena itu, Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan sekaligus iman dan taqwa secara seimbang.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akhir-akhir ini kita dapat mengamati betapa banyak lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal yang didirikan oleh pemerintah dan/ atau masyarakat guna menyediakan wadah untuk pengembangan sumber daya insani. Karena begitu banyaknya lembaga pendidikan formal (sekolah), timbul kompetisi yang ketat sehingga menciptakan persaingan yang terkadang tidak sehat. Bahkan, kompetisi yang ‘berlomba mengobral janji dan fasilitas’ dalam lembaga pendidikan tersebut terkadang membingungkan masyarakat yang ingin menyekolahkan putera-puterinya.
Memang dalam era persaingan global, maka kualitas SDI menjadi kunci utama dalam meraih kemenangan masa depan. Adapun kualitas SDI sangat ditentukan oleh kualitas proses pendidikan yang dilakukan, dari pendidikan orang tua di rumah, pendidikan di sekolah/PT oleh guru/dosen, hingga pendidikan di lingkungan masyarakat. Ketiganya saling melengkapi satu dengan lainnya.
Permasalahannya, kepada lembaga yang bagaimana sebaiknya kita ‘menitipkan’ anak kita; lalu bagaimana parameter yang dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam memilih sekolah yang ideal bagi anak-anak kita?

Pendidikan Anak dalam Visi Islam
Dalam pandangan Islam, setiap anak yang lahir di dunia ini dalam keadaan suci (fithrah). Oleh karena itu, lingkunganlah yang sangat menentukan terhadap sikap dan perilaku anak. Lingkungan termaksud terutama adalah keluarga: ayah, ibu, kakek-nenek, paman dan bibi, serta saudara; kemudian teman sebaya; teman kelompok bergaul (peer group), teman sekolah, dan teman bergaul. Dari semua itu, yang paling menentukan/ berpengaruh terhadap agama (keimanan dan ketaqwaan), pandangan dan sikap hidup, karakter, perilaku (akhlaqul karimah), dan etos keilmuan anak adalah orang tuanya.
Rasulullah Saw. dalam konteks ini bersabda:

“Setiap anak manusia yang lahir (selalu) dalam keadaan suci (fithrah), maka orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Majusi, atau Nashrani.”

Jelas bahwa dalam pandangan Islam tidak ada konsep dosa warisan bagi manusia. Sebab, setiap anak manusia, siapa pun dia, tanpa memandang keturunan, derajat, kedudukan, kekayaan, semuanya dilahirkan atas kehendak Allah dalam keadaan suci bersih. Bahwa anak kemudian akan menjadi beragama Yahudi, Majusi, Nashrani, atau Islam, hal itu yang paling berperan adalah orang tuanya. Dalam perspektif yang lebih luas, orang tuanyalah yang paling dominan berpengaruh terhadap anaknya, apakah anaknya akan menjadi orang yang beriman dan bertaqwa (Muttaqin) atau orang shalih (Shalihin/ Shalihat), berilmu tinggi, berwawasan luas, memiliki tabiat yang baik, berbudi pekerti mulia, atau sebaliknya anaknya menjadi orang yang bermoral bejat, suka berbuat kerusakan dan maksiat misalnya malima (minum minuman keras, madon (main perempuan), main (judi), madat (mengkonsumsi narkoba), maling (mencuri).
Berdasarkan alasan itu, maka lembaga pendidikan (sekolah dari TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi) sebenarnya tinggal ‘meneruskan’, menguatkan, dan mengembangkan pendidikan apa yang sudah ditanamkan oleh orang tuanya di rumah, baik dalam hal keimanan/ ketaqwaan, keilmuan (etos belajar), budi pekerti (akhlak), dan kreativitas.

Iman dan Ilmu sebagai Parameter Utama
Menurut pandangan Islam, parameter utama bagi keberhasilan sebuah lembaga ataupun proses pendidikan anak (Islam) ada dua yakni (1) keimanan/ketaqwaan yang teguh dan (2) ilmu pengetahuan yang tinggi. Dua hal inilah yang akan membuat seseorang akan beroleh keberuntungan, kebahagiaan dalam arti memperoleh derajat/ kedudukan yang tinggi atau sebaliknya tersesat dan terjatuh di jurang kehinaan. Dalam al-Qur’an Allah menegaskan hal itu:


“Allah akan menaikkan (kedudukan) orang-orang yang beriman di antara kamu sekalian dan orang-orang yang berilmu dalam beberapa derajat.”

Menurut ayat al-Qur’an di atas, parameter yang pertama dan utama adalah keimanan/ katqwaan, baru kemudian keilmuan. Artinya, dalam pendidikan yang pertama harus ditekankan/ ditanamkan kepada anak adalah keimanan yang teguh, ketaqwaan yang berbuah pada amal shalih (Qalb) yang sering disebut dengan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), baru kemudian dilanjutkan dengan pengembangan keilmuan --sains dan teknologi—(pengembangan kecerdasan emosional (Rational Quotient), dan tidak boleh dilupakan adalah pengembangan kreativitas, daya juang, dan daya tahan, serta kemampuan berkomunikasi dengan orang lain (Emotional Quotient). Dengan kata lain, pendidikan anak harus dilaksanakan secara komptehensif baik pengembangan otak kiri (sains dan teknologi), pengembangan otak kanan (kreativitas, daya juang, daya tahan, dan hubungan interpersonal) maupun pengembangan spiritual yang sebenarnya merupakan landasan utama bagi kehidupan manusia yakni iman dan taqwa.

Islam Mendorong Manusia Berilmu Tinggi dengan Belajar
Sudah menjadi pengetahuan bagi setiap umat Islam, bahwa lima ayat pertama al-Qur’an yang turun kepada Rasulullah Saw. adalah motivasi untuk belajar atau mendalami dan mengembangkan ilmu yang disimbolkan dengan “membaca”, “qalam”, “pendidikan/ pengajaran”, dan “ilmu”.


“Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Yang rtelah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang telah mengajarkan (ilmu) kepada mereka dengan qalam. Mengajarkan manusia tentang sesuatu yang tidak diketahuinya.”

Kata “membaca” dalam ayat tersebut mengandung makna ganda yakni bahwa kita diwajibkan untuk membaca ayat-ayat qauliyah (kitab suci, kitab ilmu pengetahuan atau pustaka pada umumnya dan membaca ayat-ayat kauniyah (alam semesta dengan segala isi dan fenomenanya: bumi, langit, bintang, bulan, matahari, gempa bumi, gunung meletus, angin puting beliung, badai, gelombang tsunami, dan sebagainya.
Dalam hal ilmu, Rasulullah Saw. bahkan mewajibkan setiap Muslim menuntut ilmu dari lahir hingga mati, tanpa pandang umur atau dikenal dengan istilah pendidikan/ belajar sepanjang hidup.

“Mencari ilmu iui wajib bagi seorang Muslim dan Muslimah.”
Juga dalam hadits lain Rasulullah Saw. menyatakan:

“Carilah ilmu itu dari engkau lahir hingga mati.”
Bahkan, untuk menuntut ilmu tersebut jika perlu kita dianjurkan untuk pergi ke mancanegara yang sudah lebih maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologinya. Pada zaman itu, abad ketujuh Masehi, Rasulullah Saw. mengajurkan umatnya untuk menuntut ilmu itu ke negeri Cina karena pada masa itu negara Cina sudah termasyhur kemjuan ilmupengetahuannya.

“Tuntulah ilmu itu walaupun sampai ke negeri China.”

Rasulullah Saw,. dalam salah satu hadits juga menegaskan jika kita ingin hidup bahagia di dunia dan di akhirat kita dianjurkan untuk mencari ilmu.


“Barang siapa menginginkan kebahagiaan di dunia raihlah dengan ilmu; barang siapa menginginkan kebahagiaan di akhirat raihlah dengan ilmu; barang siapa menginginkan kebahagiaan keduanya –dunia dan akhirat- raihlah dengan ilmu”.

Demikian tinggi etos menuntut ilmu itu dalam ajaran islam. Islam sangat mendorong umatnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya tanpa memandang usia, pangkat, kedudukan, dan tempat. Jika dulu China menjadi barometer, karena saat itu China termasyhur sebagai negara yang sudah sangat maju. Dalam konteks kekinian, yang penting negara mana saja yang maju dalam bidang sains dan teknologinya dapat menjadi negara tujuan untuk belajar seperti Amerika Serikat, Eropa, dan sebagainaya.
Allah Swt. sangat menghargai orang yang berilmu tinggi, di samping beriman dan bertaqwa. Jadi, keduanya –iman dan ilmu—merupakan parameter utama bagi setiap Muslim. Demikian pula dalam mempertimbangkan lembaga pendidikan (sekolah dari TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi). Dari sekian jenjang pendidikan, TK dan SD-lah yang terutama sangat menentukan ke depan, karena keduanya merupakan fondasi pendidikan anak. ***).

____________
*) Dipresentasikan dalam dialog “Islam dan Budaya” di Radio Mentari FM Surakarta tanggal 7 Mei 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar