Minggu, 01 Mei 2011

MEMBANGUN GENERASI MUDA MUSLIM YANG PROSPEKTIF

Oleh
Ali Imron Al-Ma'ruf


1. Pengantar
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang yang melampaui batas" (Q.S. Ma'arij: 29-31).

Kehidupan masyarakat modern yang cenderung mengikuti gaya hidup Barat yang sekuler sebagai konsekeuensi adanya industrialisasi, kemajuan ipteks, dan globalisasi, telah menyebabkan perubahan-perubahan nilai kehidupan. Masyarakat kini cenderung mengabaikan nilai-nilai moral, etik, dan agama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan seksual antarindividu. Hal itu tidak saja terjadi di negara-negara Barat yang maju dan sekuler, "wabah kebebasan bergaul dan seks" itu kini juga sudah mulai menjalar dalam masyarakat di negara-negara sedang berkembang --mayoritas masyarakatnya dikenal beragama Islam dan relatif religius-- termasuk Indonesia. Masyarakat kita kini tak jauh berbeda dengan negara-negara lain yang sekuler.

2. Seks Bebas, Homoseksual, dan AIDS
Kebebasan bergaul telah melahirkan kebebasan seks. Lalu, kebebasan seks menimbulkan bahaya yang amat mengerikan bagi manusia yakni terjangkitnya penyakit AIDS yang hingga kini belum ada obatnya yang mujarab, di samping penyakir-penyakit kelamin lainnya seperti: GO, siphillis, dan sebagainya. Karena itu, AIDS telah menimbulkan kepanikan masyarakat di seluruh dunia, tidak hanya di kalangan orang awam, melainkan juga di kalangan petugas kesehatan. Bahkan kecemasan makin menjadi-jadi ketika ditemukan seseorang terinfeksi virus AIDS dari dokter yang merawatnya, atau dari transfusi darah, dan sebagainya.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masalah utama AIDS –dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya-- terletak pada faktor-faktor psikologis dan psikososial perkembangan remaja. Selain itu, faktor budaya (pergaulan bebas) dan lemahnya moral, etik, dan agama merupakan faktor yang sangat menentukan. Menjalarnya AIDS, penyaklit kelamin, dan efek dari hubungan seksual bebas yang kini juga melanda Indonesia menunjukkan betapa lemahnya kemampuan orang tua dan para pendidik termasuk ulama dalam memberikan pendidikan seks dan pengetahuan agama yang memadai. Jika anak memiliki pengetahuan tentang seks yang cukup dan memiliki iman serta taqwa yang mantap, maka itu berarti akan membantu para remaja dari problem perilaku seksual, dan selanjutnya menuju perilaku skes yang sehat, benar (haq), dan bertanggung jawab. Sayangnya, di Indonesia pendidikan seks bagi sebagian masyarakat kita masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Sebenarnya mereka merasa membutuhkan pendidikan seks itu, tetapi masih malu-malu karena pandangan masyarakat yang demikian. Akibatnya, banyak remaja yang tidak mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kebiasaan seks bebas.
Menurut data penelitian, munculnya AIDS bermula dari adanya hubungan seks sesama jenis (homoseks) sehingga dulu ditemukan bahwa orang yang rawan terkena AIDS adalah mereka yang homoseks. Namun, kini ditemukan justru sebaliknya, bahwa heteroseks –orang yang berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks-- yang paling banyak terkena. Tentu saja mereka yang melakukan dengan banyak orang yang paling rentan dalam hal ini.
Menurut al-Qur'an, perilaku homoseksual sudah ada sejak zaman Nabi Luth a.s. di daerah Sodom dan Gomoral (karenanya homoseksual disebut "sodomi"). Kaum homoseksual pada zaman Nabi Luth disebut Liwath yakni berhubungan badan sesama jenis, seperti tersurat dalam Qur'an:


"Mengapa kamu (laki-laki) mendatangi jenis laki-laki di antara manusia”. Perilaku seks bebas terlebih homoseksaul merupakan perbuatan yang sangat dikecam oleh Islam, karena merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan (Q.S. al-Isra': 32)


“..... Tapi orang yang mencari selain itu, merekalah yang melampaui batas.”
(Q.S. al-Ma'arij: 29-31).

3. Solusi Alternatif Melahirkan Generasi Muda Muslim yang Prospektif
Guna mencegah berbagai fenomena kemaksiatan dan tindak kerusakan yang melanda kalangan generasi muda tersebut di atas, ada beberapa cara alternatif yang dapat digunakan, anatara lain:
Pertama, dan utama adalah penana12man pendidikan agama –terutama aqidah iman, pembiasaan ibadah, dan pembudayaan akhlak mulia-- di rumah oleh orang tua kepada anak ketika masih kecil hingga remaja. Pada umumnya orang tua baru “kebakaran jenggot” setelah mendapati kenyataan anaknya yang sangat disayanginya ternyata jarang melakukan shalat, puasa juga tidak. Dan, yang membuat amereka sangat terkejut dan marah adalah ketika mendapati anaknya sudah kehilangan keperawanannya bahkan sudah hamil (perempuan), atau diminta pertanggungjawaban untuk menikahi anak perempuan oranag (laki-laki). Dalam kondisi demikian, biasanya, orang tua hanya bisa marah-marah, memarahi anaknya, tanpa mau introspeksi bahwa sebenarnya orang tualahberperan paling menentukan. Bukankah Rasulullah Saw. bersabda:


“Setiap anak manusia lahir dalam keadaan fithrah (suci), orang tuanyalah yang
membuatnya menjadi Yahudi, Majusi, atau Nashrani.”

Jika iman sudah tertanam kokoh di dalam diri anak, memiliki syari’ah yang mendalam, memiliki akhlak terpuji, insya’Allah semua itu akan dapat menjadi benteng kokoh pula menghadapi godaan dan tantangan kehidupan apa pun dan betapa berat pun. Sebab, tidak mungkin orang tua mengawasi anaknya 24 jam sehari.
Kedua, pendidikan seks dan reproduksi dengan pendekatan agama sejak anak masih kecil. Agama Islam memiliki ajaran yang sangat komplit, tidak hanya aqidah, ibadah, dan mu’amalah, melainkan juga hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, termasuk masalah reproduksi. Jika anak sejak kecil sudah memiliki iman yang kokoh, pemahaman syari’ah yang mendalam, akhlak terpuji, lalu memperoleh pengetahuan mengenai seks dan reproduksi niscaya akan membuat anak atau remaja Muslim akan berpikir seribu kali untuk melakukan perbuatan maksiat zina, bahkan akan dapat mencegah mereka ke dalam perbuatan yangmendeklati zina. Selain takut akan siksaan (adzab) Allah Swt., mereka juga takut akan akibat yang akan ditanggungnya yang sangat berat. Rasa malu terhadap lingkungan sosialnya, perasaam berdosa, penderitaan selama hamil padahal belum bersuami, lalu melahirklan tanpa suami, semua itu merupakan penderitaan yang sangat berat.
Ketiga, pendidikan moral, etika pergaulan, budi pekerti, atau akhlak. Lembaga pendidikan formal (TK, SD hingga perguruan tinggi) berperan penting pula dalam menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak terhadap anak didiknya. Jika anak sejak bersekolah di TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi dibiasakan berperilaku dengan landasan moral atau budi pekerti luhur, maka insya’Allah mereka ajuga akan dapat membedakan mana yang mesti diperbuat, yang boleh, dan mana yang tidak benar dan buruk. Sayang sejak Kurikuilum 1975 diberlakukan, tidak ada lagi pelajaran Budi Pekerti di sekolah. Mungkin, akibat tiadanya mata pelajaran itulah antara lain masyarakat Indonesia sekarang mengalami degradasi etika, dekadensi moral, dan erosi perilaku terpuji.
Keempat, pembudayaan perilaku beragama seperti membaca al-Qur’a,, al-Hadfits, buku agama, beribadah, dan beramal shalih, baik di rumah, di perjalanan, maupun di tempat umum. Di mana pun kita berada, kita harus membudayakan perilaku beragama seperti shalat, berpuasa, zakat/ infak. Denganb cara itu, insya’Allah anak kita akan biasa dengan amal shalih.
Kelima, pembiasaan pengkajian agama/ ajaran Islam secara mendalam melalui pengkajian al-Qur’an, al-Hadits, buku agama secara tekstual dan kontekstual. Jika mendalami agama bersama ustadz akan lebih baik diusahakan secara dialogis-interaktif agar aberbagai apermasalahan agama yang dihadapi anak dapat dijelaskan oleh ustadz secara gamblang.
Keenam, perlunya meningkatkan kontrol sosial masyarakat terhadap perbuatan maksiat. Pencegahan atas perbuatan maksiat (termasuk dakwah) bukan saja tugas para ustadz, muballigh, atau da’i, melainakn juga seluruh umat Islam yang memahami ajaran Islam, termasuk warga masyareakat, baik pemuda, tokoh masyarakat, pemuka agama, maupun pejabat setempat (RT/ RW, Kepala Desa/ Lurah). Jadi, jika kita mengetahui ada saudara kita berbuat maksiat baik kriminal ataupun amoral, misalnya berzina, maka hal itu harus dilakukan tindakan tegas namun arif. Ibarat orang mengail, ikannya tertangkap tanpa airnya harus keruh. Jika cara itu tidak mempan, maka barulah kita pakai cara tegas dan keras dengan sanksi sosial misalnya terhadap pelaku perbuatan maksiat.
Ketujuh, kepedulian pemerintah (eksekutif), wakil rakyat (legistaif), dan penegak hukum (yudikatif). Mereka bertiga yang merupakan pemegang dan penentu kebijakan di negara kita dari tingkat daerah, provinsi, hingga pusat harus memiliki komitmen untuk melakukan pendidikan moral dan akhlak tersebut baik melalaui pendidikan formal, maupun melalui peraturan-peraturan yang mengarah pada pencegahan perilaku maksiat.

4. Revitalisasi Akhlak dalam Kehidupan Masyarakat
Menghadapi hingar-bingar kehidupan yang makin garang dan serba nilai akibat adanya transformasi sosial-budaya yang kemudian melahirkan nilai-nilai budaya mondial, yang sering jauh dari nilai moral agama itu, rasanya tinggal iman dan taqwalah yang mampu menjadi benteng terakhir bagi manusia dari berbagai godaan duniawi. Dalam hal ini, akhlak merupakan sesuatu yang harus diindahkan. Sebab, akhlak merupakan indikasi kemuliaan seorang mukmin.

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
(H.R. Tirmidzi)


“Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, maka jika lenyap salah
satunya hilang pulalah yang lain.” (H.R. Hakim dan Thabrani)

Tantangan dan godaan duniawi yang semakin garang menerjang kehidupan masyarakat adalah kebebasan seks pranikah yang merupakan anak kandung kebebasan bergaul, yang mendorong manusia untuk mengejar kesenangan dan kenikmatan sesaat tetapi sering menjerumuskannya dalam sejelek-jelek makhluk. Seperti disitir oleh Allah, bahwa manusia demikian disebut sebagai

‘kemudian dikembalikan menjadi makhluk yang paling rendah dari yang rendah’
(Q.S. at-Tiin: 5).
Untuk itulah, sebagai manuisia, hamba Allah yang diberi predikat sebagai Khalitullajh fil ardhi, ada baiknya kita melakukan introspeksi baik secara individual maupun kolektif, yakni secara institusional termasuk universitas Muhammadiyah Surakarta kita tercinta ini. Adakah kuliah Studi Islam dan Kemuhammadiyahan yang kita berikan sampai tiga semester, bahkan Mentoring al-Islam yang kita wajibkan bagi mahasiswa untuk mengikutinya itu membuahkan hasil yang optimal bagi penanaman dan internalisasi iman dan taqwa kepada mahasiswa? Ibarat pohon, iman tersebut kemudian dapat tumbuh subur bercabang-cabang di dalam diri mahasiswa sehingga berbuah berupa amal shalih, dan dengan akar yang menancap kuat dapat tetap berdiri kokoh meskipun diterpa angin kencang atau badai yang melanda berupa godaan dunia yang semakin menggila. Atau, mungkinkah ada yang salah (some thing wrong) di dalam pelaksanaan kuliah Studi Islam kita sehingga boleh jadi baru merupakan Islamologi, dalam dataran epistemologis atau ontologis saja, belum sampai pada dataran aksiologis?
Adalah tanggung jawab kita bersama umat Islam, terlebih para pendidik, ulama, ustadz/ ustadzah, dan intelektual Muslim --sebagai pewaris para Nabi-- untuk semakin meningkatkan komitmen kita terhadap pembinaan moral dan akhlak umat Islam yang semakin luntur jika tidak boleh dikatakan mengalami degradasi yang sangat tajam. Dibanding beberapa tahun yang lalu, kondisi akhlak umat Islam (terutama kaum mudanya) kini sungguh memprihatinkan sebagai eksesmakin gencarnya gempuran nilai-nilai budaya sekuler dari negara maju (Barat) melalui berbagai cara, terutama melalui media massa baik elektronik (TV, VCD/ DVD, film, internet) maupun cetak (buku, majalah, surat kabar, dan tabloid).
Mengantisipasi berbagai fenomena yang memprihatiunkan itu, maka kita perlu terus melakukan amar ma’ruf nahi munkar sekaligus merealisasikan seruanRasulullaj Saw.: Qulil haqqa walau kaana murran; “Katakanlah kebenaran itu walaupun akan terasa pahit akibatnya”. Kita mulai dari diri kita sendiri dan keluarga kita. Bukankah Allah Swt. berfirman “Quu anfusakum waahliikum naaraa? Inilah wujud Ibda’ binafsik! Mulailah dari diri sendiri, baru pada orang lain. Bismillah. Nashrun minallaah wafathun qariib.

5. Penutup
Pada akhirnya, semua terpulang kepada para generasi muda Muslim sendiri, apakah akan menjadi genertasi muda yang shalih/ shalihah, berilmu tinggi, dan berakhlak mulia. Namun, sebenarnya semuanya itu tidak dapat terlepas dari peran orang tua dalam menanamkan pendidikan agama kepada anak-anaknya ketika mereka masih kecil dan menjelang remaja.

Rujukan:
Hawari, Dadang. 1997. Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa.

Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim, Bacaan Mulia. Jakarta: Penerbit Djambatan.


_________________________
*) Digelar dalam “Dialog-Interaktif Masalah Keagamaan Aktual” di RRI Surakarta pada tanggal 17 Maret 2005, kerja sama LPM-UMS dengan RRI Surakarta.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar