Minggu, 08 Mei 2011

MERAJUT TALI UKHUWAH

MERAJUT TALI UKHUWAH
Pengantar Menuju Mu’amalat Duniawiyah *)
Oleh Ali Imron Al-Ma'ruf

1. Pengantar
Sejak awal Islam menjunjung tinggi akhlaqul karimah (budi pekerti luhur) yang berlaku
secara universal tanpa membedakan baik kepada umat Islam maupun kepada non-Islam, tanpa memandang etnis, suku, golongan, dan warna kulit, bahkan perbedaan bangsa. Islam mengajarkan kepada umatnya agar saling mengenal dan menjaga hubungan baik satu dengan yang lain dengan seluruh penghuni jagad raya ini dalam berbagai urusan yang mengandung aspek kebajikan dan keutamaan. Itulah sebabnya, setiap muslim wajib berlaku jujur dan amanah baik antarsesama muslim maupun antara muslim dengan non-muslim. Juga kita diwajibkan untuk memiliki sikap menepati janji, sportif, pemurah, pemaaf, cinta damai, bekerja sama, toleransi, dan sebagainya tanpa memandang perbedaan di antara umat manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Dan tidaklah Aku mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Q.S. al-Anbiya’: 107)
Berbagai hal yang akan akan dapat menyebabkan perpecahan dan konflik selayaknya kita hindari. Termasuk jangan sampai kaum Muslimin terjebak oleh perangkap kaum Yahudi dan Nashrani dalam perdebatan yang dapat mengakibatkan permusuhan sesama umat beragama dan sama sekali tidak ada manfaatnya bagi agama dan kehidupan manusia. Dalam konteks ini Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepadamu: Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (Q.S. al-‘Ankabut: 46).

2. Mempererat Ukhuwah
Secara tegas Islam memerintahkan manusia untuk menyambung tali persaudaraan (silaturrahim) dengan siapa pun dan menjaga persatuan dengan golongan atau kelompok mana pun, baik terhadap sesama umat Islam, sesama bangsa, maupun sesama manusia di seantero dunia. Karena itu, tali persaudaraan (silaturrahim) dan persatuan (ukhuwah) itu dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori yakni: (1) Ukhuwah Islamiyah: persatuan umat Islam; (2) Ukhuwah Wathaniyah; persdatuan bangsa, dan (3) Ukhuwah Basyariyah; persatuan antarmanusia secara universal di jagad raya. Ukhuwah Islamiyah mendorong umat Islam untuk merapatkan barisan dan menjaga persatuan kaum Muslimin dengan saling menghormati satu dengan lainnya baik antarindividu maupun antargolongan/ kelompok. Kita bebas dan sah-sah saja memiliki perbedaan pandangan atau pemahaman terhadap ajaran agama, golongan/ kelompok, partai politik, etnis, dan sebagainya, tetapi kita tetap satu umat (Ummatan wahidah) yang rukun, damai, kompak, dan kuat. Perbedaan pandangan dan golongan tidak membuat umat Islam yang jumlahnya banyak mengalami konflik atau perpecahan umat. Bukankah menurut Rasulullah Saw. perbedaan pendapat di antara umat manusia merupakan rahmat?
Ukhuwah Wathaniyah menghilangkan sekat-sekat yang membedakan berbagai golongan, etnis, suku bangsa, yang memiliki organisasi politik, adat atau budaya dan agama yang ada dalam komunitas bangsa Indonesia yang pluralistik. Kemajemukan bangsa Indonesia mesti dipandang sebagai sebuah potensi besar. Bahkan, kemajemukan itu merupakan kekayaan yang jika dimanaj dan dihimpun dengan baik akan merupakan kekuatan yang dahsyat dalam upaya membangun kehidupan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat terwujud jika masing-masing golongan atau kelompok mampu mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan golongannya sendiri atau kepentingan pribadi. Dan, jika ini terwujud, maka kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera bukanlah sekadar menjadi impian melainkan akan menjadi kenyataan.
Adapun Ukhuwah Basyariyah merupakan persatuan umat manusia di seluruh dunia. Umat manusia yang terdiri atas berbagai bangsa yang masing-masing memiliki etnis, ras, dan agama yang berbeda pula harus mampu menjalin hubungan baik tanpa harus terperangkap dalam perbedaan-perbedaan tadi. Itulah sebabnya setiap negara harus memiliki hubungan diplomatik yang bersifat bilateral, juga persatuan negara-negara di tingkat regional, bahkan internasional dengan saling menghormati perbedaan ideologi, agama, budaya, dan sebagainya. Jika ini dapat terwujud niscaya akan terbentuklah masyarakat dunia yang menjunjung tinggi keadilan, maju, merdeka, aman, dan sejahtera. Tidak ada lagi diskriminasi antara bangsa satu dengan lainnya sehinmgga sesama bangsa di dunia dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Islam merupakan agama yang menganjurkan kedamaian, kasih sayang, dan menyejukkan kehidupan manusia tanpa memandang latar belakang perbedaan manusia. Bahkan, kepada kerabat-kerabatnya yang inkar terhadap ajaran agama yang dipeluknya pun kita dianjurkan untuk tetap menjaga hubungan baik. Asalkan mereka setia dan memiliki komitmen kepada kebenaran dan kebajikan, tentulah mereka juga tidak akan melanggar hak orang lain dan tidak akan mengabaikan keluarganya. Allah berfirman: “Pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Luqman: 15).
Sebagai ilustrasi, ketika Muhammad Saw. menjadi Rasul sekaligus Kepala Negara di Madinah saat itu, sering terjadi persetruan dan konflik antara umat beragama dan kelompok yang satu dengan lainnya. Beliau mengumpulkan semua pemimpin dan tokoh berbagai agama Nashrani, Yahudi, dan Majusi serta kelompok (qabilah-qabilah) yang ada di Arab guna menciptakan kerukunan antara berbagai agama dan kelompok-kelompok yang ada dalam suatu pertemuan silaturrahim, untuk menjaga perdamaian dan persatuan, dengan saling menghargai pemeluk agama yang satu dengan lainnya dan kelompok-kelompok. Muncullah perjanjian Hudaibiyah yang sangat monumental itu. Sejak saat itu, terciptalah sebuah kehidupan masyarakat yang damai, rukun, adil, saling menghormati antara pemeluk agama dan kelompok yang satu dengan lainnya, yang barangkali kini sering diigambarkan sebagai masyarakat Madani. Begitu hebatnya semangat persatuan dan kasih sayang Muhammad Saw.

3. Implementasi dalam Mu’amalat Duniawiyah
Seperti dikatakan di muka bahwa Islam sejak awal menganjurkan umatnya agar senantiasa bergaul den menjalin hubungan baik dengan siapa pun tanpa memandang latar belakang perbedaan etnis, suku, golongan, ataupun agama. Sebab, manusia berasal dari keturunan yang satu, Adam dan Hawa, meminjam istilah Madjid (1997), tidak ada kelebihan etnik atau bangsa yang satu dengan etnik atau bangsa yang lain. Karena itu, Allah menganjurkan kita agar saling mengenal dan berhubungan baik kepada sesama manusia. Dalam firman-Nya ditegaskan, “Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dari keturunan yang sama dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia saling mjengenal dan berhubungan baik satu dengan lainnya.” (Q.S. al-Hujurat: 13). Di pihak lain Allah juga menjadikan manusia sebagai khalifah yang bertugas untuk memakmurkan bumi dan kehidupan seluruh alam (Q.S. al-Baqarah: 30), tidak memfokuskan umat manusia yang Islam saja melainkan kepada seluruh umat manusia. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Islam adalah agama universal, untuk seluruh alam sebagai perwujudan dari rahmatan lil ‘alamin.
Implementasinya adalah bahwa dalam mengarungi kehidupan dunia yang sangat luas dalam hal ini manusia terdiri atas berbagai banagsa dan suku bangsa di seluruh dunia, dan dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di bumu, maka manusia harus dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan manuisia lain dari berbagai kalangan baik secara individual maupun komunitas. Tentu saja, selama hubungan itu dalam hal-hal yang benar dan bertujuan untuk mencapai keutamaan atau kebajikan bersama.
Secara kongkret, mu’amalat duniawiyah, hubungan baik sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan dengan berbagai kalangan itu dapat diwujudkan dalam apa yang sering disebut dalam aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan (Ipoleksosbud Hankam). Dalam bidang ideologi negara misalnya, meskipun bangsa Indonesia sangat heterogen dan pluralistik dari segi ras, etnik, suku, budaya, agama, dan golongan, kita mesti dapat menjunjung ideologi negara yang telah menjadi kesepakatan nasional di atas kepentingan golongan dan pribadi, demi menjaga persatuan dan ketahanan negara. Karena itu, kepentingan-kepentingan yang sifatnya sesaat dan sempit (misalnya untuk pribadi dan golongan) harus disingkirkan.
Demikian pula di bidang politik, kita boleh bersatu dalam partai politik yang sama meskipun kita berbeda agama, etnik, suku, dan golongan. Sebaliknya, meskipun kita satu umat Islam, boleh saja berbeda ideologi politik kita, karena kita memiki visi yang berbeda dalam berpolitik. Itulah sebabnya, Muhammadiyah membebaskan umatnya untuk bergabung dan tersebar di berbagai partai politik. Justru, ini mungkin dapat dipandang sebagai nilai lebih dari visi politik Muhammadiyah (yang memang bukan organisasi politik). Dengan tersebar di berbagai parpol, maka warga Muhammadityah dapat membangun visi ideologi yang sejalan dengan visi dan misi Islam atau Muhammadiyah yang kita dambakan.
Di bidang ekonomi dan bisnis, umat Islam bebas untuk membuat jaringan dengan siapa pun tanpa melihat perbedaan agama dan bangsa. Pada zaman Rasulullah, umat Islam sudah dikenal di jazirah sebagai bisnisman yang memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa lain seperti Persi, Mesir, Aljazair, dan sebagainya tanpa memandang mereka beragama apa pun. Bahkan di bidang sains dan teknologi. Rasulullah bahkan menyuruh umatnya untuk pergi ke negri Cina, karena zaman itu bangsa Cina sudah dikenal memiki peradaban yang tinggi. Padahal jelas bangsa Cina saat itu tidak/ belum beragama Islam. “Carilah ilmu walaupuin sampai ke negeri Cina”.
Terlebih dalam bidang kebudayaan, saat ini tak satu pun budaya sebuah negeri yang masih murni atau steril dari nuansa budaya lain, baik budaya etnis atau daerah lain, maupun budaya asing atau budaya global. Sehingga, yang ada kini adalah kebudayaan lokal atau nasional yang sudah dimodifikasi dengan nuansa lain. Dan, muncullah perpaduan budaya yang secara substansial masih mempertahankan keaslian, tetapi diramu dengan unsur-unsur budaya lain. Terciptalah variasi budaya yang beraneka ragam sehingga mudah diterima oleh kalangan mana pun. Terlebih kini dalam era global, muncullah apa yang disebut dengan kebudayaan mondial yang merupakan kolaborasi berbagai unsur budaya di dunia ini. Ini sebagai konsekuensi logis dari membanjirnya budaya universal melalui media massa baik elektronik amupun cetak. Karena itu, tampaknya sudah menjadi keniscayaan sejarah bahwa kebudayaan nasional atau pun kebudayaan Islam pun kini mesti dapat menyelaraskan dengan irama zaman tanpa kehilangan substansi dan nilai kebangsaan dan keislamannya. Substansi tetap Islami namun dapat dikemas dengan warna modern yang universal sehingga dapat diapresiasi oleh umat dari kalangan mana pun. Demikian pula di bidang-bidang yang lain.

4. Pentingnya Akhlaqul Karimah

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah Swt. di dunia ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (H.R. Baihaqi dari Abu Hurairah)

Akhlak bahkan menjadi barometer kualitas keimanan seseorang. Artinya, kesempurnaan iman seseorang dilihat dari kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Karena itu, pada kesempatan lain Rasulullah Saw. bersabda:

“Sebaik-baik iman orang mukmin adalah yang sangat mulia akhlaknya”
(H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Demikian vitalnya akhlak bagi kehidupan manusia, bahkan kehidupan bangsa. Karena itu, tidak berlebihan jika pujangga besar Syauqy Beik melukiskan tentang urgenitas akhlak bagi kehidupan bangsa dalam sebuah syairnya yang diterjemahkan Hamka menjadi:

“Tegak rumah karena sendi
runtuh sendi rumah binasa
Tegak bangsa karena budi
Rusak budi runtuhlah bangsa

Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan berkembang menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku/ perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, pemaaf, kasih sayang, dermawan, adil, bijaksana atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki sehingga memutuskan silaturrahim, pelit, dan zhalim, .
Allah menganjurkan agar umat Islam membina kehidupannya dengan mencontoh akhlak Rasulullah Saw.

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kamu. Untuk siapa saja yang mengharapkan Allah dan Hari Ahir serta yang banyak ingat kepada Allah” (Q.S. al-Ahzab: 21)

Bagaimana sesugguhnya akhlak Rasulullah itu hingga Allah merasa perlu untuk menyerukan agar umat Islam mengikutinya? Akhlak Rasulullah Saw. adalah akhlak al-Qur’an yang memancarkan sifat-sifat sabar di dalam menghadapi tekanan dan penderitaan, dermawan dalam membantu orang yang lemah, pemaaf dalam menghadapi kemarahan dan kebencian orang, ikhlas di dalam menerima semua keadaan yang terjadi atas dirinya, adil di dalam menetapkan hukum, dan lain-lain.
Cerita Da’tsur, pemuda Quraisy yang ingin membunuh Rasulullah Saw. ketika beliau beristirahat di bawah pohon yang rindang seusai berdakwah banrangkali menjadi ilustrasi yang menarik mengenai akhlak Rasulullah Saw. Pada saat itu, Da’tsur menodong Rasulullah dengan pedang terhunus.
Da’tsur : “Wahai Muhammad, siapa kini yang akan menolongmu dari pedangku ini?”
Rasulullah: “Tidak ada yang dapat menolongku melainkan Allah Swt.”
Seketika gemetarlah tubuh dan tangan Da’tsur sehingga terjatuhlah pedang yang dipegangnya Secepat itu pula Rasulullah Saw. menghunuskan pedang milik Da’tsur tadi kepada pemiliknya.
Rasulullah: “Wahai Da’tsur, siapa kini yang akan menolongmu?”
Da’tsurt tidak kuasa menjawab. Dan, Rasulullah tidak membunuhnya meskipun Da’tsur tadi akan membunuh dirinya. Bahkan, Muhammad Saw. memaafkannya. Seketika itu pula dia terharu akan kebaikan dan akhlak Rasulullah Saw. dan menyatakan masuk Islam.
Jika akhlak dan perbuatan seseorang itu baik, maka dia akan memperoleh hasil yang baik pula. Semua persoalan dan segala urusan yang ditanganinya akan mudah, masyarakat di sekitarnya akan menghormatinya dan membantu apa yang dicita-citakannya. Dia berwibawa, sehingga semua yang diucapkan dan disampaikannya akan diterima dan diikuti oleh jama’ahnya. Dia akan memperoleh bantuan di dalam setiap pekerjaannya, dan dia pun akan terhindar dari segala fitnah dan gunjingan yang buruk. Dan, sebagai puncaknya, orang yang memiliki akhlak mulia itu kelak di akhirat akan memperoleh balasan dari Allah Swt. yakni surga Jannatun Na’im.
Berikut akan dijabarkan adab pergaulan dalam Islam, adab berpakaian dalam Islam, dan bahaya narkoba serta miras dalam kehidupan.

4.1. Akhlak sebagai Kunci Pergaulan dalam Islam
Kehidupan manusia sejak zaman Nabi Adam hingga kini bahkan yang akan datang akan lebih baik, jika akhlaknya baik. Akhlak umat manusia tercipta dengan baikjika mereka menerima al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Karena itu, akhlak Islam memiliki karakter tersendiri. Sebab, akhlak Islam merupakan peraturan yang datangnya dari Allah, sedangkan norma-norma lain di luar Islam merupakan ciptaan manusia.
Dalam Islam diajarkan prinsip-prinsip bagaimana adab pergaulan antarmanusia, adab dalam berhubungan satu dengan lainnya. Rasulullah Saw. bersabda:

“Bukanlah termasuk golongan kami (Islam) orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua.”

Pengertian yang tua terhadap yang muda, secara harfiah berarti orang yang tua umurnya terhadap orang yang muda umurnya. Dalam hal ini adalah kewajiban kakak terhadap adik, kewajiban orang tua (ayah-ibu) kepada anak-anaknya, kewajiban paman-bibi kepada keponakannya. Orang yang lebih tua harus menyayangi orang yang lebih muda, dengan jalan membimbing, memberi pendidikan, memberi pelajaran, menolong memenuhi kebutuhannya, dengan membantu menyelesaikan persoalan hidupnya.
Secara metafor dan/ atau makna yang lebih luas, yang tua terhadap yang muda juga berarti orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya; yang menduduki jabatan yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah jabatannya. Demikian juga dosen kepada mahasiswa, atasan kepada bawahan, komandan kepada anak buah, yang berpengalaman kepada yang tidak berpengalaman, yang pintar kerpada yang bodoh, yang kaya kepada yang miskin (Djatnika, 1985: 251). Karena itu, orang yang memiliki posisi lebih tinggi harus menyayangi orang yang posisinya lebih rendah. Namun sebaliknya, orang yang lebih rendah kedudukannya harus dapat menghormati orang yang lebih tinggi kedudukannya. Misalnya: adik terhadap kakak, anak terhadap orang tuanya, mahasiswa terhadap dosen, siswa terhadap guru, staf terhadap pimpinan, anak buah terhadap komandan, dan sebagainya. Pendek kata, di sini kedua belah pihak saling menghormati dan menyayangi, saling memberi dan menerima, sehingga keduanya terjalin tali salaturrahim yang erat.
Sebagai implikasi dari uraian di atas, berikut akan dijabarkan manusia sebagai mahkluk sosial, pola hubungan antar-individu dalam Islam, dan hubungan pria-wanita dalam Islam.

4.2 Akhlak dalam Bermasyarakat
Adalah sebuah keniscayaan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Mereka hidup berkelompok, saling berhubungan dan saling tergantung satu dengan lainnya, sehingga tidak mungkin manusia dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Bahkan, sejak lahir pun manusia sudah membutuhkan pertolongan orang lain --dalam hal ini terutama orang tuanya, ibu dan ayahnya--. Tanpa pertolongan orang lain tadi, niscaya manusia tidak akan dapat hidup.
Dalam menjalani kehidupan, manusia harus selalu menjalin persaudaraan dan bekerja sama guna memenuhi kebutuhan dan memecahkan persoalan hidup. Tanpa bekerja sama manusia tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi persoalan hidupnya. Inilah hakikat manusia sebagai makhluk sosial
Heterogenitas manusia baik dari segi fisik, kemampuan akal, warna kulit, agama, ernis, maupun suku bangsa, justru merupakan rahmat. Sebab, tanpa heterogenitas tersebut manusia tidak akan mengalami kemajuan dan perkembangan. Untuk itulah, maka manusia harus saling mengenal dan menjalin hubungan satu dengan lainnya agar tercipta persaudaraan yang harmonis. Sesama manusia harus saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing dan tidak saling mencaci sehingga dapat terhindar dari konflik yang hanya akan merugikan hidup bermasyarakat.
Sebagai makhluk sosial, manusia wajib menghormati hak hidup orang lain, bahkan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan alam semesta sekalipun. Sebab, manusia hidup tidak dapat lepas dari lingkungan alam, manusia membutuhkan udara segar, air bersih, dan lingkungan alam yang asri. Karena itu, sudah selayaknya jika kita harus merawat dan menjaganya, mengingat kerusakan lingkungan alam dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan manusia seperti timbulnya bencana alam yang sangat merugikan manusia sendiri.
Islam mewajibkan manusia untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan dan ketaqwaan, sebaliknya dilarang saling menolong dalam permusuhan dan kejahatan, sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw.:
“Tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu sekalian tolong-menolong dalam permusuhan dan kejahatan.”

Manusia hidup harus bermasyarakat, saling mengenal, bekerja sama satu dengan lainnya, saling menolong dan saling tergantung, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang tidak dapat diabaikan. Manusia berhubungan satu dengan lainnya dalam menjalani kehidupan dan mengatasi persoalan hidup sudah merupakan fitrah manusia. Seperti ditegaskan oleh Allah Swt.:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari orang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal satu dengan lainnya. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13).

Dengan demikian menurut al-Qur’an, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan sebuah keniscayaan bagi mereka (Zaidan dalam Ilyas, 1999: 205). Bahklan, dengan manusia dari mana pun asal dan golongannya termasuk di lura Islam, kita harus tetapmewujudkan kasih sayang. Ini merupakan implikasi darti firman Allah bahwa “Tidaklah Kami mengutusmu Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. al-Anbiya’: 107). Karena itu, jika kita menyeru kepada kebajikan pun harus dengan bijaksana, dengan pelajaran yang baik dan berdialog dengan cara yang baik pula ((Q.S. an-Nahl: 125).

5. Penutup
Demikianlah, Islam mengajarkan kepada umatnya agar kita selalu dapat menjalin hubungan baik dengan sesama manusia tanpa membedakan agama dan perbedaan lainnya sebagai wujwud pelaksanaan Mu’amalat duniawiyah. Dalam hal ini yang penting digarisbawahi adalah bahwa akhlak yang mulia tetap harus menjadi pegangan yang utama. Sebab, dalam Islam akhlak merupakan intisari dari taqwa.

Daftar Pustaka:
Jassin, H.B. 1978. Al-Qur’anil Karim, Bacaan Mulia. Jakarta: Jambatan.
Madjid, Noercholis. 1997. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Paramadina.
____________
*) Dipresentasikan dalam Kajian Islam Pimpinan Pemuda Daerah Muhammadiyah Kabupaten karanganyar, 17 November 2003 di PDM karanganyar.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar