Minggu, 08 Mei 2011

BERSENI: KEBEBASAN BERKREASI, ETIKA, DAN RELIGUISITAS *)

BERSENI: KEBEBASAN BERKREASI, ETIKA, DAN RELIGUISITAS *)
Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

1. Pendahuluan

“Pada mulanya seni (sastra) itu relegius” (Mangunwijaya, 1988).
“Karya seni yang baik tidak hanya dapat diterima dan dinikmati oleh umat beragama tertentu melainkan oleh seluruh umat manusia, sebagai pengejawantahan makna rahmatan lil ‘alamiin.” (Ali Imron Al-Ma’ruf, 2001)

Keindahan alam tergelar di bumi dan langit karya Sang Khaliq, yang mendesain alam dengan garis-garis, lekukan, bidang, dan lingkaran. Gemuruh ombak laut yang ritmis mengikuti irama gelombang, gemercik air menepis pantai, menciptakan keindahan tiada tara. Pasir putih yang membujur sepanjang pantai diterjang ombak, menerbitkan perasaan tenteram. Lembah dan ngarai di pegunungan dan hamparan awan putih di kejauhan, cakrawala dengan langit cerah membiru bak hamparan permadani. Keindahan alam semesta ciptaan Allah swt. membangkitkan perasaan estetis bagi siapa saja yang memandangnya.
Sedemikian agung alam ciptaan Allah, tidak tertandingi oleh lukisan mahakarya seorang Maestro sekali pun sekaliber Pichasso, Van Gogh, Raden Saleh, Basuki Abdullah, bahkan Affandi. Bukankah Allah berfirman: “(Dia) yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan dengan sebaik-baiknya” (Q.S. as-Sajdah: 7), dan “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan (Dia) menyukai keindahan.” (H.R. Muslim). Melalui al-Quran Allah juga memotivasi kita untuk mengamati berbagai peristiwa dan keindahan alam yang spesifik pada alam ini. Berbagai ayat yang “merangsang” perhatian kita untuk menjelajahi alam itu, agaknya Allah membangkitkan perasaan keindahan manusia untuk dapat merasakan keindahan ciptaan-Nya.
Sayang sekali, kebanyakan manusia hanya mengagumi keindahan alam, tetapi tidak mau memperhatikan dan merenungkan rahasia di balik keindahan ciptaan Ilahi tersebut.

2. Kebebasan Berkarya (Seni) dalam Islam
Allah mendorong manusia untuk berkarya seni dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya guna menghasilkan karya yang bernilai tinggi. Karya seni bernilai tinggi tidak saja indah dinikmati oleh indra manusia melainkan juga menndorong manusia untuk menyadari eksistensinya sebagai makhluk sehingga dekat dengan Sang Khalik. Karena itu, kebebasan berkreasi seni mesti memenuhi kriteria tertentu dan yang utama adalah unsur yang menjadikan karya seni itu memberi manfaat, bukan sebaliknya mendatangkan madharat (kerugian). Pendek kata, Islam menghendaki kreasi seni yang membangun, mencerahkan batin (konstruktif) dari aspek moral spiritual, bukan merusak (destruktif) dari sisi mental kehidupan manusia.
Sejarah mencatat aneka ragam karya seni Islam yang mampu mencerahkan peradabannya yang unik dan khas dan mencapai masa kejayaannya pada abad pertengahan yakni abad VII hingga XII. Seni kaligrafi yang menghiasi rumah dan/ atau kitab suci al-Quran, sastra (syair), arsitektur khas Islam yang kini masih dapat terlihat di Arab, Persia dan Eropa (seperti di Arab Saudi, Irak, Iran (Persia), Mesir, Spanyol, dan Turki), ornamen dan ukiran yang banyak menghiasi masjid, keraton, pintu gedung, gagang pedang dari emas, dan lain-lain.
Seni sastra dalam Islam telah lama maju dan termasyhur dalam masyarakat Arab. Setelah itu datanglah al-Quran dengan sentuhan seni sastranya. Sehingga, membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an bagi orang yang mau merenungkan, cukuplah menjadi obat penawar jiwa, yang tidak tertandingi oleh penawar lain. Hal itu bukan hanya karena kandungannya berupa ajaran Allah belaka, namun juga karena gaya bahasanya (stilistika). Bacaan yang tartil dan dilantunkan dengan lagu nan merdu, terdengar syahdu menggetarkan kalbu. Bukankah Umar bin Khathab masuk Islam setelah ia mendengar alunan bacaan ayat al-Qur’an? Begitu hebat gezag (wibawa) al-Qur’an, sehingga mampu meluluhkan kekerasan hati Umar. Al-Qur’an memang mukjizat Nabi Muhammad saw. yang terbesar –sebagai mukjizat keindahan, di samping mukjizat pemikiran--.

3. Kembali ke Definisi Berseni
Seni berkaitan erat dengan keindahan atau Estetika yakni ilmu tentang keindahan, hal-hal yang indah (the science of the beatiful) secara umum. Estetika dari bahasa Yunani aisthetika ‘hal-hal yang dapat dicerap dengan pancaindra’ atau aisthesis ‘perasaan atau sensitivitas’ (Gie, 1983: 15; Anwar, 1985: 9). Sesuatu yang indah adalah kenikmatan yang tak habis-habis, kecantikannya bertambah. Al-Ghazali (dalam Jabbar, 1988: 8-9) menyatakan, bahwa pencerapan keindahan adalah kenikmatan dalam dirinya dan dicintai karena kindahannya serta bukan hal-hal lain di luarnya. Keindahan bentuk luar yang dilihat oleh ‘mata telanjang’ dapat dialami oleh anak-anak, sedangkan keindahan bentuk dalam hanya dapat dinikmati oleh ‘mata hati’ dan cahaya visi-dalam manusia.
Keindahan erat sekali hubungannya dengan selera perasaan dan citarasa (taste). Kita menjumpai keindahan dan kecantikan terdapat di mana-mana, di laut dengan ombak dan pantainya, langit dengan awan membirunya, gunung dengan lembah dan ngarainya. Di samping keindahan yang terdapat di alam raya, manusia juga diberi oleh Allah daya kreasi untuk menciptakan keindahan yang dituangkan di dalam karya-karya seni. Kita merasakan keindahan-keindahan itu dan menikmatinya.
Kesenian adalah penjelmaan dari rasa keindahan dan keterharuan yang ada dalan diri manusia untuk kesejahteraan hidup. Rasa disusun dan dinyatakan pleh pikiran sehingga menjadi bentuk yang dapat disalurkan, diindra, dan dimiliki. Dalam pengertian lain, kesenian adalah segala sesuatu yang membangkitkan rasa keindahan (estetis) dan yang dicptakan untuk membangkitkan perasaan-perasaan keindahan tersebut (Idris, 1983: 91). Dengan kalimat lain, segala gubahan manusia yang indah dan dapat membangkitkan rasa keindahan baik berbentuk tulisan, gerakan, suara, goresan, atau bentuk lainnya, termasuk kesenian. Oleh karena itu, penjelmaan rasa keindahan (estetis) dapat berupa seni suara (nyanyian dan musik), seni sastra (puisi, prosa, dan drama), seni lukis (lukisan), seni ukir (kayu), seni pahat (batu), seni tari (tarian, balet, dance), seni teater ‘acting’ (drama, pantomim, opera, sendratari, wayang orang, kethoprak, ludruk, film, dan lain-lain), ornamen, dan kaligrafi. Semua itu tergolong karya seni.
Jadi, berseni atau tepatnya berkarya seni adalah mengekspresikan perasaan dan pikiran melalui proses kreatif dengan daya imajinasi ke dalam bentuk karya yang indah atau karya seni. Berkarya seni dengan demikian membutuhkan sensitivitas perasaan terhadap alam sekitar atau kehidupan lingkungan dengan melalui proses kontemplasi. Adapun karya seni dapat berupa gerak, suara, tulisan, benda, dan sebagainya.
Di pihak lain, kebutuhan akan keindahan merupakan fithrah manusia, yang merupakan anugrah dari Tuhan. Karena Islam sesuai dengan fithrah manusia, sedangkan seni itu fithrah manusia, maka dengan sendirinya berseni dibenarkan oleh Islam. Seni merupakan cabang kebudayaan, dan kebudayaan adalah kehidupan, sedangkan kehidupan itu pemberian Tuhan. Adapun kesenian merupakan bagian dari kehidupan dan kehidupan merupakan nikmat dari Tuhan, maka tidak mungkin diharamkan Tuhan (Idris,1983: 91; lihat Anshari, 1986: 154). Artinya, seni atau berseni itu dapat dibenatkan, boleh-boleh saja.
Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Musa, “Sesungguhnya kamu telah diberi seruling dari seruling-seruling keluarga Dawud.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi). Juga Rasulullah saw. tidak menampakkan sikap tidak senang ketika beliau melewati sekelompok orang yang sedang menari, bahkan bersabda: “Menarilah dengan sebaik-baiknya wahai Banu Arfidah, agar orang-orang Yahudi dan Nashrani dapat menyaksikan, bahwa agama kita sesungguhnya memberi keleluasaan.”
Adapun mengenai adanya larangan dari sebagian ulama dalam menciptakan patung ataupun lukisan, maka sebenarnya jika kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an mengenai berhala dan penyembahannya kita akan menemukan, bahwa larangan itu ditujukan langsung terhadap perbuatan syirik yakni penyembahan berhala yang mempertuhankannya di samping Allah saat itu (lihat asbabun nuzul-nya). Hal ini tersurat dalam firman Allah: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar: …..’Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?” (Q.S. al-An’am: 74), dan dalam ucapan Ibrahim: “Hai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (Q.S. Maryam: 42).
Dengan kata lain, menciptakan karya seni berupa patung (baik dari kayu, perunggu, emas, maupun batu) ataupun lukisan, sepanjang tidak dimaksudkan untuk disembah, maka hukumnya sama seperti karya seni yang lain dapat dibenarkan. Berkarya seni patung atau lukisan itu secara otomatis berubah menjadi dilarang ketika karya seni itu disalahgunakan untuk disembah atau dipertuhankan; atau karya seni/ dalam berseni cenderung ke arah destruktif baik terhadap penikmat maupun senimannya.

4. Mengekpresikan Seni dalam Islam
Deskripsi di atas menjelaskan bahwa kesenian merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi manusia. Karena, ia berhubungan dengan perasaan dan emosi masyarakat. Ia juga membangun kecenderungan, selera, dan orientasi kejiwaan masyarakat dengan berbagai instrumen/ perangkat yang dapat didengar, dibaca, dilihat, dirasakan, dan direnungkan. Masalahnaya sekarang adalah bagaimana cara mengekspresikan karya seni yang sejalan dengan ajaran Islam?
Seni, tidak ubahnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat dipergunakan untuk maksud kebaikan, pembangunan, dan pencerahan (konstruktif), namun dapat pula dipakai untuk maksud kejahatan dan perusakan (destruktif). Jadi, seni dapat menjadi wahana untuk mengeskpresikan hasil kreativitas yang pada gilirannya dapat semakin mendekatkan sang seniman dan penikmatnya kepada Tuhan. Namun, dapat pula berseni jika tidak hati-hati, tanpa disadari atau disadari dapat menjadi media untuk menuangkan hasil kreativitasnya dalam bentuk karya seni yang dapat membuat sang seniman dan penikmatnya semakin jauh dari Tuhan (Imron A.M., 1998).
Dengan demikian, berseni dapat menimbulkan dampak positif baik bagi seniman maupun penikmatnya, dapat pula berdampak negatif. Di sinilah letak kadar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat akan dapat dinilai. Berseni selayaknya dapat mengekspresikan dimensi transendental –perpaduan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan—ke dalam bentuk karya seni yang indah, yang mampu membangkitkan perasaan keindahan, mengetuk hati nurani, dan memperkaya khasanah batin manusia. Sehingga, berseni berarti berkreasi seni yang dapat memperhalus akal budi, mengasah dan mempertajam kepekaan (sensitivitas) perasaan kita terhadap sesama dan lingkungan kita. Bukan sebaliknya, berseni justru membangkitkan selera rendah, merangsang nafsu hewani dan meracuni hati nurani. Yang terakhir inilah berseni yang harus dihindari.

5. Mencari Landasan Hukum Berseni
Berangkat dari fungsi seni sebagai media untuk mengekspresikan kreativitas sekaligus menyampaikan dan/ atau mencapai maksud tersebut, maka hukum seni itu mubah sepanjang cara pelaksanaannya (kaifiyah-nya) tidak menyalahi (bertentangan) dengan ajaran Islam (Idris, 1983: 93). Jika secara substanstif dan pragmatik (pelaksanaannya) seni dipakai untuk sesuatu yang halal, maka halal pula hukumnya. Sebaliknya, jika seni digunakan dalam hal-hal yang haram, maka haram pula hukumnya. Hal ini berdasarkan pada suatu kaidah, bahwa sesuatu yang diharamkan dalam Islam pada hakikatnya disebabkan oleh salah satu atau beberapa dari lima unsur penyebab, yakni: merusak agama, merusak jiwa (moral, batin), merusak kehormatan, merusak harta benda, dan merusak keturunan.
Dalil-dalil tersebut semakin memperkuat kesimpulan, bahwa berseni –dengan aneka bentuk dan genrenya-- menurut Imam Malik (dalam Idris, 1985: 92) dalam Islam hukumnya adalah mubah, tidak haram, selama substansi seni dan cara mengekspresikannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Dan, jika berseni disertai dengan hal-hal yang haram –termasuk lima unsur penyebab di atas--, maka hukumnya menjadi haram pula. Jadi, berseni menjadi haram hukumnya jika berseninya itu terikat oleh al-Malahi (segala sesuatu yang membuat orang lupa kepada Allah), al-Khamar (minuman keras/ beralkohol), al-Qainat (cabul, erotis, mengumbar aurat), dan asy-Syirik (jiwa kemusyrikan, penghambaan pada makhluk) (bandingkan dengan Abdullah bin Nuh, dalam Idris, 1985: 93). Kaidah Ushul Fiqh menyatakan:

“Mencegah adanya kerusakan atau bahaya lebih didahulukan daripada maksud menarik adanya kebaikan.” (dalam Idris, 1983: 93).

6. Etika Berseni
Istilah etika, moral, dan akhlak sering dipakai secara bersamaan, dan makna etimologisnya sama, yakni adat, kebiasaan, perangai, dan tabiat. Hanya saja ketiganya berasal dari bahasa yang berbeda, masing-masing dari bahasa Yunani ethos (jamaknya ta etha), bahasa Latin mos (jamaknya moses), dan bahasa Arab khuluq (jamaknya akhlaq) (Bertens, 1994: 4-5). Namun, ketiganya memiliki sisi universal yang sama yakni mengarah pada konsep benar (right), salah (wrong), baik (good), dan buruk (bad) (Intyre dalam Tafsir dkk., 2002: 12).
Moral dipahami sebagai ajaran, khutbah, dan patokan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral dapat meliputi: agama, tradisi/ budaya, adat istiadat, dan ideologi tertentu (Suseno, 1987: 14). Maududi (1971: 19) membagi moral menjadi dua yakni moral religius yang mengacu pada agama dan sumber ajarannya, dan moral sekuler yang bersumber pada ideologi-ideologi non-agama.
Akhlak dari bahasa Arab akhlaq dari bentuk jamak khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, dan tabiat. Menurut Imam Al-Ghazali, “akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan” (dalam Ilyas, 1999: 2). Jika mengacu pendapat Maududi di atas, maka akhlak termasuk moral religius.
Etika dalam bahasa Inggris ethic berarti system of moral principles atau a system of moral standard values (Neufeld (Ed.), 1999: 400). Jadi secara singkat etika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral). Etika adalah ilmu yang membahas baik dan buruknya tindakan manusia, bukan sah dan tidak sahnya tindakan manusia. Etika hanya menyoroti tindakan manusia yang disengaja, yakni tindfakan yang dihasilkan oleh oleh kehendaknya, tindakan yang telah dipikirkan sebelumnya (Dardiri, 1986: 21). Dan, seperti halnya akhlak, secara etimologis etika juga memiliki makna yang sama dengan moral. Namun, secara terminologis etika memiliki makna yang lebih luas daripada moral, sebab etika memiliki tiga posisi yakni sebagai sistem nilai, kode etik, dan filsafat moral (Bertens, 1990: 6).
Sebagai sistem nilai, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam posisi inilah sebagian besar makna etika dipahami sehingga muncullah ‘Etika Islam’, ‘Etika Barat’, dan sebagainya. Dalam posisi ini pula makna etika sama dengan moral. Dan, dalam pengertian inilah etika dalam tulisan ini dipahami. Jadi, etika dalam tulisan ini adalah keseluruhan norma dan nilai yang dirujuk oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana seseorang seharusnya menjalani kehidupannya; bagaimana membawa diri, dan sikap-sikap dan tindakan mana yang harus dilakukan seseorang agar hidupnya sukses.
Etika merupakan sifat yang tumbuh dan berkembang menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku/ perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, pemaaf, kasih sayang, dermawan, suka menolong, adil, bijaksana atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki sehingga memutuskan silaturrahim, pelit, dan zhalim.
Berdasarkan pengertian etika di atas, maka etika berseni diartikan sebagai tata cara yang mengatur perilaku dalam berkreasi/ berkarya seni dalam bentuk dan genre seni apapun. Dalam hal ini, sesuai dengan motto “UMS: Wacana Keilmuan dan Keislaman”, maka tentu saja etika berseni di sini adalah etika yang selaras dengan ajaran Islam (moral religius). Etika berseni di sini berlaku baik pada proses penciptaan karya maupun dalam penyajian karyanya. Misalnya: penyanyi yang sedang menyanyikan lagu, penyair ketika sedang menulisdan membaca puisi, atau karyanya itu sendiri misalnya berupa lagu, puisi/ novel, patung, dan sebagainya.
Uraian di atas membuktikan bahwa Islam mendorong umatnya untuk menikmati dan menciptakan karya seni baik nyanyian, musik, sastra, lukisan, arsitektur, ornamen, patung, maupun tarian sebagai refleksi atas objek yang dihadapinya. Seni juga dapat merupakan bentuk ekspresi pikiran dan perasaan bahkan terkadang sebagai ekspresi rasa syukur kita atas nikmat Ilahi pada kita. Masalahnya, bagaimana etika berseni menurut Islam?
Berkarya seni, menurut Islam dapat merupakan formulasi ibadah jika memenuhi kriteria: (1) Ikhlash sebagai titik tolak; (2) Mardhatillah sebagai titik tuju; dan (3) Amal shalih sebagai garis amal. Oleh karena itu, karena seni merupakan bagian dari kehidupan manusia, maka tujuan berseni bagi seorang Muslim tidak lain adalah (untuk mencapai) kebahagiaan spiritual dan material di dunaia dan akhirat (Q.S. al-Baqarah: 210). Sehingga, seorang Muslim yang baik yang berkreasi seni pada hakikatnya adalah: (1) melaksanakan tugas ibadah dan (2) menunaikan fungsi Khilafah (lihat Anshari, 1986: 154). Dengan sendirinya, dalam berseni pun mesti memakai etika sejalan dengan ajaran Allah.
Islam memberikan beberapa kriteria dalam berseni. Seperti dikatakan di muka, kaidah utama berseni yang Islami –sesuai dengan etika Islam-- itu harus memberikan manfaat bukan malah mendatangkan madharat, destruktif terhadap moral/ mental orang yang menikmati, atau bahkan yang menciptakannya.
Berdasarkan pemikiran itu, maka dalam berseni seorang Muslim harus memperhatikan etika Islam. Paling tidak ada lima kriteria atau pedoman etika yang harus diperhatikan sebagai acuan dalam berseni. Lima kriteria itu, menurut Qardhawi (1999: 67-73), dapat dijadikan barometer apakah suatu karya seni atau berseni dapat digolongkan mubah atau haram hukumnya. Lima kriteria etika berseni yang Islami itu antara lain:
6.1 Substansi/ isinya sesuai dengan ajaran Islam.
Karya seni, dari segi substansi/ isinya harus sesuai dengan ajaran dan etika Islami. Ajaran Islam sangat luas namun intinya ada dua yakni dimensi Ilahiyah dan dimensi Insaniah, memadukan aspek ketuhanan dan kemanusiaan. Apa pun jenisnya: lagu, sastra, drama/ teater, tarian, patung, lukisan, dan lain-lain, esensi karya seni Islami tidak bertentangan dengan ajaran atau akhlak Islami. Oleh karena itu, nyanyian yang membakar rasa permusuhan, mensosialisasikan judi, minuman keras, dan membincangkan seksualitas dan bagian sensitif perempuan/ laki-laki, itu jelas tidak Islami. Misalnya, lagu-lagu populer atau ndhang dhut yang kini banyak diperdengarkan di radio dan terlebih acara ndhang dhut akhir-akhir ini yang ditayangkan di televisi melalui sajian goyang ngebor bersama Inul dan Inul-inul lainnya (pengekor Inul), sebagian besar berselera rendah yang membangkitkan nafsu birahi. Jika itu terjadi, maka dapat beralihlah nyanyian itu dari hukum boleh kepada hukum haram, syubhat, atau makruh.
Allah mengingatkan kita: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah menahan pandangannya…” (Q.S. an-Nur: 30). “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah menahan pandangannya…” (Q.S. an-Nur: 31).

6.2 Penyajian dan dan gaya penampilannya harus Islami.
Dalam berseni, penampilan dan gaya menyajikannya harus memenuhi nilai-nilai moral Islam, atau akhlaqul karimah. Nyanyian misalnya, tidak boleh dicampur dengan perilaku yang haram. Ia tidak disertai memamerkan aurat dan/ atau keseksian perempuan dan laki-laki, menonjolkan bagian yang sensitif tubuh perempuan dan/ atau laki-laki, menyertakan erotisme yang mendorong perbuatan amoral, berpelukan bersama lelaki-perempuan yang bukan muhrimnya, dan sebagainya (lihat Baghgdadi, 1995: 66). Dalam menyanyi misalnya, mungkin isi/ syair lagunya biasa saja, tetapi cara menyanyikannya dengan dengusan erotis dan rintihan sensual, penampilan dan gaya sedemikian rupa sehingga membangkitkan nafsu birahi atau menerbitkan rangsangan seksual serta meracuni hati.
Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Janganlah kamu tunduk (dibuat-buat, dilembut-lembutkan) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S.al-Ahzab: 32).
6.3 Dalam menyajikan karya seni tidak disertai benda haram.
Seni dan berseni memang boleh dan sah-sah saja. Namun, dalam menyajikan karya seni tidak boleh disertai dengan sesuatu atau benda yang haram, seperti minum khamr (minuman keras) atau mabuk-mabukan, mengkonsumsi NARKOBA (ekstasi, sabu-sabu, dan jenis lainnya) sehingga mengalami fly ‘melayang-layang’ tak terkontrol, dan sebagainya. Inilah gambaran yang segera terlintas ketika kita menyebut pentas musik dan lagu, khususnya jika penyanyinya perempuan. Hal ini pula yang diingatkan Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Sungguh, akan ada beberapa orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamainya dengan nama lain, di atas mereka ditabuhkanlah instrumen musik dan dipertontonkan biduanita-biduanita. Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan mereka kera dan babi” (H.R. Ibnu Majah).
6.4 Tidak berlebihan dalam penyajian kreasi seni.
Berkreasi seni sebagai ekspresi perasaan dan pikiran sejauh apa pun dalam Islam diperbolehkan, asalkan karya seni atau dalam menyajikan kreasi seni itu tidak berlebih-lebihan. Semua hal, yang hukumnya mubah –termasuk berseni--, jika dibawakan dengan berlebih-lebihan, maka akan dapat berubah menjadi haram. Misalnya, lagu-lagu populer yang berbicara tentang cinta dan kerinduan kepada lawan jenis atau bahkan ungkapan birahi terhadap kekasih yang sering dinyatakan secara berlebih-lebihan. Perlu dipahami, bahwa manusia hidup tidak hanya berurusan dengan cinta belaka, sedangkan cinta itu sendiri tidak hanya untuk perempuan, dan perempuan itu tidak hanya terdiri atas jasad dan nafsu syahwat belaka. Karena itu, nyanyian yang hanya mengeksploitasi seks atau selera rendah semacam itu hendaknya dihindari. Kita harus adil dan seimbang dalam mengatur kehidupan kita antara hiburan, bekerja, dan kegiatan lainnya. Perasaan manusia juga beragam: cinta, rindu, cemburu, tetapi juga perasaan adil, kemanusiaan, perasaan sosial, dan pendidikan akhlak, intelektual, dan lain-lain.
6.5 Dalam berseni (isi dan penyajiannya) dikembalikan kepada hati nurani.
Islam merupakan agama paling modern yang sangat luas ajarannya. Berkreasi seni itu baik isi maupun pembawaan, penampilan, dan penyajiannya, maka mubah atau haramnya dapat dikemba-likan kepada hati nurani masing-masing. Bukankah hati nurani kita tidak pernah berbohong?. Jika karya seni dapat menimbulkan nafsu syahwat, melambungkan khayalan mengenai selera rendah, menerbitkan pikiran yang ngeres-ngeres, dan menjadikan naluri hewani dominan atas sisi ruhaninya, hendaklah kita menjauhi seketika itu juga. Lebih baik kita berhati-hati, kita tutup pintu fitnah rapat-rapat daripada kita kecolongan atau terperangkap di dalam nafsu syathaniyah.

7. Seni Relegius
Seni relegius merupakan karya seni yang substansinya mampu mendekatkan penikmat dan/ atau seniman kepada Tuhan selaku Dzat yang Mahaindah, yang menciptakan alam semesta dengan segala keindahananya. Jadi, seni relegius yang sering disebut juga seni transendental adalah karya seni yang mampu memadukan dimensi Ilahiyah dengan dimensi insaniyah; relegiusitas dengan humanitas; ketuhanan dengan kemanusiaan. Genre seni demikian mampu memperkaya khazanah batin manusia dan menyentuh hati (qalb) dan pikiran (fikr) manusia. Dan, seni relegius menyadarkan eksistensinya sebagai makhluk yang pada pada gilirannya akan mendekatkannya kepada Sang Khalik.
Berangkat dari definisi di atas, materi atau substansi seni relegius tidak harus berupa ajaran Islam yang bersifat formal (rukun iman, rukun Islam, perintah dan larangan), terlebih berbahasa Arab, melainkan apa saja yang dapat menggelitik pikiran atau menyentuh batin manusia untuk menuju pada kedekatan insan (makhluk) dengan Tuhan Allah (Khalik). Kita dapat merasakan, terkadang lagu-lagu Qasidah (misalnya Nasyida Ria, Raehan, Snada, dan lain-lain), musik Rebana atau Hadrah yang sarat ajaran Islam formal, belum tentu lebih Islami ketimbang lagu-lagu Ebiet G. Ade, Bimbo, Rhoma Irama, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dengan Kyai Kanjengnya; puisi Amir Hamzah, Taufik Ismail, dan Rendra; cerpen/ novel A.A. Navis, Danarto, Ramadhan K.H., dan Kuntowijoyo yang religius bahkan sufistik. Demikian pula lukisan Jeihan, M. Sadeli, dan Amry Yahya, sangat religius meskipun tak eksplisit atau vulgar warna Islamnya. Juga film/ sinema karya Chairul Umam, Syu’bah Asa, Eros Djarot, adalah karya seni yang mampu mengajak kita berkontemplasi dengan membaca fenomena kehidupan yang akhirnya bermuara pada eksistensi insani dan keagungan Ilahi.
Sebagai ilustrasi cobalah kita simak sepenggal syair lagu Ebiet G. Ade berjudul "Untuk Kita Renungkan" berikut.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat
Oh… singkirkan debu yang masih melekat
Du… du… du…

Anugrah dan bencana adalah kehendak-Nya
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cambuk kecil agar kita sadar
Adalah Dia di atas segalanya
Oh….. adalah Dia di atas segalanya.

Anak menjerit-jerit asap panas membakar
Lahar dan badai menyapu bersih
Ini bukan hukuman hanya satu isyarat
Agar kita mesti banyak berbenah

Memang bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan masih banyak tangan
Yang tega berbuat nista Oh…..

Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang kita perbuat
Ke manakah lagi kita ‘kan sembunyi
Hanya kepada-Nya kita kembali
Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari kita runduk sujud pada-Nya
Du… du… du… hm… hm… hm…

Perhatikan pula sebuah kalimat dalam novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. berikut ini:
“Di malam gelap-gulita seseorang membutuhkan seekor kunang-kunang.”

Demikian pula sebait puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah:

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu.
……………………..

Rasakan pula sentuhan perasaan Abdulhadi W.M. dalam puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” berikut ini:

Tuhan
Kita begitu dekat
Bagai api dan panasnya

Tuhan
Kita begitu dekat
Bagai kain dan kapasnya

Tuhan
Kita begitu dekat
Bagai laut dan anginnya

Tuhan
Kita begitu dekat.
Kini aku nyala
Pada lampu padammu.

Seni budaya Islam yang selama ini terkesan statis atau tradisional dan identik dengan seni kaum santri atau sarungan yang cenderung menampilkan ajaran Islam secara formal dan normatif (bahkan sering vulgar), seperti qasidah yang selalu mendendangkan syair-syair berbahasa Arab, atau syair-syair berbahasa Indonesia yang berisi ajaran Islam formal (rukun iman, rukun Islam, perintah dan larangan tanpa dikemas dengan stilistika yang baik), sudah saatnya segera didekonstrusi dan selanjutnya direkonstruksi dalam seni modern yang mengglobal. Cak Nun, Taufik Ismail, Bimbo, dan Ebiet G. Ade, adalah beberapa profil seniman yang mencoba mengaktualisasikan kembali nilai Islam dalam seni yang indah dan enak dinikmati, meski ajaran Islamnya tak eksplisit. Karya-kara mereka ini terkadang justru lebih menggelitik, menyayat, dan menyentuh perasaan religiusitas kita ketimbang karya seni/ lagu-lagu dan musik qasidah yang vulgar mengkhutbahkan ajaran Islam formal. Karya-karya seni ciptaan Cak Nun, Taufik Ismail dan kawan-kawan tersebut mampu mengelus, mengusap, dan membelai-belai perasaan Ilahiyah kita, sehingga kita serasa bangkit perasaan religiusitaskita. Karya religius semacam itu mampu membuat kita serasa dekat sekali dengan Ilahi yang Mahatinggi, meski kita tidak harus membaca atau mendengar ayat-ayat al-Quran atau hadits Nabi yang secara harfiah. Justru di nilah letak kekuatannya: menyentuh lembut nurani manusia.

8. Penutup
Mengakhiri pembicaraan mengenai etika berseni dalam Islam, maka perlu digarisbawahi bahwa Islam pada dasarnya mendorong umatnya untuk berkreasi seni. Berseni hukumnya mubah, kita boleh saja berkreasi sejauh dan sekreatif apa pun tidak dilarang. Asalkan, isi/ substansi seni dan cara berseni atau membawakannya sesuai dengan etika Islami.
Prinsip utama berseni dalam Islam adalah seni atau berkreasi seni harus konstruktif (mencerahkan, bermanfaat) bukan destruktif (madharat, merugikan) dari segi moral spiritual bagi penikmat dan/ atau penciptanya. Jika berseni sesuai dengan ajaran Islam, baik substansi maupun cara membawakannya, maka berseni akan dapat menjadi ibadah kepada Allah swt. sekalighus sebagai perwujudan tugas kita sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Seni relegius menawarkan alternatif nilai-nilai yang memperkaya batin manusia dengan dimensi Ilahiyah, tanpa harus mengkhutbahi penikmatnya. Seni Islami mengajak penikmatnya melakukan kontemplasi secara intensif sehingga mampu mendekatkannya kepada Sang Khalik. Seni hakiki berfungsi “mencerahkan” kehidupan manusia sehingga turut menebarkan rahmatan lil ‘alamin, bukan menebar laknat bagi alam semesta.


Daftar Pustaka:

Anshari, Endang Syaifuddin. 1986. Kuliah Al-Islam. Jakarta: Rajawali.

Anwar, Wadjiz. 1985. Filsafat Estetika. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Gie, The Liang. 1983. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Supersukses.

Idris, Taufiq. 1983. Mengenal Kebudayaan Islam. Surabaya: Bina Ilmu.

Imron A.M., Ali. 1998. “Kebudayaan Tauhid Sebuah Pencarian Paradigma Profetik” dalam Jurnal
Akademika Universityah Muhammadiyah Surakarta No. 2 Tahun XV.

Jabbar, M. Abdul (Ed.). 1988. Seni dalam Peradaban Islam (Terj. Yustiono dan Edy Sutriyono).
Bandung: Pustaka.

Jassin, H.B. 1978. Al-Qur’anul Karim: Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.

Qardhawi, Yusuf. 1998. IslamBicara Seni (Terj. Wahid Ahmadi dkk.). Solo: Intermedia.

____________________
*) Digelar dalam Diskusi “Seni dan Budaya” oleh Unit Seni dan Film Univ. Muhammadiyah Surakarta tanggal 20 Desember 2003 di Bumi Perkemahan Indra Prasta Boyolali.

ooOoo

1 komentar: