Jumat, 13 Mei 2011

REMAJA MUSLIM: ANTARA KULIAH, ASMARA, DAN NIKAH:

REMAJA MUSLIM: ANTARA KULIAH, ASMARA, DAN NIKAH:
Etika Pergaulan Laki-laki dan Perempuan *)
Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

1. Pengantar
Akhlak Islam merupakan perangkat tata nilai bersifat samawi dan azali, yang mewarnai cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang muslim terhadap dirinya, terhadap Allah dan Rasul-Nya, terhadap sesamanya, dan terhadap alam lingkungannya. Samawi berarti bahwa akhlak Islami bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedangkan azali berarti bahwa akhlak Islam tersebut bersifat tetap, tidak berubah, walaupun tata nilai atau norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat berubah sesuai dengan dinamika zaman (Salim, 1985: 11).
Dalam ajaran Islam, akhlak menduduki posisi paling sentral. Akhlak yang baik dan mulia akan mengantar seseorang pada kedudukan terhormat dan posisi yang tinggi. Sebaliknya, akhlak yang buruk akan mengantarkan seseorang pada kedudukan dan posisi yang rendah dan tercela. Demikian pentingnya akhlak bagi kehidupan manusia, sehingga perbaikan dan penyempurnaan akhlak manusia merupakan missi utama Muhammad Saw. sebagai utusan Allah Swt. di dunia. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah Swt. di dunia ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (H.R. Baihaqi dari Abu Hurairah)

Akhlak bahkan menjadi barometer kualitas keimanan seseorang. Artinya, kesempurnaan iman seseorang dilihat dari kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Karena itu, pada kesempatan lain Rasulullah Saw. bersabda:

“Sebaik-baik iman orang mukmin adalah yang sangat mulia akhlaknya”
(H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Demikian vitalnya akhlak bagi kehidupan manusia, bahkan kehidupan bangsa. Karena itu, tidak berlebihan jika pujangga besar Syauqy Beik melukiskan tentang urgenitas akhlak bagi kehidupan bangsa dalam sebuah syairnya yang diterjemahkan Hamka menjadi:
“Tegak rumah karena sendi
runtuh sendi rumah binasa
Tegak bangsa karena budi
Rusak budi runtuhlah bangsa

Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan berkembang menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku/ perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, pemaaf, kasih sayang, dermawan, adil, bijaksana atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki sehingga memutuskan silaturrahim, pelit, dan zhalim, .

2. Adab Pergaulan Pria-Wanita dalam Islam
Di samping mengajarkan bagaimana akhlak dalam pergaulan masyarakat, Islam mengajarkan secara khusus mengenai akhlak pergaulan pria-wanita. Dalam hal pergaulan pria dan wanita, khususnya para pemuda/ remaja dalam proses “pencarian dan penemuan calon jodoh”, Islam mengatur dengan tiga tahapan yakni ta’aruf, khitbah, dan nikah. Hal ini untuk mencapai tujuan mulia berkeluarga yakni terciptanya sebuah mahligai rumah tangga nan “tenteram bahagia, penuh cinta, dan kasih sayang” di dalam keluarga. Dalam terminologi Islam digambarkan dengan istilah: sakinah, mawaddah warahmah, seperti tersurat dalam Q.S. ar-Rum: 21:

“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan istri-istri (jodoh) bagimu dari kalangan kamu sendiri, supaya kamu dapat hidup tenteram bersamanya, dan diadakanNya cianta dan kasih sayang antara kamu. Sungguh dalam hal demikian terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mau berpikir.”

Berikut akan dijabarkan tiga tahapan tadi, yakni: ta’aruf, khitbah, dan nikah.
2.1 Ta’aruf (Perkenalan)
Pada zaman modern, pria dan wanita lazimnya bergaul untuk saling mengenal (ta’aruf) dan membina hubungan baik. Mereka yang bergaul dalam rangka menjelang pernikahan atau memasuki bahtera kehidupan bersama, banyak yang merasa perlu terlebih dulu ‘menjalin kedekatan hati’ (“berpacaran”) dengan calon istri/ suaminya. Maksudnya, agar mereka dapat lebih mengenal dan memahami calon pasangan hidupnya guna membangun mahligai rumah tangga yang akan dibina kelak dan tidak berantakan bagai neraka karena timbulnya ketidakcocokan satu dengan lainnya.
Pacaran sama sekali bukanlah tradisi Islam. Pacaran merupakan tradisi masyarakat Barat (sekuler), sehingga wajar jika pacaran sering menjurus pada perilaku yang negatif atau melanggar etika Islam. Bahkan, jika tidak dapat mengendalikan diri tidak sedikit yang terjerumus ke dalam jurang perzinaan (hubungan seks pranikah) yang jelas-tegas dilarang keras oleh Islam sebagai perbuatan yang tercela, keji, dan sejelek-jelek jalan (fakhisah dan wasaa-a sabiila). Dalam hubungan pria-wanita itu Islam memberikan batas-batas tertentu yang perlu diperhatikan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Ada enam hal yang perlu diperhatikan dalam menjalin hubungan antara pria-wanita (Faridl, 1997: 144-147), yang dalam bahasa populer (sekuler)-nya adalah “berpacaran” atau lebih tepatnya “proses mencari jodoh” (‘masa pengembaraan spiritual’?).
(1) Tidak berpandangan mata secara bebas
Jika pria dan wanita bertemu, maka keduanya tidak dibenarkan saling berpandangan secara bebas. Dalam Q.S. an-Nur: 30-31 Allah menegaskan agar baik pria maupun wanita menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya; kemudian wanita hendaklah menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya, dan muhrimnya.



Diterangkan dalam hadits:
Sahabat Buraidah r.a. berkata, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Ali r.a.: “Ya Ali, janganlah kamu ikutkan satu pandangan dengan pandangan yang kedua, karena sesungguhnya bagi kamu pandangan yang pertama, dan tidak bagi kamu pandangan yang kedua” (H.R. Imam Ahmad, Turmudzi, dan Al-Hakim).

(b) Tidak berkata atau berbuat sesuatu yang dapat menjurus kepada zina
Islam mengajarkan kepada kita agar kita menjauhi perbuatan zina; kita dilarang mendekati zina, terlebih melakukannya. Perbuatan-perbuatan yang dimaksud mendekati zina misalnya berduaan di tempat sepi, bercengkerama di kamar, berciuman, dan lain-lain perbuatan yang dapat menimbulkan daya rangsang seks. Sebab, sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan hina, bahkan jalan yang sangat jelek (Q.S. al-Isra’: 32).

(c) Tidak ber-khalwat
Pria dilarang ber-khalwat (berdiam berduaan sekamar atau di tempat sunyi-sepi) dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena pihak ketiganya adalah syetan, kecuali jika ia muhrimnya (H.R. Ahmad). Rasulullah Saw. juga bersabda:
“Jauhilah berkhalwat dengan wanita. Demi (Allah) yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berkhalwat seorang pria dengan seorang wanita kecuali syetan akan masuk di antara keduanya.” (H.R. Thabrani)

(d) Tidak pergi berduaan tanpa disertai muhrimnya
Wanita tidak dibenarkan bepergian jauh berduaan dengan pria tanpa disertai oleh muhrimnya. Seperti sabda Rasulullah Saw. berikut:


“Tidak halal bagi wanita beriman bepergian yang menempuh perjalanan sehari-semalam atau lebih, kecuali jika bersama muhrimnya.” (H.R. Muttafaq ‘Alaih)

(e) Tidak saling melihat aurat
Pria tidak boleh melihat aurat pria lain, wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain, dan pria dilarang melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya. Karena, pada dasarnya aurat orang lain (di luar muhrimnya) itu hukumnya haram dilihat.
(f) Tidak berjabatan tangan
Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa untuk lebih menyempurnakan salam dan menguatkan tali ukhuwah, sebaiknya ucapan salam diikuti dengan berjabat tangan. Namun, anjuran berjabat tangan tidak berlaku bagi pria-wanita kecuali dengan suami/ istrinya atau muhrimnya. Rasulullah Saw. ketika membai’at wanita muslimat, tidak pernah menjabat tangan mereka (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Nasa’i).

2.2 Khitbah
Dalam menjalin hubungan dekat pria-wanita, lazimnya orang memadu cinta kasih dalam kisah kasih mesra, bergaul teramat akrab penuh kesyahduan antar-keduanya. Mereka terkadang pergi bersama, berjalan berdua, melihat bioskup, rekreasi, berwisata, dan lain-lain. Jika tidak hati-hati dan waspada, mereka dapat terjebak dalam jurang perzinaan yang dilarang Allahj Swt. Karena itu, sesungguhnya berhubungan akrab pria-wanita demikian (baca: pacaran) bukan tradisi Islam. Sistem berpacaran tidak dikenal dalam Islam. Satu-satunya proses menjelang perkawinan/ pernikahan yang dikenal dalam Islam adalah Khitbah, yakni meminang atau melamar, yang hukumnya Mubah (boleh).
Orang yang melamar diberi sedikit ‘dispensasi’ untuk melihat wanita yang dilamar, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini disabdakan Rasulullah Saw.:

“Bila salah seorang di antara kamu meminang wanita, jika ia sanggup melihat apa yang menariknya untuk mengawininya, hendaklah ia kerjakan.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud).

Menurut para ulama, yang boleh dilihat dalam rangka khitbah itu hanyalah sekedarnya saja, yakni wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan. Alasannya, karena melihat wanita bukan muhrimnya itu hukum aslinya haram Jadi, hal itu hanya diperbolehkan karena ada suatu hajat darurat.

2.3 Nikah
Jika lamaran itu diterima oleh yang dilamar, tindak lanjutnya adalah melaksanakan pernikahan antar-keduanya, tanpa didahului dengan sistem berpacaran atau bertunangan yang merupakan produk budaya sekuler itu. Inilah budaya Islam.
Dalam memilih calon istri atau suami, Islam mengajarkan hendaknya didasarkan pada kriteria yang tepat dan benar, yakni mengutamakan norma agama atau akhlak, bukan norma-norma yang lain seperti kecantikan, kekayaan, pangkat, kedudukan, keturunan, dan sebagainya. Rasulullah Saw. bersabda:

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya,
dan karena agamanya. Tetapi ambillah wanita yang memiliki agama supaya beruntung
hidupmu” (H.R. Bukhari-Muslim).

Dalam Hadits lain diterangkan, Rasulullah bersabda:
“Janganlah kamu kawini wanita-wanita itu karena kecantikannya, karena mungkin kecantikannya itu akan merendahkan mereka sendiri. Dan jangan pula kamu kawini mereka itu karena kekayaannya, karena mungkin kekayaannya itu akan menyebabkan mereka sombong. Tetapi kawinilah mereka dengan dasar agama. Sesungguhnya budak wanita yang hitam kulitnya yang memiliki agama itu lebih baik (kamu kawini daripada lainnya)”
(H.R. Baihaqi).
Jika dasar agama atau akhlak ini yang menjadi landasan utama dalam memilih jodoh, insya’Allah ini merupakan jaminan bahwa jodoh yang akan menjadi pasangan hidupnya adalah jodoh yang baik dan ideal, kuat imannya dan luhur budi pekertinya. Dan, ini merupakan semacam sistem pengenalan (ta’aruf) terhadap calon istri/ suami, tanpa harus melalui proses pacaran –yang sering menjurus ke arah perzinaan-- yang sangat dikutuk oleh ajaran Islam.
Pada umumnya orang yang berpacaran sulit untuk mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat disebut sebagai mendekat-dekat pada zina yang berdosa itu. Selain itu, pacaran juga tidak dapat menjamin bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan pasti kekal dan bahagia. Sebab, kebahagiaan dan kelestarian sebuah mahligai rumah tangga/ keluarga sangat bergantung kepada bagaimana cara mereka (suami-istri) memanaj rumah tangganya. Bagiaman mereka berdua, dua anak manusia yang berasal dari dua keluarga yang berbeda kultur, tabiat, mungkin juga berbeda status sosial ekonomi, pendidikan, dan keteurunan –meskipun yang terakhir tadi tidak teramat penting--.
Tegasnya, bagaimana suami-istri dapat saling menyayangi, dengan memahami, saling pengertian, saling jujur dan terbuka, saling menghormati, dan yang terpenting saling mau berkorban demi menjaga perasaan masing-masing. ‘Tidak ada cinta tanpa adanya pengorbanan’, kata pepatah cinta. Jadi, keduanya mesti dapat saling menerima pasangannya ‘apa adanya’ dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebab tidak manusia yang sempurna. Dan, yang sangat utama dan vital: keduanya mesti harus dapat ‘mengalahkan ego’ masing-masing. Itu berarti keduanya harus saling mau berkorban tadi dengan mau ‘saling mengalah’, bukan ‘mau menangnya sendiri dan bukan pula ‘mau benarnya sendiri’. Itulah hakikat cinta dan kasih sayang.
Rasulullah pernah memberikan contoh untuk ‘saling mencari kesalahan padadiri sendiri’ ketika Siti Aisyah dengan wajah malu minta maaf kepada Rasulullah Saw., bahwa dialah yantg bersalah sampai-sampai tidak tahu jika Rasulullah tidur di teras rumahnya, karena pulang larut malam. Mereka tidak saling mencari kebenaran masing-masing, melainkan justru saling mencari kesalahan masing-masing/ dirinya sendiri. Rasualullah dan Aisyah tidak saling menyalahkan pasangannya, melainkan justru saling menyalahkan dirinya sendiri. Inilah yang disebut ‘cinta karena Allah’, artinya cinta kepada pasangannya yang didasari oleh rasa cinta kepada Allah. Inilah barangkali yang disebut cinta hakiki.
Realitas membuktikan bahwa betapa banyak perkawinan/ rumah tangga yang sebelumnya telah melalui proses pacaran selama sekian bulan atau bahkan sekian tahun, akhirnya toh harus berakhir dengan perceraian. Sebuah malapetaka yang dapat meluluhlantakkan bahtera rumah tangga sekaligus cita-cita hidup. Berdasarkan pengamatan dalam kehidupan masyarakat dan catatan di KUA, --selain karena salah satu menyeleweng (serong) atau PIL/ WIL, itu pun biasanya juga karena keduanya tidak saling jujur dan terbuka-- pada umumnya perceraian terjadi karena suami dan istri saling mempertahankan ego masing-masing dan yang lebih berbahaya lagi biasanya karena ‘mempertahankan prestis’ masing-masing secara berlebihan. Jika demikian, maka dapat diduga rumah tangga mungkin hanya seumur jagung, seperti yang banyak dialami oleh pasangan artis/ selebritis. Na’udzi billahi min dzalik.

3. Mahasiswa: Kuliah Dulu sambil Menjalin Asmara, atau Kuliah sambil Nikah?
Konon, menurut para bijak, masa yang paling indah bagi manusia adalah masa remaja/ muda, yakni masa-masa ketika mereka menjalin cinta kasih/ asmara (‘ta’aruf’) dengan lain jenis. Dalam hal ini lazimnya ketika mereka belajar di SMA atau kuliah di perguruan tinggi (usia 16-25 tahun). Lalu, bagaimana, apakah hal itu tidak mengganggu studi? Jawabnya: gampang-gampang sulit. Sebenarnya, semua itu bergantung pada bagaimana kita memanaj diri kita sendiri. Artinya, bagaimana kita pandai-pandai memanaj waktu, dengan mampu membuat skala prioritas, mana yang harus lebih didahulukan: studi, atau asmara? Mungkin dalam konteks ini para remaja dapat belajar dari sebuah kata hikmah: “Jangan pacaran ketika Anda sedang belajar, dan jangan belajar ketika Anda sedang pacaran.”
Idealnya, para remaja disarankan untuk belajar secara total (sebagai aktivitas primer), sedangkan menjalin hubungan asmara merupakan aktivitas sampingan/tambahan untuk mencari calon jodoh yang juga tidak kalah oentingnya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, menjalin hubungan asmara atau kegiatan pencarian jodoh dinomorduakan (sebagai aktivitas sekunder), dan setelah selesai studi baru menikah. Jadi, peroleh dulu ijazah baru ijab sah. Artinya, jika memungkinkan studi dan asmara dijalani bersama-sama (ideal). Jika tidak mampu –dalam arti jalinan asmara dikhawatirkan mengganggu studi-- lebih baik konsentrasi studi dulu. Terlebih jika asmara dikhawatirkan akan dapat menyeret kedua makhluk itu ke dalam jurang perzinaan yang dikutuk Allah Swt., maka harus dihindarkan jauh-jauh.
Bagaimana dengan studi sambil nikah? Sekali lagi, idealnya aktivitas utama mahasiswa adalah kuliah/studi. Jika harus mengikuti irama kehidupan kawula muda –yang merupakan tuntutan dari dalam (meminjam istilah Abraham Maslow, kebutuhan dasar yang pertama, fisiologis)—dengan mencari calon jodoh, oke, asalkan tanpa melakukan hal-hal yang diharamkan agama (berzina). Jadi, skala prioritas mahasiswa/pelajar itu adalah: studi, lalu mencari calon jodoh (menjalin hubungan asmara dengan lain jenis, sang pujaan hati), baru menikah. Akan tetapi, jika ternyata ketika kuliah mahasiswa sekaligus mencari calon jodoh dan khawatir akan terjerumus dalam jurang perzinaan, barangkali ‘menikah’ merupakan solusi atau jalan keluar terbaik meskipun cukup berisiko. Risikonya: jika salah satu atau keduanya: si suami tidak kuat menanggung beban tanggung jawab sebagai kepala keluarga (sehingga harus mencari nafkah); atau si istri tidak kuat menanggung beban tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga (misalnya: hamil, melahirkan, lalu menyusui dan merawat anak, padahal juga masih harus mengurus rumah tangga termasuk melayani suami), maka bukan tidak mungkin dan cukup banyak faktanya (bukan menakut-nakuti), putus kuliah/studi (droup out/DO) biasanya merupakan jalan keluar (terjelek) yang sering ditempuh pula, terpaksa alasannya. Jika sudah demikian, hanya penyesalan pada hari kemudian biasanya yang akan diperoleh karena cita-cita untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi dan meraih gelar Sarjana --seperti yang didambakan orang tuanya--, akhirnya hancur berantakan, tinggal jadi kenangan pahit. Tentu hal ini tidak kita inginkan bukan?

4. Penutup
Mengakhiri pembicaraan topik di atas, kiranya kita dapat memahami bahwa Islam telah mengatur kita dalam hal bergaul dengan lain jenis dengan konsep yang ideal: ta’aruf, khitbah, lalu menikah. Semua itu untuk mencapai tujuan berumah tangga yang diidealkan yakni terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, yakni sebuah kehidupan rumah tangga yang tenteram-bahagia yang penuh cinta dan kasih sayang nan indah hingga akhir hayat.
Adapun para kawula muda/pelajar/mahasiswa kiranya dapat memilih mana alternatif yang terbaik bagi Anda. Tentu antara satu dengan lainnya tidak sama pilihannya bergantung kondisi, kualitas keberimanan, dan kemampuan masing-masing dalam memanaj diri sendiri. Harus ekstra hati-hati dalam mengambil pilihan, sebab jika salah pilih dapat membawa resiko berat atau berakibat fatal.
Selamat belajar, semoga sukses meraih ilmu dan memperoleh ijasah, lalu ijab sah. Semoga.

Daftar Pustaka:

Djatnika, Rachmat. 1985. Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia). Surabaya: Pustaka Islam.

Faridl, Miftah. 1997. Etika Islam Nasehat Islam untuk Anda. Bandung: Pustaka.

Ilyas. Yunahar. 1999. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.

Ridha, Muhammad Rasyid. 1993. Jawaban Islam terhadap Berbagai Keraguan Seputar
Keberadaan Wanita. Surabaya: Pustaka Progressif.

Salim, Abdullah. 1985. Akhlaq Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat. Jakarta: Media
Da’wah.

______________________
1) Digelar dalam Dialog Interaktif “Islam dan Kebudayaan” di Radio Mentari FM Surakarta, 22 Desember 2005, kerja sama LPPM UMS dengan Radio Mentari FM Surakarta.
2) Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

Surakarta, 9 September 2004
Renungan dan Kenangan pada
Ultah Pernikahan ke-20 (1984-2004)
Ali Imron A.M. & Farida Nugrahani
ooOoo

1 komentar:

  1. Saya berpendapat mahasiswa tidak dilarang untuk menikah asalkan bisa bertanggung jawab. malahan dengan menikah membuat seseorang lebih cepat dewasa karena tanggung jawabnya bertambah.

    BalasHapus