Rabu, 04 Mei 2011

RELASI GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Sebuah Renungan dalam Peringatan Hari Kartini 2007 *)
Oleh Ali Imron Al-Ma’ruf


1. Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sering kita jumpai di Indonesia, hanya sebagian kecil kaum perempuan yang dapat eksis setara dengan kaum laki-laki. Itu berarti pula, bahwa peran aktif kaum perempuan dalam sektor publik dan pembangunan bangsa belum optimal, untuk tidak dinyatakan masih minim. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
Pertama, adanya anggapan, bahwa perempuan tidak selayaknya berbicara di hadapan kaum laki-laki atau pertemuan yang dihadiri kaum perempuan bersama laki-laki. Anggapan itu timbul karena adanya pemahaman yang menyatakan bahwa perempuan (dewasa) tidak boleh bertatap muka secara langsung dengan seseorang atau sekelompok orang yang bukan muhrimnya, dan adanya pemahaman bahwa suara perempuan untuk kepentingan apa pun adalah aurat (lebih-lebih suara perempuan yang berbicara berduaan dengan laki-laki bukan muhrimnya meskipun jelas-jelas tidak untuk menggoda laki-laki).
Kedua, adanya pemahaman di kalangan masyarakat bahwa tugas kaum perempuan hanya di sektor domestik yakni di seputar rumah tangga. Dalam ungkapan pendek perempuan/istri adalah menjalankan fungsi domestik yakni: dari dapur ke sumur, dari sumur ke kasur, dan begitu seterusnya. Atau dalam budaya masyarakat Jawa, tugas perempuan itu dikenal dengan ungkapan pendek: ”masak, macak, lan manak”. Masak berarti mempersiapkan dan menyediakan makanan dan minuman bagi suami dan anak-anaknya; macak berarti berhias dan mematut diri agar selalu tampil menyenangkan dan menggairahkan suami; dan manak berarti siap untuk hamil, melahirkan, merawat dan mengasuh anak.
Dengan kata lain, dilihat dari kacamata fungsi atau tugas kekhalifahan (manusia –tanpa ada dikotomi laki-laki dan perempuan-- adalah khalifatullah fil ardhi, wakil Allah di bumi), sungguh sangat menyedihkan menjadi kaum perempuan jika pandangan minor demikian terus dilanjutkan.
Realitas di atas tentu menarik untuk dikaji secara cermat, dengan pikiran yang jernih dan hati yang bening. Bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam mengenai
mengenai relasi gender kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini penting agar kita tidak terjebak oleh pandangan ‘klasik-tradisional’ yang memang sudah mapan dan mendarah daging sehingga kita memiliki persepsi yang benar mengenai eksistensi kaum perempuan. Implikasi hal itu akan dapat melahirkan sikap dan tindakan yang adil dan arif terhadap kaum perempuan.

2. Sepintas tentang Gender
Walaupun kini istilah “gender” sudah tidak asing lagi dalam media massa, dan di kalangan masyarakat terpelajar, masih banyak orang yang belum paham benar apa sebenarnya arti gender itu. Oleh karena itu, lebih dahulu akan dijelaskan perbedaan jenis kelamin atau seks (sex) dengan gender.
Jenis kelamin atau seks lazim dipakai untuk membedakan jenis kelamin manusia –laki-laki dan perempuan-- yang memfokus pada aspek biologisnya, seperti pada anatomi fisik, hormon dalam tubuh, alat dan fungsi reproduksi. Hal-hal tersebut yang melekat pada laki-laki akan berbeda dengan perempuan, dan hal-hal itu tidak dapat dipertukarkan untuk selamanya serta berlaku secara universal. Misal: perempuan memiliki hormon tertentu lebih banyak daripada lakii-laki, memiliki rahim dan vagina sebagai alat reproduksi, dan memiliki payudara yang dapat menghasilkan air susu ibu (ASI). Sedangkan laki-laki memiliki dada membidang (lebar), jakun (kalamenjing: Jawa), penis, dan buah dzakar yang memproduksi sperma (Fakih, 1999: 7-8). Perbedaan permanen dalam aspek jenis kelamin tersebut itulah yang dinamakan kodrat, ketentuan dari Tuhan yang manusia tidak dapat memilih atau mengingkarinya. Hal ini berbeda dengan gender.
Gender merupakan interpretasi sosio-kultural dari seks, yakni bagaimana jenis kelamin yang kodrati itu diterjemahkan menjadi peran sosial tertentu. Menurut Women’s Studies Encyclopedia, gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (discrimination) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara pria dan wanita yang berkembang dalam kehidupan masyarakat (Helen Tierney, 1991: 153; lihat Fakih, 1999: 36). Gender adalah seperangkat peran yang menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang itu maskulin atau feminin (Julia Cleves Mosse, 1996: 3). Seperangkat perilaku khusus ini bekerja sama membentuk “peran gender” setiap anggota masyarakat.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah konstruksi sosio-kultural yang telah lama hidup dalam masyarakat bahkan berabad-abad sehingga seolah-olah telah menjadi mitos. Tegasnya, gender merupakan konsep yang digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan menurut pandangan sosio-kultural masyarakat setempat.

3. Bias Gender dalam Pemahaman Islam
Fenomena menunjukkan bahwa agama sering dijadikan alasan atau justifikasi untuk menolak kesetaraan gender. Agama (Islam) oleh sebagian masyarakat non-Islam bahkan sebagian umat Islam dipandang mentoleransi pola relasi yang memberikan peran lebih besar kepada laki-laki sehingga terciptalah masyarakat patriarkal (patriarchal) yakni masyarakat yang didominasi oleh kaum laki-laki (al-mujmata’ al-abawy).
Ayat al-Qur’an selaku pedoman hidup umat Islam, misalnya, sering disalahtafsirkan oleh sebagian umat Islam dan dijadikan dasar untuk pengebirian atau pengerdilan peran perempuan. Mereka beranggapan bahwa karena kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, maka sudah selayaknya laki-laki mendapat peran lebih dalam segala lini kehidupan. Hal ini menciptakan pola masyarakat patrialkal sehingga peran ibu baik dalam keluarga maupun di masyarakat kurang diakui.
Di antara ayat al-Qur’an yang sering dijadikan dasar adalah Q.S. an-Nisa’: 34:


“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan akarena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Karena itu, perempuan yang shalihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada seperti Allah telah menjaga mereka. “

Kata qawwamuna dalam ayat di atas sering dimaknai sebagai “pemimpin”, dan pemimpin ini dipahami tidak hanya terbatas di dalam rumah tangga tetapi juga di luar rumah, termasuk sektor publik (masyarakat luas). Padahal jika dirunut asbabunnuzul-nya, ayat tersebut lebih menyaran pada makna “pelindung” dalam arti “suami dituntut untuk melindungi, mengayomi istrinya”, bukan sebaliknya “menguasai atau menjajah istrinya”. Artinya, ayat tersebut berlaku dalam konteks kehidupan rumah tangga. Terlebih jika dipahami kelanjutannya –”...... karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”--, hal ini semakin memperkuat tentang konteks kerumahtanggaan, bukan di sektor publik.
Selain al-Qur’an, ada pula hadits yang secara tidak langsung menerangkan tentang kelebihan pria di bidang akal dan agama. Diriwayatkan oleh Imam Muslim oleh Abdullah ibn Umar. Hadits itu menjelaskan bahwa kelebihan akal pria dibanding akal wanita tidak berarti bahwa laki-laki diciptakan Allah Swt. dengan kecerdasan yang lebih, namun lebih dikarenakan keterbatasan perempuan pada zaman Rasulullah Saw. yakni pada saat itu perempuan hanya memperoleh otoritas persaksian satu dibanding dua dengan pria sebab segala fungsi dan peran publik dipegang kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan hanya bergelut dengan urusan rumah tangga.
Di lain pihak, kelebihan laki-laki di bidang agama juga bukan karena laki-laki lebih giat mendalami ilmu agama dibanding perempuan. Hal ini hanya disebabkan kodrat perempuan tidak dapat beribadah selama masa menstruasi (haid) tanpa ada konsekuensi apa pun, yang merupakan dispensasi dari Allah Swt. khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 249-51). Hal ini sedikit banyak tentu berpengaruh pada pelaksanaan ibadah sehari-hari. Belum lagi kewajiban berjihad saat peperangan bagi kaum laki-laki, yang tentu tidak memungkinkan bagi kaum perempuan, walaupun sebenarnya mereka sangat ingin, karena harus tetap tinggal di rumah menjaga anak-anak mereka. Hal ini tentu menimbulkan pemikiran bahwa pahala yang dapat diperoleh kaum laki-laki jauh melebihi kaum perempuan. Sebab, tidak ada halangan bagi mereka (kaum lelaki) dalam melakukan segala aktivitas keagamaan.
Perempuan dianggap warga kelas dua yang dunianya hanya terbatas seputar urusan rumah tangga. Banyaknya penafsiran dan pemahaman yang keliru tentang ayat al-Qur’an dan Hadits seperti uraian di atas sangat merugikan dan dapat menghambat kemajuan Islam, terutama kemajuan kaum perempuan itu sendiri. Padahal dalam dataran empirik jika kaum perempuan diberi kesempatan, fasilitas, dan pendidikan yang sama dengan kaum lelaki, mereka sering tidak kalah dengan laki-laki. Bahkan, fenomena akhir-akhir ini di berbagai sekolah dan kampus dalam upacara wisuda misalnya, mahasiswa yang meraih prestasi akademik tertinggi (indek prestasi kumulatif tertinggi) kebanyakan kaum Hawa (mahasiswa puteri). Meskipun fakta itu sering disangkal dengan pernyataan apologis ”untuk menghibur diri bagi kaum laki-laki” dengan menyatakan bahwa populasi kita sekarang memang kaum perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

4. Gender dalam Pandangan Islam
Manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan oleh Allah Swt. tidak lain hanya untuk mengabdikan hidupnya demi kemajuan umat manusia. Hal ini sesuai dengan predikat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, tanpa melalaikan kewajiban pokoknya untuk mengabdi kepada Allah Swt. Kitab suci al-Quran menyatakan bahwa Wamaa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduuna, ”Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdikan diri kepada Allah.” Termasuk dalam hal itu adalah mengabdikan hidupnya demi kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.
Berkenaan dengan hal itu maka tidak mengherankan apabila Islam mengajarkan persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai anggota masyarakat. Dengan kedudukan yang sama ini maka diharapkan para perempuan akan memiliki hak dan kewajiban, serta kesempatan yang sama pula dengan laki-laki dalam segala bidang pembangunan, baik fisik material maupun mental spiritual.
Manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki derajat tertinggi di antara makhluk Allah yang lain, dapat turun derajatnya bahkan menjadi lebih rendah daripada binatang sekalipun. Manusia yang paling mulia di sisi Allah Swt. adalah manusia yang paling bertakwa. Jadi, selain ketakwaan semua hal lain dianggap sama dan sederajat, termasuk perbedaan gender laki-laki dan perempuan (Q.S. al-Hujurat: 13).



”Wahai manusia, Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dab bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu sekalian bagi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu. Sungguh Allah Mahaalim dan Mahatahu.”

Kesetaraan pria dan wanita juga ditunjukkan dalam Q.S. al-Mumtahanah: 12.




”Hai Nabi, bila datang kepadamu perempuan beriman dan berjanji kepadamu tiada mempersekutukan apa pun dengan Allah dan tiada akan mencuri atau berzina, tiada akan membunuh anak-anaknya dan tiada akan memfitnah, tiada dengan sengaja mengada-adakan kebohongan dan tiada akan durhalka kepadamu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji mereka dan mohonlah ampun kepada Allah bagi mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat tersebut menegaskan tentang eksistensi kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Quran juga mengisahkan bagaimana pengambilan keputusan untuk beriman kepada Allah Swt. bagi seorang perempuan tersebut bukan tanpa risiko. Mengingat, posisi perempuan yang lemah saat itu yang harus berhadapan dengan suami --bagi yang telah menikah--, dan kesulitan dalam menentang opini publik --bagi yang belum menikah-- (lihat kisah istri Firaun yang beriman dan Maryam yang suci: Q.S. at-Tahrim : 11-12).
Kemandirian kaum perempuan juga terlihat dalam Q.S. al-Qashash: 23 yang menceritakan seorang perempuan yang berhasil mengelola peternakan di Madyan. Islam sebagai agama moderat juga menentang penindasan terhadap kaum wanita (Q.S. an-Nisa’: 75). Bahkan, Islam mengizinkan kaum wanita untuk ikut ambil bagian dalam perlawanan terhadap kerusakan sistem dalam masyarakat, serta ikut menyampaikan kebenaran (Q.S. at-Taubah: 71):



”Orang mukmin dan mukminat saling melindungi satu dengan yang lain. Mereka mengajnjurkan kebaikan dan melarang kejahatan. Mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta menaati Allah dan Rasul-Nya. Merekalah yang akan dirahmati Allah. Sungguh Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.”

Islam bahkan sangat menjunjung tinggi derajat kaum perempuan/ ibu lebih dari laki-laki/ bapak. Dalam hal hubungan anak, bapak dan ibu, secara metaforis Rasulullah Muhammad Saw. bersabda dalam sebuah Hadits:

”Surga itu (berada) di bawah telapak kaki ibu”
Kaum perempuan/ ibu bahkan dianalogikan memiliki nilai tiga kali lebih tinggi daripada laki-laki/ bapak. Sabda Rasulullah dalam sebuah Hadits menjelaskan posisi tinggi perempuan dibanding laki-laki. Simaklah Hadits berikut.

Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah: ”Siapa orang yang harus paling dihormati ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: ”Ibumu.” Sahabat bertanya: ”Lalu siapa lagi?” ”Ibumu”, jawab Rasulullah. Lalu? ”Ibumu”. Lalu? ”Ayahmu.”

5. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan tentang dikotomi laki-laki dengan perempuan dalam beribadah dan peran publik, terlebih dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Islam tidak pernah meletakkan perempuan dalam posisi kaum inferior sedangkan laki-laki adalah makhluk superior. Jika ada pandangan demikian, hal itu adalah pandangan yang salah yang bermula dari pemahaman atau penafsiran ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang tidak tepat (pandangan klasik-tradisional). Atau, hal itu merupakan konstruksi sosial budaya masyarakat yang telah hidup beratus-ratus tahun, sehingga seolah-olah hal itu merupakan kebenaran yang terlanjur menjadi mitos dalam masyarakat.
Benar bahwa kaum laki-laki, sesuai dengan kodratnya, adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Namun, hal itu tidak boleh dijadikan dasar bagi pengerdilan peran perempuan. Islam secara tegas telah menyatakan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodrat dan martabatnya, karena sesungguhnya hanya ketakwaanlah yang dinilai oleh Allah Swt., bukan jenis kelamin seseorang.
Persamaan derajat dan/atau kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan sangat penting artinya bagi kemajuan dan kejayaan Islam, juga bagi eksistensi kaum perempuan itu sendiri dalam menentukan pilihan hidup. Sebab, kata para bijak, hidup itu hakikatnya adalah sebuah pilihan. Kebebasan untuk menentukan pilihan dengan demikian menjadi sesuatu yang hakiki dan teramat asasi. Jadi, kesemuanya berpulang kepada kaum perempuan sendiri, apakah dia akan eksis dalam kehidupan sosial atau dalam sektor publik atau justru memilih untuk berperan saja di sektor domestik. *)

Daftar Pustaka

H.B.Jassin (Penerjemah). 1977. Al-Quranu’l-Karim-Bacaan Mulia. Jakarta:
PT Djambatan.

CD-ROM Hadits Mawsu’ah al-Hadits al-Syarif.

Fakih, Mansour, 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar .

Mosse, Julia Cleves, 1996. Gender dan Pembangunan (Terjemahan Hartian
Silawati). Yogyakarta: Kerjasama Rifka Annisa Women’s Crisis Centre
dan Pustaka Pelajar.

Tierney, Helen, 1991. Women’s Studies Encyclopedia.Vol .1. New York: Peter
Bedrick Books.

Umar, Nasaruddin, 1997. ”Bias Gender dalam Pemahaman Agama”, dalam
Jurnal Perempuan, Edisi 3, Mei-Juni 1997.

Umar, Nasaruddin,1999. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an.
Jakarta: Paramadina.

_____________________
*) Disajikan dalam Dialog Interaktif ”Islam dan Kebudayaan” di Radio Mentari FM Surakarta pada tanggal 04 April 2007.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar