Rabu, 04 Mei 2011

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH DAN HUMANISTIK

Kenangan Indah untuk Kaum Perempuan dan Kado Kecil untuk Kaum Laki-laki
Oleh
Ali Imron Al-Ma’ruf

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu (merasa) tentram kepadanya dan dijadikannya di antara kamu sekalian rasa cinta dan kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. ar-Ruum: 21).

Pernikahan (perkawinan) dalam agama Islam merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Pernikahan merupakan sebuah perjanjian suci, ritual sakral, yang mesti dijaga sebaik-baiknya oleh suami dan istri. Oleh karena itu, sebelum seseorang melakukan pernikahan dianjurkan untuk memahami hakikat dan tujuannya yang suci. Hal ini penting, agar kita tidak terjebak pada pernikahan profan, hedonis, sekedar mengejar kesenangan lahiriah belaka.
Tidak selayaknya pernikahan dipandang sebagai transaksi jual-beli kendaraan sehingga boleh ‘bongkar-pasang’ sesuka hati. Setelah diperiksa ‘bodi-fisik dan ‘mesin’-nya, diuji-coba, lalu dilakukan transaksi jual-beli. Setelah ‘bosan’ memakainya, atau sedikit ada kekurangan, dengan mudah ditukarkan dengan kendaraan lainnya.
Islam memberikan pedoman pernikahan yang dapat membimbing kita untuk mewujudkan mahligai rumah tangga nan bahagia, tenteram, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah warahmah). Itulah yang dicita-citakan oleh setiap pasangan suami-istri, yang diikrarkan bersama ketika mereka ‘merajut cinta kasih abadi dalam ikatan suci, membangun sebuah mahligai rumah tangga nan asri penuh ridha Ilahi’.

Hakikat dan Tujuan Pernikahan
Secara harfiyah, nikah dari bahasa Arab berarti “menghimpun, berkumpul”, dan secara istilah berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram yang menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Secara juridis, pernikahan menurut UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan, adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Jadi, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir sekaligus pertautan batin suami-istri dalam membina rumah tangga sesuai dengan ajaran Allah. Inilah yang membedakannya dengan perkawinan model Barat yang sekuler.
Adapun tujuan pernikahan menurut Islam adalah menciptakan keluarga yang tentram, bahagia lahir dan batin, penuh cinta dan kasih sayang seperti difirmankan Allah dalam Q.S. ar-Ruum: 21 di atas. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk memperoleh keturunan (yang baik), seperti doa setiap pasangan suami-istri Muslim berikut.

“Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan anak (keturunan) kami yang akan menjadi cahaya mata dan pemuka di antara orang-orang bertaqwa.” (Q.S. al-Furqan: 74)

Hak dan Kewajiban Bersama Suami-Istri
Rumah tangga merupakan mahligai peraduan sepasang suami-istri yang dibangun bersama melalui ikatan suci dan mulia berupa akad nikah yang sakral dengan pilar agama dan cinta kasih. Suka duka, bahagia sengsara mesti dilalui bersama. Karena itu, pada dasarnya hak dan kewajiban suami dan istri secara filosofis adalah seimbang. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang baik (ma’ruf)” (Q.S. al-Baqarah: 228)

Ayat ini menempatkan derajat perempuan setara dan seimbang dengan laki-laki dalam rumah tangga. Suami berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga sedangkan istri menjaga dan mengatur rumah tangga. Dalam perspektif Feminisme atau paradigma jender, ayat itu merupakan salah satu landasan akan kesetaraan jender. Jika dalam masyarakat luas perempuan sering dipandang sebagai manusia kelas dua, kaum inferior, tertindas oleh hegemoni kekuasaan laki-laki yang superior, maka Islam memandang perempuan setara dengan laki-laki (kecuali dalam beberapa hal berkaitan dengan ritual keagamaan perempuan tidak dapat: menjadi khatib/ imam shalat Jumat, imam shalat bagi jamaah laki-laki, dan wali pernikahan).
Kata ma’ruf dalam ayat di atas dipahami bahwa pembagian tugas suami dan istri harus didasarkan pada keadaan (budaya) setempat. Pembagian tugas itu tidak berarti ada garis demarkasi sebuah tanggung jawab sehingga tidak menghalangi suami dan istri untuk saling membantu/ bekerja sama dalam melakukan tugas masing-masing. Pembagian tugas suami sebagai kepala keluarga didasarkan pada kelebihan laki-laki yang pantas bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Allah berfirman:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka?” (Q.S. an-Nisa’: 34).

Poligami dalam Perspektuif Syariah: Sebuah Jalan Alternatif
Ada kalanya seorang suami yang memiliki kemampuan lebih, baik dalam aspek ekonomi, sosial, mental, maupun fisik, atau adanya alasan lain yang mendasar merasa perlu untuk beristri lebih dari satu (berpoligami). Hal itu dilakukan berdasarkan pada pemahaman sebuah firman Allah berikut:

“…. maka nikahilah perempuan-peremuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat. Namun, jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil (terhadap para istri), maka nikahilah satu perempuan saja.” (Q.S. an-Nisa’: 3)

Ayat tersebut memberi pengertian bahwa jika seorang suami memiliki kemampuan lebih di atas rata-rata kaum laki-laki normal pada umumnya, maka untuk menyalurkannya Islam memberikan ‘solusi alternatif’ untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Inilah keunggulan Islam sebagai agama yang kaffah, lengkap. Dan, tentu ada ada rahasia di balik halalnya poligami yang hanya Allah yang Mahatahu. Akal manusia mungkin belum mampu menjangkaunya. Misalnya, adanya kecenderungan populasi perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Namun demikian, jika tidak ada alasan mendasar, lebih baik suami menikahi satu perempuan saja agar terhindar dari ketidakadilan terhadap istri, mengingat ‘adil’ merupakan syarat utama. Jadi, ayat tersebut bukan anjuran kepada suami untuk berpoligami melainkan bahwa poligami merupakan ‘jalan alternatif’, ‘pintu darurat’ yang dapat dimanfaatkan karena adanya alasan mendasar. Artinya, jika berpoligami akan dapat ‘menyelamatkan keutuhan rumah tangga’, bukan sebaliknya. Misalnya: karena istri sakit-sakitan sehingga tidak dapat melayani suami; (oleh dokter dinyatakan) mandul sehingga tidak dapat melahirkan keturunan; dan sebab lain yang dapat diterima oleh kedua belah pihak sehingga tidak ada jalan terbaik lain kecuali berpoligami. Atau, karena suami memiliki kelainan seksual, misal hiperseks, sehingga poligami dapat menyelamatkannya dari jurang perzinaan atau perselingkuhan yang diharamkan Allah. Bahkan, zina merupakan perbuatan keji dan sanksi hukumnya sangat berat yakni di-rajam (dicambuk) sampai mati (bagi pezina mukhshon: sudah beristri/ bersuami). Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu dekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalahj perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan.” (Q.S. al-Israa’: 32)

Jika poligami dilakukan tanpa adanya alasan-alasan mendasar, maka hal itu bukan merupakan tindakan yang tepat. Lebih-lebih jika poligami dilakukan karena dorongan syahwat belaka. Dan, poligami demikian juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) atau paradigma kesetaraan jender laki-laki dan perempuan.
Ada beberapa argumentasi mengapa poligami yang dilakukan tanpa alasan-alasan mendasar dinyatakan tidak tepat, terlebih dalam masyarakat modern, yang memandang adanya kesetaraan jender antara perempuan dan laki-laki. Pertama, jika ditinjau dari tujuan pernikahan yakni: ‘menciptakan ketentraman dan kedamaian, cinta serta kasih sayang dalam rumah tangga’, maka poligami dipandang kontraproduktif. Sebab, lazimnya poligami sering menimbulkan suasana panas, tidak nyaman, dan konflik keluarga. Kedua, dilihat dari hak dan kewajiban bersama suami-istri, maka poligami tanpa keikhlasan (seizin) istri, dipandang mengingkari keseimbangan hak suami-istri. Bukankah “orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya dan yang paling lembut terhadap istrinya” (al-Hadits). Jadi, pendapat istri perlu diperhatikan.
Ketiga, Muhammad Rasulullah Saw. pada hakikatnya lebih cenderung monogami. Dalam tarih tertulis bahwa Muhammad Saw. menikah dengan Siti Khadijah (janda 40 tahun) pada usia 25 tahun dan hingga Khadijah meninggal pada tahun ke-11 Hijriyah beliau tetap monogami. Setelah lebih dari lima tahun menikahi Siti Aisyah dan usia beliau mendekati 60 tahun pasca-perang beliau baru menikahi beberapa janda yang suaminya mati syahid (padahal beliau meninggal pada usia 63 tahun). Jadi, orientasi Muhamnmad Saw. beristri lebih dari satu perempuan bukan nafsu melainkan lebih sebagai penghormatan terhadap para janda mujahid. Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada hakikatnya beliau monogami. Bahkan, beliau juga tidak memperbolehkan ‘Ali suami Fatimah, puterinya, menikahi perempuan lain di samping Fatimah.
Jadi, secara normatif, syar’i, poligami memang diperbolehkan tetapi merupakan ‘jalan alternatif’ jika ada alasan-alasan mendasar. Dalam implementasinya, poligami itu sangat kondisional bergantung pada individu dan komitmen rumah tangga masing-masing. Jika ‘hak prerogratif’ suami untuk berpoligami itu tidak dipakai, maka hal itu lebih arif guna menghindari timbulnya perasaan sakit hati atau minimal ketidaknyamanan dalam keluarga karena istri merasa ‘diduakan’. Adalah manusiawi jika seorang istri/ perempuan tidak mau diduakan dengan perempuan lain di samping suami tercinta.
Selanjutnya, pelarangan terhadap poligami jelas bertentangan dengan nash al-Quran yang berarti menentang hukum Allah. Tentu hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena itu, adalah sikap salah kaprah dan sekuler jika orang melarang poligami (yang diperbolehkan oleh syariat Islam) sementara perzinaan atau perselingkuhan yang diharamkan Allah justru dibiarkan merajalela di masyarakat. Padahal seorang Muslim wajib melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Bukankah kita adalah khairu ummah, ‘umat yang terbaik’ yang mengajak kepada kebaikan dan melarang perbuatan maksiat?

Poligami dalam Perspektif Humanistik
Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat ketika perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Hal tersebut merupakan sebuah sikap yang diikuti tindakan untuk membenarkan, bahkan setuju dengan tindakan poligami meskipun dirinya mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa.
Banyak kasus menggambarkan bagaimana seorang istri yang semula mau dipoligami oleh suaminya tetapi setelah benar-benar terjadi, artinya suaminya benar-benar mengambil istri kedua atau ketiga, sang istri pertama tersebut akhirnya tidfak kuat menahan rasa sakit hatinya. Bahkan, seorang Teh Ninik, istri da’i kondang AA Gymnastiar (AA Gym) dari Yayasan dan Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung yang semula –paling tidak di depanpublik dan ditayangkan media massa televisi—dapat menerima tindakan suaminya berpoligami, toh akhirnya juga tidak kuat menahan rasa sakit dan gejolak hati tersebut ketika AA Gym benar-benar berpoligami. Mereka akhirnya melakukan proses perceraian di pengadilan agama.
Hal itu terjadi mungkin karena tidak lain setiap perempuan pada dasar batinnya yang terdalam sulit untuk dapat menerima poligami atau dimadu oleh suaminya. Siapa sih perempuan yang mau diduakan atau ditigakan oleh suaminya dengan berpoligami? Kalau toh ada perempuan yang mau dipoligami itu pada umumnya karena keadaan yang tidak memungkinkan dirinya menolak poligami. Atau, karena pandangan kultural feodal yang masih memegang prinsip yang dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah istri itu wanita. Artinya, seorang istri itu wani ditata (berani dan mau diatur). Atau, dapat juga pandangan masyarakat Jawa kuna bahwa istri itu bagi laki-laki adalah konco wingking (teman di belakang, di dapur atau di kamar).
Dalam pandangan seperti di atas, tidak sedikit di antara perempuan tersebut menganggap bahwa penderitaan akibat poligami itu merupakan pengorbanan yang sepatutnya dijalani. Atau, bahkan mereka menganggap bahwa hal itu terjadi karena kesalahannya sendiri sebagai perempuan yang kurang sempurna atau tidak berdaya dari berbagai aspek baik aspek ekonomi, pendidikan, status sosial, dan sebagainya.Tidak jarang seorang istri mau dipoligami karena memang tidak berdaya tadi yakni takut menghadapi kehidupan, misalnya daripada hidup sengsara, miskin, dan tidak memiliki status lebih baik menjadi istri seorang laki-laki terkenal yang berkedudukan tinggi, terhormat, dan kaya raya,
Lebih mengherankan lagi, bahwa dalam kerangka demografi, para pelaku poligami sering mengemukakan argumen statistik sebagai langkah justifikasi. Argumen tersebut menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah sebuah usaha untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen itu pantas untuk ditertawakan, sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Adapun dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki jauh lebih tinggi (Sumber: Sensus Nasional tahun 2000).

Penutup
Mengakhiri pembicaraan tentang poligami dalam perspektif syariah dan humanistik, dapatlah dikemukakan simpulan sebagai berikut. Pertama, secara syariah, pada dasarnya poligami dibenarkan oleh agama (Islam) seperti tersurat dalam firman Allah di al-Quran. Jadi, melarang atau mengharamkan poligami sama saja melawan firman Allah. Namun demikian, poligami yang dibenarkan syariah itu dapat dilakukan jika memiliki alasan-alasan yang kuat antara lain: (1) Poligami dibenarkan syariah karena istri pertama tidak memiliki keturunan. (3) Poligami juga dapat dibenarkan jika Istri tidak dapat melakukan tugas dan fungsinya sebagai istri apakah karena sakit atau sebab lain. (3) Poligami dapat dibenarkan sebagai salah satu jalan alternatif bagi sebagian kecil laki-laki yang memang memiliki libido yang luar biasa. Artinya, daripada berzina yang diharamkan Allah, lebih baik berpoligami. (4) Atau, dapat juga karena alasan khusus misalnya berpoligami dengan niat mulia dan suci yakni menyelamatkan perempuan –umumnya sudah berumur-- yang suaminya meninggal padahal anaknya banyak sementara perempuan itu tidak bekerja.
Secara humanistik, pada dasarnya hampir semua perempuan sulit untuk dapat menerima poligami. Pada umumnya perempuan merasa sakit hati jika dimadu atau dipoligami karena merasa diduakan bahkan “dilecehkan”, dipandang sebagai kaum inferior atau bahkan manusia kelas dua yang dapat diperlakukan seenaknya oleh suaminya. Oleh karena itu, menarik sekali pesan moral dalam novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) karya Habiburrahman El-Shirazy yang sudah difilmkan dan digarap oleh Bang Chairul Umam, sutradara kawakan yang juga Ketua Lembaga Seni Budaya Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Dalam novel dan film KCB tersebut dengan sangat menarik tersurat bahwa politgami memang dibenarkan oleh al-Quran tetapi jika perempuan tidak mau dimadu maka suami tidak dibenarkan berpoligami. Di sinilah diperlukan kearifan bukan hanya kekuatan arau arogansi laki-laki.
Pada akhirnya, semuanya berpulang kepada pandangan kita masing-masing karena hidup adalah pilihan. Tinggal kita mau memilih yang mana. Berpoligami atau monogami. Beristri satu secara bauik-baik sehingga dapat hidup dalam sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, hidup berkeluarga dengan penuh cinta kasih, bahagia dan tenteram. Atau, berpoligami, beristri lebih dari satu tetapi –yang sering terjadi—mengalami ketidaktenangan, rumah tangga sering tegang karena istri pertama sering sakit hati dan tidak dapat ikhlas diduakan oleh suaminya, kecuali adanya alas an-alasan khsus di atas. *)

Surakarta, April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar