Rabu, 04 Mei 2011

ISLAM DAN KEBEBASAN BERBICARA

Oleh
Ali Imron Al-Ma'ruf


Hingga kini masih banyak pandangan masyarakat terlebih masyarakat Barat yang keliru mengenai Islam ataupun terhadap orang Islam. Orang Islam sering dipandang oleh orang Barat sebagai orang yang antikritik. Hal ini dapat dilihat pada pandangan beberapa orientalis Barat yang “merasa ahli Islam” tentang kepemimpinan umat Islam. Salah satunya adalah Roger Savory.

Islam: Agama Pro-Kritik
Beberapa tahun yang lalu di Amerika Serikat, Roger Savory, konon ahli tentang Islam, berbicara tentang Islam dan politik. Sudah barang tentu pandangannya tentang Islam sangat keliru, dan ceramahnya sangat menyesatkan sehingga beberapa ikhwan kita terpaksa berbicara untuk membela dan mempertahankan Islam. Salah satu ucapannya yang sangat menjengkelkan adalah bahwa Islam, seperti halnya Marxisme bersifat emosional. Segera setelah seorang Muslim merebut kekuasaan, katanya, semua kritik akan dibungkam. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam dan realitas sejarah kepemimpinan Islam.
Kita ingat pada zaman pemerintahan Umar bin Khathab. Ketika Umar diangkat menjadi Khalifah kedua menggantikan Abu Bakar yang telah wafat, maka pidato pertamanya yang hanya pendek namun sangat luar biasa maknanya jika kita mampu menghayatinya. Dalam pidato pengangkatannya sebagai khalifah itu dia menyatakan:
“Hari ini, atas kesepakatan Anda semua kaum Muslimin, saya Umar diangkat menjadi Khalifah. Oleh karena itu, konsekuensinya, mulai hari ini Anda semua harus tunduk kepadaku selama aku masih tetap tunduk kepadaAl-Qur’an dan Al-Hadits; dan Anda semua tidak usah tunduk kepadaku jika ternyata aku tidak lagi tunduk kepada al-Qur’an dan al-Hadits.”
Betapa dalam makna pidato pendeknya ini jika kita mampu menggali
mutiara hikmahnya. Dalam wacana demokrasi dan kepemimpinan Islam, terlebih jika dikaitkan dengan kepemimpinan nasional saat ini, makna pidato Umar ini dapat menjadi referensi yang menarik.
Ilustrasi lain, pada suatu hari, Umar Amirul Mukminin mengumumkan suatu keputusan pemerintah yang membatasi jumlah mahar sampai 400 dirham. Jika mahar itu lebih dari jumlah tersebut maka kelebihannya akan dimasukkan ke dalam Baitul Maal. Sebelum Umar menyelesaikan pidatonya, tiba-tiba seorang wanita tua di sudut masjid berteriak keras:





“Ya Amirul Mukminin, Anda telah melarang laki-laki membayar maskawin wanita lebih dari 400 dirham. Ini bukan hakmu, ya Umar, karena Allah berkata, ‘Dan kamu sudah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun. Apakah kamu ya Umar akan mengambil kembali dengan dusta dan dosa yang nyata?’(Q.S. An-Nisa’: 20)

Ucapan wanita itu lebih dari cukup bagi Umar, seorang pemimpin Islam yang dilukiskan oleh orang-orang sezamannya sebagai:
“Ia selalu tunduk kepada Kitab Allah”. Terkejut sebentar mendengar ucapan wanita tua itu, Umar tidak mengambil pedangnya, terlebih membunuh orang yang mengritiknya itu seperti yang dibayangkan oleh musuh-musuh Islam. Karena, Umar menyadari benar, bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran, seperti tersurat dalam Q.S. Al-‘Ashr: 1-3:

“Sungguh manusia merugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, serta mau saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran.”

Umar menengadah kepada Allah dan berkata:

“Ya Allah, ampunilah aku. Ternyata semua (banyak) orang lebih mengerti daripada Umar.”

Islam Menjamin Kebebasan Kritik

Pada hari itu juga Umar membatalkan keputusan itu.
Dalam tarih Islam juga diriwayatkan, bahwa ada warga Muslim yang mencuri barang seseorang. Demi menjaga nama baik umat Muslim, maka ditiupkanlah issue bahwa pencurinya adalah orang Yahudi, dan kaum Muslimin membela mati-matian kepada orang Muslim (yang sebenarnya pencuri) tersebut dengan berbagai dalih dan cara. Peristiwa itulah yang melatari turunnya wahyu dalam Q.S. an-Nisa’: 105-108:

“Sesungguhnya telah kami turunkan Al-Qur’an kepadamu dengan haq (tidak dapat dibantah kebenarannya) agar kamu mengadili (perselisihan) antara manusia menurut wahyu Allah kepadamu. Janganlah engkau membela orang-orang ytang berkhianat (105). Dan mintalah ampunan kepada Allah . Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (106). Janganlah kamu membela orang-orang yang berkhianat terhadap diri mereka sendiri. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berkhianat lagi berdosa (107). Mereka menyembunyikan (kesalahannya) dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, (karena) Dia bersama mereka, waktu mereka suatu malam memutuskan perkataan (perbuatan) yang tidak disukai Allah. Dan Allah Maha Mencakup ilmu-Nya tentang apa saja yang mereka kerjakan (108)”.

Dengan tegas ayat ini melarang kita membela orang yang bersalah, meskipun dia teman, saudara, bahkan anak, atau pemimpin Muslim sekali pun atau siapa saja, jika ternyata orang tersebut menghianati atau melanggar syariat Allah. Dalam konteks inilah maka pada Rasulullah Saw. bersabda, “Seandainya Fatimah putriku melakukan perbuatan mencuri, maka aku sendirilah yang akan memotong tangannya.” Betapa adilnya Rasul dalam menghakimi berbagai masalah, tanpa memandang bulu.
Jauh sebelum Peter Zenger berbicara tentang kebebasan berbicara di Amerika, ratusan/ ribuan tahun sebelum orang-orang di sini membanggakan istilah demokrasi yang kabur, berabad-abad sebelum wanita mengetahui hak dan kewajibannya di Amerika Serikat, Islam telah memberikan contoh penggunaan kebebasan berbicara yang tepat. Cuplikan sejarah dan ayat yang dikemukakan tadi jelas menunjukkan bagaimana seorang warga negara, rakyat biasa, bahkan seorang wanita tua, dapat mengritik pemerintah, dan bagaimana penguasa (Khalifah Umar) ditundukkan oleh keterangan yang benar, siapa pun yang menyampaikannya. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam:

“Lihatlah apa yang dikatakannya, dan janganlah melihat siapa yang mengatakannya.”

Islam sering digambarkan oleh orang-orang yang tidak memahaminya sebagai antikritik, menentang kebebasan berbicara. Namun, harus ditegaskan di sini bahwa Islam memang menentang kebebasan berbicara seperti dalam konsep Barat yang menghalalkan segala cara: melemparkan gosip, issue, membuat intrik, memutarbalikkan fakta, hingga memfitnah. Ini tidak berarti bahwa Islam menentang kritik terhadap penguasa, atau siapa saja. Kebebasan berbicara dalam Islam tidaklah berarti bebas merendahkan orang lain. Tidak berarti bebas menyebarkan fakta yang diputarbalikkan untuk menipu orang tau memprovokasi masyarakat. Tidak berarti bebas menebarkan issue, gosip, dan desas-desus. Kebebasan berbicara dalam Islam, berarti kita bebas mengatakan hal yang benar (haq), menyampaikan haq tanpa mempedulikan resiko dan akibatnya, seperti disabdakan Rasulullah Saw.:

“Katakan kebenaran itu walaupun keadaannya (terasa) pahit”
Dalam bahasa populer sekarang barangkali lebih tepat dikatakan, “Nyatakan kebenaran itu walaupun mungkin resikonya berat baik bagi yang menyatakan kebenaran/ kritik itu maupun bagi yang dikritik.”
Ini berarti kita bebas untuk mengingatkan/ memperbaiki siapa pun (betapa pun berkuasanya dia) yang melanggar syariat Allah.
Bahkan Rasulullah Saw. pernah bersabda:


“Jihad yang paling baik adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim.”

Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, bahwa semua manusia tanpa kecuali memang biasa berbuat salah dan lupa, seperti sabda Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya manusia itu tempat salah dan lupa.”
Kita bebas mengatakan apa pun selama sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam hal ini kebebasan berbicara bukan saja dianjurkan melainkan juga diwajibkan kepada setiap Muslim yang baik. Allah Swt. berfirman dalam salah satu ayat-Nya:



“Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah, dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki pekerjaanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah memperoleh kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab: 70-71).

Ketika kaum Muslimin permulaan dibai’at Rasulullah Saw., mereka bertanya:
“Dalam hal apa kami dibai’at oleh Anda?” Rasulullah Saw. menjawab: “Saya membai’at Anda untuk mendengar dan patuh dalam suka dan duka, dan untuk membayarkan sedekah Anda dalam keadaan suka dan duka. Dan menyuruh berbuat baik melarang berbuat munkar serta mengucapkan kebenaran karena Allah, dan tidak takut kepada ejekan orang-orang yang mengejek.”

Mengakhiri pembicaraan ini, baiklah kita hayati Hadits Rasulullah Saw.:



“Barang siapa sanggup menjamin kepadaku apa-apa yang ada di antara kedua rahangnya, dan apa-apa yang ada di antara kedua pahanya, aku akan jaminkan surga baginya.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi).

Demikianlah, kebebasan berbicara dalam Islam ternyata mendapat tempat yang begitu terhormat, asalkan disampaikan dengan cara-cara yang benar, arif, tanpa memandang siapa yang menyampaikan dan siapa yang dituju/ dikritik. Tak seorang pun yang tak boleh dikritik. Sebab, memang manusia adalah tempat salah dan lupa. Yang penting, apa yang dinyatakan adalah kebenaran hakiki dari Allah dan Rasul-Nya. Demikian, Semoga bermanfaat.

____________________
*) Digelar dalam Dialog Interaktif “Islam dan Kebudayaan” di Radio Mentari FM tanggal 29 Juni 2005.


oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar