Rabu, 04 Mei 2011

MUSIBAH NASIONAL: CAMBUK KECIL BAGI MANUSIA

Catatan Pinggir Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi
Oleh Ali Imron Al-Ma’ruf

Musibah demi musibah terjadi silih berganti pada dekade awal abad IXX di tanah air yang menimpa bangsa Indonesia. Puluhan bahkan ratusan ribu warga masyarakat Indonesia kehilangan nyawa ataupun hilang tak tentu rimbanya dengan kerugian materi/ harta benda bangunan fisik dan sarana prasarana umum dalam jumlah relatif besar hingga mencapai milyaran bahkan trilyunan rupiah. Bangsa Indonesia berduka.
Tercatat dalam sejarah musibah nasional yang memilukan hati, setidak-tidaknya dimulai dari gelombang dahsyat tsunami yang memporakporandakan wilayah Aceh, Desember 2005. Disusul gempa bumi dahsyat yang meluluhlantakkan Jogja dan sekitarnya (2006). Tidak lama kemudian, kita dikejutkan oleh musibah hebat dengan keluarnya semburan lumpur panas jutaan m3 yang menenggelamkan ribuan rumah dan bangunan di daerah Porong Sidoharjo Jawa Timur yang hingga kini masih berlanjut.
Ketika umat Islam sedang khusyuk menunaikan ibadah puasa Ramadhan, awal September 2009, kembali gempa bumi hebat mengguncang wilayah Jawa Barat. Bahkan, saat umat Islam baru saja merayakan Idul Fithri 1430 H, pada sore 30 September 2009, kita dikejutkan lagi oleh gempa bumi dahsyat yang memporakporandakan Sumatra Barat, terutama daerah Padang Pariaman. Akibatnya, ratusan bangunan gedung, rumah, dan jembatan runtuh serta tanah longsor sehingga ratusan orang terkubur hidup-hidup. Ribuan nyawa melayang. Kini, banjir juga menggenangi Sulawesi Tenggara. Sebaliknya, kekeringan di berbagai wilayah di tanah air menyebabkan tanaman di sawah menjadi puso. Lengkaplah rasanya musibah itu.
Yang masih terngiang dan rasanya baru saja terjadi adalah meletusnya Gunung Merapi (2010) yang memporakporandakan daerah Jogja dan sebagian Jawa Tengah serta menyebabkan banyak korban baik jiwa maupun harta benda termasuk meninggalnya tokoh spiritual Gunung Merapi Mbah Marijan. Bahkan, hingga kini efeknya masih berlangsung dengan sering adanya banjir lahar dingin yang merusak banyak bangunan dan sawah ladang di daerah Sleman Jogja dan Magelang Jawa Tengah.

Permasalahannya adalah bagaimana sebenarnya berbagai musibah itu dalam pandangan Islam? Lalu, bagaimana kita sebagai umat yang beriman kepada Allah menyikapi musibah nasional yang memilukan itu?

Maraknya Perbuatan Dosa
Dalam konteks itu, Allah telah menegaskan kepada orang-orang yang beriman melalui al-Quran Surat ar-Ruum: 41: ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oaleh perbuatan manusia supaya Allah meresahkan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka itu.”
Allah juga memperingatkan kita bahwa musibah yang menimpa masyarakat itu merupakan akibat dari ulah manusia sendiri. Beruntung Allah Maha Pengasih dan Penyayang sehingga masih memaafkan sebagian besar kesalahan umat manusia. Jika tidak, mungkin musibah demi musibah akan terus terjadi silih berganti menimpa masyarakat. Pada surat Syura: 30 Allah memberikan isyarat tentang musibah itu: ”Dan apa saja yang telah menimpa kalian berupa mausibah itu disebabkan oleh tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar di antaranya.”
Ayat al-Quran tersebut agaknya relevan dengan berbagai fenomena yang terjadi di tanah air kita akhir-akhir ini. Pertama, kita menyaksikan banyaknya kasus perusakan lingkungan alam seperti penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan), pembakaran hutan (bukan ”kebakaran”) terutama di Kalimantan dan Sumatra yang mengakibatkan polusi luar biasa, lalu pencemaran laut dan sungai, pencemaran air dan tanah, dan sebagainya. Kedua, maraknya perbuatan korupsi dan kolusi di kalangan eksekutif dan legislatif yang merugikan negara milyaran bahkan trilyunan rupiah, masih maraknya pungutan liar (uang siluman) dan pemerasan terselubung, monopoli perdagangan oleh pihak-pihak tertentu, kecurangan dan mark up dalam pembelian barang dengan uang negara di kalangan pemerintahan, dan sebagainya. Ketiga, maraknya kejahatan dan kekejian di kalangan masyarakat umum seperti merajalelanya perbuatan amoral atau pelanggaran syariat dan akhlak seperti perselingkauhan, aborsi, pemerkosaan, perzinaan di kalangan remaja dan orang dewasa, pembunuhan kejam, penganiayaan, mengkonsumsi narkoba, makan makanan haram, minum minuman keras, ketidakadilan hukum, ketimpanan sosial, dan seterusnya. Keempat, semakin banyaknya manusia yang tanpa malu-malu meninggalkan ibadah seperti shalat, puasa, dan zakat karena kecintaannya yang berlebihan terhadap duniawi dan materi (materialistik dan hedonistik). Kelima, sedikitnya orang yang mau berjuang memerangi perbuatan munkar (kejahatan dan kekejian) dan ketidakadilan hukum yang terjadi di sekitarnya. Padahal dia sebenarnya mampu melakukan pencegahan, hanya karena tidak ingin kehilangan kesenangan duniawinya (pangkat, jabatan, kedudukan), misalnya.
Sebenarnya, jika dikaji dan diamati secara jeli, berbagai musibah yang terjadi pada akhir-akhir ini sangat mungkin disebabkan oleh kesalahan dan dosa manusia sendiri. Dalam konteks ini, empat belas abad yang lalu Rasulullah sudah memberikan peringatan dalam haditsnya: ”Hancurnya bangsa-bangsa sebelum kamu disebabkan oleh mereka yang membiarkan para pejabat (orang-orang terhormat) melakukan pencurian sedangkan jika rakyat kecil (orang-orang lemah) yang mencuri, hukum potong tangan dijatuhkan kepada mereka. Demi diriku yang berada di tangan-Nya andaikan Fatimah (puteri Muhammad) mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.” (H.R. Ahmad, Muslim, dan Nasa’i).
Benar bahwa bencana alam merupakan peristiwa alamiah yang terjadi karena fenomena alam seperti bencana gelombang Tsunami, gempa bumi, angin puting beliung, dan gunung meletus. Akan tetapi, toh semua pertistiwa itu tidak terlepas dari tangan atau kekuasaan Tuhan? Artinya, bencana-bencana alam itu merupakan fenomena alam tetapi bukankah alam itu dalam kekuasaan Tuhan?

Cambuk Kecil bagi Umat Manusia
Peringatan Rasulullah Saw. tersebut tampaknya demikian relevan dengan kondisi dan situasi bangsa kita akhir-akhir ini. Ketidakadilan hukum, ketimpangan sosial, penyakit masyarakat ma-lima (dalam budaya Jawa) yakni maling (mencuri), main (perjudian), madon (perzinaan), minum (minuman keras), madat (narkoba), marak di mana-mana.
Mencermati fenomena tersebut, barangkali benar bahwa musibah demi musibah nasional yang melanda penduduk negeri ini merupakan akibat ulah bangsa kita sendiri. Dan, semua itu ”bukan hukuman” melainkan hanya merupakan ”cambuk kecil” untuk mengingatkan umat manusia, bahwa Allah Mahakuasa di atas segalanya, agar manusia segera sujud kepada-Nya. Rasanya pas benar apa yang diungkapkan oleh penyair sekaligus penyanyi Ebiet G. Ade dalam salah satu syair lagunya yang selalu diperdengarkan di televisi setiap kali terjadi musibah. Simaklah syair lagu ”Untuk Kita Renungkan” berikut. //.................. /Anugerah dan bencana/ adalah kehendak-Nya/ Kita mesti tabah menjalani/ hanya cambuk kecil/ agar kita sadar/ adalah Dia di atas segalanya/ Oh ... adalah Dia di atas segalanya/. / Anak menjerit-jerit/ asap panas membakar/ lahar dan badai menyapu bersih/ Ini bukan hukuman/ hanya satu isyarat/ bahwa kita meskti banyak berbenah/. / Memang bila kita kaji lebih jauh/ dalam kekalutan/ masih banyak tangan/ yang tega berbuat nista/ oh .../ /Tuhan pasti telah memperhitungkan/ amal dan dosa yang kita perbuat/ ke manakah lagi/ kita ’kan sembunyi/ hanya kepada-Nya kita kembali/ tak ada yang bakal/ bisa menjawab/ mari hanya runduk sujud pada-Nya//.

Menyikapi Musibah dengan Arif
Menghadapi musibah yang bertubi-tubi, maka kita perlu menyikapinya dengan arif, antara lain: (1) Memperbanyak istighfar. Kita harus memperbanyak istighfar, mohon ampun kepada Allah atas segala dosa, berhenti berbuat kerusakan dan kekejian, lalu bertobat kepada-Nya. Allah berfirman: ”Dan juga orang-orangyang bila mereka berbuat kekejian (dosa yang ringan) mereka lalu ingat kepada Allah lalu mohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapakah (tak ada) yang mengampuni dosa-dosa itu melainkan Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan mereka itu.” (Q.S. Ali Imran: 135). (2) Sabar dan Tawakkal. Menghadapi musibah yang memilukan tersebut, kita mesti bersikap sabar dan tawakkal, berpasrah diri kepada-Nya, setelah kita berusaha sekuat tenaga mengantipasi dan menanggulangi musibah. (3) Meningkatkan iman dan takwa. Menyadari bahwa musibah itu merupakan kehendak-Nya (iradah), maka kita harus meningkatkan kualitas iman dan takwa kita dalam makna yang hakiki. Kita harus meningkatkan ibadah (hablum minallah) dan memperbanyak amal shalih (hablum minannas). Jika demikian, Allah akan melimpahkan rahmat dan berkah-Nya dari langit dan bumi. Dalam Q.S. al-A’raf: 96 Allah berfirman: ”Dan jika sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa (tidak kufur dan maksiat), pastilah kami (Allah) melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri.” (4) Patuh kepada syariat Allah. Sebagai Muslim, kita harus benar-benar taat menjalankan segala syariat-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Jangan sampai kita meninggalkan hukum Allah atau melanggarnya. (5) Bersyukur. Kita harus selalu bersyukur atas segala anugerah yang diberikan Allah kepada kita dengan cara memanfaatkan anugerah itu dengan sebaik-baiknya. Yang memiliki harta, gunakan untuk meringankan beban orang miskin, yang memiliki kekuasaan, gunakan untuk melayani dan membantu mereka yang membutuhkan, bukan malah memerasnya, dan seterusnya.
Jika kita dapat bersikap arif, insya’Allah kita akan mampu memahami dan menghayati berbagai musibah sebagai sebuah ”cambuk kecil” yang justru akan mendorong kita untuk melakukan introspeksi dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. serta terjauh dari sikap protes terlebih menjadi kufur kepada-Nya. ***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar